tag:blogger.com,1999:blog-46266775072327640812024-03-10T01:03:15.115-08:00Forum Guru Bahasa IndonesiaAjang Kreativitas Guru Bahasa Indonesia
Demi Kemajuan Anak BangsaMasnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-7349200388257258732010-05-20T03:39:00.000-07:002010-05-20T03:39:20.071-07:00Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008<span class="fullpost">Oleh: Zulvina Narida Anom<br />
<br />
<br />
<strong>ABSTRAK</strong><br />
<br />
Jurnalisme sastra adalah berita yang ditulis dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subjek, pembaca mengimajikan tampakan fakta yang dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan ketepatan diksi didasarkan pada sudut pandang jurnalis untuk membentuk konstruksi realitas. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhadap realitas yang diberitakan.<br />
<br />
Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh deskripsi tentang penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan diksiuntuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial; kedua, mendeskripisikan gaya bahasa untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.<br />
<br />
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dianggap relevan untuk penelitian jurnalistik. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks berita laporan utama dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca sumber data dengan menjadikan peneliti sebagai human instrument. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikasi, menafsirkan, dan mendeskripsikan data, kemudian mengambil kesimpulan.<br />
<br />
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan. Pertama penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi, dan (b) penggunaan gaya bahasa. Kedua, pemilihan diksi dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Ketiga, penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.<br />
<br />
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, peneliti selanjutnya, dan bagi majalah Tempo. Semua pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian dengan pengetahuan jurnalisitk, sehingga mereka dapat lebih memahami dan mengetahui tentang jurnalistik, khususnya jurnalisme sastra. <br />
<br />
<em><strong>Kata Kunci :</strong></em> jurnalisme sastra, konstruksi realitas, majalah<br />
<br />
Jurnalistik yang merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa (Kusumaningrat, 2006:15) membutuhkan media untuk menyampaikan hasil pekerjaannya kepada masyarakat. Dalam jurnalisme, beberapa teknik penulisan berita dengan pemaparan tergantung pada jenis berita agar memudahkan penyampaiannya kepada pembaca. Perkembangan teknik penulisan jurnalistik kemudian semakin berkembang melihat bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter dan keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual. Salah satu teknik penulisan berita baru yang digunakan oleh beberapa media massa yakni jurnalisme sastra atau literary journalism.<br />
<br />
Jurnalisme sastra adalah salah satu dari empat jenis jurnalisme baru yang lahir dari upaya praktisi jurnalistik dalam memperbarui teknik penyampaian berita dari jurnalistik konvensional.Gaya fiksi digunakan sebatas pada gaya pemaparan berita dengan pemilihan diksi dan gaya bahasa untuk memenuhi unsur naratif dan dramatikal tulisan. Penulisan jurnalistik bukan lagi sekedar upaya untuk menampilkan nilai-nilai human interest secara lebih dramatis, tetapi juga menampilkan substansi berita sebagai sarana informasi. Jurnalis baru mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional, mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis sedang berlangsung di lokasi (Kurnia, 2002:5).<br />
<br />
Penyajian berita yang lebih mengutamakan substansi berita yang dikemas dengan gaya fiksi memberi kesempatan pembaca lebih bisa menikmati berita karena pembaca merasa tidak hanya membaca berita melainkan juga mengetahui berita. Para penulis melukiskan adegan-adegan sensorik pada tingkat keintiman yang begitu dekat dengan pengalaman dan sensasi pembaca, sehingga terwujudlah hubungan khusus antara konstruksi teks dan kondisi psikis pembaca, pembaca menyatu dengan penulis dan bersama-sama mereka memahat makna (Kurnia, 2002:135). Narasi berita yang disajikan penulis membuat pembaca seolah mengetahui langsung dari pelaku kejadian maupun saksi kejadian yang diberitakan, sedangkan yang dimaksud memahat makna adalah pembaca dibebaskan untuk membentuk persepsi sendiri atas berita yang disajikan secara subjektif.<br />
<br />
Awal kemunculan teknik penulisan berita jurnalisme sastra ini terjadi di Amerika pada tahun 1960-an, dan kemudian banyak dipakai dalam pelaporan berita oleh wartawan sekaligus digunakan oleh sebagian besar kolumnis media cetak. Di Indonesia, teknik penulisan berita ini bisa ditemui dalam koran Kompas, majalah Pantau, majalah Tempo, dan beberapa situs media berita maupun situs jurnal. Penulisan berita ini biasa ditemui dalam laporan utama sebuah media cetak, meski lazimnya laporan utama ditulis dengan teknik penulisan straight news, tetapi beberapa media cetak seperti disebut di atas menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra untuk kepentingan dramatisasi laporan dan membuat berita jadi memikat. Dalam penulisan jurnal maupun artikel non penelitian juga ditemukan beberapa artikel yang menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra dengan tidak mengurangi substansi informasi yang ditulis.<br />
<br />
Penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra mempunyai kelebihan dalam hal penyampaian fakta kepada pembaca, dibandingkan dengan teknik penulisan jurnalisme konvensional. Jurnalisme sastra lebih memperkecil adanya kemungkinan fakta yang disembunyikan di balik berita. Berita yang disajikan tidak lagi disampaikan dalam bentuk kronologis, melainkan dalam bentuk pelaporan fakta yang didramatisir sedemikian rupa. Jurnalis mengobservasi objek liputan seperti penulis novel yang mencari dan mendapatkan realitas pengisahan berikut objek kisahnya (Kurnia, 2002:19). Di sinilah terdapat kaitan antara teknik penulisan berita jurnalisme sastra dengan konstruksi realitas yang dibentuk penulis. Pembaca tidak disuguhi informasi-fakta, tetapi rekonstruksi pelbagai kejadian dan tokoh-orang beserta pemaknaannya (Kurnia, 2002:19). Dalam merekonstruksi kejadian yang diberitakan tentu tidak lepas dari kegiatan penyuntingan berita, namun dengan narasi berita yang disajikan menunjukkan kegiatan penulis yang hendak mendapatkan perspektif yang setepat dan secermat mungkin. Dalam kehidupan masyarakat, realitas terkonstruksi bersamaan dengan peran serta media massa. Penulisan berita dalam media inilah yang menjadi berbeda-beda karena masing-masing media memiliki sudut pandang pemberitaan yang layak diberitakan.<br />
<br />
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemberitaan terdapat beberapa keberpihakan media terhadap hal maupun pihak tertentu. Dalam berita terdapat informasi yang dipotong, sedangkan sisi yang lainnya dieksplorasi sedemikian rupa sehingga menjadi berita besar dan hangat dibicarakan masyarakat. Eksplorasi berita yang berlebihan yang dilakukan oleh penulis berita dapat mengakibatkan pembingkaian realitas yang sangat jauh dari kenyataan. Bagi Berger dalam Eriyanto (2007:15), realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing, dan selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2007:16).<br />
<br />
Media massa mempunyai peran utama dalam membentuk konstruksi realitas. Sebagai penyampai berita kepada masyarakat, berita yang diproduksi dan telah melewati proses penyuntingan selain berupa informasi faktual juga merupakan konstruk sosial baru. Jurnalisme sastra yang digunakan sebagai teknik penulisan untuk membentuk konstruksi realitas adalah salah satu teknik yang tepat karena kedekatannya dengan tulisan bentuk feature. Di Indonesia, yang menganut falsafah pers Pancasila yang demokratis telah mengatur Undang-Undang RI No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam UU tersebut diatur jurnalisme melalui ketentuan pers, sehingga dalam pemberitaan tidak terlalu mengeksplorasi dan mengeksploitasi berita yang merugikan sumber berita. Setiap berita yang disajikan selalu mempunyai batasan tertentu dalam pelaporannya, artinya tidak semua kejadian peristiwa disajikan sepenuhnya. Pada proses penyuntingan inilah kepentingan konstruksi realitas dimainkan oleh penyunting media massa, karena bagi wartawan segala informasi apapun yang ada di lapangan selayaknya dihimpun dan dilaporkan. <br />
<br />
Persyaratan jurnalistik seperti faktual, objektif, akurat, terpercaya, dan penggunaan bahasa yang baik dan benar tetap menjadi soal penting dalam jurnalisme sastra. Pencarian realitas faktual menjadi pekerjaan yang lebih berat, panjang, dan melelahkan (Kurnia, 2000:1). Meskipun teknik penulisan feature merupakan produk gabungan jurnalistik dan sastra, namun jurnlisme sasatra tetap mengutamakan keakuratan berita sebagai syarat utama jurnalistik. Jurnalisme sastra bukan hanya membahas cara membuat laporan seestetis sastra, tetapi sejak awal menekankan bahwa pekerjaan membuat berita sudah dimulai ketika jurnalis mencari bahan berita, menyusunnya, hingga melaporkannya (Kurnia, 2000:1). Dengan demikian, jurnalisme sastra tidak sekedar teknik penulisan berita yang merupakan inovasi menarik minat pembaca, tetapi juga teknik pelaporan berita yang lebih akurat dan mendalam.<br />
<br />
Meski jurnalisme sastra sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an dengan nama jurnalisme baru dan pada tahun 1997 istilah jurnalisme sastra dipakai di sebuah buku terjemahan Pedoman untuk Wartawan, namun ulasan mengenai teknik penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra masih sangat jarang ditemui baik dari literatur maupun diskursus wacana. Dengan mempelajari lebih lanjut secara teoritis dan penelitian, diharapkan pengetahuan tentang jurnalistik akan bertambah dan pembahasan mengenai jurnalisme sastra lebih sering ditemui sebagai teknik penulisan berita yang tidak asing lagi. Dengan mempelajari keterkaitan penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi relaitas, akan mampu menambah nalar kritis dalam membaca berita. Berita tidak lagi dipahami sebagai informasi yang diterima dan diserap begitu saja, melainkan diterima dengan sikap skeptis sebelum mempercayai berita sebagai langkah awal mengkritisi fenomena yang yang diberitakan. Sehingga, pengetahuan ini tidak hanya layak diketahui oleh praktisi media saja tetapi juga oleh pembaca berita pada umumnya.<br />
<br />
Penelitian mengenai penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo ini difokuskan pada penerbitan bulan Oktober 2008, pada bulan tersebut telah terbit empat edisi masing-masing terbit tiap enam hari sekali. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober pun dipilih penelitian pada rubrik Laporan Utama yang merupakan fokus peliputan berita dalam tiap edisi penerbitan. Pada bulan Oktober tersebut, pemberitaan yang disajikan majalah Tempo cukup menunjukkan representasi penelitian dengan adanya pemberitaan mengenai tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Pemberitaan tokoh tentang kegiatan kampanye para calon presiden, peristiwa tentang pembalakan hutan liar dan krisis ekonomi global, dan tentang setting sosial Indonesia timur.<br />
<br />
Penelitian ini secara praktis adalah langkah awal penulis untuk memahami penerapan jurnalisme sastra dalam media cetak. Tempo merupakan media cetak yang sudah sejak lama menggunakan teknik ini. Majalah Tempo terbukti lebih menarik minat banyak pembaca untuk membaca berita yang disajikan. Dibanding majalah Pantau yang juga menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra, majalah Tempo terbukti lebih lama bertahan sebagai majalah berita mingguan sejak tahun 1980-an. <br />
<br />
Majalah Tempo memuat tiga belas rubrik, laporan utama dalam majalah Tempo yang merupakan fokus penelitian ini adalah fokus liputan yang disajikan dengan teknik penulisan Jurnalisme Sastra dengan memperhatikan keaktualan berita. Dalam laporan utama majalah Tempo yang dimuat dengan panjang antara 10-17 halaman tergantung panjang berita, penerapan jurnalisme sastra digunakan sebagai teknik penulisan yang memberikan dramatisasi berita namun tetap akurat, tajam, dan objektif. Dengan teknik penulisan jurnalisme sastra, membuat berita yang panjang tersebut tetap menarik untuk diikuti hingga tuntas.<br />
<br />
Dengan latar belakang di atas, maka penelitian berjudul“Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008” dapat dikatakan penelitian yang baru. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis, khususnya di Universitas Negeri Malang.<br />
<br />
<br />
<strong>Metode Penelitian</strong><br />
<br />
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti prinsip kerja metode deskriptif kualitatif. Rancangan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena relevan dengan ciri-ciri penelitian kualitatif. Sebagaimana dikatakan Bogdan dan Taylor (dalam Moelong, 1990:3) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa deskripsi kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Ciri dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) data dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan dan bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis dilakukan secara induktif dan (5) makna merupakan andalan utama. <br />
<br />
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data yang ada dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tanpa melakukan tindakan merubah ataupun memberikan tindakan tertentu. Kemudian peneliti melakukan analisis deskriptif atas penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tersebut. Peneliti mendeskripsikan penerapan jurnalisme sastra yang digunakan oleh majalah Tempo dalam penulisan rubrik laporan utama melalui penggunaan gaya bahasa dan diksi yang tepat untuk membentuk konstruksi realitas serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketepatan penerapan tersebut.<br />
<br />
Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data yang ada dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Pendekatan ini tidak mementingkan jumlah melainkan kadar dari jawaban pertanyaan “bagaimana”. Hal ini sejalan dengan salah satu ciri penelitian kualitatif yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Dengan demikian, peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2000:6). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif.<br />
<br />
Selain ciri tersebut, penelitian ini berlatar alamiah dan manusia sebagai instrumen utama. Berlatar alamiah, dalam arti bahwa data dan sumber data pada penelitian ini dibiarkan apa adanya (alami), tidak ada perlakuan khusus terhadapnya. Manusia sebagai instrumen utama merupakan alat pengumpul data utama. Sebagai instrumen utama, peneliti dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian, peneliti dapat menyadari dan mengatasinya (Moleong, 2000:4-5). Di samping itu, orang sebagai instrumen memiliki senjata “dapat memutuskan” yang secara luwes dapat digunakannya. Ia senantiasa dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan.<br />
<br />
Suatu penelitian perlu adanya metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Surachmad (1989:131) mengemukakan bahwa metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian Aminuddin (1990:11) menyatakan bahwa dalam memilih suatu metode yang perlu diperhatikan adalah adanya relevansi antara masalah yang dibahas, prediksi gejala yang akan dikaji, serta target yang akan dicapai dengan metode yang akan dipilih. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan/metode penelitian kualitatif.<br />
<br />
<strong>Pembahasan</strong><br />
<br />
Majalah Tempo dianggap sebagai majalah yang kontroversial baik dari segi pemilihan kata maupun dalam hal keberanian mengungkap fakta hasil reportase jurnalis. Majalah Tempo secara terbuka memposisikan diri sebagai media yang oposisi terhadap Pemerintah. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan yang sering memunculkan permasalahan di kalangan pejabat birokrasi Negara. Penggunaan pilihan kata yang berani sesuai dengan fakta hasil reportase juga kerap terkesan mendiskreditkan tokoh, peristiwa, dan setting sosial tertentu.<br />
<br />
Diksi digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih kata. Setiap kata yang dipilih oleh jurnalis mengandung tujuan untuk mengonstruksi realitas yang dibentuk. Pilihan kata (diksi) yang tepat, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap pembaca.<br />
<br />
Sedangkan gaya bahasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih perumpamaan maupun perbandingan. Gaya bahasa jurnalisme sastra tidak bisa diklasifikasikan tersendiri dari gaya bahasa pada umumnya, karena gaya bahasa merupakan berlaku universal. Dengan gaya bahasa yang dipilih oleh jurnalis memunculkan berita yang disampaikan secara implisit. Sehingga, dalam membaca berita yang disajikan dengan penerapan jurnalisme sastra, pembaca mendapatkan berita yang detil.<br />
<br />
Majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menerapkan penulisan jurnalisme sastra dalam memaparkan berita, khususnya dalam rubrik laporan utama dengan penulisan depth news atau laporan yang mendalam. Penerapan jurnalisme sastra bertujuan untuk menarik pembaca terhadap pemberitaan yang dipaparkan secara panjang dan mendetil. Di samping itu, penerapan jurnalisme sastra menggunakan aturan yang lebih lunak bagi jurnalis untuk merefleksikan amatannya melalui pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan fakta liputan. Jurnalis berkesempatan menyampaikan kritik secara implisit dengan tujuan memberikan wacana kritis terhadap masyarakat pembaca.<br />
<br />
Diksi yang sering digunakan dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 adalah diksi kata bernilai rasa. Diksi kata bernilai rasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh sesuai dengan karakter yang diamati jurnalis dengan memasukkan penilaian jurnalis terhadap karakter tokoh tersebut. Kata bernilai rasa tinggi akan memiliki dampak yang lebih kuat di benak khalayak dibandingkan dengan kata-kata bernilai rasa rendah (Sumadiria, 2006:30-33). Kata bernilai rasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, bernilai rasa merendahkan atau meninggikan.<br />
<br />
Diksi kata abstrak digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan kesan mengaburkan tokoh yang diberitakan. Kata abstrak tidak langsung menunjukkan interpretasi penulis terhadap tokoh secara langsung. Penggunaan kata abstrak memberi peluang bagi pembaca sebagai pembentuk konstruksinya sendiri atas tokoh yang diberitakan. Jurnalis hanya mengemukakan pilihan kata yang menunjuk kepada suatu sifat, konsep, atau gagasan terhadap tokoh. Diksi kata lugas digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh dengan pilihan kata yang bersifat tembak langsung, tegas, lurus, apa adanya, kata-kata yang bersahaja, sekaligus ringkas, tidak merupakan frasa yang panjang, dan tidak mendayu-dayu (Sumadiria, 2006:30-33). Diksi yang digunakan sesuai dengan interpretasi jurnalis tentang ciri yang paling menonjol dari tokoh yang mampu menguatkan pemahaman pembaca.<br />
<br />
Dalam pemberitaan, majalah Tempo berani menyajikan berita secara mendalam dan faktual. Independensi majalah Tempo terlihat dari pemberitaan peristiwa yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah, sekaligus keberanian majalah Tempo memberitakan peristiwa yang bersinggungan dengan kritik sosial berbeda dengan media lainnya. Majalah Tempo menghadirkan seri pemberitaan yang menggali sekuen-sekuen berdasarkan rekonstruksi peristiwa-peristiwa paling dramatis (Kurnia, 2002:152).<br />
<br />
Diksi kata konkret digunakan untuk memberitakan setting sosial yang mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Setting sosial masyarakat yang diberitakan dengan diksi kata konkret adalah masyarakat yang sudah jelas diketahui mengenai kondisinya. Pilihan kata atau diksi harus mempertimbangkan dimensi sosiologis untuk masyarakat. Sehingga, dalam pemilihan diksi kata konkret jurnalis tidak perlu memunculkan makna lain dari pilihan kata tersebut. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, kata konkret digunakan untuk memaparkan berita sesuai dengan data kuat yang diperoleh dari reportase. Data tersebut dipaparkan dengan pemberitaan yang konkret dengan pilihan kata yang apa adanya sesuai dengan paparan data tersebut. Diksi kata abstrak digunakan untuk menyajikan berita tentang setting sosial dengan latar masyarakat yang kompleks. Gagasan jurnalis terhadap reportase kondisi sosial sangat menonjol dalam menyajikan berita, maka kata abstrak bisa memunculkan makna ambigu. Jurnalis mengonstruk setting sosial dengan kata abstrak yang mampu menggiring pemahaman pembaca dalam memandang masyarakat tertentu sesuai dengan interpretasi penulis.<br />
<br />
Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa untuk mengonstruksi tokoh tertentu. Penggunaan gaya bahasa ini disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhdap tokoh yang diberitakan. Setiap penulis memiliki kepribadian dan karakter yang melekat dalam gaya bahasa tulisannya, yang membentuk identitas kewartawanan atau kesastrawanan seseorang (Sumadiria, 2006:145). Gaya bahasa hiperbola digunakan untuk mengonstruksi peristiwa yang dilebihkan oleh jurnalis. Penggunaan gaya bahasa hiperbola untuk menonjolkan kritik maupun prediksi jurnalis atas suatu peristiwa. Pilihan kata yang terkesan membesarkan peristiwa mengonstruk berita sebagai realitas berdasarkan interpretasi jurnalis. Gaya bahasa hiperbola dipilih sesuai dengan gagasan mengenai ide-ide yang sulit diungkapkan dengan kata yang lazim digunakan. Kata berlebihan yang digunakan untuk memberikan konstruksi memberikan vonis suatu terhadap peristiwa.<br />
<br />
Gaya bahasa Epitet digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan penyebutan yang dipilih oleh jurnalis. Menurut Keraaf (dalam Sumadiria 2006:167), Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frasa deskriptif yang memerikan atau menggantikan nama sesuatu. Gaya bahasa Epitet digunakan untuk memperhalus justifikasi jurnalis terhadap hasil reportase yang disajikan. Jurnalis menentukan identifikasi terhadap setting sosial yang secara tidak langsung membentuk konstruksi terhadap kondisi masyarakat yang diberitakan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 gaya bahasa Epitet digunakan untuk menyebut negara tertentu sesuai dengan reportase jurnalis.<br />
<br />
Gaya bahasa Sinekdoke digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya. Menurut Dale (dalam Sumadiria, 2006:163), Sinekdoke adalah gaya bahasa yang mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, Sinekdoke digunakan dengan menyebut nama negara yang merupakan ungkapan keseluruhan untuk menyebut sesuatu yang menjadi bagian negara tersebut. Jurnalis membentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan identifikasi bagian tertentu dari keseluruhan masyarakat tersebut atau sebaliknya. Sehingga, pembaca berasumsi sesuai dengan ungkapan yang disajikan oleh jurnalis tersebut.<br />
<br />
Gaya bahasa Hiperbola termasuk gaya bahasa pertentangan, menurut Tarigan (dalam Sumadiria 2006:153), Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Penggunaan gaya bahasa Hiperbola sarat dengan informasi yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, gaya bahasa Hiperbola digunakan untuk mengonstruk setting sosial yang paling parah. Jurnalis tetap memiliki data akurat untuk kepentingan melebihkan berita tersebut, reportase yang detil dan verifikasi yang bisa dipertanggung jawabkan menguatkan jurnalis untuk menggunakan ungkapan yang hiperbolis.<br />
<br />
<br />
<strong>Kesimpulan</strong><br />
<br />
Sebagaimana telah dipaparkan dan dianalisis pada bab sebelumnya, bahwa majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita. Bentuk penerapan tersebut terlihat dari pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa dalam memaparkan berita. Penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional. Perbedaaan tersebut terlihat dari kebebasan jurnalis dalam menggunakan gaya penulisan sesuai dengan sudut pandangnya untuk kepentingan dramatisasi penulisan. Dengan tidak meninggalkan unsur kebenaran berita dan objektivitas penulisan. <br />
<br />
Berdasarkan hasil penelitian, yaitu deskripsi data dan analisis data hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.<br />
<br />
(1) Penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat<br />
<br />
dari pemilihan diksi oleh jurnalis untuk memudahkan penyajian berita sehingga dipahami oleh pembaca meliputi diksi kata bernilai rasa, kata lugas, kata konkret, kata abstrak, kata khusus, dan kata umum; dan (b) penggunaan gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat dari gaya penuturan memasukkan unsur sastra untuk menyajikan berita yang enak dibaca dengan pemaparan yang mengalir secara dramatis.<br />
<br />
(2) Pemilihan diksi dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh bergantung pada latar belakang tokoh yang diberitakan, jurnalis memaparkan ciri khas karakter tokoh melalui diksi yang digunakan yang bisa dipertanggung jawabkan secara faktual. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang peristiwa yang diberitakan merupakan potongan peristiwa yang dianggap representatif untuk menampilkan fakta, diksi yang digunakan dalam membentuk konstruksi realitas merupakan diksi menurut penilaian jurnalis sebagai orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.<br />
<br />
(3) Penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Gaya<br />
<br />
bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh memilih kata yang berhubungan dengan karakter atau ciri khas tokoh tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter tokoh tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan karakter tokoh. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi tentang peristiwa memilih kata yang berhubungan dengan kondisi terjadinya peristiwa, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan kondisi peristiwa tersebut, makna konotasi kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan peristiwa secara nyata, beberapa peristiwa yang diberitakan dengan bahasa yang berlebihan disertai dengan data, jurnalis tidak meninggalkan unsur kebenaran berita. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan kondisi latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, sehingga makna konotasi gaya bahasa yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.<br />
<br />
<br />
<strong>Daftar Rujukan</strong><br />
Arikunto, Suharsimi. 2002. <em>Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik</em>. Jakarta: Rineka Cipta<br />
Aminuddin. 1990. <em>Metode Penelitian Kualitatif</em>. Yogya: Tiara Wacana<br />
Eriyanto. 2007. <em>Analisis Framing</em>. Yogyakarta: LKIS<br />
Hamad, Ibnu. 2004. <em>Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa.</em> Jakarta: Granit<br />
Harsono, Andreas. 2008. <em>Jurnalisme Sastrawi.</em> Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia<br />
Ishwara, Luwi. 2005. <em>Catatan-catatan Jurnalisme Dasar.</em> Jakarta: Kompas<br />
Kurnia, Santana Septiawan. 2002. <em>Jurnalisme Sastra</em>. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama<br />
Kusumaningrat, Hikmat. 2006. <em>Jurnalistik Teori dan Praktik.</em> Bandung: Rosda<br />
Liliweri, Alo. 1991. <em>Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat.</em> Bandung: Citra Aditya Bakti<br />
Moleong, Lexy. 2006. <em>Metodologi Penelitian Kualitatif..</em> Bandung: Rosda<br />
Sobur, Alex. 2006. <em>Analisis Teks Media.</em> Bandung: Rosda<br />
Sumadiria, Haris. 2006. <em>Bahasa Jurnalistik.</em> Bandung: Simbiosa Rekatama Media<br />
Surachmat, Pawito. 1989. <em>PenelitianBahasa dan Budaya</em>. Bandung: Citra Aditya Bakti<br />
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogya: Tiara Wacana<br />
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda<br />
Rahzen, Taufik. 2007. Tanah Air Bahasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia<br />
<br />
</span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com17tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-45127827689146796942010-05-20T03:30:00.000-07:002010-05-20T03:30:50.859-07:00Analisis Wacana Iklan Operator Seluler di Jawa Pos-Radar MalangOleh<br />
<span class="fullpost">Lie, Michael Eliantono Adiseputra</span><br />
<br />
<br />
Abstrak: Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler yang ada di <em>Jawa Pos-Radar Malang</em> bulan Januari—Juni 2009. Data penelitian kualitatif ini berupa satuan wacana yang meliputi kata, frase, dan kalimat dan dianalisis menggunakan teknik analisis wacana deskriptif kualitatif.<br />
<br />
Hasil penelitian ini adalah deskripsi diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler. Diksi yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah diksi nonkhas dan diksi khas iklan tulis. Piranti kohesi yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler ialah piranti kohesi gramatikal (referensi, substitusi, dan konjungsi) dan leksikal (pengulangan). Struktur wacana yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler ini adalah (1) BU + SBU, (2) BU + SBU + B, (3) BU + SBU + P, (4) BU + SBU + B + P, (5) BU + SBU + P, dan (6) BU + P. <br />
<br />
Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, pembuat iklan hendaknya menggunakan kata-kata khusus, dapat memaksimalkan penggunakan jenis diksi yang lebih emotif, memanfaatkan aksen pada butir utama iklan, dan memanfaatkan diksi intertekstualitas dalam iklan. Calon konsumen hendaknya mencermati kata khusus yang digunakan untuk menekankan keuntungan berlebih. Para pendidik dapat memanfaatkan iklan untuk pengajaran tentang diksi. Kedua, pembuat iklan dapat menggunakan substitusi untuk meringkas iklan dan hendaknya lebih sering menggunakan piranti konjungsi contohan dalam iklan, dan menggunakan piranti konjungsi tegasan untuk lebih meyakinkan calon konsumen. Ketiga, pembuat iklan hendaknya menampilkan informasi yang penting untuk diketahui calon konsumen dan menggunakan struktur iklan BU + SBU + B + P. Calon konsumen hendaknya lebih mencermati penutup iklan karena pada umumnya pembuat iklan menyajikan informasi cukup penting pada bagian ini.<br />
<br />
Kata Kunci: analisis wacana, iklan cetak, operator seluler<br />
<br />
<br />
Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mempromosikan suatu produk dan memotivasi pembeli potensial (Agustrijanto, 2006:7). Di sinilah terjadi penyampaian pesan dari produsen yang diwakili biro iklan kepada calon konsumen. Hal ini menandakan terjadinya interaksi searah dalam bentuk komunikasi dari produsen ke calon konsumen. <br />
<br />
Pada umumnya iklan tak lepas dari penggunaan bahasa agar pesan dapat diterima dengan baik. Penggunaan bahasa iklan menjadi salah satu aspek penting bagi keberhasilan iklan. Tujuannya untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik dengan sesuatu yang diiklankan.<br />
<br />
Penggunaan bahasa dalam iklan membuat iklan dapat digolongkan dalam wacana. Sebagai wacana, iklan memiliki keutuhan makna, sehingga wacana iklan dapat dianalisis secara kebahasaan. Hal-hal yang dapat dianalisis dari wacana iklan di antaranya adalah diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana. <br />
<br />
Wacana iklan menarik untuk diteliti karena iklan dapat mengubah prilaku calon konsumen yang awalnya tidak berniat membaca atau mendengarkan sebuah iklan menjadi tertarik untuk menyimak suatu iklan. Bahkan calon konsumen dapat terpengaruh untuk menggunakan produk yang diiklankan (Martutik, 1992:1). Karena topik wacana iklan menarik untuk diteliti, maka dilakukan penelitian wacana iklan operator seluler. Tujuannya ialah mendeskripsikan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler, <br />
<br />
<br />
<br />
METODE PENELITIAN<br />
<br />
Penelitian Analisis Wacana Iklan Operator Seluler di Jawa Pos-Radar Malang ini menggunakan rancangan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah satuan-satuan wacana. Satuan-satuan wacana itu berupa kata, frase, dan kalimat yang ada dalam wacana iklan. Ditinjau dari media pemuatan iklan tersebut, data yang ada berupa wacana tulis. Data-data ini bersumber dari iklan operator seluler yang diiklankan pada media cetak Jawa Pos-Radar Malang pada Januari—Juni 2009 yang diseleksi berdasarkan (1) iklan operator seluler berjenis non-advertorial, (2) iklan produk yang menawarkan layanan maupun barang, (3) data yang sama tidak diambil lagi sebagai korpus data. Dari hasil pemilihan ini, data yang terkumpul adalah 93 data iklan operator seluler. <br />
<br />
Sesuai dengan ciri penelitian kualitatif, data yang diambil dalam penelitian jenis ini s menunjukkan adanya penggunaan pola yang berulang. Atas dasar itulah, peneliti hanya menggunakan Jawa Pos-Radar Malang sebagai sumber data. Pemilihan media ini sebagai sumber data karena kualitas cetakan lebih baik daripada harian lainnya.<br />
<br />
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dokumentasi. Setelah itu, peneliti melakukan klasifikasi iklan dengan pengkodean, mencatat diksi, mencatat piranti kohesi, dan struktur wacana yang digunakan pada setiap iklan ke dalam tabel pengamatan, mendeskripsikan, dan menganalisis data tersebut. <br />
<br />
Data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis wacana yang dipaparkan secara deskriptif kulitatif, yaitu dengan memaparkan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler. Wacana-wacana yang dianalisis adalah wacana yang sesuai dengan kriteria-kriteria iklan yang telah ditentukan sebelumnya.<br />
<br />
<br />
<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
<br />
Dari penelitian terhadap temuan data dapat dideskripsikan diksi, piranti kohesi dan struktur wacana yang terdapat dalam wacana yang terdapat pada wacana iklan cetak operator seluler. Deskripsi hasil penelitian ini akan dilengkapi dengan pembahasan terhadap hasil penelitian. <br />
<br />
Diksi<br />
<br />
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan agar selaras dengan yang tepat untuk mengungkapkan gagasan sehingga menimbulkan efek tertentu yang diinginkan. Diksi yang ditemukan pada iklan operator seluler yang dianalisis adalah diksi nonkhas dan diksi khas. Diksi nonkhas ialah diksi yang berupa kata umum-khusus, kata abstrak-konkret, kata emotif-kurang emotif (Keraf, 1984; Suparno dan Yunus, 2002), sedangkan diksi khas iklan berupa diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur, dan diksi intertekstualitas (Goddard, 1998). <br />
<br />
Penggunaan kata umum dan khusus tampak pada iklan esia berikut.<br />
<br />
(1) Hape esia Fu<br />
<br />
Mari (a) membuka peruntungan, (b) menggapai kebahagiaan di tahun baru Imlek! Dengan hape esia Fu, sebagai hape pertama di Indonesia yang dilengkapi aplikasi: Fengshui & Fortune Cookies* Kalender Fu (kalender keberuntungan) <br />
<br />
Cuma Rp 299 ribu (c) Harga sudah termasuk PPN Gratis 240.000 karakter<br />
<br />
SMS Diskon 50% (d) nelpon ke Cina, Hongkong, dan Singapura sepanjang<br />
<br />
tahun 2009 dengan menggunakan kode awal 01010. Contoh nelpon ke Cina: 01010861064823600. (H104)<br />
<br />
Pada kutipan (1) yang merupakan iklan Hape Esia Fu di atas terdapat dua kata umum (membuka dan harga) dan dua kata khusus. Kata umum itu adalah “membuka” (a) dan “harga” (c), sedangkan kata khusus adalah “menggapai” (b) dan “nelpon” (d). <br />
<br />
Kata “membuka” memiliki definisi ‘menjadikan tidak tertutup atau tidak bertutup’. Kata ini memiliki beberapa kata khusus yaitu menyingkap, merintis, mengurai, menanggalkan, meretas, dan mengungkap. Kata “harga” memiliki definisi ‘nilai barang yang ditentukan atau dirupakan dengan uang’. Kata khusus dari harga adalah tarif. <br />
<br />
Kata “menggapai” memiliki definisi ‘mengulur-ulurkan tangan hendak mencapai atau memegang’. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa kata umum dari ‘menggapai’ adalah mencapai. Kata “nelpon” yang merupakan ragam cakapan yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari yang berasal dari kata “menelepon”. Kata “menelepon” adalah kata khusus dari bercakap-cakap. Penggunaan kata umum-khusus juga dapat dilihat pada iklan Telkomsel berikut.<br />
<br />
(2) SMS PRO mengatur SMS datang biar saat-saat tak terganggu<br />
<br />
Dapatkan Telkomsel SMS PRO, (a) layanan terbaru yang memberikan kemudahan dan kelebihan dan ber-SMS.<br />
<br />
SMS (b) Auto Reply<br />
<br />
Persis email, Anda bisa menjawab pesan secara (c) otomatis.<br />
<br />
SMS (d) Copy<br />
<br />
SMS (e) dialihkan ke nomor lain, Anda dapat copy-nya, berita pentingpun tak hilang.<br />
<br />
SMS (f) Divert<br />
<br />
Mengalihkan setiap sms yang masuk ke nomor lain.<br />
<br />
SMS (g) Blacklist<br />
<br />
(h) Memblok SMS dari 10 nomor yang tak diinginkan, tanpa diketahui si pengirim.<br />
<br />
SMS (i) Whitelist<br />
<br />
Cuma SMS penting dari 10 nomor tertentu yang boleh mengganggu.<br />
<br />
Caranya:<br />
<br />
Ketik MENU lalu SMS ke 2255 dan ikuti (j) petunjuknya. (A605) <br />
<br />
Pada kutipan (2) di atas digunakan kata umum maupun khusus. Kata umum yang digunakan adalah “layanan”, “dialihkan”, dan “petunjuknya”, sedangkan kata-kata khusus yang digunakan adalah “auto reply”, “otomatis”, “copy”, “divert”, “blacklist”, “memblok” dan “whitelist”. <br />
<br />
Kata “layanan” (a) memiliki definisi ‘kemudahan yang diberikan kepada seseorang’. Kata yang lebih khusus dari “layanan” adalah servis. Kata “dialihkan” (e) memiliki definisi ‘dipindahkan’. Kata yang lebih khusus dari kata “dialihkan” ini adalah diverting (bandingkan kutipan f). Kata petunjuk berdefinisi ‘ketentuan yang memberi arah atau bimbingan bagaimana sesuatu harus dilakukan’, enklitik –nya pada kata “petunjuknya” mengacu pada tulisan yang ada di layar ponsel. Kata khusus dari “petunjuknya” (j) adalah instruksinya. <br />
<br />
Kata-kata khusus yang digunakan dalam iklan Telkomsel itu ialah kata-kata bahasa Inggris maupun bahasa yang diserap dari bahasa Inggris. Kata-kata khusus yang masih dalam bahasa Inggris adalah “auto reply” (b), “copy” (d), “divert” (f), “blacklist” (g), dan “whitelist” (i), sedangkan kata-kata khusus yang merupakan unsur serapan adalah “otomatis” (c) dan “memblok” (h).<br />
<br />
Frase “auto reply” memiliki definisi menjawab dengan sendirinya’. Kata “copy” memiliki definisi ‘tindasan (surat dan sebagainya); tembusan; turunan’. Kata “divert” memiliki definisi ‘pindah atau alih’. Kata “blacklist” memiliki definisi ‘daftar nama (nomor) orang atau organisasi yang dianggap membahayakan keamanan’. Sebaliknya, kata “whitelist” dapat didefinisikan sebagai ‘daftar nama (nomor) orang atau organisasi yang dianggap tidak membahayakan keamanan’. Kata khusus tersebut dapat diganti dengan terjemahan bahasa Indonesia agar menjadi lebih umum, yaitu: jawab dengan sendirinya (b), tindasan (d), pengalihan (f), daftar hitam (g), daftar putih (i).<br />
<br />
Kata konkret dan kata abstrak ditemukan dalam data iklan operator seluler. Penggunaan kata konkret terdapat pada iklan mentari berikut.<br />
<br />
(3) Baru! (a) Kartu perdana AXIS lebih banyak gratisnya<br />
<br />
10 menit nelpon ke semua AXIS<br />
<br />
10 SMS ke semua AXIS<br />
<br />
1 MB akses data <br />
<br />
Pulsa perdana Rp 3000<br />
<br />
Termasuk bonus bulanan (D401)<br />
<br />
Frase “kartu perdana” ini merupakan kata konkret. Kartu adalah ‘kertas tebal, berbentuk persegi panjang’, sedangkan perdana berarti ‘pertama’. Kata “perdana” digunakan untuk menerangkan kata “kartu”. Keterangan yang dimaksud adalah kartu ini yang harus kali pertama dibeli agar dapat menggunakan telepon seluler. Kartu ini dapat dilihat keberadaannya. Kartu yang digunakan dalam telepon seluler ini berbentuk persegi panjang dengan ketebalan 2 milimeter dengan sirkuit berwarna emas di tengah-tengahnya. <br />
<br />
Selain kata konkret, pada iklan operator seluler dapat dijumpai penggunaan kata abstrak. Kata abstrak terdapat pada iklan esia sebagai berikut.<br />
<br />
(4) Mari membuka (a) peruntungan, menggapai (b) kebahagiaan di tahun baru<br />
<br />
Imlek! Dengan hape esia Fu, sebagai hape pertama di Indonesia yang dilengkapi aplikasi : Fengshui & Fortune Cookies* Kalender Fu (kalender keberuntungan) (H104)<br />
<br />
“Peruntungan” dan “kebahagiaan” adalah kata absrak karena kata-kata tersebut tidak dapat dirasakan kehadirannya lewat pancaindra. Kata “peruntungan” (a) adalah suatu keadaan untung maupun malang yang telah digariskan oleh Tuhan atau nasib. Tanpa adanya keterangan bentuk peruntungan yang dimaksud, kata ini masih abstrak. Sama halnya dengan kata “kebahagiaan” (b), kata yang memiliki arti ‘perasaan bahagia, kesenangan dan ketentraman’ ini hanya berupa konsep jika tidak ada suatu aktivitas atau suasana yang menunjukkan bahwa sesorang atau kelompok orang memperoleh kebahagiaan. <br />
<br />
Kata kurang emotif dan lebih emotif ditemukan dalam data iklan cetak operator seluler. Penggunaan kata lebih emotif ini dapat dilihat pada iklan Fren ini. <br />
<br />
(5) (a) Nelpon Pake Fren Bayarnya (b) Pake Daun<br />
<br />
(c) Sobat baru kamu!<br />
<br />
Gratis nelpon dari Fren Sobat ke semua Fren. Beli 1 Dapat 4 nomor. SMS diskon 70% ke semua operator. Bonus isi ulang 400% Conference call ke semua Fren. Aktif 8 bulan<br />
<br />
Mobile-8 Customer Care: 0888-185-6868 atau 888 dari Fren Kamu www.mobile-8.com. Hanya Tersedia di Jawa & Bali. (F102)<br />
<br />
Kata “nelpon” (a), “pake” (b), dan “sobat” (c) pada kutipan di atas adalah kata-kata yang lebih emotif. Kata-kata ini berasal dari bahasa yang digunakan dalam percakapan tidak resmi. Kata “nelpon” memiliki kata yang kurang emotif yaitu menelepon yang memiliki arti ‘kegiatan bercakap-cakap (memanggil melalui pesawat telepon). Kata “pake” memiliki kata yang kurang emotif yaitu “memakai” (menggunakan). Kata “sobat” memiliki kata yang kurang emotif yaitu sahabat (teman). Tujuan dari penggunaan kata-kata yang lebih emotif ini adalah memperpendek jarak sosial antara pengiklan dan konsumen.<br />
<br />
Kata yang kurang emotif digunakan pada iklan simPATI berikut.<br />
<br />
(6) simPATI setia menemani ke mana pun (a) engkau melangkah<br />
<br />
Di mana pun Anda berada simPATI selalu hadir menemani dengan jangkauan terluas dan fasilitas layanan yang terlengkap. (A505)<br />
<br />
Kata engkau dan Anda pada kutipan di atas adalah kata yang kurang emotif. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan kutipan (11), kata lebih emotif dari “engkau” dan “Anda” adalah kamu.<br />
<br />
Dari hasil analisis data terdapat diksi khas iklan tulis (cetak) yang digunakan dalam iklan operator seluler. Diksi iklan cetak yang digunakan pada iklan operator seluler diklasifikasi menjadi tiga kelompok besar, yaitu diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur, dan diksi intertekstualitas.<br />
<br />
Dalam iklan yang dianalisis ditemukan penggunaan sudut pandang orang pertama dan ketiga sebagai narator iklan. Pada sudut pandang orang pertama digunakan kata “aku” dan “-ku”. Sudut padang orang ketiga dapat dilihat dari penggunaan nama produk atau gabungan nama perusahaan dan produk.<br />
<br />
Contoh diksi yang menunjukkan narator iklan yang menggunakan sudut padang orang pertama adalah sebagai berikut.<br />
<br />
(7) Capek nelpon putus nyambung, makanya aku ganti kartu aja pake esia! (H601)<br />
<br />
Kata “aku” adalah pronomina orang pertama. Maksud dari kata “aku” pada iklan ini (7) adalah orang berkostum jagoan yang ditampilkan pada visual iklan esia itu. Orang inilah yang menjadi narator iklan pada iklan esia Termurah di atas (7). <br />
<br />
Berikut contoh data yang menggunakan diksi yang menunjukkan narator iklan menggunakan sudut pandang orang ketiga yang berupa nama produk. <br />
<br />
(8) Logo: AXIS<br />
<br />
Tagline: GSM yang baik<br />
<br />
Termurah nelpon ke semua operator lain<br />
<br />
hanya Rp300 per menit Kapan saja, di mana saja<br />
<br />
Nelpon pake AXIS ke semua telepon rumah dan operator lain se-Indonesia selama 3 menit cukup bayar 1 menit dan berulang untuk kelipatannya. (D601)<br />
<br />
Selain operator di atas, iklan operator lainnya menggunakan gabungan antara nama produk dan nama perusahaan. Dari hasil analisis data diketahui bahwa operator yang menggunakan bentuk ini umumnya adalah operator yang memiliki berbagai variasi produk, kecuali Ceria. Berikut ini adalah contoh iklan Ceria yang menggunakan bentuk ini.<br />
<br />
(9) Logo: (a) Ceria<br />
<br />
Tagline: Jelas Terjangkau <br />
<br />
Ceria Internet hanya Rp208/jam*!<br />
<br />
Info: 0828 1700 1700<br />
<br />
Kecepatan hingga 153 kbps. Koneksi, stabil!, Instalasi mudah, langsung nge-Net! Bisa Telepon & SMS!<br />
<br />
Penawaran harga paket Ceria Internet:<br />
<br />
Paket Rp150.000 unlimited masa aktif 30 hari <br />
<br />
Paket Rp100.000 selama 130 jam masa aktif 30 hari <br />
<br />
Paket Rp50.000 selama 60 jam masa aktif 30 hari <br />
<br />
Paket Rp20.000 selama 18 jam masa aktif 10 hari <br />
<br />
Paket Rp10.000 selama 8 jam masa aktif 5 hari <br />
<br />
Hanya Rp599ribu! (sudah termasuk Kartu Perdana, Pulsa 10 ribu & PPN)<br />
<br />
Ceria Internet adalah kerjasama (b) PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia dengan PT Centrin Online Tbk (I501)<br />
<br />
Pada iklan dalam kutipan (9) terdapat nama produk yang diiklankan yaitu “Ceria” (a) dan perusahaan produsen produk yaitu “PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia” (b).<br />
<br />
Penggunaan diksi pun dapat menentukan siapa sasaran pembaca yang dituju suatu iklan. Dalam iklan esia berikut digunakan kata-kata yang menunjukkan lokasi sasaran.<br />
<br />
(10) Nggawe esia murahnya sepanjang hari…<br />
<br />
murahnya sepanjang hari, setiap hari…<br />
<br />
Nelpon termurah ke semua nomor telepon rumah & CDMA lokal 0341 cuma Rp 50/30 dtk<br />
<br />
sepanjang hari, setiap hari s/d 31 Maret 2009<br />
<br />
Berlaku di Malang (Promo sejenis berlaku di seluruh Jawa Timur, info klik www.myesia.com) (H101)<br />
<br />
Iklan esia (10) menunjukkan bahwa sasaran pembaca adalah orang yang berdomisili di daerah yang menggunakan bahasa Jawa. Kata “nggawe” berarti memakai dalam bahasa Jawa. Dalam konteks iklan ini, sasaran pembaca yang dimaksud adalah pembaca yang berdomisili di daerah Malang dan sekitarnya. <br />
<br />
Penggunaan bahasa Jawa kasar ini dimaksudkan untuk memperpendek jarak hubungan sosial pembaca dan penulis iklan. Penggunaan bahasa Jawa kasar ini menekankan kedudukan yang setara antara pengiklan dan sasaran iklan. <br />
<br />
Diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan ini dikatakan sebagai diksi khas iklan tulis karena narator dan sasaran iklan tidak ditunjukkan melalui suara narator secara langsung. Akan tetapi, narator dan sasaran iklan ditunjukkan oleh penggunaan kata-kata yang diwujukan melalui teks tulis. <br />
<br />
Dalam iklan operator seluler dalam media surat kabar digunakan diksi akspek tutur (diksi yang digunakan pada pembicaraan nyata), yaitu deiksis, fitur prosodi, aksen, alih topik, informasi bersama dan informasi baru, gaya akrab.<br />
<br />
Bentuk deiksis yang ditemukan dalam iklan operator seluler ada dua jenis, yaitu: deiksis waktu dan deiksis persona. Deiksis ini tidak selalu digunakan pada setiap iklan operator seluler. <br />
<br />
Deiksis waktu yang digunakan adalah sekarang, kini, dan kali ini. Deiksis waktu yang menggunakan kata sekarang dapat dilihat pada iklan XL berikut. <br />
<br />
(11) Pake XL murahnya langsung dari awal.<br />
<br />
Sekarang nelpon pake XL 15X lebih murah dibanding operator lain. <br />
<br />
Bahkan nelpon lamaan dikit diskon 90%. (C203)<br />
<br />
Kata “sekarang” pada kutipan (11) oleh seorang pengiklan dimaknai pada saat iklan itu terbit. Akan tetapi, pembaca akan memaknai kata “sekarang” sebagai waktu pada saat pembaca membaca iklan itu. Maka dari itu, pada iklan tertentu kadangkala diberikan keterangan masa berlaku promosi. <br />
<br />
Deiksis persona juga digunakan dalam iklan operator seluler di media cetak. Deiksis yang digunakan adalah kata “kamu”, “-mu”, “Anda”. Penggunaan kata kamu dapat ditemukan pada iklan StarOne berikut.<br />
<br />
(12) Buruan, miliki HP ZTE C310 StarOne PINTER sekarang!<br />
<br />
Cuma Rp 256.000 dan kamu bisa menikmati gratis 6 bulan nelpon ke nomor lokal StarOne dan SMS ke semua nomor StarOne. (B305)<br />
<br />
Kata “kamu” sebagai pronomina orang kedua pada iklan StarOne di atas (12) merujuk pada pembaca iklan. Jadi, apabila orang yang membaca iklan ini bernama A, maka yang dimaksud dengan “kamu” adalah A, sedangkan apabila B yang membaca iklan ini, maka yang dimaksud “kamu” adalah B.<br />
<br />
Fitur prosodi yang digunakan pada iklan operator ini berupa seruan keras dan ujaran panjang. Seruan keras ditunjukkan dengan tanda seru yang lebih dari satu dan ujaran panjang ditandai dengan beberapa titik.<br />
<br />
(13) HARGA TERMURAH!!! Bayar cuma Rp 5.000,- Dapet Rp 5.000,- (masa aktif 30 hari) (H101)<br />
<br />
(14) Asiiikkk… Kartu As Kasih 300 SMS Gratis Setiap Hari. (A105)<br />
<br />
Pada kutipan (14), frase harga termurah ditulis dengan huruf kapital semua dan memakai tiga tanda seru. Pengguanan huruf kapital semua pada frase “harga termurah” menggambarkan adanya penekanan, sedangkan penggunaan tiga buah tanda seru menandakan adanya seruan keras. Fitur prosodi berupa ujaran panjang digunakan pada kutipan (15) dengan penandaan tiga buah titik dan pemanjangan dua fonem terakhir yakni /i/ dan /k/. <br />
<br />
Penggunaan aksen yang merupakan penggunaan kata sedaerah fonetis digunakan pada iklan kartu As pada kutipan (15), frase “Asiiikkk… Kartu As Kasih” memiliki kedekatan fonetik, asik dengan as, kartu dengan kasih. Asik dan kasih merupakan kata-kata dalam bahasa gaul. Asik adalah bentuk bahasa gaul dari kata “asyik” yang digunakan untuk mengungkapkan ekspresi kesenangan, sedangkan kata “kasih” adalah kata dalam bahasa gaul yang berarti ‘memberikan’. <br />
<br />
Pengalihan topik juga terjadi pada iklan operator seluler. Contoh pengalihan topik ini dapat dilihat pada iklan TelkomFlexi berikut.<br />
<br />
(16) Flexi ke Telpon Rumah Terbukti Termurah<br />
<br />
Gak cuma di beberapa kota, tapi se-Indonesia<br />
<br />
cuma Rp 35/menit<br />
<br />
Ikuti Paket Tagihan Tetap Flexi ke Telpon Rumah dan nikmati tarif termurahnya!<br />
<br />
Flexi Rp 35/menit CDMA A Rp 80/menit CDMA B Rp 250/menit CDMA C Rp 850/menit<br />
<br />
Flexi ke flexi tetap gratis<br />
<br />
Se-komunitas, se-Indonesia<br />
<br />
Informasi: TELKOM 147 atau www.telkomflexi.com<br />
<br />
yestv your entertainment solution Anda ingin berlangganan televisi berbayar? Hubungi 14047 (G502)<br />
<br />
<br />
Pada iklan (16) terjadi pengalihan topik dari tarif flexi ke telepon rumah ke penawaran televisi berbayar. Pengalihan penawaran antara flexi dan yestv ini dilakukan karena antara dua produk ini masih bernaung pada kelompok usaha yang sama, yaitu TELKOM. <br />
<br />
Asumsi adanya informasi pengetahuan bersama digunakan pada beberapa iklan. Salah satu iklan tersebut adalah iklan esia berikut.<br />
<br />
(17) Yang lain cuma ke sesama, esia murah ke semuanya! (H102)<br />
<br />
Yang dimaksud dengan yang lain pada kutipan iklan (17) di atas adalah operator seluler lain di Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengetahui bahwa operator seluler di Indonesia selain esia adalah Telkomsel, Indosat, XL, AXIS, 3, Mobile-8, TelkomFlexi, Ceria. <br />
<br />
Informasi baru tentu juga diberikan dalam iklan. Sebelum membaca iklan ini orang tidak tahu tentang informasi ini. Contohnya terdapat pada iklan berikut.<br />
<br />
(18) Lebih untung pake HP AXIS Hoki<br />
<br />
HP layar warna pertama yang membuatmu lebih untung<br />
<br />
Gratis setiap bulan<br />
<br />
Nelpon 25 menit 250 SMS Pulsa Rp 2.500<br />
<br />
Nikmati segera semua keuntungan di atas dengan harga terjangkau Hanya Rp 249 ribu<br />
<br />
Dapatkan di AXIS Center serta di toko-toko HP di kotamu. <br />
<br />
Promosi AXIS selalu murah dan jujur. (D302)<br />
<br />
<br />
Sebelum adanya iklan ini (18) orang tidak mengetahui bahwa AXIS telah mengeluarkan produk baru yang bernama AXIS Hoki. Informasi baru lainnya adalahh keuntungan ponsel AXIS Hoki serta harganya.<br />
<br />
Iklan juga menggunakan diksi yang bisa membentuk keakraban dengan calon pengguna layanan. Contoh dapat dilihat pada iklan Smart berikut.<br />
<br />
(19) Murahnya Komplit!<br />
<br />
Cuma Smart yang murahnya 24 Jam, bukan promo!<br />
<br />
Telepon lokal, interlokal, SMS serta internetan, murah! Hebatnya lagi, biar cuma pakai Rp 10 dalam seminggu, Smart kamu bisa aktif terus.<br />
<br />
Smart, terus-terusan murahnya, terus-terusan aktifnya!<br />
<br />
Interlokal ke operator lain Rp10/detik<br />
<br />
Interlokal ke sesama Smart Rp1/detik<br />
<br />
SMS ke semua operator Rp50/SMS<br />
<br />
Internet Rp0,275/KB<br />
<br />
Murahnya Komplit 24 Jam Bukan Tarif Promo<br />
<br />
Customer Care 088 11 22 33 44 <br />
<br />
881 (dari nomor Smart)<br />
<br />
www.smart-telecom.co.id (J201)<br />
<br />
Pada iklan Smart di atas (19) kata-kata yang digunakan adalah kata sehari-hari yang emotif. Kata-kata emotif yang digunakan adalah “komplit”, “cuma", “hebatnya lagi” “biar”, “kamu”, “bisa”, “terus-terusan”.<br />
<br />
Diksi intertekstual dijumpai pada iklan yang mempunyai teks acuan sebelumnya. Diksi ini dapat ditemui pada tagline iklan operator seluler 3 dan AXIS.<br />
<br />
Tagline Operator 3 “3, Jaringan GSM-mu” mengacu pada tagline lama “3, Jaringan Seluler-mu”. Penggantian yang terjadi pada akhir tahun 2007 ini mempertegas bahwa operator 3 beoperasi pada Jaringan GSM.<br />
<br />
Tagline AXIS juga berasal dari penyimpulan iklan yang pernah diiklankan AXIS pada tahun 2008. Iklan ini menyatakan bahwa “murah itu baik, langsung itu baik, jujur itu baik”. Pada waktu iklan itu dibuat tarif AXIS memang murah, langsung (dihitung dari detik pertama), dan jujur (tanpa syarat dan ketentuan berlaku).<br />
<br />
Diksi intertekstual merupakan diksi khas iklan karena kata-kata ini memiliki hubungan antarteks. Hubungan ini terjadi karena bila iklan dikaitkan dengan iklan yang telah muncul sebelumnya. <br />
<br />
<br />
Piranti Kohesi<br />
<br />
Piranti kohesi adalah bentuk linguistik yang digunakan sebagai penghubung unsur-unsur wacana sehingga terbentuk suatu hubungan kohesif (Rani, 2004). Piranti kohesi gramatikal yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah referensi, substitusi, dan konjungsi. Referensi yang digunakan ialah referensi anafora dan katafora. Substitusi yang digunakan ialah substitusi katafora. Konjungsi yang digunakan adalah konjungsi piranti penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan.<br />
<br />
Referensi anafora adalah referensi yang antesedennya berada di sebelah kiri pronomina. Referensi anafora yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah sebagai berikut.<br />
<br />
(20) Gratis Sunlight setiap isi pulsa Mentari & IM3<br />
<br />
lebih senang! Isi ulang pulsa ada bonusnya. (B202) <br />
<br />
Enklitik –nya pada kata “bonusnya” mengacu pada referensi “Sunlight”. “Sunlight” yang merupakan produk sabun cuci piring akan diberikan sebagai tambahan barang yang didapat dalam pembelian setelah melakukan pengisian pulsa. Enklitik ini merupakan jenis pronomina noninsani terasingkan sebab “Sunlight” dan bonus dapat dipisahkan. <br />
<br />
Referensi katafora juga digunakan pada iklan cetak operator seluler. Iklan simPATI berikut menggunakan referensi katafora noninsani.<br />
<br />
(21) Puas (a) kualitasnya, puas (b) murahnya<br />
<br />
Tarif hemat (c) simPATI Rp 0,5/detik tetap bikin puas (A104)<br />
<br />
Enklitik –nya (a, b) pada iklan di atas memiliki acuan yang sama yaitu simPATI (c). Acuan yang sama ini memiki maksud bahwa layanan simPATI membuat puas para pelanggannya, baik dari segi kualitas maupun tarif murah. <br />
<br />
Penggunaan substitusi anafora digunakan pada iklan operator seluler untuk menggantikan frase, klausa, maupun kalimat. Substitusi ini digunakan pada iklan operator kartu As berikut.<br />
<br />
(22) Nelpon Lama cuma Rp 1000 Pagi Siang Malam<br />
<br />
Tekan #1<nomor tujuan=""><br />
<br />
(a) Pake Kartu As, nelpon lama kapan aja, pagi siang atau malam sama murahnya. (b) Caranya gampang. Tekan #1<nomor tujuan=""> Contoh: #10852xxxxxxxx (A301)<br />
<br />
Pada iklan kartu As (22) di atas terdapat penggunaan substitusi anafora. Enklitik –nya pada kata “caranya” (b) menggantikan keseluruhan frase “pake kartu As, nelpon lama kapan aja, pagi siang atau malam sama murahnya” (a). Penggunaan substitusi ini untuk menghindari penyebutan kalimat secara berulang.<br />
<br />
Penggunaan konjungsi ditemukan dalam data iklan operator seluler yang dianalisis. Jenis-jenis konjungsi yang digunakan pada iklan operator seluler adalah penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan.<br />
<br />
Piranti konjungsi berupa penambahan dapat ditemukan pada iklan IM3 berikut.<br />
<br />
(23) kalo bosan mending SMS-an<br />
<br />
(a) Per SMS Rp 0,1 seharian. Nikmati juga (b) nelpon Rp 0,1 per detik sampe puas bangeetss! (B101)<br />
<br />
Kata “juga” berfungsi untuk menambahkan informasi baru pada pembaca bahwa selain biaya SMS yang memiliki tarif Rp 0,1 yang disebutkan pada butir (a), tarif percakapan per detik operator IM3 adalah Rp 0,1 (b). Hal ini memberikan informasi kepada pembaca bahwa tarif murah IM3 berlaku untuk SMS dan percakapan.<br />
<br />
Piranti konjungsi sebab-akibat ditemukan dalam iklan operator seluler yang berpola akibat-sebab seperti pada iklan Telkomsel berikut ini.<br />
<br />
(24) 14 menit nelpon GRATIS <br />
<br />
(a) Cerita ke semua orang tanpa ada habisnya tentang fasilitas baru dari kantor<br />
<br />
14 kali SMS GRATIS<br />
<br />
(b) Kesempatan untuk lebih dekat dengan semua cucu.<br />
<br />
14 kali MMS GRATIS<br />
<br />
(c) Pamerkan belanjaan Anda ke semua teman yang sedang di kantor.<br />
<br />
Karena (d) di ulang tahun ke-14, TELKOMSEL memanjakan Anda pelanggan kartuHALO dengan hadiah 14 menit nelpon gratis, 14 SMS gratis, dan 14 MMS gratis. Nikmati berkomunikasi lebih leluasa! (A502)<br />
<br />
Iklan di atas (24) menggunakan piranti sebab-akibat “karena” untuk memadukan gagasan antara akibat dan sebab. Pada butir (a), (b), (c) disebutkan tiga buah aktivitas yang dapat dilakukan pelanggan kartuHALO. Kesemuanya itu dapat dilakukan sebab ada hadiah sebagai wujud ucapan terima kasih Telkomsel kepada pelanggan kartuHALO. Pernyataan tentang sebaban ini dapat dilihat pada butir (d).<br />
<br />
Piranti simpulan dapat ditemukan dalam iklan AXIS berikut.<br />
<br />
(25) (a) Menelepon ke Arab Saudi lebih murah, Cuma Rp 1388/menit<br />
<br />
Jadi dengan AXIS, (b) menelepon ke Arab Saudi sama dengan Rp 23/detik Tarif ini terbukti paling murah per menitnya dibandingkan dengan operator lain Nikmati menit-menit menelepon berharga kamu bersama AXIS Cukup tekan 01012<kode negara=""><nomor tujuan=""> Contoh: 01010129661234567 (D102)<br />
<br />
Iklan AXIS itu (25) menggunakan piranti simpulan untuk menyimpulkan tarif murah AXIS. Pada butir (a) disebutkan bahwa tarif menelpon ke Arab Saudi menggunakan operator ini hanya Rp1.388/menit. Dari pernyataan itu ditarik kesimpulan tarif per detik menelpon ke Arab Saudi. Piranti simpulan “jadi” digunakan untuk memadukan antara kalimat (a) dan (b). <br />
<br />
Pada iklan operator seluler ditemukan penggunaan piranti contohan. Piranti contohan menghubungkan antara contoh dengan kalimat sebelumnya. Piranti contohan terdapat pada iklan berikut.<br />
<br />
(26) (a) Diskon 50% nelpon ke Cina, Hongkong, dan Singapura sepanjang tahun 2009 dengan menggunakan kode awal 01010. Contoh (b) nelpon ke Cina : 01010861064823600. (H104)<br />
<br />
Iklan di atas menggunakan piranti contohan dengan kata “contoh”. Kalimat yang berada di belakang kata contoh (b) itu adalah penjelas dalam bentuk nyata dari penggunaan kode awal 01010 seperti yang disebutkan pada (a). Dengan adanya contoh ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami cara penggunaan fasilitas ini. <br />
<br />
Penggunaan piranti tegasan digunakan untuk menegaskan kembali kalimat sebelumnya agar dapat segera dipahami. Piranti ini digunakan pada iklan XL berikut.<br />
<br />
(27) Pake XL murahnya langsung dari awal.<br />
<br />
Sekarang nelpon pake XL 15X lebih murah dibanding operator lain. <br />
<br />
Bahkan nelpon lamaan dikit diskon 90%. (C203)<br />
<br />
Kata “bahkan” pada iklan di atas (27) digunakan untuk penegasan. Yang ingin ditegaskan dari iklan itu adalah tarif XL yang murah dan makin lama makin murah karena bila menelpon dalam jangka waktu yang lama pengguna akan memperoleh potongan harga sebesar 90% dari harga normal. <br />
<br />
Piranti kohesi leksikal yang digunakan berupa pengulangan. Bentuk pengulangan yang terdapat dalam iklan operator yang dianalisis berupa pengulangan penuh, pengulangan dengan bentuk lain, dan pengulangan dengan penggantian.<br />
<br />
Bentuk pengulangan penuh yang ditemukan pada iklan operator seluler dapat berupa pengulangan nama produk, pengulangan jenis layanan yang diiklankan, pengulangan kata ganti, pengulangan keunggulan produk, dan pengulangan lainnya. Contoh bentuk pengulangan penuh nama produk dapat dilihat pada kutipan iklan Kartu As berikut.<br />
<br />
(28) Asiiikkk… (a) Kartu As Kasih 300 SMS Gratis Setiap Hari<br />
<br />
*899#<br />
<br />
SMS-an pake (b) Kartu As makin Asik cukup hubungi *899# dari nomor (c) Kartu As kamu & nikmati 300 SMS Gratis setiap hari dari pukul 00.00 - 19.00 waktu setempat. Berlaku untuk semua (d) Kartu As termasuk (e) Kartu As Fress.<br />
<br />
Berlaku mulai 7 Januari 2009<br />
<br />
Berlaku ke sesama pelanggan Telkomsel <br />
<br />
Bisa juga Gift SMS ke sesama pengguna (f) Kartu As caranya: hubungi *899# dan pilih menu 300 SMS Gratis, lalu pilih Gift<br />
<br />
Info lengkap hubungi 116 (GRATIS) atau klik www.telkomsel.com <br />
<br />
(A105)<br />
<br />
Pada iklan kartu As (28) di atas, nama produk “kartu As” diulang lima kali (a, b, c, d, dan, f). Sebenarnya kata “Kartu As” dalam iklan ini disebut enam kali, namun kata pada butir (e) tidak termasuk pengulangan penuh karena kata “Kartu As Fress” menjadi satu kesatuan yang merupakan varian dari produk “Kartu As” yang menawarkan fasilitas lebih daripada kartu As reguler. Dengan pengulangan nama produk ini, maka secara tidak langsung pembaca akan mengingat-ingat bahwa yang ditawarkan adalah produk “Kartu As”. <br />
<br />
Pengulangan dengan bentuk lain juga ditemukan pada iklan operator seluler. Contoh penggunaan pengulangan dengan bentuk lain adalah sebagai berikut.<br />
<br />
(29) Setiap Isi Ulang Rp 50 ribu (a) Gratis Internetan Unlimited (b) selama 30 hari!<br />
<br />
Setiap isi ulang Rp 50.000 langsung (c) gratis internetan sepuasnya, (d) sebulan penuh! (J502)<br />
<br />
Frase “Gratis Internetan Unlimited” (a) pada iklan Smart di atas diulang dengan bentuk lain berupa frase “gratis internetan sepuasnya” (c). Unlimited berasal dari bahasa Inggris yang artinya ‘tanpa batas’. Dengan adanya fasilitas ini, pelanggan diasumsikan akan mengalami kepuasan. Oleh karena itulah, frase “Gratis Internetan Unlimited” (a) diulang dengan bentuk lain yaitu “gratis internetan sepuasnya” (c). Frase “selama 30 hari” (b) juga mengalami pengulangan dengan bentuk lain yaitu “sebulan penuh” (d). Dalam ekonomi, satu bulan dihitung 30 hari. Atas dasar inilah frase “selama 30 hari” (b) diulang dengan frase “sebulan penuh” (d).<br />
<br />
Pengulangan dengan penggantian juga ditemukan dalam iklan operator seluler. Pengulangan dalam bentuk ini sama dengan penggunaan piranti kohesi gramatikal substitusi.<br />
<br />
Struktur Wacana Iklan<br />
<br />
Struktur wacana iklan yang terdapat dalam wacana iklan cetak operator seluler terbentuk dari unsur pembangun wacana iklan, yaitu butir utama (BU), subbutir utama (SBU), badan (B), dan penutup (P). Dari analisis data diketahui bahwa unsur pembentuk wacana iklan itu memiliki enam pola struktur.<br />
<br />
Pola pertama yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.<br />
<br />
(30) (a) Fren selalu terbuka<br />
<br />
(b) Siap buka-bukaan? Klik www.mobile-8.com/sobat (F101)<br />
<br />
Kalimat “Fren selalu terbuka” (a) merupakan butir utama iklan Fren yang digunakan untuk membangkitkan rasa ingin tahu calon konsumen. Pembaca iklan akan terdorong untuk mengetahui maksud kalimat dalam butir utama dengan pertanyaan “apa yang dimaksud dengan kalimat (a) itu?” dan “mengapa dikatakan demikian?”. Penulis iklan memanfaatkan nama produk yang diiklankan dalam butir utama ini dengan cerdik, sehingga kalimat (a) mengandung pengertian ganda. Kata “Fren” dapat diartikan sebagai nama produk maupun ‘teman’, sehingga pembaca pun dibuat makin penasaran. Subbutir utama yang menjelaskan butir utama menggunakan kalimat pertanyaan yang menuntut perhatian lebih, yaitu “Siap buka-bukaan?” Pertanyaan yang menggoda itu mengandung arti “Apakah pembaca siap saling membuka dengan Fren”. Pembaca akan mendapatkan jawaban jika membuka alamat laman itu (b).<br />
<br />
Pola kedua yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + B. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.<br />
<br />
(31) (a) Malang, nikmati Layanan indosat broadband 3.5G<br />
<br />
(b) Speed gives you more<br />
<br />
(c) Akses lebih cepat hingga 3.6 Mbps Dapatkan paket unlimited mulai Rp 100.000 per bulan browsing apa aja, gak masalah! (B201)<br />
<br />
Butir utama pada iklan di atas bertujuan untuk menarik perhatian konsumen khusus. Butir utama pada iklan ini dapat dilihat pada kalimat (a). Kata yang berada pada awal kalimat (a), “Malang” menunjukkan bahwa sasaran iklan ini adalah masyarakat Malang. Kalimat subbutir utama (b) merupakan tagline dari produk indosat broadband 3.5G ini yang memiliki arti ‘kecepatan yang memberi Anda lebih”. Badan iklan ini (c) menampilkan alasan objektif. Alasan yang dimaksud adalah akses cepat internet hingga 3.6 mega bit per detik. Layanan ini dapat dinikmati dengan membayar minimal Rp100.000,00 per bulan untuk mengakses internet tanpa batas. <br />
<br />
Pola ketiga yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + P. Struktur ini ditemukan pada iklan Telkomsel Flash berikut.<br />
<br />
(32) (a) Internetan Sepuasnya Cuma Rp 125.000,-<br />
<br />
(b) Melaju Super Cepat di Dunia Maya Hingga 3.6 Mbps<br />
<br />
(c) Datangi layanan FLASH di booth Telkomsel Corner di Malang Town Square lantai dasar (setiap Jumat s.d. Minggu) selama bulan april<br />
<br />
(d) Syarat dan ketentuan berlaku<br />
<br />
(e) Hubungi 111 kartuHALO atau 0807 1811 811 dan (021) 5291 9811 dari fixed phone atau klik www.telkomsel.com/flash (A401)<br />
<br />
Butir utama iklan (a) menekankan keuntungan kepada calon konsumen. Keuntungan yang dimaksud adalah konsumen dapat memperoleh layanan internet sepuasnya hanya dengan Rp125.000,00. Butir utama ini diperjelas oleh keterangan subbutir utama pada (b) berupa kecepatan koneksi internet maksimal yang dapat diperoleh calon konsumen, yaitu 3,6 Mega Bit per Second. Bagian penutup iklan terdiri atas proposisi yang dikembangkan dengan teknik lunak dan butir pasif. Pengembangan penutup iklan dengan teknik lunak ditunjukkan pada kalimat (c). Calon konsumen diajak untuk mengunjungi stan FLASH Telkomsel Corner di Matos lantai pada bulan April setiap Jumat sampai Minggu. Kalimat (c) disebut dikembangkan dengan teknik lunak karena tidak memerintahkan konsumen untuk bertindak segera. Kalimat (d) memberi informasi kepada konsumen bahwa ada syarat dan ketentuan dalam penggunaan layanan dan hal itu tidak ditampilkan pada iklan ini. Kalimat (e) berisi imbauan kepada konsumen untuk menghubungi nomor layanan pelanggan Telkomsel atau mengunjungi laman jejaring Telkomsel.<br />
<br />
Pola keempat yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + B + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.<br />
<br />
(33) (a) Minta ang pao ke China, hanya 234/mnt.<br />
<br />
(b) Juga ke Hong Kong dan Taiwan.<br />
<br />
Gong Xi, Gong Xi, Gong Xi Fat Choi!<br />
<br />
Ayo rayakan Imlek dengan (c) tarif nelpon termurah ke China, Hong Kong, dan Taiwan hanya Rp 234/menit. Buruan ucapin Gong Xi dan minta ang pao!<br />
<br />
Tekan 01089 + kode negara + kode area + nomor tujuan<br />
<br />
Dapatkan 2 RBT Imlek hanya dengan Rp 2 ribu untuk 30 hari pertama, caranya ketik PAKET<spasi>IMLEK kirim ke 333. Mau? <br />
<br />
(d) Tarif belum termasuk PPN 10%<br />
<br />
(e) Minimal sekali isi ulang Rp 10 ribu untuk menikmati promo ini.<br />
<br />
(f) Tarif berlaku mulai 15 Januari s/d 28 Februari 2009<br />
<br />
(g) www.three.co.id<br />
<br />
(h) 0896 4 4000 123 (E101) <br />
<br />
Butir utama pada iklan (33) menggunakan proposisi yang menekankan keuntungan kepada calon konsumen. Hal ini dapat dilihat pada (a) yang menyatakan tarif menelpon ke Cina hanya Rp234,00 per menit. Tarif ini tergolong murah jadi calon konsumen dalam meminta ang pao pada kerabatnya di Cina melalui telepon. Pada tahun baru Imlek, tradisi memberi dan meminta ang pao ini bertujuan menyambung silahturahmi antarkerabat. Tujuan ini ditekankan pada frase “minta ang pao ke China” (a) ini. Subbutir utama pada iklan (33) menambahkan informasi yang dinyatakan pada butir utama iklan (a). Penambahan informasi tentang keuntungan itu diwadahi dalam kalimat “Juga ke Hong Kong dan Taiwan” (b). Dengan kalimat ini, konsumen menjadi mengetahui bahwa tarif menelepon 234 per menit ke Cina juga berlaku untuk negara “Hong Kong dan Taiwan”. Dua negara ini juga mayoritas penduduknya beretnis Cina karena merupakan provinsi spesial negara Cina.<br />
<br />
Badan iklan dalam iklan ini menggunakan proposisi dengan alasan objektif. Alasan objektif dikemukakan pada (c) yang berisi alasan mengapa tarif menelepon 3 termurah untuk tujuan Cina, Hong Kong, dan Taiwan dikatakan termurah. Tarif 3 dikatakan termurah karena hanya 234/menit, paling murah di antara tarif operator seluler di Indonesia saat itu. <br />
<br />
Bagian penutup iklan yang semuanya menggunakan butir pasif dapat ditemukan pada (d) sampai (h). Kalimat (d) memberikan informasi bahwa tarif promosi menelepon murah ke Cina, Hong Kong, dan Taiwan ini belum termasuk PPN 10%. Kalimat (f) memberikan informasi syarat yang harus dipenuhi calon konsumen untuk dapat memanfaatkan keuntungan ini, yaitu calon konsumen harus mengisi ulang pulsanya paling sedikit Rp10.000,00. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka tarif yang berlaku adalah tarif normal. Kalimat (f) memberikan informasi masa berlaku promosi. Artinya, di luar waktu tersebut tarif ini akan mengikuti tarif normal. Butir pasif yang ada di (g) dan (h) memberikan informasi kepada calon konsumen alamat laman jejaring 3 yang dapat diakses calon konsumen dan nomor layanan pelanggan yang dapat dihubungi jika calon konsumen membutuhkan informasi yang lebih lengkap.<br />
<br />
Pola kelima yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + B + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.<br />
<br />
(34): (a) mentari Gratis Pulsa Rp.18.000<br />
<br />
(b) Pulsa Kartu perdana Rp 3.000 plus bonus @ Rp 5.000 pada 3 kali isi ulang pertama<br />
<br />
(c) Info lengkap: www.indosat.com (B301)<br />
<br />
<br />
<br />
Butir utama pada iklan (a) menggunakan proposisi yang menekankan keuntungan bagi calon konsumen, yaitu pulsa cuma-cuma senilai Rp18.000,00. Badan iklan (b) pada iklan ini menggunakan alasan objektif, yaitu setiap pembelian kartu perdana, calon konsumen akan mendapatkan pulsa Rp3.000,00 ditambah tiga kali tambahan Rp5000,00 pada tiga kali isi ulang pertama. Penutup iklan menggunakan butir pasif. Butir pasif (c) ini berisi alamat laman jejaring yang dapat diakses calon konsumen bila ingin mendapat informasi lebih lengkap. <br />
<br />
Pola keenam yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.<br />
<br />
(35) Sekali mana cukup? (a) Pake Mentari gratis nelpon berkali-kali seharian <br />
<br />
(b) Gratis nelpon berkali-kali jam 00.00 - 17.00 (3600 detik ke sesama Indosat) untuk wilayah Jawa.Cara: nelpon ke sesama Indosat menggunakan pulsa utama minimal Rp 1.500/hari (akumulasi) untuk Senin-Jumat & Rp 2.000/hari (akumulasi) untuk Sabtu-Minggu sesuai dengan rentang waktu di atas. (c) Program ini dapat juga dinikmati oleh pelanggan IM3. Caranya ketik reg<spasi>mentari kirim ke 2020. (d) Tarif Mentari tetap murah Rp 5/detik & Rp 99/SMS berlaku ke semua operator se-Indonesia <br />
<br />
(e) Waktu Nelpon Tarif <br />
<br />
23.00 - 04.59 Rp 5/detik <br />
<br />
05.00 - 22.59 Rp 20/detik<br />
<br />
(f) Info lebih lanjut: www.indosat.com (B503)<br />
<br />
Butir utama iklan mentari di atas dapat ditemukan pada (a). Butir ini menekankan keuntungan kepada calon konsumen, yaitu calon konsumen mentari dapat menelpon berkali-kali tanpa dikenakan biaya sepanjang hari. <br />
<br />
Bagian penutup iklan ini menggunakan teknik pengembangan campuran antara teknik lunak dan butir pasif. Butir (b) memuat ketentuan dan cara untuk mendapatkan fasilitas menelepon berkali-kali tanpa dikenakan biaya. Kalimat pertama pada butir (c) menginformasikan bahwa pelanggan IM3 (sama-sama produk Indosat) juga dapat mendapatkan layanan ini. Pada kalimat selanjutnya, ditampilkan informasi berupa cara memindah paket IM3 ke Mentari. <br />
<br />
Pada (d) digunakan teknik penjualan dengan teknik lunak yang menyatakan bahwa tarif murah Mentari tetap berlaku. Dengan adanya informasi ini, diharapkan calon konsumen membeli kartu perdana Mentari apalagi deskripsi tarif Mentari disebutkan pada butir (e). Pada bagian terakhir penutup iklan (f), calon konsumen diberi informasi alamat laman jejaring yang dapat dikunjungi jika calon konsumen membutuhkan informasi lebih lengkap.<br />
<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
<br />
Kesimpulan<br />
<br />
Diksi yang digunakan dalam iklan operator seluler dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu diksi nonkhas dan diksi khas iklan tulis. Diksi nonkhas yang digunakan dalam iklan operator seluler berupa kata umum-khusus, kata abstrak-konkret, dan kata emotif-kurang emotif. Sementara itu, diksi khas iklan tulis berupa diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur (deiksis, fitur prosodi, aksen, pengalihan topik, informasi bersama dan informasi baru, serta gaya akrab), dan diksi intertekstualitas. <br />
<br />
Piranti kohesi yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler berupa piranti kohesi gramatikal dan leksikal. Piranti kohesi gramatikal yang digunakan berupa referensi (anafora dan katafora), substitusi (anafora), dan konjungsi (penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan). Piranti kohesi leksikal yang digunakan adalah pengulangan (pengulangan penuh, pengulangan dalam bentuk lain, dan pengulangan penggantian).<br />
<br />
Struktur wacana yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler sama dengan iklan pada umumnya, yaitu dibangun oleh butir utama (BU), subbutir utama (SBU), badan (B), dan penutup (P). Unsur ini tidak selalu digunakan dengan lengkap. Ada enam pola struktur yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler, yaitu (1) BU + SBU, (2) BU + SBU + B, (3) BU + SBU + P, (4) BU + SBU + B + P, (5) BU + SBU + P, dan (6) BU + P. <br />
<br />
Saran<br />
<br />
Dari penelitian ini dapat disampaikan saran yang terkait dengan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana. Saran ini diberikan pada pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian.<br />
<br />
Berkaitan dengan diksi disampaikan saran kepada pembuat iklan, calon konsumen, dan pendidik. (1) Bagi pembuat iklan hendaknya menggunakan kata-kata khusus agar makna kata dalam iklan menjadi lebih tepat, namun tetap harus sesuai dengan segmentasi sasaran iklan; dapat memaksimalkan penggunaan jenis diksi yang lebih emotif agar jarak sosial antara produsen dan konsumen makin dekat; dapat memanfaatkan aksen pada butir utama iklan, sehingga lebih menarik perhatian calon konsumen, serta; dapat memanfaatkan diksi intertekstualitas dalam iklan. (2) Bagi calon konsumen, hendaknya mencermati kata khusus yang digunakan untuk menekankan keuntungan berlebih seperti kata gratis. Selain itu, calon konsumen harus kritis dalam membaca suatu iklan. (3) Bagi para pendidik dapat memanfaatkan iklan untuk pengajaran tentang diksi. Siswa dapat ditugasi untuk menentukan jenis diksi yang terdapat dalam iklan.<br />
<br />
Berkaitan dengan piranti kohesi disampaikan saran kepada para pembuat iklan. Mereka dapat menggunakan substitusi untuk meringkas iklan. Dengan demikian, kata-kata tidak digunakan berulang dan tempat iklan yang masih tersedia dapat digunakan untuk memuat informasi lain; hendaknya lebih sering menggunakan piranti konjungsi contohan dalam iklan yang dapat mempercepat pemahaman calon konsumen tentang maksud iklan; hendaknya memakai piranti konjungsi tegasan yang digunakan untuk lebih meyakinkan calon konsumen.<br />
<br />
Berkaitan dengan struktur wacana disampaikan saran kepada pembuat iklan dan calon konsumen. (1) Bagi pembuat iklan hendaknya menonjolkan informasi penting bagi calon konsumen yang umumnya dimuat pada butir penutup. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran huruf, menebalkan, maupun memberi warna yang kontras dengan teks iklan lain; hendaknya menggunakan struktur iklan BU + SBU + B + P agar informasi kepada calon konsumen dapat disajikan lebih lengkap; (2) Bagi calon konsumen hendaknya lebih mencermati penutup iklan karena pada umumnya pembuat iklan menyajikan informasi cukup penting pada bagian ini.<br />
<br />
<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
<br />
Agustrijanto. 2006. Copywritting: Seni Mengasah Kreativitas dan Memahami Bahasa Iklan. Bandung: Remaja Rosdakarya. <br />
<br />
Goddard, Angela. 1998. The Language of Advertising: Written Texts. London: Routladge.<br />
<br />
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa: Komposisi Lanjutan I. Jakarta: Gramedia.<br />
<br />
Martutik. 1992. Analisis Wacana Iklan Radio yang Berbahasa Indonesia. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang.<br />
<br />
Rani, Abdul dkk. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayu Media.<br />
<br />
Suparno dan Mohammad Yunus. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-54452482007274318452010-05-05T17:09:00.000-07:002010-05-05T17:09:10.333-07:00PENGEMBANGAN KECERDASARAN LINGUISTIK-VERBAL DALAM PEMBELAJARAN SASTRA: LANGKAH PRAKTIS<span class="fullpost">Oleh Masnur Muslich <br />
<br />
Kecerdasan lingusitik-verbal (sebagai bagian dari kecerdasan ganda yang bisa diterapkan pada pembelajaran sastra) mengacu pada kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakan kemampuan ini secara kompeten melalui kata-kata untuk mengemukakan pikiran-pikiran ini dalam berbicara, membaca, dan menulis (Lihat makalah Wahyudi Siswanto). Seseorang yang memiliki kecerdasan verbal yang tinggi tidak hanya akan memperlihatkan suatu penguasaan bahasa yang sesuai, tetapi juga dapat menceritakan kisah, berdebat, berdiskusi, menafsirkan, menyampaikan laporan, dan melaksanakan tugas lain yang berkaitan dengan berbicara dan menulis (Ibid). Sementara itu Gardner, dkk (Dryden & Vos, 2001:342) mendeskripsikan ciri orang yang memiliki kecerdasan linguistik sebagai berikut: sensitif terhadap pola, teratur, sistematis, mampu berargumentasi, suka mendengarkan, suka membaca, suka menulis, mengeja dengan mudah, suka bermain kata, memiliki ingatan yang tajam tentang hal-hal sepele, pembicara publik dan tukang debat yang andal. <br />
<br />
Ada beberapa model pendidikan kecerdasan linguistik-verbal yang bisa dikembang-kan melalui pembelajaran sastra. Model yang dimaksud adalah (1) menceritakan kisah, (2) berdebat, (3) berdiskusi, (4) menafsirkan, (5) menyampaikan laporan, (6) berbicara dan menulis tentang karya sastra. Berikut ini diberikan sebagian contoh pembelajarannya. <br />
<br />
1. Menceritakan Kisah <br />
<br />
(a) Pengertian<br />
<br />
Model Menceritakan Kisah adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara menceritakan kembali kisah yang terdapat dalam karya sastra yang telah dibaca atau didengar siswa. Karena menitikberatkan pada penceritaan kisah, maka karya sastra yang didengar atau dibaca siswa adalah karya satra yang berisi kisah, misalnya dongeng, sandiwara, novel, drama, atau puisi balada.<br />
<br />
(b) Langkah<br />
<br />
(1) Siswa diminta untuk mendengarkan atau membaca karya sastra yang telah disiapkan guru.<br />
(2) Siswa mencatat pokok-pokok kisah yang didengar atau dibaca.<br />
(3) Siswa menceritakan kembali kisah yang telah diengar atau dibacanya, baik secara lisan maupun tulis.<br />
<br />
(c) Hal yang perlu diperhatikan<br />
<br />
(1) Karya sastra yang didengar atau dibaca siswa hendaknya sesuai dengan perkembangan siswa, baik dari segi isi maupun bahasanya.<br />
(2) Waktu yang disediakan hendaknya sesuai dengan jenis kaya sastra yang akan diceritakan kembali, khususnya ketebalan karya sastra yang dibaca dan/atau durasi karya sastra yang didengar.<br />
<br />
(d) Contoh<br />
<br />
(1) Bacalah cerpen ”Kisah Ronggo” karya Lidya Katika Dewi berikut ini! <br />
<br />
KISAH RONGGO <br />
<br />
<strong>Cerpen Lidya Kartika Dewi</strong> <br />
<br />
Dengan laptop, aku biasa menulis di teras depan rumahku yang asri. Dalam suasana yang sejuk dan tenang aku dapat menuangkan ide-ide cerpen di kepalaku sejernih dan selancar air kali yang mengalir di pegunungan yang masih perawan.<br />
<br />
Tapi, siang itu aku terkejut. Sangat terkejut. Tanpa permisi lebih dulu, seorang bocah dekil dengan menenteng gitar kecil tiba-tiba nyelonong masuk ke teras depan rumah, mengusik keasyikanku menulis. Kukira tadinya dia mau mengamen. Ternyata, tanpa berbasa-basi dia bertanya, "Oom penulis, ya?"<br />
<br />
Belum sempat aku menjawab, dia menyambung, "Dengar kisah hidupku, Oom. Pasti akan sangat bagus kalau diuntai menjadi sebuah cerita."<br />
<br />
Aku masih tergugu, bisu, ketika pengamen belia itu mulai bertutur: "Namaku Ronggo. Aku tinggal di pemukiman kumuh, dekat tumpukan sampah. Bapakku pemulung. Kini usiaku 14 tahun, tapi aku masih duduk di kelas 6 SD. Di sekolahku usia memang tak dipermasalahkan, karena sekolahku hanya di kolong jembatan layang, sekolah khusus anak-anak gelandangan.<br />
<br />
Setiap hari, usai mengajar, Ibu Mira dan Ibu Ita memberi nasehat agar aku dan kawan-kawan rajin menabung, agar kelak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karena hanya dengan sekolah yang tinggi aku dan teman-teman akan menjadi orang pandai. Dan, orang pandai kerjanya pasti di kantor, bukan di jalanan sebagai pemulung.<br />
<br />
Aku pun mulai rajin menabung. Bila dulu setiap kali diberi uang oleh Bapak selalu aku habiskan untuk jajan membeli kue apem pada Bi Ijah, sekarang sebagian uang jajan itu selalu aku sisihkan untuk ditabung, dengan cara menyimpannya di kaleng bekas susu formula yang aku pungut dari tumpukan sampah di dekat rumah. Tapi aneh, setelah tabunganku banyak, uang itu hilang. Aku penasaran dan bertanya pada bapak. (Aku hanya bisa bertanya pada bapak. Di rumah aku memang hanya tinggal berdua dengan bapak).<br />
<br />
"Pak, siapa yang mengambil uang tabunganku?"<br />
<br />
"Oh, kamu mulai rajin menabung? Siapa yang mengajari?" Bapak balik bertanya.<br />
<br />
"Ibu Guru Mira dan Ibu Guru Ita."<br />
<br />
"Lalu uang tabungan itu nanti untuk apa?"<br />
<br />
"Untuk biaya, kalau aku mau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Aku ingin jadi orang pandai, Pak. Biar bisa kerja di kantoran, tidak jadi pemulung seperti Bapak."<br />
<br />
Bapak tertawa sumbang. "Ah, kerja jadi pemulung tapi jujur, itu lebih terhormat daripada kerja di kantoran tapi jadi koruptor!"<br />
<br />
"Koruptor itu apa sih, Pak?" tanyaku polos. Aku memang tidak tahu, apa itu koruptor.<br />
<br />
"Orang-orang yang kerjanya di kantor, tapi hobinya nyolong uang kantor, ngemplang uang negara, ngembat uang rakyat. Itu namanya koruptor!"<br />
<br />
"Kalau gitu orang yang kerja di kantor banyak yang jahat ya, Pak?"<br />
<br />
"Iya. Makanya mereka hidupnya pada enak, pada kaya-kaya. Rumahnya pada megah, mobilnya bagus-bagus."<br />
<br />
"Kalau gitu aku harus tetap rajin nabung, ah. Aku harus melanjutkan sekolah setinggi mungkin, biar bisa jadi orang pandai, biar bisa bekerja di kantoran, biar bisa jadi orang kaya, walau dari hasil korupsi."<br />
<br />
Aku kembali menabung. Hasratku untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi begitu menggebu. Tapi ketika yang kutabung telah kembali terkumpul banyak, uang itu kembali raib. Aku kembali bertanya pada bapak, siapa gerangan yang mengambil uang tabunganku itu?<br />
<br />
"Ah, mungkin uangmu itu dicolong tuyul," kata bapak.<br />
<br />
"Memangnya tuyul mau datang ke rumah kita yang kumuh ini, Pak?"<br />
<br />
"Iya. Tuyul besar, kepalanya hitam."<br />
<br />
"Ah, tuyul kurangajar!" rutukku. "Kalau dapat kutangkap, kucincang kau!" <br />
<br />
Kembali lagi aku menabung. Dan ketika uang tabunganku sudah banyak, aku mulai berjaga-jaga. Benar saja. Malam itu, saat aku baru merebahkan diri hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara berisik. Spontan aku bangkit dari tidur dan tampak bapak sedang mengambil uang di kaleng tabunganku. Aku terkejut, seakan tak percaya. Ah, apakah yang dimaksud Bapak dengan tuyul besar berkepala hitam itu adalah Bapak sendiri? Ya ya, pasti tuyul besar berkepala hitam itu Bapak sendiri!<br />
<br />
"Bapaaakk...!!" teriakku.<br />
<br />
Sesaat bapak kaget. Lalu dengan tersenyum bapak menoleh ke arahku. "Kenapa Bapak mencuri uang tabungan saya?" Aku memekik. Kalap. "Maaf, Ronggo. Bapak pingin kawin, tapi nggak punya uang. Terpaksa Bapak curi uang tabungan kamu."<br />
<br />
"Lho, kalau kawin memang harus pakai uang, Pak?" tanyaku tak mengerti. "Iya. Kalau nggak ada uang, mana bisa Bapak kawin. Kamu mau tahu orang kawin? Ayo ikut Bapak, biar kamu tahu nikmatnya belaian seorang wanita, belaian seorang Ibu."<br />
<br />
Malam itu juga aku ikut bapak. Aku tidak tahu apa nama tempat itu. Tapi di sana aku melihat banyak wanita berdagang kue apem, termasuk juga Bi Ijah. Lalu aku melihat bapak mencolek pantat Bi Ijah. Bi Ijah tertawa geli, kemudian menggelar tikar. Bapak tidur di hamparan tikar itu. Bi Ijah memijat bapak. Lalu, aku menyaksikan adegan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ah, apakah itu yang disebut kawin? Dalam hati aku bertanya-tanya. Kalau iya, ah, aku sangat ingin merasakannya, karena aku memang sangat merindukan belaian kasih seorang wanita, seorang ibu.<br />
<br />
Esoknya aku tidak pergi ke sekolah. Tapi aku mengamen di bis kota. Aku ingin segera dapat uang yang banyak. Aku ingin tahu rasanya kawin Aku ingin merasakan nikmatnya bilaian kasih seorang ibu. Malam itu juga, dengan membawa uang hasil mengamen aku pergi ke tempat berkumpul wanita-wanita penjual kue apem. Aku mendatangi Bi Ijah.<br />
<br />
"Mau apa kamu malam-malam ke sini sendiri?" tanya Bi Ijah.<br />
<br />
"Aku pingin kawin," kataku jujur.<br />
<br />
Bi Ijah tertawa panjang, "Ha ha ha... bocah ingusan seperti kamu mau mulai belajar kawin? Ha ha ha...."<br />
<br />
Tawa Bi Ijah terhenti. Sesaat ia merenung. Kemudian, "Tapi bagus juga ya, aku bisa merenggut keperjakaanmu, biar aku awet muda." Tawa Bi Ijah kembali berderai. "Eh, tapi kamu punya uang nggak?"<br />
<br />
"Punya." Aku menepuk-tepuk kantong baju yang menggembung berisi uang logam.<br />
<br />
"Bagus, bagus." Bi Ijah manggut-manggut. <br />
<br />
Bi Ijah menggelar tikar. Aku tidur di hamparan tikar itu. Bi Ijah memijatku. Lalu aku merasa seakan melayang jauh di awan. Semuanya terasa indah.<br />
<br />
Sejak saat itu aku tak mau lagi pergi ke sekolah. Tapi kini setiap hari aku pergi mengamen. Bila uang hasil mengamen sudah banyak, aku selalu pergi mendatangi Bi Ijah. Apa yang diucapkan bapak memang benar, aku telah merasakan nikmatnya kawin, nikmatnya balaian kasih seorang ibu.<br />
<br />
Suatu malam, saat aku hendak mulai dipijat oleh Bi Ijah, bapak datang menghampiri. Tanpa basa-basi bapak langsung marah, menghardik Bi Ijah. "Ijah, kamu sudah gila! Kamu tidak takut dosa! Kamu kawin dengan anakmu sendiri!"<br />
<br />
Bi Ijah tersenyum sinis. "Kamu yang gila, Jo! Kamu ngomong dosa, tapi kamu tak pernah mau aku ajak keluar dari lembah dosa ini! Kamu tak pernah mau aku ajak nikah secara resmi, agar kita berdua dapat membesarkan Ronggo bersama-sama. Nyatanya? Kamu lebih seneng hubungan intim kita berjalan tanpa ikatan resmi. Kamu lebih seneng membesarkan Ronggo seorang diri. Aku pun jadi merasa tak punya ikatan batin dengan Ronggo. Memang dia lahir dari rahimku. Tapi dia anakmu, bukan anakku!"<br />
<br />
Selama Bi Ijah dan bapak perang mulut, aku hanya melongo, bengong. Aku tidak mengerti makna pertengkaran itu. Yang aku tahu, kemudian bapak pergi, entah ke mana. Dan Bi Ijah -- seperti tak pernah terjadi apa pun -- mulai memijati aku. Lalu, aku pun merasa bagai melayang di awan. Semuanya terasa indah.<br />
<br />
Hari-hari selanjutnya aku rasakan semakin indah, karena mulai malam itu Bi Ijah tinggal di rumahku. Bi Ijah yang selalu memijati aku dengan penuh mesra dan penuh birahi. Aku tidak mengerti dan juga tidak tahu, mengapa bapak meninggalkan rumah dan ke mana bapak pergi? Seperti juga aku tidak mengerti dan tidak tahu, siapa jatidiri Bi Ijah yang sesungguhnya.<br />
<br />
Berbilang bulan, aku mulai merasa jemu hidup satu rumah dengan Bi Ijah. Aku mulai menggelandang tak tentu arah. Setiap hari aku mengamen. Aku ingin berjumpa dengan ibu kandungku, aku juga ingin kembali berjumpa dengan bapakku. Aku ingin mencari mereka sampai ketemu.<br />
<br />
<br />
(2) Catatlah pokok-pokok cerita yang terdapat dalam cerpen yang baru saja kamu baca! <br />
(3) Ceritakan kembali secara tertulis kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut sambil memperhatikan pokok-pokok cerita yang telah kamu catat! <br />
<br />
(e) Variasi<br />
<br />
(1) Guru juga bisa membacakan dongeng kepada siswa.<br />
(2) Sambil mendengarkan dongeng yang dibacakan guru, siswa mencatat pokok-pokok ceritanya. <br />
(3) Dongeng yang dibacakan guru tidak terlalu panjang, tetapi tetap mencerminkan keutuhan cerita.<br />
<br />
<br />
2. Berdebat<br />
<br />
(a) Pengertian<br />
<br />
Model Berdebat adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara mempertahankan pendapat atas peristiwa, perilaku, atau fenomena lain yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengarnya. Demi kelancaran pelaksanaan model ini, karya sastra yang dipilih hendaknya karya sastra yang isinya bisa memicu perbedaan pendapat bagi sebagian besar siswa sehingga tujuan berdebat bisa tercapai.<br />
<br />
(b) Langkah<br />
<br />
(1) Kelas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Kelompok pro menyetujui sikap, perilaku, dan pendapat tokoh utama. Kelompok kontra menolak sikap, perilaku, dan pendapat tokoh utama.<br />
(2) Siswa diminta untuk membaca karya sastra yang telah disiapkan.<br />
(3) Setiap kelompok diminta untuk mempertahankan pendapatnya dengan cara menunjukkan berbagai alasan yang mendukung pendapatnya.<br />
<br />
(c) Hal yang perlu diperhatikan<br />
<br />
(1) Pendapat setiap kelompok (baik kelompok pro maupun kelompok kontra) hendaknya dirumuskan dengan jelas oleh guru sehingga memudahkan siswa (kelompok) dalam pencarian alasan yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengarnya.<br />
(2) Waktu yang disediakan untuk berdebat hendaknya cukup sehingga masing-masing kelompok (baik yang pro maupun yang kontra) bisa memberikan argumentasinya secara tuntas.<br />
<br />
(d) Contoh<br />
<br />
(1) Bacalah cerpen “Eligi” karya Bengkel Imaji Malang di bawah ini.<br />
<br />
<strong>Elegi</strong><br />
<br />
“JAWAB! Jangan diam!”<br />
<br />
Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun, asalkan kau mengizinkanku menyisir helai rambut yang tergerai di pipimu, walau sekali saja.<br />
<br />
“Jangan berpura-pura mampus!”<br />
<br />
Bibir beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.<br />
<br />
“Ayo mengaku!”<br />
<br />
Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah kau izinkan diriku menyisir rambut di pipimu. Walau itu sekali. Hanya sekali.<br />
<br />
Mulut beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku dengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Zuliana Arlianadinata. Panggil saja Ana”<br />
<br />
Beruntunglah dirimu. Perempuan itu menyambut tanganmu sambil menyebutkan namanya. Aku tak pernah menduga, bahwa perempuan yang tak satupun lelaki berhasil mendekatinya telah menyambut tanganmu dan memberikan senyum itu padamu. Dan jika kau tahu, setiap senti senyumnya berarti satu inchi lukaku.<br />
<br />
Luka itu makin menganga ketika aku tahu dirimu berhasil mengajaknya pergi ke tempat kesukaannya: laut. Lagi-lagi kau membuat sayatan luka baru di jantungku dengan pisau karatmu. Dan kata-kata manis perempuan itu, tak lain adalah garam yang ditabur di atas luka sayatanmu. Kenapa perempuan itu tak mengenali wajah iblis di balik wajahmu!<br />
<br />
“Tutup matamu”<br />
<br />
Itulah perkataan srigalamu kepada perempuan yang kini menuruti setiap perkataanmu. Lantas, kau menutup sepasang mata perempuan itu dengan kain. Aku tahu kau akan memberinya suatu kejutan. Tapi seandainya aku membawa senapan, tentu aku akan membuatmu terkejut terlebih dulu dengan menembak isi di kepalamu agar otak kotormu itu diketahui oleh perempuan yang lebih pantas bersamaku dari pada bersamamu.<br />
<br />
“Kau yakin sudah tidak dapat melihatnya?”<br />
<br />
Perempuan itu menggeleng. Aku iri melihat sepasang tanganmu ketika menutup sepasang mata perempuan itu. Kau diizinkan membelai rambut panjangnya. Kau menatap perempuan itu, seolah kau adalah serigala yang telah memenangkan perburuan. Ah, dengan apa aku harus mengatakan kepadamu, Ana, bahwa lelaki yang bersamamu adalah lelaki serigala? <br />
<br />
Angin yang kutitipi perasaan ini, hanya menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh deburan ombak yang menghantam karang. Lalu dijawab oleh kepakan burung yang mendaki senja di depannya. Haruskan aku muncul tiba-tiba menghunuskan belati ke lelaki berengsek itu?<br />
<br />
“Sekarang buka matamu”<br />
<br />
Seharusnya hatimu terbuka Ana. Seharusnya kau melihat sejati dari lelaki itu. Tetapi kenyataannya kau justru tersenyum simpul ketika lelaki itu berjongkok di depanmu sambil membawa sekuntum kembang. Ombak menari-nari sambil bertepuk tangan. Burung-burung yang pulang menyempatkan diri untuk menatap kalian. Sedang senja pura-pura menjadi lelaki tua bijak yang melihat percintaan kalian. Sebagai perempuan, hatimu telah tercuri. <br />
<br />
“Menikahlah denganku. Kalungkan kain itu di kepalaku jika kau menerimaku, tetapi jika tidak buanglah kain itu ke laut”<br />
<br />
Jantungku berdetak lebih keras. Belati yang kugenggam tidak lagi dapat berdiam diri. Ia menjadi teman setiaku. Dialah yang bersedia menusuk jantung yang berdetak menunggu jawaban perempuan itu lalu kulempar ke laut. Tapi, lagi-lagi aku tak mampu melakukannya. Aku memang ditakdirkan hanya bisa melihat dan diam.<br />
<br />
Kau masih terdiam, Ana. Dan itulah yang menjadikan lelaki berfikir bahwa perempuan adalah lautan misteri. Tak habis dilayari dan diselami. Entah apa yang berada di dalam pikiranmu sekarang. Deburan ombak mempercepat gelap. Segenap hatiku mengelam ketika kau mengalungkan kain itu di leher lelaki biadab itu!<br />
<br />
Dan pada suatu hari kulihat kau mengalungkan untaian melati lagi di leher lelaki bejat itu di atas pelamin. Suara gamelan bertalu-talu menjadi tombak yang menancap di dadaku. Belati yang kini di genggaman tanganku telah membisikkan kepadaku untuk segera menghunus lelakimu. <br />
<br />
Dadaku menahan gemuruh, Ana. Kutancapkan saja pisauku di batang pohon, seolah aku telah menancapkannya tepat dijantung lelakimu. Aku memutuskan berlari pulang ketika kulihat cahaya lampu menggambar sepasang bayang yang saling memagut di balik jendela yang tertutup kelambu.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Sudah lama menunggu ya, papa tidak bisa menjemput Nina hari ini” <br />
<br />
Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan wajahmu Ana. Sepasang mata itu benar-benar sepasang matamu yang telah kau wariskan, tetapi aku melihat ada darah lelaki bejat yang mengalir dalam detak jantung gadis itu. <br />
<br />
“Kenapa papa selalu ingkar janji”<br />
<br />
Kujelaskan kepada anakmu bahwa dirimu sedang ada pekerjaan penting mendadak. Tetapi, ketahuilah wahai lelaki bangsat, sesungguhnya diriku telah menanamkan bom waktu di otak anakmu. Suatu saat pasti akan meledak. Ha ha ha.<br />
<br />
“Aku benci dengan papa!”<br />
<br />
Ha ha ha. Ingin rasanya aku terus tertawa. Tetapi di wajahnya, aku menatap seberkas keteduhan yang pernah di wariskan oleh ibunya. Kenapa darah yang mengalir dalam tubuhnya bukan darahku dan darahmu, Ana. Kenapa jantung lelaki bejat itu yang mengalirkan darahmu, Ana.<br />
<br />
Kecemburuanku ini seperti telah memaksaku untuk segera menyulut bom waktu di hati anakmu ini. Ingin kukatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah serigala bejat yang menjelama menjadi seorang lelaki yang kini berpura-pura berperan menjadi ayah. <br />
<br />
Sebenarnya aku sering melihat pertengkaran orang tuamu, Nina. Kalaupun aku hanya seorang sopir pribadi ayahmu, justru itulah aku tahu banyak tentang kebejatan ayahmu. Kemana ia habiskan malamnya, aku tahu. Alasannya ke luar kota dengan mengajakku adalah hanya alasan untuk mengelabuhi ibumu.<br />
<br />
Entah sudah berapa puluh keperawanan perempuan sudah ia beli dengan uangnya. Entah sudah berapa puluh kali kelaminnya singgah di gubug-gubug murah perempuan. Entahlah, Nina. Tetapi, ketika ingin kusulut bom yang telah kutanam dalam otakmu, aku tak sanggup melakukannya. Keteduhan wajah yang diwariskan ibumu telah meredam badai amarahku.<br />
<br />
Sesaat ketika kita sampai di rumah, aku tak bermaksud untuk memperlihatkan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibumu. Tetapi takdir tak bisa menutupi apa yang sudah disembunyikan oleh waktu. Dan kau memilih tidur di kamarku dari pada melihat orang tuamu. Aku membelaimu seperti aku membelai anakku sendiri.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Kau lelaki yang tak tahu malu!”<br />
<br />
Akhirnya suatu hari ibumu telah mendengar bisik yang kutitipkan angin. Begitulah seharusnya ibumu, ia tidak diam ketika ia melihat adanya ketimpangan. Aku melihat sorot tajam ibumu. Aku melihat badai dalam bibir ibumu yang siap meluluhlantakkan setiap tipu daya ayahmu.<br />
<br />
Nina, saat kau terlelap, ayahmu telah berubah menjadi serigala. Alasan-alasan ayahmu tak dapat menjawab semua logika ibumu. Ayahmu hanya bisa menjawab logika ibumu dengan sebuah tamparan. Tak puas dengan tamparannya, ia memukul ibumu. Lantas, membanting tubuh ibumu lalu pergi entah kemana.<br />
<br />
Saat itulah, aku menyentuh kulit ibumu yang pertama kali ketika membaringkan tubuh yang makin kurus itu. Membenahi rambut panjangnya yang tergerai di pipinya. Ingin rasanya aku menggantikan ayahmu untuk menemani ibumu. Sejak malam itulah ibumu lebih suka mencurahkan isi hatinya kepadaku. <br />
<br />
Sayang sekali, ayahmu telah mencium hubunganku dengan ibumu. Suatu kali aku tak dapat menghidari pertengkaranku dengan ayahmu. Tetapi ayahmu adalah iblis yang nafasnya adalah hembusan amarah. Hingga pada suatu perkelahian ayahmu mengayunkan sesuatu yang membuat sepasang mataku gelap dan aku tak berdaya.<br />
<br />
“Kau yang selama ini meniduri istriku bukan?”<br />
<br />
Saat kusadar, kudapati diriku terkapar dengan tangan terikat. Aku menatap wajah ayahmu dengan sisa tenagaku. Ayahmulah yang mengayunkan cemeti itu ke tubuhkku. Sepasang mataku hanya mencari kemana perginya dirimu dan ibumu, tapi tak pernah kutahu.<br />
<br />
“Jawab! Jangan diam!”<br />
<br />
Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun.<br />
<br />
“Jangan berpura-pura mampus!”<br />
<br />
Bibir ayahmu yang beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.<br />
<br />
“Ayo mengaku!”<br />
<br />
Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah ibumu mengizinkan diriku menyisir rambut di pipinya. Walau itu sekali. Hanya sekali.<br />
<br />
Mulut ayahmu yang beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku mendengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.<br />
<br />
Entah ini halusinasi atau kenyataan, ibumu menangis di samping gerobak yang di dorong oleh perawat. Sebelum pintu kamar operasi ini di tutup aku melihat wajahmu duhai gadis manis. Memeluk ibumu. Setelah itu, yang tersisa hanya gelap.<br />
<br />
Bengkel Imaji Malang, 2006<br />
<br />
<br />
(2) Catatlah sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utamanya! <br />
(3) Bagi kelompok pro, carilah alasan mengapa Anda setuju atau sependapat terhadap sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama! Sebaliknya, bagi kelompok kontra, carilah alasana mengapa Anda menolak atau tidak sependapat terhadap sikap, tindakan, dan pendapa tokolh utama!<br />
(4) Setelah itu, mulailah berdebat tentang sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama pada cerpen “Eligi”, yang dipandu noleh guru.<br />
<br />
(e) Variasi<br />
<br />
(1) Guru juga bisa membacakan cerita kisah kepada siswa.<br />
(2) Sambil mendengarkan kisah yang dibacakan guru, siswa mencatat pokok-pokok ceritanya, terutama sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama.<br />
(3) Cerita kisah yang dibacakan guru tidak terlalu panjang, tetapi tetap mencerminkan keutuhan cerita.<br />
(4) Guru menyuruh siswa (kelompok pro maupun kontra) untuk memberikan alasan masing-masing.<br />
(5) Setelah itu, dilanjutkan dengan berdebat antara kelompok pro dan kontra yang dipandu gru.<br />
<br />
3. Berdiskusi<br />
<br />
(a) Pengertian<br />
<br />
Model Berdiskusi adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara sharing pendapat berupa pemberian solusi, alternatif pemecahan, atau kemungkinan jalan keluar atas permasalahan atau problema yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengar siswa. Agar kegiatan diskusi berjalan lancar, guru hendaknya memilih karya sastra yang tema ceritanya mengandung persoalan atau masalah yang bisa memicu sebagai bahan diskusi siswa, baik diskusi kelompok maupun diskusi kelas.<br />
<br />
(b) Langkah<br />
<br />
(1) Siswa diminta untuk mendengarkan atau membaca karya sastra yang telah disiapkan guru.<br />
(2) Siswa mencatat berbagai persoalan atau masalah yang terdapat dalam karya sastra yang didengarkan atau dibacanya. <br />
(3) Siswa mendiskusikan secara berkelompok atas persoalan atau masalah yang telah ditemukan untuk dicarikan pemecahan atau solisinya.<br />
(4) Siswa melaporkan hasil diskusi kelompok ke dalam pleno kelas.<br />
<br />
(c) Hal yang perlu diperhatikan<br />
<br />
(1) Persoalan atau problema yang terdapat dalam karya sastra yang didengar atau dibaca siswa hendaknya sesuai dengan perkembangan dan konteks siswa.<br />
(2) Persoalan atau problema yang didiskusikan bukan persoalan yang sangat rumit sehingga memicu kontroversi yang tidak berkesudahan. <br />
(3) Waktu yang disediakan untuk berdiskusikan hendaknya cukup sehingga siswa bisa dengan leluasa menyampaikan pendapatnya. <br />
<br />
(d) Contoh<br />
<br />
(1) Bacalah drama monolog ”Episode Daun Kering” karya Zulfikri Sasma berikut ini!<br />
<br />
<strong>EPISODE DAUN KERING</strong><br />
<br />
Sebuah drama monolog oleh Zulfikri Sasma<br />
<br />
ADAPTASI DARI CERPEN KARYA LARSI DE ISRAL<br />
<br />
Panggung adalah ruangan kosong yang hanya di isi oleh sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Lampu panggung tampak temaram. Sarjun, seorang lelaki muda (kira-kira berusia 24 tahun) dengan menyandang sebuah ransel di punggungnya, tampak melangkah lemas memasuki panggung. Ribuan rasa kecewa menghias di wajahnya. Lelaki itu kemudian duduk di atas bangku dan menaruh ransel di sampingnya. Ia tertunduk lesu dan kemudian mengangkat wajahnya.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai Tuhan dengan segala skenario-Nya. Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta. Di dalam semua itu kita melingkar, menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam kisah dilakoni dengan bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan kesabaran untuk mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis atau sama sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut?<br />
<br />
Teramat berat bagi saya untuk berbagi kisah ini. <br />
<br />
Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!<br />
<br />
Sarjun tertunduk, kecewa berkecamuk di dadanya. Tak lama, ia kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan ucapannya.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Bukan! Bukan karena menyangkut sisi hidup saya yang gelap, bukan saudara-saudara! Akan tetapi, hal ini melibatkan keluarga saya yang tinggal dua orang: Papa dan Alpin, adik saya…<br />
<br />
Sarjun merubah posisi duduknya, memandang langit, tatapannya kosong.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Sejak kematian ibu, saya melanjutkan kuliah di Padang sedang Alpin kuliah di Medan. Sejak itulah Papa tinggal sendiri di Payakumbuh. Saya mengerti benar makna kesepian bagi orang seusia Papa. Karena itu saya mengunjunginya tiap bulan. Alpin pun saya kira begitu. Namun karena Medan dan Payakumbuh terbentang jarak yang tidak dekat, maka ia hanya pulang tiap liburan semester.<br />
<br />
Tetapi saudara-saudara, kepulangan saya kali ini, sungguh-sungguh membuat saya hampir putus asa! Betapa tidak? Baru saja saya sampai di teras depan rumah, tiba-tiba saya mendengar teriakan “tidak” yang sangat begitu keras. Saya yakin, itu adalah suara Papa. Saya jadi tertegun mendengarnya, lalu mengintipnya lewat lubang kunci.<br />
<br />
Sarjun beranjak dari tempat duduknya, berdiri dan melangkah ke depan panggung sambil tersenyum mengejek<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Saudara-saudara, saudara-saudara tahu apa yang saya lihat? Sungguh di luar dugaan, saya menyaksikan Papa berdiri disamping meja telepon dengan kepala tertunduk dan wajah kuyu! Sempoyongan ia menuju sofa. Kecewa, marah, sedih dan entah makna apa lagi yang dapat dibaca dari raut wajahnya.<br />
<br />
Kesal, lelaki itu kembali duduk di bangku<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Heran, tidak mungkin Papa begitu! Tidak mungkin! Papa saya bukan lelaki yang rapuh. Ia lelaki paling tegar yang pernah saya kenal. Ia cerdas meski terkadang sangat egois. Masih terlalu jelas dalam ingatan saya ketika ia memutuskan berburu babi sebagai olahraga pengisi kesendiriannya.<br />
<br />
Sarjun kembali menatap langit. Kali ini tatapannya tajam.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Waktu itu papa duduk di sofa. Ia membaca Koran, kelihatan santai, saya datang dan mengambil tempat di sofa lain.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Oke! Silahkan Papa buru babi. Tapi, membeli anjing? Apalagi seharga dua juta lebih? Saya tidak setuju! Itu haram, Pa!<br />
<br />
PAPA<br />
<br />
Hehehehe… jika tidak dibeli Papa dapat anjing dari mana? Mana ada anjing kurap yang bisa buru babi? Atau anjing jadi yang dibagi-bagi secara gratis? Nak, membeli anjing itu tidak apa-apa asal tujuannya baik. Nah, menyelamatkan tanaman petani dari hama babi kan perbuatan mulia? Banyangkan babi-babi yang temok itu diburu dengan anjing kurap, heh, heh… ia akan tetap merdeka melahap tanaman petani. Dan, petani tidak akan makan, kamu rela petani mati kelaparan?<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Tapi Tuhan tidak pernah menghalalkan sesuatu dari yang haram<br />
<br />
PAPA<br />
<br />
Bukan Tuhan namanya kalau sekaku itu. Bukankah kamu sering bilang: adh-dharuratu tunbihul mahzhurat?<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Apakah kondisi seperti itu sudah darurat?<br />
<br />
PAPA<br />
<br />
Menurutmu, keselamatan manusia bukan ukuran darurat?<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Anjing adalah anjing. Babi adalah babi. Najis tetap najis dan haram tetap haram!<br />
<br />
PAPA<br />
<br />
Tuhan itu cerdas, nak. Ia tidak akan ciptakan tanah kalau memang kita dilarang menyentuh benda bernajis. Hehehehe…<br />
<br />
Kesal Sarjun seperti memuncak. Ia berdiri dan melangkah menuju belakang bangku<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Bah! Banyak sekali alasan Papa untuk membenarkan keinginan dan perbuatannya.<br />
<br />
Sarjun menggeleng-gelengkan kepalanya<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Nah, saudara-saudara, bukankah apa yang saya saksikan di rumah tadi tidak masuk akal? <br />
<br />
Seseorang yang selama ini tegar tertunduk lesu dan kuyu? Ini tidak masuk akal!<br />
<br />
Apalagi setelah itu saya lihat Papa menangis! Menangis? Papa menangis? Heh? Tiba-tiba saya dorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Papa terkejut melihat kedatangan saya. Segera Papa memburu saya. Lalu saya dipeluknya erat-erat. Begitu erat saudara-saudara!<br />
<br />
Sarjun berhenti sejenak. Ia kembali duduk dan kemudian menunduk dengan kedua tangan menutup wajah. Keadaan jadi hening. Lama ia baru bersuara, tapi kali ini suaranya serak. Matanya kelihatan basah.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Dalam pelukan saya, tangis papa tiba-tiba tumpah. Saya jadi kikuk. Setelah agak lama, Papa saya ajak duduk. Papa masih menangis terisak-isak. Saya tinggalkan Papa di sofa, dan mengambil segelas air putih ke belakang.<br />
<br />
Papa menangis? Sungguh tak masuk akal.<br />
<br />
Sarjun diam sebentar, menghapus air mata yang menetes di pipinya. Berdiri lalu bergerak ke depan panggung.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan ini.<br />
<br />
Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!<br />
<br />
Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya, saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.<br />
<br />
Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau oleh benci.<br />
<br />
Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.<br />
<br />
PAPA<br />
<br />
Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!<br />
<br />
Sarjun kembali terdiam dan duduk di bangku kayu. Keadaan kembali hening.<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Saudara-saudara, sekarang Papa menangis, terisak-isak. Betul-betul tidak masuk akal. Saya lalu menaruh segelas air putih di atas meja dan mempersilahkan Papa untuk meminumnya. Tetapi Papa tetap saja terisak-isak bersama tangisnya. Tiba-tiba, Papa menyebut-nyebut nama Alpin. Tentu saja saya terkesiap olehnya. Alpin? Ada apa dengan Alpin? Saya jadi bingung saudara-saudara! Heran!<br />
<br />
Sarjun kembali menunduk, ia seperti menahan emosinya<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Saudara-saudara, ternyata yang menyebabkan Papa saya menangis terisak-isak adalah karena Alpin. Alpin adik saya. Ia di tahan polisi. Alpin tertangkap basah menghisap daun jahanam itu. Daun yang ditanam orang lain yang tidak rela anaknya menghisap ganja!<br />
<br />
Mendengar itu saya betul-betul kesal! Saat itu juga, saya ambil ransel dan segera melangkah menuju pintu. Waktu itu saya dengar suara papa memanggil nama saya, tapi tak lagi saya hiraukan. Saya muak! Sungguh-sungguh muak!<br />
<br />
Sarjun makin menunduk, emosinya betul-betul memuncak, setelah merasa reda, barulah ia angkat kepalanya<br />
<br />
SARJUN<br />
<br />
Begitulah saudara-saudara, saya terpaksa kembali ke Padang malam itu juga. Saya tak sanggup menghadapi kenakalan orang tua seperti itu. Apalagi orang tua itu Papa saya sendiri. Telah saya putuskan untuk tidak menemui Papa lagi. Bahkan mungkin di hari pemakamannya kelak, saya takkan hadir. Saya tak bisa memberinya maaf. Saya tak bisa. Tetapi…hah…entahlah. Mungkin suatu ketika saya bisa. Mungkin… sebab, sampai saat ini saya masih mempercayai Tuhan dan segala skenariomya. <br />
<br />
Sarjun berdiri, menyandang ranselnya kemudian berjalan keluar panggung. Bebannya berat<br />
<br />
* * *<br />
<br />
SELESAI<br />
<br />
<br />
(2) Catatlah permasalahan atau persoalan yang belum terpecahkan dalam drama tersebut! <br />
(3) Sampaikan permasalahan yang telah kamu catat tersebut ke dalam diskusi kelompok/kelas agar ditanggapi oleh teman lain! <br />
(4) Laporkan hasil diskusi kelompok/kelas kepada guru untuk mendapakan balikan.<br />
<br />
(e) Variasi<br />
<br />
(1) Guru juga bisa menyediakan puisi kepada siswa sebagai bahan diskusi kelompok/kelas.<br />
(2) Puisi sebagai bahan diskusi sebaiknya puisi yang aktual sehingga menarik anak untuk didiskusikan.<br />
(3) Sebelum mendiskusikan isinya, masing-masing siswa membaca puisi dan mencatat hal-hal yang dianggap penting untuk didiskusikan.<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">Malang, 02 Mei 2010</div><br />
<br />
<br />
</span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-37024434190637781652010-03-06T02:02:00.000-08:002010-03-06T02:02:32.505-08:00Effective Teaching<span class="fullpost"><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dalam implementasi kurikulum di sekolah/lembaga pendidikan haruslah memperhatikan beberapa hal/variabel agar kegiatan yang dilakukan berjalan dengan baik untuk mencapai keefektifan dalam pengajaran yang dilaksanakan. Guru seharusnya mengadakan persiapan-persiapan yang matang sebelum melaksanakan pengajaran dikelas.</span> <br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara, dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran, dengan presentasi waktu belajar akademis, dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif, atau hukuman. Sehingga persyaratan utama bagi efektivitas pengajaran yang tampak di sekolah-sekolah adalah:</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi yang dicurahkan terhadap kandungan akademis.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan fositif</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. Mengembangkan struktur kelas yang mendukung poin 2, tanpa mengabaikan poin 4.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pengajaran yang efektif tidak menuju pada suatu “metode” pengajaran tertentu. Pengajaran yang diatur secara informal yang menunjukan rata-rata keterlibatan waktu belajar akademis yang tinggi dapat dianggap sebagai pengajaran yang efektif. Efektivitas pengajaran, tidak hanya dilihat dari metode itu sendiri, tetapi derajat tinggi-rendahnya, dan proporsi waktu belajar akademis yang dihasilkan oleh metode tersebut, hal ini diberinama pengajaran langsung. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pola pengajaran langsung ditemukan dari beberapa penelitian independen, bercirikan kelas yang siswanya yang lebih berhasil, dan mereka merasa senang terhadap sekolah, tapi perlu diingat bahwa bukan hanya satu pola pengajaran yang efektif, tapi mungkin masih banyak pola-pola lain yang efektif.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">A. Strategi yang mendukung pengajaran yang efektif</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Unsur utama dalam pengajaran yang efektif adalah, usaha guru untuk melibatkan siswa secara tepat terhadap suatu mata pelajaran, dengan presentasi keterlibatan siswa yang tinggi dari waktu yang tersedia, dengan mempertimbangkan strategi mengajar yang mendukung terciptanya suasana belajar yang akrab dan ramah.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Rosenshine dan Frust (1971) mengidentifikasikan pengajaran yang efektif kedalam lima variabel proses guru yang memperlihatkan keajegan hubungan dengan pencapaian, yakni: </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. kejelasan dalam penyajian </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. kegairahan mengajar </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. ragam kegiatan </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. perilaku siswa dalam melaksanakan tugas dan kecekatannya</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. kandungan bahan pelajaran yang dapat diliput siswa.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Jadi jelaslah bahwa pengajaran yang efektif sangat berkaitan dengan pengelolaan kelas yang efektif pula. Sehingga guru yang efektif adalah pengelolaan yang efektif terhadap perilaku siswa dalam artian yang baik.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ada dua dasar pendekatan dalam pengajaran, yaitu (1) pendekatan teacher-centerd, dan (2) pendekatan student centered.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Pendekatan Teacher-Centered</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan teknik ini lebih banyak menekankan pada direct instruction, pengajaran dedukatif atau pengajaran expository. Metode pengajaran ini, guru mengontrol apa yang diajarkan dan bagaimana seharusnya siswa mempelajari pelajaran yang diberikan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan Teacher-Centered ini digunakan apabila kurangnya motivasi belajar siswa yang dimiliki, untuk itu guru harus berperan aktif untuk kelancaran KBM yang dilaksanakan, ini juga bertujuan untuk menumbuhkan/meningkatkan motivasi belajar siswa yang rendah menjadi lebih tinggi.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Pendekatan Student-Centered</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Teknik ini juga sering disebut sebagai discovery learning, inductive learning atau inquiry learning. Peran dalam pembelajaran lebih banyak berfokus pada siswa. Dalam pengajaran teknik ini, kita tetap membuat rancangan pembelajaran tetapi mengurangi kontrol (kontrol tidak melebihi apa dan bagaimana siswa belajar) terhadap siswa.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan Student-Centered ini digunakan apabila motivasi belajar siswa terlihat tinggi, guru berperan sebagai penyeimbang, pengamat, pengarah, serta sebagai pelurus apa saja yang sedang dibahas oleh kelas.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Tidak ada strategi pengajaran yang paling baik dari strategi pengajaran yang lainnya, jadi kita harus membuat (menggunakan) strategi pengajaran yang bervariasi dan membuat keputusan yang rasional dan tepat tentang kapan suatu strategi pengajaran lebik effektif untuk diterapkan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan apapun yang digunakan dalam pengajaran, yang paling penting adalah menyangkut beberapa hal dibawah ini:</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Fokus harus pada pembelajaran daripada pengajaran</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Memfasilitasi pembelajaran (mengajak/memancing agar siswa berfikir)</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. mencari cara /merancang agar siswa terbawa dalam pelajaran atau kegiatan</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. membuat situasi pembelajaran yang positif agar semua siswa berusaha menjawab pertanyaan (memecahkan permasalahan).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. Membantu siswa belajar bagaimana belajar itu sesungguhnya</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">B. Strategi untuk effective teaching</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ada beberapa strategi yang dijalankan demi tercapainya pengajaran yang efektif, strategi itu adalah sebagai berikut.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Menggunakan Direct Instruction</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Direct instruction adalah satu istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan suatu variasi dari beberapa teknik pengajaran kelas expository. Strategi ini menggunakan teknik pendekatan teacher-centered dalam menyampaikan pesan pelajaran.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Meskipun pola umum pengajaran yang efektif memiliki derajat kesahihan dan penerapan secara umum, tetapi tidak berarti dapat diterapkan dengan cara yang sama bagi semua siswa dan semua lingkungan pendidikan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ada 4 bentuk ragam yang utama dari tema pokok pengajaran langsung, yang cukup dikenal dengan pertimbangan-pertimbangan yang menjamin. Pengajaran yang efektif ini semakin dipelajari, kita akan semakin melihat kedepan, dan semakin memahami adanya berbagai bentuk ragam, ke empat pertimbangan itu adalah: </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. status perkembangan anak</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. kecerdasan dan keterampilan siswa</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. status social ekonomi siswa</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. mata pelajaran yang dipelajari</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Keempat bentuk ragam tersebut saling berinteraksi, sehingga menjadikan pengajaran semakin kompleks. Bentuk ragam tersebut biasanya tidak jelas, tetapi cenderung tampak diantara kelompok siswa. Untuk menangani kecenderungan tersebut, diperlukan strategi yang menunjang efektivitas pengajaran dengan memperhatikan kelompok siswa yang kecerdasan dan ketrampilannya lemah, yang secara pendidikan tidak menguntungkan siswa yang kurang dewasa, kesemuanya memerlukan penanganan dengan pola ketaatan disiplin yang keras dalam melaksanakan pengajaran langsung dengan lebih memperhatikan terciptanya suasana bimbingan yang lebih positif. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kalau semua siswa dalam menuju ke kedewasaannya mengikuti saluran tersebut, dari status awal yang tidak menguntungkan, menuju ke tingkat ketrampilan yang lebih tinggi, maka bagaimanapun tingkat kecerdasan dan ketrampilan yang dapat mereka peroleh, mereka cenderung dapat memanfaatkan secara bertahap melalui pelajaran yang semula berpusat kepada guru dan terkendali. Manfaat yang mereka peroleh tersebut secara umum dikarenakan pengajaran yang menyeluruh. Pengajaran yang menyeluruh adalah pengajaran inkuiri dan pengajaran penemuan, dan pengajaran dengan strategi yang tidak terlalu formal.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Menggunakan teknik diskusi</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Teknik ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi secara bersama-sama, dengan membangun diri individu siswa agar mau mendengarkan pendapat orang lain serta bersama sama memutuskan apa yang paling tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. Menggunakan teknik group work</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Suatu kelas dibagi berkelompok-kelompok agar siswa dapat membangun kebiasaan bekerjasama dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. Menggunakan teknik cooperative learning</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Teknik ini sebenarnya hampir sama dengan diskusi dan group working, dimana dituntut kerjasama yang baik dari setiap individu siswa agar permasalah terpecahkan secara baik dan menumbuhkan sikap kebersamaan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Terdapat beberapa alasan metode ini dijadikan sebagai bentuk praktek belajar yang utama, yakni dapat meningkatkan prestasi siswa seperti dalam perbaikan pemahaman antar anggota grup melalui interaksi yang terjadi.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Inti dari belajar kooperatif (Slavin:1983), yakni: group siswa yang terdiri dari empat orang siswa berusaha menguasai pelajaran dan mempresentasikannya kepada guru dan teman-temannya dari group lain, guru menjelaskan pelajaran kemudian memberi waktu kepada siswa untuk mengerjakan bersama groupnya, kemudian siswa diberi Quiz, setelah itu dinilai dan group yang memenuhi kriteria diberikan penghargaan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Terdapat 5 metode belajar kooperatif:</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Student Teams-Achievement Division (STAD) </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Siswa dikumpulkan ke dalam kelompok yang hiterogen, setelah guru menyampaikan pelajaran, siswa bekerja dalam timnya untuk menguasai pelajaran kemudian setiap orang mengikuti quiz sendiri, nilai quiz siswa dibandingkan dengan rata-rata nilai yang lalu.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Team Geames-Tournamen (TGT)</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Metodenya sama dengan STAD namun mengganti quiz dengan pertandingan mingguan dimana siswa memainkan permainan pelajaran dengan anggora tim lain untuk memberi nilai pada tim</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. Jigsaw</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Setiap anggota tim diacak dan diberi tugas agar menjadi ahli pada beberapa bidang, kemudian mereka diberi quiz atau tugas lain untuk setiap topik.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. Team Accelerated Instruction (TAI)</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">TAI didesain khusus untuk mengajar matematika pada tingkat 3 sampai dengan 6</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. Cooperatif Integrated Reading and Compotition (CIPC)</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Metode ini merupakan program komprehensive untuk mengajar membaca dan menulis bagi siswa tingkat dasar, atas, dan menengah baik pembaca baru maupun dasar.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. Menggunakan teknik problem solving</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Guru memberikan suatu gambaran dan mengarahkan suatu permasalahan yang sedang terjadi kemudian siswa aktif dalam mencari solusi terbaik bagi masalah yang dihadapi.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pemecahan masalah bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks dari pada yang diduga. Pemecahan masalah memerlukan keterampilan berfikir yang banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis, mengklarifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramal, menarik kesimpulan dan membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ada beberapa pendekatan-pendekatan dalam Problem Solving, yaitu:</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Pendekatan reaktif Pendekatan ini terdapat dalam situasi dimana seseorang tiba-tiba dihadapkan dengan masalah yang harus segera diputuskan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pemecahan masalah yang reaktif tidak mempunyai banyak alternatif karena waktu sangat terbatas untuk mempertimbangkan konsekwensinya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Pendekatan antisipatif </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Berpartisipasi melihat masalah sewaktu mulai berkembang lalu ia secara sistematis memikirkan seperangkat alternatif lalu memilih salah satu diantaranya yang diduga serasi dengan permasalahan yang dihadapi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. Pendekatan reflektif </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Mengambil waktu untuk memikirkan suatu masalah secara mendalam, menganalisis semua komponennya sambil menimbang dengan cermat tiap kemungkinan tindakan yang akan diambil.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. Pendekatan implusif </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bertindak implusif dalam menghadapi masalah, dengan lebih banyak menggunakan instingnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan dalam poin 1 dan 2 bertalian dengan waktu, sedangakan pendekatan dalam poin 3 dan 4 bertalian dengan kedalaman analisis. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Langkah-langkah dalam Problem Solving (Bruce Joyce), yakni:</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">1. Mengetahui situasi atau kejadian dalam suatu masalah</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">2. Menangani masalah dalam langkah-langkah yang tepat</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">3. Menentukan semua langkah-langkah</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">4. Menentukan batas permasalahan</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">5. Mengadakan analisis masalah</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">6. Mengumpulkan data berkaitan dengan tugas masing-masing</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">7. Mengevaluasi data</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">8. Mengumpulkan data dan menarik suatu korelasi</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">9. Membuat generalisasi</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">10. Mempublikasikan hasil dari penyelidikan</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">6. Menggunakan teknik student reseach</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Siswa diajak untuk mencari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi secara sistematis dan terencana agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan oleh diri individu siswa.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">7. Menggunakan teknik feformance activities</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Siswa diajak dalam kegiatan real (nyata) agar siswa lebih dapat memahami tentang permasalahan yang sedang dihadapi, teknik ini biasa juga disebut dengan learning by doing.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"></span></span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-1917408034556447222010-03-06T01:50:00.000-08:002010-03-06T01:50:44.182-08:00Bahasa dan Membaca: Perkembangan dan kesulitannya<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"> </span><span class="fullpost"><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Solveig-Alma H. Lyster</span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendahuluan</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bab ini terutama akan membahas perkembangan membaca dan gangguan membaca. Namun, membaca adalah proses linguistik. Untuk dapat membaca dengan baik, pembaca harus memahami sintaks dan semantik bahasa dan harus memiliki pengetahuan tentang abjad dan memiliki kesadaran tentang aspek-aspek tertentu dari struktur linguistik bahasa. Oleh karena itu, hubungan antara perkembangan bahasa, pengetahuan linguistik dan membaca merupakan aspek sentral bab ini. Kesadaran linguistik, yaitu kemampuan untuk menelaah bahasa, akan menjadi fokus utama. Kesadaran linguistik sangat berkaitan dengan perkembangan membaca dalam bahasa yang alfabetik, dan karenanya merupakan hal yang sangat penting dalam pengajaran membaca. Perkembangan membaca juga sangat tinggi korelasinya dengan ejaan dan kemampuan untuk menyandikan kata-kata dalam bentuk ortografiknya yang benar. Oleh karena itu, meskipun membaca merupakan kajian utama bab ini, tetapi bahasan tentang ejaan dan tulisan tidak dapat diabaikan. Dengan cara yang berbeda, membaca mempengaruhi menulis dan menulis mempengaruhi membaca. Ini berarti bahwa latihan mengeja dan menulis bermanfaat untuk perkembangan membaca dan sebaliknya. Tidak ada satu pun program pelatihan membaca yang dapat memecahkan semua permasalahan yang dihadapi anak ketika belajar membaca dan menulis. Namun, program-program pelatihan membaca yang paling efektif mempunyai fitur-fitur tertentu yang sama. Pengajaran membaca yang formal perlu difokuskan pada perkembangan dua jenis penguasaan: pengenalan kata dan pemahaman. Kedua aspek ini karenanya akan difokuskan dalam bab ini.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menghadapi kesulitan terbesar dalam membaca di kelas-kelas dasar adalah mereka yang mulai bersekolah dengan keterampilan verbal yang kurang, pemahaman fonologi yang kurang, pengetahuan abjad yang kurang, dan kurang memahami tujuan dasar dan mekanisme membaca (Adams 1990; Kamhi 1989; Kamhi & Catts 1989; Snowling 1987, 2001). Oleh karena itu, untuk anak yang beresiko tertinggi mengalami kesulitan membaca, pengayaan lingkungan prasekolah dan pengajaran yang baik di kelas-kelas dasar dapat merupakan faktor penentu bagi keberhasilan dalam bidang membaca dan menulis. Tidak ada waktu sepenting tahun-tahun pertama masa kehidupan dan masa sekolah anak. Oleh karenanya, fokus bab ini lebih pada pencegahan kesulitan membaca daripada kesulitannya itu sendiri.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Di negara-negara, di mana banyak orang tua yang buta huruf dan mempunyai sedikit pengetahuan tentang cara terbaik mempersiapkan anaknya untuk pelajaran membaca di sekolah, sistem sekolah dan pemerintah menghadapi tantangan besar. Bagaimanakah caranya anak dari keluarga yang buta huruf dapat dipersiapkan untuk sekolah dan pengajaran membaca? Atau bagaimanakah sekolah dapat mengindividualisasikan pengajarannya untuk mengatasi kerugian yang datang dari keluarga buta huruf atau dari rumah dengan dukungan yang sedikit atau buruk terhadap membaca dan kegiatan linguistik?</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bahasa dan membaca</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bahasa adalah kode yang disepakati oleh masyarakat sosial yang mewakili ide-ide melalui penggunaan simbol-simbol arbitrer dan kaidah-kaidah yang mengatur kombinasi simbol-simbol tersebut (Bernstein dan Tigerman, 1993). Kode linguistik mencakup kaidah-kaidah kompleks yang mengatur bunyi, kata, kalimat, makna dan penggunaannya. Komunikasi adalah proses di mana individu-individu bertukar informasi dan saling menyampaikan buah pikirannya. Komunikasi merupakan proses aktif yang menuntut adanya pengirim yang menyandikan atau merumuskan pesan. Komunikasi juga menuntut adanya seorang penerima yang menafsirkan sandi atau memahami pesan tersebut. Banyak isyarat non-linguistik yang dapat membantu atau menghambat pengirim dan penerima dalam komunikasi lisannya. Tetapi komunikasi melalui bacaan dan tulisan sepenuhnya tergantung pada bahasa penulis dan pembacanya, pada pengetahuannya tentang kata-kata dan sintaks. Tetapi, pertama-tama, komunikasi melalui membaca dan menulis dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tulis yang alfabetik, tergantung pada pengetahuan dan kesadaran penulis dan pembacanya tentang prinsip-prinsip utama bahasa tulis itu, yaitu prinsip fonematik atau alfabetik dan prinsip morfematik. Pemahaman prinsip-prinsip ini tergantung pada pemahaman tentang struktur bunyi dan bagian-bagian bermakna dari kata-kata seperti unsur-unsur gramatik. Tetapi karena membaca juga berarti menyampaikan makna struktur ortografik tertulis yang mewakili kata-kata dan kalimat, maka kosa kata dan pemahaman tentang berbagai struktur kalimat juga merupakan hal yang sangat penting untuk perkembangan membaca.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bahasa merupakan suatu sistem kombinasi sejumlah komponen kaidah yang kompleks. Bloom dan Lahey (1978) memandang bahasa sebagai suatu kombinasi antara tiga komponen utama: bentuk, isi dan penggunaan. Bentuk suatu ujaran dalam bahasa lisan dapat digambarkan berdasarkan bentuk fonetik dan akustiknya, tetapi bila kita hanya menggambarkan bentuknya saja, maka kita akan terbatas pada penggambaran bentuk atau kontur fitur permukaan ujaran saja. Ini biasanya dilakukan berdasarkan unit fonologi (bunyi atau struktur bunyi), morfologi (unit-unit makna berupa kata atau infleksi), dan sintaks (kombinasi antara berbagai unit makna).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Isi bahasa adalah maknanya atau semantik- yaitu representasi linguistik dari apa yang diketahui seseorang tentang dunia benda, peristiwa dan kaitannya. Representasi linguistik tentang isi bahasa tergantung pada kode - yaitu suatu sistem isyarat arbitrer yang konvensional - yang memberi bentuk kepada bahasa (Bloom dan Lahey, 1978).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Menurut Bloom dan Lahey (1978), penggunaan bahasa terdiri dari pilihan perilaku yang ditentukan secara sosial dan kognitif berdasarkan tujuan si penutur dan konteks situasinya (hal. 20). Kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa dalam konteks sosial juga disebut pragmatik (lihat misalnya Bernstein dan Tigerman 1993). Pragmatik mencakup kaidah yang mengatur bagaimana kita berbicara dalam bermacam-macam situasi. Pembicara harus mempertimbangkan informasi tentang pendengarnya dan harus memahami berbagai isyarat non-linguistik yang dapat menghambat atau mendukung penyampaian pesannya. Kesadaran akan penerima pesan dan kebutuhannya akan membantu pengirim menciptakan situasi komunikasi yang optimal.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Anak mungkin berkesulitan dalam mengembangkan pengetahuan yang sesuai usia dalam salah satu dari ketiga dimensi bahasa (isi, bentuk atau penggunaan), dan kesulitan dalam satu dimensi dapat mengakibatkan kesulitan dalam dimensi lainnya. Kesulitan dalam dimensi bentuk mungkin terbatas hanya pada fonologi, tetapi kesulitan dalam mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang fonologi bahasa dapat mempengaruhi perkembangan dalam bidang morfologi dan sintaks.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Masalah dalam kemampuan mengembangkan kemampuan bahasa yang sesuai usia di dalam berbagai dimensi bahasa biasanya akan menimbulkan masalah dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis yang sesuai usia. Masalah-masalah ini mungkin terkait dengan perkembangan membaca pada berbagai tingkatan. Kesulitan dalam dimensi bentuk dapat mengakibatkan masalah dalam “memecahkan” kode bacaan. Anak yang bermasalah dalam mengembangkan pengetahuan tentang bentuk bahasanya dapat bermasalah dalam memahami struktur bunyi dan dalam memahami hubungan huruf-bunyi yang diperlukan untuk “memecahkan kode” bahasa tulis. Di pihak lain, anak yang berkesulitan memahami isi bahasa mungkin akan dapat “memecahkan kode” dengan mudah, tetapi mereka mungkin berkesulitan dalam memahami apa yang dibacanya. Siswa juga mungkin berkesulitan dalam membaca karena mereka berkesulitan dalam menggunakan bahasa. Tujuan pengajaran membaca adalah membaca untuk belajar (atau membaca untuk kesenangan). Pembaca harus dapat masuk ke dalam semacam dialog dengan penulis. Untuk belajar dan mengerti suatu teks diperlukan pengembangan strategi untuk memahami maksud penulis. Teks yang berbeda memerlukan strategi yang berbeda untuk memahaminya.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Perkembangan membaca - usia prasekolah</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Prestasi belajar yang memadai dan perilaku sosial dan penghargaan diri yang pantas adalah faktor-faktor penting untuk mengembangkan kehidupan yang pantas di dalam norma-norma masyarakat kita. Sejak tahun pertama kehidupannya di dunia ini, anak sudah mulai mengembangkan norma-norma yang mendasari kehidupan masyarakatnya. Ini dilakukannya melalui komunikasi dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari dengan lingkungan sekitarnya. Selama tahun pertama, mereka ambil bagian dalam percakapan dengan menggunakan bahasa tubuh dan isyarat non verbal. Kemudian sedikit demi sedikit mereka belajar kode linguistik bahasa, bagaimana kode merepresentasikan benda, kejadian dan bermacam-macam hubungan antara benda-benda dan kejadian-kejadian, dan mereka belajar cara mengirim dan menerima pesan dengan bahasa lisan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Untuk mempersiapkan anak pada pengajaran membaca di kelas-kelas awal, sebaiknya mereka diekspos pada lingkungan bahasa yang berkualitas tinggi - terutama di rumahnya, tetapi juga di panti asuhan anak dan di taman prasekolah jika anak tersebut masuk ke lembaga-lembaga ini. Waktu terbaik untuk mulai berbagi buku dengan anak adalah pada masa balita. Banyaknya pengalaman dengan bahasa lisan dan bahasa tulis, dari masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, sangat mempengaruhi keberhasilan anak dalam membaca di masa-masa selanjutnya. Anak membutuhkan aktivitas yang dapat mereka nikmati dan pengalaman keberhasilan, tanpa dipaksakan di luar tahap perkembangannya. Bahkan ketika anak belum dapat mengeja, mereka belajar dari upayanya untuk menulis. Bahkan ketika anak belum dapat membaca, mereka belajar dari orang yang membaca untuknya. Anak yang terekspos pada kosa kata yang canggih dalam percakapan yang menarik atau dalam bacaan yang didengarnya akan belajar kata-kata yang kelak akan dibutuhkannya untuk mengenali dan memahaminya pada saat sudah mulai belajar membaca. Berbicara dengan orang dewasa merupakan sumber eksposur terbaik bagi anak ke kosa kata baru. Berbicara itu penting - semakin bermakna dan berisi, semakin baik. Bahkan di negara-negara di mana banyak orang tua yang buta huruf, mereka dapat melihat buku gambar dengan anaknya dan berbicara tentang apa yang mereka lihat dalam buku tersebut - jika bukunya memang ada.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Selama usia prasekolah, kebanyakan anak secara bertahap semakin sensitif terhadap bunyi, juga terhadap makna kata-kata yang didengarnya. Sensitivitas ini adalah apa yang kita sebut sebagai kesadaran fonologi. Mereka dapat mengenali sajak dan menikmati puisi atau lagu bersajak. Mereka menceraikan kata-kata yang panjang menjadi suku-suku kata atau bertepuk tangan sejumlah suku kata yang terdapat dalam sebuah frase. Mereka menyadari bahwa ucapan beberapa kata seperti “dog”, “dark” dan “dusty” semuanya dimulai dengan bunyi yang sama. Mereka dapat menemukan kata yang tidak cocok (tidak bersanjak) dalam kelompok kata “house”, “tiger” dan “mouse”, dan mereka mungkin dapat menggabungkan bunyi-bunyi seperti /m/-/a/-/t/ dan /l/-/i/-/p/ menjadi “mat dan “lip”.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Walaupun anak-anak prasekolah yang lebih muda jarang memperhatikan segmen terkecil yang bermakna (fonem) dari sebuah kata, memperoleh kesadaran tentang adanya fonem ini merupakan aspek kesadaran fonologi yang lebih maju, yang menjadi semakin penting semakin anak mendekati usia sekolah. Ini karena huruf biasanya mewakili fonem. Itu adalah prinsip alfabetik (lihat misalnya Adams 1990). Lagu, permainan sajak, permainan bahasa dan sajak kanak-kanak merupakan cara terbaik untuk memupuk kesadaran fonologi pada usia prasekolah. Kegiatan-kegiatan ini juga mungkin akan sangat penting pada awal usia sekolah ketika anak sedang belajar prinsip alfabetik.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kegiatan orang tua membacakan kepada anaknya di rumah dilihat sebagai persiapan yang sangat penting bagi anak dalam menghadapi tantangan pengajaran membaca di sekolah. (Untuk contoh, lihat Burns, Friffin & Snow, 1999). Persiapan ini akan sangat efektif bila orang tua melakukan tiga hal:</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Mengembangkan teks </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Merujuk pada pengalaman anak itu sendiri </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Menyela kegiatan membaca dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Mengingat kamampuannya bercerita dengan baik, bagi sebagian orang, televisi dapat dipandang sebagai pengganti kegiatan membaca. Akan tetapi, kekurangan ketiga kualitas ini dapat mengakibatkan program televisi yang baik pun tidak begitu efektif untuk mempersiapkan dasar bagi perkembangan bahasa dan membaca.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Perkembangan membaca dan faktor-faktor lingkungan</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Sejumlah faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan membaca. Beberapa di antaranya sudah dibahas di atas. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat melek huruf orang tua berperan penting dalam perkembangan membaca anak (Cox 1987), dan Chall, Jacobs dan Baldwin (1990) menemukan bahwa prediktor terkuat tentang kemampuan membaca dan pengetahuan kosa kata pada keluarga berpendapatan rendah adalah lingkungan melek huruf di rumah, pendidikan ibu dan tingkat ekspektasinya terhadap pendidikan anaknya, dan pendidikan ayah. Tetapi, secara umum, variabel maternal lebih berpengaruh terhadap perkembangan baca-tulis dan bahasa dibanding variabel ayah. Chall dan rekan-rekan kerjanya menjelaskan temuan ini timbul karena ibu menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anaknya daripada ayah, membantu pekerjaan rumah, menjawab pertanyaan, membacakan cerita dan lain-lain. Tingkat minat ibu terhadap baca-tulis juga signifikan korelasinya dengan perkembangan membaca anak. Menurut Chall dan rekan-rekan, ekspektasi orang tua dan minatnya terhadap pekerjaan sekolah anaknya merupakan faktor terpenting, tidak hanya untuk perkembangan membaca tetapi juga untuk perkembangan semua mata pelajaran sekolah. Ekspektasi dan keterlibatan orang tua dalam pekerjaan sekolah anaknya harus dimotivasi jika kurang. Kurangnya dukungan dan keterlibatan dalam masalah sekolah anak lebih umum terjadi di negara-negara berkembang (lihat Alenyo, 2001) dan karenanya harus menjadi perhatian besar di beberapa negara.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Namun, penelitian etnografik menunjukkan secara jelas bahwa kemiskinan bukan faktor penentu utama untuk persiapan baca-tulis yang diperoleh anak di rumah (Adams 1990). Yang paling menentukan adalah kualitas kegiatan baca-tulisnya. Oleh karena itu, lingkungan yang miskin pun dapat mempersiapkan anak untuk belajar membaca di sekolah dengan baik selama mereka mempunyai buku untuk dibaca dan selama orang tua bersedia membacakan kepada anaknya. Tentu saja ini merupakan tantangan besar di negara-negara di mana para orang tuanya buta huruf dan sedikit sekali buku yang tersedia (Lihat Aringo 2001). Perkembangan baca-tulis merupakan tugas nasional, yang akan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial negara. Tantangan terbesar dalam meningkatkan tingkat baca-tulis tampaknya terletak pada kurangnya bahan bacaan yang tepat – baik di sekolah maupun di rumah, dan kurangnya jumlah buku yang tersedia bagi anak di kelas.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kalaupun kemiskinan bukan merupakan faktor penentu utama kesiapan baca-tulis, Lyster (1998, dalam pers) menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor penting untuk perkembangan membaca, meskipun dengan memperhitungkan faktor IQ. Karena pengaruh Genetik sejauh tertentu menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian Lyster, hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan ibu mungkin dapat menjadi bagian dari alat ukur konteks linguistik yang diciptakannya bagi anaknya. Bagaimanakah ibu yang lebih berpendidikan berkomunikasi secara linguistik dengan anaknya dibanding ibu yang kurang berpendidikan? Apakah mereka membacakan buku untuk anaknya lebih sering atau dengan cara yang berbeda dari ibu yang kurang berpendidikan? Apakah pencegahan gangguan membaca sebaiknya dimulai secara tidak langsung dengan mendidik orang tua? Penelitian oleh Whitehurst, Epstein, Angell, Payne, Crone ddan Fischel (1994) menunjukkan bahwa mendidik orang tua dari masyarakat sosio-ekonomi rendah tentang cara berinteraksi dengan anaknya pada saat mereka membacakan untuk mereka, berdampak positif terhadap perkembangan baca-tulis anak.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dalam penelitian ini orang tua diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya “apa”, “mengapa”, “di mana” dan “kapan” pada saat sedang membacakan, untuk membantu anak memahami isi teks. Bahkan jika perkembangan membaca sejauh tertentu tergantung pada faktor biologi dan genetik, membaca adalah kemampuan yang sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Salah satu faktor tersebut, yang belum dibahas, adalah bahasa sehari-hari anak di rumah. Jika bahasa rumah berbeda dari bahasa yang dipergunakan ketika anak belajar membaca dan menulis, anak kemungkinan akan menghadapi banyak masalah. Oleh karena itu, jika seorang anak tidak dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya atau jika bahasa ibunya tidak mempunyai bahasa tulis, bahasa pengantar harus diajarkan kepada anak secara intensif di samping mengajarinya membaca dan menulis – dan bahkan sebelumnya jika memungkinkan (Lyster 1999). Situasi ini tampaknya merupakan realitas yang ada di negara-negara berkembang tertentu meskipun anak diharapkan belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kesadaran Linguistik</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Telah diterima secara luas bahwa terdapat hubungan yang kuat antara perkembangan membaca dengan kesadaran linguistik, yaitu kemampuan untuk merefleksikan bahasa lisan (Adams 1990; Goswani & Bryant 1990; Hagrvet 1989), dan bahwa upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran fonologi yang dilakukan sebelum pengajaran membaca Itu dapat memprediksi keterampilan membaca nantinya (Mann 1991; Wagner & Torgesen 1987). Istilah kesadaran linguistik digunakan secara luas, yang mencakup bermacam-macam tugas, seperti menilai ada atau tidaknya persanjakan, kemampuan untuk menguraikan kata menjadi segmen-segmen bunyi, menghitung jumlah kata dalam kalimat dan jumlah suku kata dalam satu kata, mendeteksi morfem dalam kata-kata, dan menilai kebenaran sintaktik dan gramatik. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kesadaran fonologi adalah kemampuan anak untuk menganalisis struktur bunyi kata, sedangkan kesadaran fonemik mengacu secara spesifik pada kesadaran tentang adanya fonem-fonem (bunyi) yang berbeda-beda. Penelitian yang dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan membaca dengan memberikan latihan fonologi dan fonem kepada anak sebelum atau selama pengajaran membaca telah berhasil dengan baik (Bradley 7 Bryant 1983; Cunningham 1990; Hatcher, Hulmer & Ellis 1994; Lundberg, Frost & Petersen 1988).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dibandingkan dengan kesadaran fonologi, kesadaran morfologi belum begitu banyak diperhatikan dalam penelitian tentang pengajaran membaca dan gangguan membaca. Sebuah morfem adalah unsur makna yang paling mendasar. Kesadaran morfologi adalah kemampuan untuk menyadari dan memanipulasi morfem-morfem, pasangan unit-unit kata terkecil yang mengandung makna. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Terdapat bukti bahwa ada hubungan antara kesadaran morfologi dan perkembangan membaca (Fowler & Liberman 1995). Henry (1993) menunjukkan bahwa pengetahuan siswa kelas tiga dan kelas lima tentang pola-pola morfologi serta kinerjanya dalam membaca dan mengeja meningkat setelah menerima pengajaran tentang bahasa asalnya dan pola morfem bahasa Inggris. Demikian pula, studi di Denmark melaporkan hasil yang menggembirakan dari suatu studi pelatihan yang mengajarkan morfologi kepada siswa Denmark usia sepuluh hingga dua belas tahun yang mengalami kesulitan membaca (Elbro & Arnbak 1996).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Lyster (1997, dalam pers) melaporkan dampak pelatihan kesadaran fonologi dan morfologi di taman kanak-kanak terhadap perkembangan ejaan dan membaca di kelas satu. Dampak pelatihan morfologi itu sangat jelas pada kelompok anak yang ketika intervensi dimulai sudah memiliki kesadaran fonologi yang sudah relatif baik. Oleh karena itu, Pelatihan terhadap anak-anak prasekolah yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kesadaran morfologinya akan berdampak relatif kecil pada perkembangan membaca pada kelas satu sekolah dasar jika kemampuan fonologi anak itu rendah (lihat Fowler dan Liberman 1995 untuk pembahasan lebih lanjut). Di pihak lain, morfem mempunyai struktur fonologi. Oleh karena itu, pelatihan morfem akan juga berkontribusi pada perkembangan kesadaran fonologi. Jika anda membaca bahasa Inggris dan tahu tentang bentuk jamak yang berakhiran -s, struktur ortografik dengan akhiran -ing dalam kata-kata seperti singing dan dancing, dan berbagai awalan seperti un-dalam kata unhappy atau mis- dalam kata misbehave, maka akan mudah bagi anda memahami kata-kata itu. Memahami isi morfem-morfem ini juga akan membantu anak dalam mengembangkan kosa kata baru.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Mengetahui bahwa awalan un- di depan kata happy membuat kata tersebut mempunyai makna yang berlawanan, dapat membantu anak menciptakan kata-kata baru seperti unlikely, unsatisfied dll.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Perkembangan membaca dan gangguan membaca</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Menurut model membaca dual-route (dua arah), ada dua strategi yang digunakan ketika membaca kata-kata (Coltheart 1978), yaitu strategi fonematik dan strategi ortografik. Model-model ini masih mendapatkan dukungan yang kuat. Strategi fonologi/fonematik melibatkan penggunaan kaidah konversi grafem-fonem untuk memperoleh akses leksikal ke stimulus tulisan, dan strategi ortografik melibatkan akses leksikal langsung yang memetakan konfigurasi ortografik dari sebuah kata secara langsung ke penyimpanan visual internal di dalam leksikon (Siegel 1993). Pengetahuan dan kesadaran morfologi merupakan satu elemen penting bila menggunakan strategi ortografik. Namun, sejauh tertentu, kemampuan awal anak untuk menggunakan kedua strategi tersebut tergantung pada keteraturan bahasa yang digunakan untuk membaca. Bahasa Inggris, misalnya, sangat tidak teratur dibanding bahasa Jerman dan bahasa Norwegia (lihat misalnya Hagtvet & Lyster, dalam pers). Satu fonem atau bunyi dalam bahasa Inggris sering kali digambarkan dengan banyak grafem, sedangkan sebagian besar bunyi dalam bahasa Norwegia selalu terkait dengan grafem yang sama. Dalam bahasa Inggris, bahasa tulis juga mempunyai lebih banyak grafem yang terdiri dari dua atau tiga huruf daripada bahasa Norwegia, misalnya, di mana sebagian besar bunyi hanya digambarkan dengan satu huruf atau satu grafem yang terdiri dari satu huruf. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pelatihan keterampilan fonologi tampaknya mempunyai dampak yang sangat kuat terhadap membaca bila anak diajarkan tentang hubungan antara bunyi dan huruf dan bila pelatihan kesadaran fonemik dikaitkan secara eksplisit dengan tulisan (Ball & Blachman 1988; Bradley dan Bryant 1983; Hatcher, Hulme, & Ellis 1994). Pelatihan kesadaran morfologi juga akan lebih efektif jika aktivitas oral dikaitkan dengan tulisan. Sistem tulisan yang alfabetik biasanya digambarkan sebagai morfo-fonemik, karena representasi kata-kata sesuai dengan kombinasi antara prinsip morfemik dan prinsip fonemik.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Agar menjadi pembaca yang kompeten, anak harus menggunakan kedua prinsip tersebut (Adams 1990). Bila seorang anak belajar membaca atau mengeja, penting untuk pertama-tama mengases apakah anak tersebut tahu semua hubungan bunyi-grafem, dan apakah unit-unit yang lebih besar seperti morfem dapat langsung dikenalinya ketika dia membaca.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Wimmer dan Goswami (1994) menekankan bahwa untuk dapat membaca cepat dengan pemahaman, anak yang belajar membaca dalam ortografi yang alfabetik perlu mengembangkan strategi pengenalan kata secara langsung dan tidak belajar ucapan lewat penerjemahan grafem-fonem (hal. 102). Kesadaran akan prinsip ini mungkin penting untuk mengidentifikasi kata-kata secara cepat. Anak-anak yang belajar tentang prinsip morfologi bahasa tulis di samping prinsip alfabetik dapat memperoleh keuntungan tambahan bila mengidentifikasi kata-kata yang tertulis, setidaknya jika mereka sudah belajar hubungan antara huruf dan bunyi. Tampaknya mereka mampu mengidentifikasi struktur yang lebih besar, misalnya struktur yang mewakili unsur-unsur gramatik, secara lebih mudah dan lebih cepat dibanding anak-anak yang tidak memiliki pengetahuan tentang prinsip morfematik.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pola-pola kesulitan membaca yang digambarkan dalam model-model seperti yang dikemukakan oleh Spear-Swerling dan Sternberg (1994) mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor biologis dan lingkungan. Anak mungkin keluar dari jalur pada titik-titik tertentu menuju kemampuan membaca yang baik, dan perbedaan individual dalam hal temperamen, motivasi dan inteligensi secara keseluruhan mungkin terkait dengan variabel-variabel lingkungan untuk menentukan jalur belajar membaca yang akan diambilnya. Sekali seorang anak atau remaja “terperosok” ke dalam rawa ekspektasi negatif, motivasi yang rendah dan tingkat praktek yang rendah, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan menuju kemampuan membaca yang baik (Spear-Swerling dan Sternberg 1994).</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987). Akan tetapi, penting untuk dikemukakan kembali bahwa disposisi genetik ini kecil dampaknya terhadap perkembangan jika intervensi dini pada masa kanak-kanak dan masa sekolah difokuskan pada pemberian program linguistik yang memuaskan kepada semua anak untuk pengembangan kemampuan membaca dan mengejanya – dan penting untuk diingat bahwa keterampilan membaca berkembang melalui latihan praktis. Semakin banyak anak membaca, akan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi pembaca yang baik. Kenyataan ini juga berlaku bagi mereka yang mengalami kesulitan khusus mengembangkan keterampilan membaca yang sesuai usia yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, kognitif atau bahkan genetik seperti disleksia.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<strong><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Daftar Pustaka</span></strong><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Adams, M.J.1990. Beginning to read: Thanking and learning about print. Cambridge, MA, MIT press. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Alenyo, D. 2001. The quality of teaching children with low vision in regular classrooms in Uganda. Master thesis, Department of Special Needs Education, University of Oslo. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Aringo, H.L. 2001. Environmental factors that influence potentials in learning to read: A comparative study of children’s reading performances. Master thesis, Department of Special Needs Education, University of Oslo. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Ball, E. W. &/ Blackman, B.A. 1988. Phoneme segmentation training: Effect on reading readiness. Annals of Dyslexia, 38:208-225. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Bernstein, D.K. &/ Tiegerman, E. 1993. Language and communication disorders in children . New York, Maxwell Macmillian International. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Bloom, L.& Lahey, M., 1978. Language development and language disorders. New York, John Wiley & Sons. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Bradley, L. & Bryant, P. 1983. Categorizing sounds and learning to read – a causal connection, Nature, 301:419-421. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Burns, M.S., Griffin, P. & Snow, C.E. 1999. Starting out Right. A Guide to Promoting Children’s Reading Success. Washington DC, National Research Council. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Chall, J.S., Jacobs, V.A.,& Baldwin, L.E. 1990. The Reading Crisis. Why Poor Children Fall Behind in Reading. Cambridge, MA. Harvard University Press. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Cotheart, M. 1978. Lexical access in simple reading tasks. In G. Underwood (ed.), Strategies of Information Processing. London , Academic Press:151-216. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Cox, T. 1987. Slow starters versus long-term backward readers. British Journal of Educational Psychology, 57:72-86. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Cunningham, A.E. 1990. Ex[licit versus implicit instruction in phonemic awareness. Journal of Experimental Child Psychology, 50:429-444. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Elbro, C. & Arnbak, E. 1996. The role of morpheme recognition and morphologic awareness in dyslexia. Annals of Dyslexia, 44: 205-226. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Fowler. A.E. & Liberman, I .Y. (1995). The role of phonology and orthography in morphological awareness. In L. B. Feldman (ed.). Morphological Aspect og Language Processing. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum Associates:157-188.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Goswami, U. & Bryant, P. 1990. Phonological Skills and Learning to Read. London Lawrence Erlbaum. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Hagtvet, B.E. (1989). Emergent literacy in Norwegian 6-years olds. From pretend writing to phonemic awareness to invented writing. In F. Biglmaier (ed.). Reading at the Crossroads. Conference report, The 6th European Conference on reading. Berlin, July 31st – August 3rd. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Hagtvet, B.E. & Lyster, S.A.H. In press. Spelling errors of poor and good beginning readers. In N. Goulandris (Ed.). Dyslexia: a Cross-Linguistic Comparison. London, Whurr Publishers. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Hatcher, P., Hulme, C., & Ellis, A. 1994. Ameliorating early reading by integrating the teaching of reading and phonological skills: The Phonological linkage hypothesis, Child Development, 65:41-57. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Henry, M.K. 1993 Morphological structure: Latin and Greek roots and affixes as upper grade code strategies. Reading and Writing : An Interdisciplinary Journal, 5:227-241. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Kamhi, A.G. 1989 Causes and consequences of reading disabilities. In A.G. Kamhi and H.W. Catts Catts (eds.). Reading Disabilities A Developmental Language Perspective Boston MA, College-Hill Press:67-100. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Kamhi, A.G. & Catts, H.W. 1989. Language and reading: Convergences, Divergences, and Development. In A.G Kamhi and H.W. Catts (eds.). Reading Disabilities A Developmental Language Perspective. Boston MA, College-Hill Press:1-34. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Lundberg, I., Frost, J., & Petersen, O, 1988. Effects of an extensive program stimulating phonological awareness in pre-school children. Reading Research Quarterly, 23:263-284 </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Lyster, S.A.H. 1997. Spelling development and metalinguistic training before school entrance; the effects of different metalinguistic training on spelling development in first grade. In C.K. Leong & M. Joshi (eds.). Cross-Language Studies of Learning to Read and Spell: Phonologic and Orthographic Processing. Dordrecht, Kluwer Academic Publishers: 302-329. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Lyster, S.A.H. 1998. Preventing reading failure: A follow-up study. Dyslexia, 4: 132-144. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Lyster, S.A.H. 1999. Learning to read and Write. The Individual Child and Contextual Interactions. Department of Special Needs Education, University of Oslo . </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Lyster, S.A.H. In press. The effects of morphological versus phonological awareness training in kindergarten on reading development. Reading and Writing: An Interdisciplinary Journal. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Mann, V.A. 1991. Are we talking a too narrow a view of the conditions for development of phonological awareness? In S.A. Brady & D.P. Shankwiler (eds.). Phonological Process in Literacy. A Tribute to Isabelle Y. Liberman. Hillsdale, NJ. Lawrence Ealrbaum: 55-64 </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Siegel, L.S. 1993. The cognitive basis of dyslexia. In R. Pasnak & M.L. Howe (Eds.). Emerging themes in cognitive development, Vol. 2. NY. Springer-Verlag. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Snowling, M.J. 1987. Dyslexia. A Cognitive Development Perspective. Oxford, Basil Blackwell. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Snowling, M.J. 2001. From language to reading and dyslexia. Dyslexia, 7:37-46. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Spear-Swerling, L. & Sternberg, R.J. 1994. The road not taken: An integrative theoretical model of reading disability. Journal of Learning Disability, 27:91-103 </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Wagner, R.K. & Torgesen, J.K. (1087). The nature of phonological processing and its Causal role in the acquisition of reading skills. Psychological Bulletin, 101:192-212. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Whitehurst, G,J., Epstein, J.N., Angel, A.L., Payne,A.P. Crone,D.A. & Fischel, J.E. 1994. Outcomes of an emergent literacy intervention in Head Start. Journal of Educational Psychology, 30:79-89. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">• Wimmer, H. & Goswami, U. (1994). The influence of orthographic consistency on reading development: word recognition in English and German children, Cognition, 51:91-103.</span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-55448400136987176692010-03-06T01:36:00.000-08:002010-03-06T01:41:19.435-08:00AYAT-AYAT SEKOLAH UNGGUL<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.</span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu– dan memang tidak diberdayakan untuk mampu–mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, “SMA berbasis komputer”, “SD berbasis kelas kecil”, “SMP berbasis IST (information system technology),” “SMK bersistem asrama,” “Aliyah dengan pengantar tiga bahasa,” dan sebagainya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa yang kreatif dan disiplin,” dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan ( buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan. </span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun “kepercayaan” dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat </span><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">disumbangkan pada sekolah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air. </span><br />
<div style="text-align: right;"><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Penulis, A. CHAEDAR ALWASILAH </span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.</span></div>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-82875246534243620752009-09-23T06:40:00.000-07:002010-03-11T20:58:24.665-08:00Dasar Pemahaman dan Pengembangan KTSP<span class="fullpost"><br />
<strong>Oleh Masnur Muslich</strong><br />
<br />
<strong>Prolog</strong><br />
KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan mulai tahun ajaran 2006/2007. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, KTSP ini disusun oleh satuan pendidikan masing-masing. Pemerintah (c.q. Depdiknas) hanya memberikan rambu-rambu penyusunanan atau pengembangannya. Lewat rambu-rambu yang berlandaskan piranti hukum mulai dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006 ini, satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA) diharapkan bisa bisa mengembangkan KTSP sebagai dasar untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran bagi siswa.<br />
Makalah bertajuk ”Dasar Pemahaman dan Pengembangan KTSP” ini bermaksud memberikan disusun dengan tujuan ingin menjembatani tugas mulia tersebut, walaupun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sudah menyusun panduan sejenis. Hal ini dimaksudkan agar pelaksana pendidikan (guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, dan pihak-pihak yang terkait lain) mempunyai bandingan acuan dan tambahan wawasan sehingga lebih memperlancar dan memantapkan kinerja mereka. <br />
Dengan pertimbangan praktis-pragmatis, uraian yang terdapat dalam buku ini lebih diarahkan pada langkah-langkah konkret yang bisa dipakai sebagai panduan pelaksana pendidikan (khususnya guru) dalam pengembangan KTSP. Oleh karena itu, urutan penyajian dalam buku ini pada dasarnya mencerminkan urutan kegiatan dalam pengembangan kurikulum.<br />
<strong>A. Apa Landasan Penyusunan KTSP?</strong><br />
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. <br />
Dalam penyusunannnya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi <br />
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). <br />
Kalau begitu, apa itu KTSP? <br />
KTSP yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP. <br />
Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat Panduan Penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.<br />
Penyusunan KTSP yang dipercayakan pada masing tingkat satuan pendidikan ini hampir senada dengan prinsip implementasi KBK (Kurikulum 2004) yang disebut Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan KBS ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KBK yang “sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya. <br />
<br />
Dengan adanya Pengelolaan KBS ini maka banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, yaitu: sekolah, kepala sekolah, guru, dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi dan Depniknas. Pada KTSP, kewenangan tingkat satuan pendidikan (sekolah) untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.<br />
<br />
<strong>B. Apa saja prinsip dan acuan pengembangan KTSP?</strong><br />
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:<br />
• berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;<br />
• beragam dan terpadu;<br />
• tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;<br />
• relevan dengan kebutuhan kehidupan;<br />
• menyeluruh dan berkesinambungan;<br />
• belajar sepanjang hayat; dan<br />
• seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. <br />
Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut.<br />
Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia <br />
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.<br />
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik<br />
Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />
Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan<br />
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah. <br />
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional<br />
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.<br />
Tuntutan dunia kerja<br />
Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.<br />
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />
Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. <br />
Agama<br />
Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah. <br />
Dinamika perkembangan global <br />
Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.<br />
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan<br />
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />
Kondisi sosial budaya masyarakat setempat<br />
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.<br />
Kesetaraan Jender<br />
Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.<br />
Karakteristik satuan pendidikan<br />
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. <br />
<br />
<strong>C. Apa saja komponen KTSP?</strong><br />
KTSP ada empat komponen, yaitu (1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, (2) struktur dan muatan KTSP, (3) kalender pendidikan, dan (4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)<br />
<em>Komponen 1: Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan</em><br />
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut. <br />
• Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />
• Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />
• Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.<br />
<br />
<em>Komponen 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan</em><br />
Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam Standar Isi, yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran sebagai berikut.<br />
• Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia <br />
• Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian <br />
• Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi <br />
• Kelompok mata pelajaran estetika<br />
• Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan<br />
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7.<br />
Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.<br />
Mata pelajaran<br />
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi.<br />
Muatan Lokal<br />
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />
Kegiatan Pengembangan Diri<br />
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik. <br />
Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. <br />
Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. <br />
Pengaturan Beban Belajar <br />
• Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standar.<br />
• Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar.<br />
• Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.<br />
• Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />
• Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />
• Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. <br />
• Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut.<br />
- Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.<br />
- Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. <br />
<br />
Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan<br />
Kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan mengacu kepada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.<br />
Pendidikan Kecakapan Hidup <br />
• Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.<br />
• Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran. <br />
• Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />
• Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.<br />
• Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran. <br />
• Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />
<br />
<em>Komponen 3: Kalender Pendidikan</em><br />
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi. <br />
<br />
<em>Komponen 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran</em><br />
Silabus ini merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.<br />
<br />
<strong>D. Bagaimana struktur KTSP?</strong><br />
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen:<br />
Dokumen I memuat acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan kTSP, dan kalender pendidikan<br />
Dokumen II memuat silabus dari sk/kd yang dikembangkan pusat dan silabus dari sk/kd yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan).<br />
Secara garis besar, struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut.<br />
<br />
<strong><em>A. Sruktur KTSP Dokumen 1</em></strong><br />
<br />
BAB I PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang (dasar pemikiran penyusunan KTSP) <br />
B. Tujuan Pengembangan KTSP<br />
C. Prinsip Pengembangan KTSP<br />
Catatan: <br />
Prinsip pengembangan KTSP sesuai dengan karakteristik sekolah yang bersangkutan.<br />
<br />
BAB II . TUJUAN PENDIDIKAN<br />
A. Tujuan pendidikan (Disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)<br />
B. Visi Sekolah<br />
C. Misi Sekolah<br />
D. Tujuan Sekolah<br />
Catatan:<br />
Penyusunan visi, misi, tujuan satuan pendidikan bisa dilakukan dengan tiga tahap:<br />
Tahap 1 : Hasil Belajar Siswa<br />
Apa yg hrs dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah mereka menamatkan sekolah?<br />
Tahap 2 : Suasana Pembelajaran<br />
Suasana pembelajaran seperti apa yg dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu?<br />
Tahap 3 : Suasana Sekolah<br />
Suasana sekolah – sebagai lembaga/organisasi pembelajaran – seperti apa yg diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa?<br />
<br />
BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM<br />
Meliputi Sub Komponen:<br />
A. Mata pelajaran<br />
Berisi “Struktur Kurikulum Tingkat Sekolah” yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian SKL.<br />
Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain:<br />
• mengatur alokasi waktu pembelajaran “tatap muka” seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan Ketrampilan/Bahasa asing lain);<br />
• memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru; <br />
• mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum; dan<br />
• tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi.<br />
<br />
B. Muatan lokal<br />
Berisi tentang: Jenis, Strategi Pemilihan dan pelaksanaan Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.<br />
Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />
Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mapel lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi Mapel tersendiri;<br />
Merupakan Mata pelajaran wajib yang tercantum dlm. Struktur kurikulum;<br />
Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka).<br />
Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester, mengacu pada: minat dan atau karakteristik program studi yang diselenggarakan di sek.<br />
Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran, sesuai dengan minat dan prog. Mulok yang diselenggarakan sekolah.<br />
Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, Contoh:<br />
- Bdg. Budidaya: Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, pembibitan ikan hias dan konsumsi, dll<br />
- Bdg. Pengolahan: Pembuatan Abon, Kerupuk, Ikan Asin, Baso dll.<br />
- Bdg. TIK dan lain2: Web Desain, Berkomunkasi seb. Guide, akuntansi komputer, Kewirausahaan dll<br />
Sekolah harus menyusun SK, KD dan Silabus untuk Mata pelajaran Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.<br />
Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok<br />
C. Kegiatan Pengembangan diri<br />
• Bertujuan memberikan kesempatan kpd peserta didik utk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dg kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah.<br />
• Dapat dilaksanakan dalam bentuk keg: <br />
- Pelayanan Konseling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karir ), dan atau<br />
- pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti: Kepramukaan, Kepemimpinan, KIR dll. <br />
• Bukan Mata Pelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD dan silabus.<br />
• Dilaksanakan melalui Ekstra kurikuler<br />
• Penilaian dilakukan secara kualitatif (deskripsi), yang difokuskan pada “Perubahan Sikap dan Perkembangan Perilaku Peserta Didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri. <br />
D. Pengaturan beban belajar<br />
• Berisi tentang jumlah beban belajar per MP, per minggu per semester dan per Tahun Pelajaran yang dilaksana-kan di sekolah, sesuai dg. alokasi waktu yang tercantum dlm. Struktur Kurikulum <br />
• Sekolah dapat mengatur alokasi waktu utk setiap MP pada smt ganjil dan genap dlm satu th pelajaran sesuai dg. Kebutuhan, tetapi Jml. Beban belajar per tahun secara keseluruhan tetap.<br />
• Alokasi waktu kegiatan Praktik diper-hitungkan sbb: 2 JPL praktik di seko-lah setara dg 1 JPL ttp muka, dan 4 JPL praktik di luar sek setara dg 1 JPL ttp muka.<br />
• Sekolah dpt memanfaatkan alokasi Tambahan 4 JPL dan alokasi waktu penugasan terstruktur (PT) dan penugasan tidak terstruktur (PTT) sebanyak 0% – 60% per MP (Maks. 60 % X 38 JPL = 22 Jpl) untuk kegiatan remedial, pengayaan, penambahan jam praktik dll, sesuai dg potensi dan kebutuhan siswa dlm mencapai kompetensi pd. Mata pelajaran tertentu.<br />
• Pemanfaatan alokasi waktu PT dan PTT, harus dirancang secara tersistem dan terprogram menjadi bagian integral dari KBM pada Mapel ybs, <br />
• Alokasi waktu PT dan PTT tidak perlu dicantumkan dalam struktur kurikulum dan silabus, tetapi dicantumkan dalam Skenario Pembelajaran, Satpel.<br />
• Sekolah harus mengendalikan agar pemanfaatan waktu dimaksud dapat digunakan oleh setiap guru secara efisien, efektif, dan tidak membebani siswa. <br />
<br />
E. Ketuntasan Belajar<br />
• Berisi tentang Kriteria dan melanisme penetapan Ketuntasan Minimal Per Mata Pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dg mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />
• Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0 – 100 %, dgn batas kriteria ideal minimum 75 %. <br />
• Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per MP dg mempertimbangkan: kemampuan rata2 siswa, kompleksitas, SD pendukung. <br />
• Sek dpt menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, ttp secara bertahap hrs dpt mencapai kriteria ketuntasan ideal<br />
<br />
F. Kenaikan Kelas, dan kelulusan<br />
• Berisi tentang kriteria dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta streategi penanganan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh Sekolah. Program disusun mengacu pada hal2 sebagai berikut:<br />
• Panduan kenaikan kelas yang akan disusun oleh Dit. Pembinaan SMA <br />
• Sedangkan ketentuan kelulusan akan diatur secara khusus dalam peraturan tersendiri.<br />
<br />
G. Penjurusan<br />
• Berisi tentang kriteria dan meka-nisme Penjurusan serta strategi-/kegiatan Penelusuran bakat, minat dan prestasi yang diberlakukan oleh Sekolah, yang disusun dengan mengacu pada:<br />
• Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.<br />
<br />
H. Pendidikan kecakapan Hidup<br />
• Bukan mata pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integral dari semua MP.<br />
• Tidak masuk dalam struktur kurikulum.<br />
• Dapat disajikan secara terintegrasi dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan ecara khusus.<br />
• Substansi Kecakapan Hidup meliputi: Kecakapan pribadi, sosial, akademik dan atau vokasional.<br />
• Untuk kecakapan vokasional, dapat diperoleh darisatuan pend ybs, al melalui mapel Mulok dan atau mapel Keterampilan.<br />
• Bila Sk dan KD pd mapel keterampilan tidak sesuai dg kebutuhan siswa dan sekolah, maka sek dpt mengembangkan SK, KD dan Silabus keterampilan lain sesuai dg kebutuhan sekolah.<br />
• Pembelajaran mapel keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif melalui Intra kurikuler.<br />
• Pengembangan SK,KD, Silabus dan Bahan Ajar dan Penyelenggaraan Pembelajaran Keterampilan Vokasional dpt dilakukan melalui kerjasama dengan satuan pend formal/non formal lain.<br />
<br />
I. Pendidikan berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />
• Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global.<br />
• Substansinya mencakup aspek: Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, ekologi, dan lain- lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.<br />
• Dapat merupakan bagian dari semua MP yg terintegrasi, atau menjadi mapel Mulok.<br />
• Dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau satuan pendidikan nonformal.<br />
<br />
Catatan: Untuk PLB/PK ditambah dengan Program Khusus <br />
<br />
BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN<br />
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dng kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.<br />
<br />
Contoh pengembangan KTSP bisa dilihat pada Lampiran 1.<br />
<br />
<br />
<strong><em>B. Struktur KTSP Dokumen 2</em></strong><br />
<br />
A. SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN PUSAT<br />
B. SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN SEKOLAH (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)<br />
<br />
SD/MI<br />
A. Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III)<br />
B. Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI)<br />
C. Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />
D. Silabus Keagamaan (Khusus MI)<br />
<br />
SMP/MTs<br />
A. Silabus Mata Pelajaran (Kelas VII, VIII dan IX)<br />
B. Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />
C. Silabus Mapel IPA dan IPS Terpadu (Kelas VII, VIII, dan IX)<br />
D. Silabus Keagamaan (Khusus MTs)<br />
<br />
SMA/MA<br />
A. Silabus Mata Pelajaran Wajib <br />
- Kelas X – 16 Mapel<br />
- Kelas XI, XII – IPA – 13 Mapel<br />
- Kelas XI, XII – IPS – 13 Mapel<br />
- Kelas XI, XII – Bahasa – 13 Mapel <br />
B. Silabus Mulok<br />
C. Silabus Keagamaan (Khusus MA)<br />
<br />
SMK<br />
A. Silabus Mata Pelajaran Wajib <br />
B. Silabus Mulok<br />
<br />
PLB/PENDIDIKAN KHUSUS<br />
A. Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III : SDLB-A,B,D,E, Semua Kelas SDLB, SMPLB dan SMALB : C, C1,D1, dan G)<br />
B. Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI : SDLB-A,B,D,E dan SMPLB dan SMALB : A, B, D, E)<br />
C. Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />
D. Silabus Program Khusus (Untuk SDLB dan SMPLB) <br />
<br />
<br />
<br />
<strong>LANDASAN, PRINSIP, KOMPONEN,<br />
DAN PENGEMBANGAN SILABUS</strong><br />
<br />
<br />
A. Apa itu silabus?<br />
Silabus dapat didefinisikan sebagai ”garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Salim, 1987:98). Istilah silabus digunakan utuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam rangka pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Seperti kita ketahui, dalam pegembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan standar kompetensi yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin dicapai, materi yang harus dipelajarai, pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan sistem evalluasi untuk mengetahui pencapaian standar kompetensi. Dengan kata lain, pegembangan kurikulum dan pembelajaran menjawab pertanyaan:<br />
Apa yang akan diajarkan (standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pelajaran)?<br />
Bagaimana cara mengajarkannya (pengalaman belajara, metode, media)?<br />
Bagaimana cara mengetahui cara pencapaiannya (evaluasi atau sistem penilaian)?<br />
Berdasarkan gambaran tersebut dapat dinyatakan bahwa silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Dalam implementasinya, silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh masing-masing guru. Selain itu, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran),dan evaluasi rencana pembelajaran. <br />
<br />
Kalau begitu, apa manfaat pegembangan silabus?<br />
Sibaus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, sepeti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembalajaran, baik rencana pembelajaran untuk satu standar kompetensi maupun untuk satu kompetensi dasar. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pegelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaan secara induvidual. Bahkan, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, sebagaimana yang dianut oleh KTSP, sistem penilaian selalu mengacu pada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok/pembelajaran yang teradat dalam silabus.<br />
<br />
B. Apa landasan pengembangan silabus?<br />
Landasan pengembangan silabus adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 17 Ayat (2) dan Pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut: <br />
<br />
Pasal 17 <br />
(2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.<br />
<br />
Pasal 20<br />
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. <br />
<br />
Dengan demikian, siapa yang mengembangkan silabus?<br />
Yang mengembangkan atau menyusun silabus adalah:<br />
• guru kelas/mata pelajaran, atau<br />
• kelompok guru kelas/mata pelajaran, atau<br />
• kelompok kerja guru (PKG/MGMP), atau<br />
• dinas pendidikan.<br />
Penyusunan silabus dilaksanakan bersama-sama oleh guru kelas/mata pelajaran, kelompok guru kelas/mata pelajaran, atau kelompok kerja guru (PKG/MGMP) pada tingkat satuan pendidikan untuk satu sekolah atau kelompok sekolah dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing sekolah. <br />
<br />
C. Apa saja prinsip pengembangan silabus?<br />
Silabus merupakan salah satu produk pengembangan kurikulum dan pembelajaran yang berisikan garis-garis besar materi pembelajaran. Beberapa prinsip yang mendasari pengembangan silabus antara lain: ilmiah, relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel,dan menyeluruh .<br />
• Ilmiah<br />
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut, dalam penysunan silbus selayaknya dilibatkan para pakar di bidang kelimuan masing-masing mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar materi pelajaran yang disajikan dalam silabus sahih (valid).<br />
• Relevan <br />
Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai atau ada keterkaitan dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik. <br />
• Sistematis <br />
Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.<br />
• Konsisten <br />
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.<br />
• Memadai <br />
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.<br />
• Aktual dan Kontekstual<br />
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. <br />
• Fleksibel<br />
Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.<br />
• Menyeluruh <br />
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor). <br />
<br />
D. Bagaimana pelaksanaan pengembangan KTSP?<br />
Secara teknis, pelaksanaan pengembangan KTSP dapat dekelompokkan menjadi tiga, yaitu analisis konteks, mekanisme penyusunan, dan pemberlakuan. <br />
1. Analisis Konteks<br />
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis konteks adalah sebagai berikut.<br />
• Menganalisis potensi dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah: peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program yang ada di sekolah<br />
• Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya. <br />
• Mengidentifikasi Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan.<br />
2. Mekanisme Penyusunan <br />
Pada mekanisme penyusunan, yang perlu diperhatikan adalah pembentukan tim penyusun dan perencanaan kegiatan.<br />
• Tim penyusun<br />
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. <br />
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber, dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas kabupaten/kota dan provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas guru, konselor, kepala madrasah, komite madrasah, dan nara sumber dengan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama. <br />
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan khusus (SDLB,SMPLB, dan SMALB) terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />
• Kegiatan<br />
Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru. <br />
Tahap kegiatan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan secara garis besar meliputi: penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi. Langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun. <br />
3. Pemberlakuan<br />
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA, dan MAK dinyatakan berlaku oleh kepala madrasah serta diketahui oleh komite madrasah dan oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.<br />
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />
<br />
E. Bagaimana langkah-langkah teknis pengembangan silabus?<br />
Secara teknis, langkah-langkah pengembangan silabus mengikuti tahapan sebagai berikut.<br />
Langkah pertama, mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar<br />
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sebagaimana yang tercantum pada Standar Isi, dengan memperhatikan hal-hal berikut: <br />
• urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi; <br />
• keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;<br />
• keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran. <br />
Langkah kedua, mengidentifikasi materi pokok <br />
Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan mempertimbangkan:<br />
• tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;<br />
• kebermanfaatan bagi peserta didik;<br />
• struktur keilmuan;<br />
• kedalaman dan keluasan materi;<br />
• relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan<br />
• alokasi waktu. <br />
Langkah ketiga, mengembangankan pengalaman belajar <br />
Pengalaman belajar merupakan kegiatan mental dan fisik yang dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar melalui pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan mengaktifkan peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Rumusan pengalaman belajar juga mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik. <br />
Langkah keempat, merumuskan indikator keberhasilan belajar<br />
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan dan/atau respons yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. <br />
Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian. <br />
Langkah kelima, penentuan jenis penilaian<br />
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.<br />
Langkah keenam, menentukan alokasi waktu<br />
Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menguasai kompetensi dasar.<br />
Langkah ketujuh, menentukan sumber belajar<br />
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. <br />
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi. <br />
<br />
F. Bagaimana pengalokasian unit waktu dalam silabus?<br />
Pengalokasian waktu dalam silabus mengikuti cara-cara berikut.<br />
• Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan. <br />
• Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum. Khusus untuk SMK/MAK menggunakan penggalan silabus berdasarkan satuan kompetensi.<br />
<br />
G. Bagaimana Pengembangan Silabus Selanjutnya<br />
Dalam implementasinya, silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh masing-masing guru. <br />
Dalam rangka pemantapan lebih lanjut, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dan terus-menrus dengan memperhatikan masukan dari hasil evaluasi hasil belajar, hasil evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran), dan hasil evaluasi rencana pembelajaran. Oleh karena itu, tahapan pengembangan silabus diawali dari perenanaan, pelaksanaan, perbaikan, pemantapan, sampai pada penilaian pelaksanaan. <br />
<br />
<br />
H. Apa saja komponen silabus?<br />
Berdasarkan langkah-langkah pengembangan silabus (sebagaimana diuraikan pada butir E di atas), maka format silabus paling tidak memuat sembilan komponen, yaitu komponen:<br />
(1) Identifikasi<br />
(2) Standar Kompetensi<br />
(3) Kompetensi Dasar <br />
(4) Materi Pokok<br />
(5) Pengalaman Belajar<br />
(6) Indikator<br />
(7) Penilaian<br />
(8) Alokasi Waktu<br />
(9) Sumber/Bahan/Alat<br />
I. Bagaimana format silabus?<br />
Berdasarkan komponen tersebut, hasil pengembangan silabus dapat dikemas ke dalam tiga jenis format. Pengembang silabus dapat memilih satu di antara jenis format berikut.<br />
<br />
Silabus Format 1<br />
<br />
Nama sekolah : ...........................................<br />
Mata pelajaran : ...........................................<br />
Kelas/semester : ...........................................<br />
Standar kompetensi: ........................................... ...................................................................................... ...................................................................................... ...........................................<br />
<br />
Kompetensi Dasar / Materi pokok / Pengalaman Belajar /Indikator Penilaian /Alokasi waktu / Sumber/bahan/alat<br />
<br />
<br />
<br />
Silabus Format 2<br />
<br />
Nama sekolah : ...........................................<br />
Mata pelajaran : ...........................................<br />
Kelas/semester : ...........................................<br />
<br />
Kompetensi Dasar / Materi pokok / Pengalaman Belajar /Indikator Penilaian /Alokasi waktu / Sumber/bahan/alat<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<strong>PEMETAAN KOMPETENSI DASAR, ANALISIS ALOKASI WAKTU, PROGRAM TAHUNAN(PROTA)/PROGRAM SEMESTER (PROMES), DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)</strong><br />
<br />
<br />
A. Apa langkah berikutnya setelah silabus tersusun?<br />
Langkah berikutnya setelah silabus tersusun adalah menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tetapi, sebelum RPP ini disusun, ada beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan guru agar RPP yang disusun bisa efektif dan efisien. Langkah-langkah tersebut adalah <br />
(1) melakukan pemetaan kompetensi dasar perunit; <br />
(2) melakukan analisis alokasi waktu; <br />
(3) menyusun program tahunan dan/atau program semester; dan <br />
(4) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran.<br />
Keempat tahapan kegiatan ini dilakukan secara hierarkhis (berurutan) karena hasil setiap tahapan kegiatan merupakan acuan atau dasar dari tahapan kegiatan berikutnya. <br />
<br />
B. Apa itu Pemetaan Kompetensi Dasar Perunit?<br />
Pemetaan kompetensi dasar perunit adalah penataan semua kompetensi dasar yang tertuang dalam silabus mata pelajaran ke dalam unit-unit pembelajaran. Dengan melakukan pemetaan kompetensi dasar ini akan diketahui unit-unit pelajaran yang terdapat dalam mata pelajaran dan jam pelajaran yang diperlukan pada setiap unit. Pengetahuan terhadap porsi waktu setiap unit akan memudahkan guru dalam pengembangan materi pembelajaran ketika menyusun RPP. <br />
<br />
Apa yang harus diperhatikan dalam Pemetaan Kompetensi Dasar Perunit?<br />
Yang harus diperhatikan guru dalam pemetaan kompetensi dasar perunit adalah sebagai berikut.<br />
• Pengurutan kompetensi dasar sesuai dengan prinsip keilmuan, pendidikan (pengajaran), dan kadar kesulitan/kedalaman.<br />
• Penyatuan kompetensi dasar yang sejenis. <br />
• Pemberian jumlah waktu/jam pelajaran setiap unit dengan melihat hasil Pengembangan Silabus.<br />
• Pembagian jumlah waktu/jam pelajaran yang tersedia (dalam satu tahun atau satu semester) ke semua unit secara proporsional. <br />
<br />
C. Apa itu Analisis Alokasi Waktu?<br />
Analisis alokasi waktu adalah pelacakan jumlah minggu dalam semester/tahun pelajaran terkait dengan pemanfaatan waktu pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Pelacakan ini diarahkan pada jumlah minggu keseluruhan, jumlah minggu tidak efetktif, dan jumlah minggu efektif. Kepastian jumlah minggu efektif pada semester/tahun pelajaran akan memudahkan guru dalam penyebaran jam pelajaran pada setiap unit pelajaran yang telah dipetakan sebelumnya. <br />
<br />
Apa saja yang perlu diperhatikan dalam Analisis Alokasi Waktu?<br />
Yang perlu diperhatikan guru dalam analisis alokasi waktu adalah sebagai berikut.<br />
• Penentuan jumlah minggu pada setiap bulan dalam semester/tahun pelajaran dengan melihat Kalender Umum.<br />
• Penentuan jumlah minggu yang tidak efektif pada setiap bulan dalam semester/tahun pelajaran dengan melihat Kalender Pendidikan.<br />
• Penentuan jumlah minggu yang efektif pada setiap bulan dalam semester/tahun pelajaran dengan melihat Kalender Pendidikan.<br />
• Penyebaran jumlah jam pelajaran pada setiap unit pelajaran yang telah dipetakan sebelumnya (Lihat hasil Pemetaan Kompetensi Dasar Perunit).<br />
• Pengalokasian jam pelajaran untuk ulangan harian (kalau ada), ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester.<br />
• Pembagian jumlah waktu/jam pelajaran efektif (dalam satu tahun atau satu semester) ke semua unit secara proporsional dan semua jenis ulangan. <br />
<br />
<br />
D. Apa itu Program Tahunan (Prota) dan Program Semester (Promes)<br />
Program Tahunan (Prota) dan Program Semester (Promes) adalah rencana umum pembelajaran mata pelajaran setelah diketahui kepastian jumlah jam pelajaran efektif dalam satu tahun/semester. Penyusunan Prota dan Promes ini berdasarkan hasil Analisis Alokasi Waktu yang ditetapkan sebelumnya dan hasil Pemetaan Kompetensi Dasar Perunit. Hasil penyusunan Prota dan Promes inilah yang nantinya sebagai dasar untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPS). Pada sisi lain, berdasarkan Prota dan Promes ini pula nantianya kepala sekolah atau pengawas bisa mengetahui/mengontrol apakah unit-unit pembelajaran telah dilaksanakan oleh guru atau belum. <br />
<br />
Apa yang patut dilakukan guru dalam penyusunan Prota dan Promes? <br />
Yang patut dilakukan guru dalam penyusunan Prota dan Promes adalah sebagai berikut.<br />
• Mendaftar kompetensi dasar pada setiap unit berdasarkan hasil Pemetaan Kompetensi Dasar Perunit yang telah disusun.<br />
• Mengisi jumlah jam pelajaran setiap unit berdasarkan hasil Analisis Alokasi Waktu yang telah disusun.<br />
• Menentukan materi pembelajaran pokok pada setiap kompetensi dasar, yang didapatkan dari pengembangan silabus yang telah disusun atau dari kreativitas guru.<br />
• Membagi habis jumlah jam pelajaran efektif (dalam satu tahun atau satu semester) ke semua unit pembelajaran dan semua jenis ulangan berdasarkan pengalokasian waktu yang terdapat dalam hasil Analisis Alokasi Waktu yang telah disusun..<br />
<br />
E. Apa itu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)<br />
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran perunit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang guru (baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan) diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Oleh karena itu, RPP ini harus mempunyai daya terap (aplicable) yang tinggi. Pada sisi lain, lewat RPP ini pula dapat diketahui kadar kemampuan guru dalam menjalankan profesinya. <br />
<br />
Apa saja langkah yang patut dilakukan guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)?<br />
Langkah yang patut dilakukan guru dalam penyusunan RPP adalah sebagai berikut.<br />
• Ambillah satu unit pembelajaran yang akan diterapan dalam pembelajaran.<br />
• Tulis standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam unit tersebut.<br />
• Tentukan indikator untuk mencapai kompetensi dasar tersebut.<br />
• Tentukan alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai indikator tersebut.<br />
• Rumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.<br />
• Tentukan materi pembelajaran yang akan diberikan/dikenakan kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.<br />
• Pilihlah metode pembelajaran yang dapat medukung sifat materi dan tujuan pembelajaran.<br />
• Susunlah langkah-langkah kegiatan pembelajaran pada setiap satuan rumusan tujuan pembelajaran, yang bisa dikelompokkan menjadi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.<br />
• Kalau alokasi waktu untuk mencapai satu kompetensi dasar lebih dari 2 (dua) jam pelajaran, bagilah langkah-langkah pembelajaran menjadi lebih dari satu pertemuan. Pembagian setiap jam pertemuan bisa didasarkan pada satuan tujuan pembelajaran atau sifat/tipe/jenis materi pembelajaran.<br />
• Sebutkan sumber/media belajar yang akan digunakan dalam pembelajaran secara konkret dan untuk setiap bagian/unit pertemuan.<br />
• Tentukan teknik penilaian, bentuk dan contoh instrumen penilaian yang akan digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Kalau instrumen penilaian berbentuk tugas, rumuskan tugas tersebut secara jelas dan bagaimana rambu-rambu penilaiannya. Kalau instrumen penilaian berbentuk soal, cantumkan soal-soal itu dan tentukan rambu-rambu penilaiannya dan/atau kunci jawabannya. Kalau penilaiannya berbenuk proses, susunlah rubriknya dan indikator masing-masingnya.</span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-36783718233443590662009-09-22T19:57:00.000-07:002009-09-22T20:07:16.211-07:00Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal<span class="fullpost"><br />Oleh:<br /><strong>Drs. Masnur Muslich, M.Si</strong><br /><em>Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang</em><br /><br /><strong>Prawacana</strong><br />Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia. <br />Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.<br />Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.<br /><br /><strong>Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan</strong><br />Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan. <br />Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.<br />Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya. <br />Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain. <br />Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.<br /><br /><strong>Kondisi Sastra Anak Indonesia</strong><br />Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita. <br />Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.<br />Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya. <br />Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.<br />Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.<br />Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.<br />Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.<br />Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan. <br />Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.<br />Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.<br />Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.<br /><br /><strong>Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak</strong><br />Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum. <br />Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama. <br />Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.<br />Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri. <br />Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.<br /><br /><strong>Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal</strong>“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.<br />“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang. <br />Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka. <br />Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).<br />Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca. <br />Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci. <br />Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik. <br />Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi. <br />Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca. <br />Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita. <br />Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak. <br /><br /><strong>Pascawacana</strong><br />Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya. <br />Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung. <br /><br /><strong>Pustaka Acuan</strong><br />Brodart Foundation. 1979. <em>Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media.</em> Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.<br />Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. <em>ContentAnalysis of Communications</em>. New York: Macmillan.<br />Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial <em>Books for Children Bulletin</em>, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.<br />Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam <em>Teacher’s College Record 57</em>.<br />Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. <em>Method of Research: Educational, Psychological, Sociological.</em> New York: Appleton.<br />Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak". <br />Hadits, Fawzia Aswin. 2003. "Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar" dalam Teknik <em>Menulis Cerita Anak</em>. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. <br />Huck, Charlotte S., 1993. <em>Children’s Literature in the Elementary School</em>. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.<br />Lloyd, Marcus. 1981. <em>The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks</em>. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.<br />Pratt, David. 1972. <em>How to Find and Measure Bias in Textbooks</em>. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.<br />Rampan, Korrie Layun. 2003. <em>Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak</em>. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94<br />Titik W.S. 2003. "Menulis" dalam <em>Teknik Menulis Cerita Anak</em>. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. <br />Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.<br />____________. 2003. “Struktur Bacaan Anak” dalam <em>Teknik Menulis Cerita Anak</em>. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.<br />Wilson, H. W. 1960-1980. <em>Children’s Catalog. Various Editions</em>. New York: H. W. Wilson.<br /><br /> </span><br /><em><strong>Drs. Masnur Muslich, M.Si</strong><br />Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang</em><br /><br /><br /><strong>Prawacana</strong><br />Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-22468238046370643782009-07-05T20:33:00.000-07:002009-07-05T20:39:56.562-07:00Bagaimana memilih format RPP?<span style="font-weight:bold;">Beberapa hari yang lalu saya medapatkan kiriman email dari Ananda Evi sebagai berikut.<span style="font-style:italic;"></span></span><br /><br />Assalamualaikum,<br />Pak muslich setelah sya membaca buku bpk yg berjudul ktsp,sya ingin bertanya tentang format rpp khususnya pada point metode pembelajaran,sya baca di bagian lampiran hal 147 rppnya mencantumkan pendekatan model pembelajaran kalau di tambah metode seperti hal 144 bisa nggak pk?rata-rata cntoh rpp kok pendekatannya konstektual,itu maksudnya ap?pertanyaan tambahan,bpk aslinya Mjk mana?soalnya sya dari bangsal.<br />Wassalam,<br />Evi jurusan pend ekonomi smstr 6 Unesa.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">Inilah jawaban saya.<span style="font-weight:bold;"></span></span></span><br /><br />Ananda Evi Yts.<br /> <br />1. Ada beberapa model RPP. Silakan dipilih, mana yang Ananda sukai. Yang penting, tidak meninggalkan prinsip-prinsip penyusunan RPP. <br />2.Tentang pendekatan kontekstual tidak selalu atau harus ada dalam RPP. Dapat memilih pendekatan lain, misalnya konstruktivisme. <br />3.Akhir-akhir ini pendekatan kontekstual sering dicantumkan dalam RPP karena trennya memang demikian. Untuk memahami lebih lajut, ananda dapat membaca buku saya seri KTSP lainnya, yaitu KTSP: Pembelajaran Berbasis Kontekstual dan Kompetensi.<br />4.He he. Ananda Bangsal mana? Saya juga dari Bangsal. Tepatnya, Tembok sebelah timur Sekolah Polisi terus ke utara kira-kira dua kilometer.<br />5.Kalau ingin membaca tulisan saya lebih lanjut, silakan buka blog saya: muslich-m.blogspot. com.<br />6.Ayo, anak Bangsal harus sukses. Saya juga sering kontak dengan mahasiswa asal Bangsal yang sekarang masih kuliah di Jurusan Pendidikan matematika dan Jurusan pendidikan bahasa Indonesia UNESA.<br /> <br />Salam,<br /> <br /> <br />Masnur Muslich<br />HP 081333132277Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-62399134071655705632009-05-26T08:11:00.000-07:002009-09-22T20:09:05.215-07:00Kegiatan Pembimbingan Matakuliah PKP Mahasiswa UT Semester X Pokjar Nganjuk<span class="fullpost"><br />Pada tanggal 19 dan 21 Mei 2009 Masnur Muslich memberikan bimbingan praktik perbaikan pembelajaran terhadap 15 mahasiswa peserta matakuliah PKP di SD Negeri Rejoso 3 Kabupaten Naganjuk. Siswa sasarannya adalah kelas II, III, IV, dan V. Masing-masing mahasiswa menampilkan pembelajaran eksakta dan non-eksakta. Inilah sebagian tampilan mereka.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKTtZ6yxbKj08n69ZbL3Bn0GtfQtd1uQ9TQOxianc8KGirt0le_ZlJDFdi4nk1qRyJS8kIBqyH7eXFIIF-C1Dp4fHiatTjmxcK4_I4AuIhSyzFLTrlAY7cwXHxg59HkEPJc6BVA7Ols5yn/s1600-h/IMG_0450.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKTtZ6yxbKj08n69ZbL3Bn0GtfQtd1uQ9TQOxianc8KGirt0le_ZlJDFdi4nk1qRyJS8kIBqyH7eXFIIF-C1Dp4fHiatTjmxcK4_I4AuIhSyzFLTrlAY7cwXHxg59HkEPJc6BVA7Ols5yn/s320/IMG_0450.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340153587711191314" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhcLZHr3I8VpZu9kbVk6uNHp2XK1uDu0O7fRAKu-0r3IMFGm1GWn4WjXGgP6ra-SvVW2jkRsdLpS46Q6nnyrbwosIUBSeGNIL3UsT2DNcV7pwgcwSFe6Hr9jL3SRnpyQcPRRBgZdD8xDs7/s1600-h/IMG_0487.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhcLZHr3I8VpZu9kbVk6uNHp2XK1uDu0O7fRAKu-0r3IMFGm1GWn4WjXGgP6ra-SvVW2jkRsdLpS46Q6nnyrbwosIUBSeGNIL3UsT2DNcV7pwgcwSFe6Hr9jL3SRnpyQcPRRBgZdD8xDs7/s320/IMG_0487.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340158550306729938" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsm-NA3kKaoTVFGuCki-3Frv0molcR4OPcuNEuM5YwakqyXDrcsLtCKELk3lttJ-wacRJE_guCG6tA-yLHymekLf_AACEpmE_QqIhrcrIzwXzRufHwzeTI-y0PsLNAoNsq0hWK_FcrSSyt/s1600-h/IMG_0465.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsm-NA3kKaoTVFGuCki-3Frv0molcR4OPcuNEuM5YwakqyXDrcsLtCKELk3lttJ-wacRJE_guCG6tA-yLHymekLf_AACEpmE_QqIhrcrIzwXzRufHwzeTI-y0PsLNAoNsq0hWK_FcrSSyt/s320/IMG_0465.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340157482246617906" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggLz-hiimyoR4t7pUfsqz7CCGcG0QWxmWqbaPGDEHKlHLkFmRs1sTlEnMsMqQQ67snKcgdBWVMytwHr0pCVMqjzUQQtgp5HOT2eCdIS1NxFGbBnfukQPWwAZEjFgCco34ojY9lV923BPU0/s1600-h/IMG_0459.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggLz-hiimyoR4t7pUfsqz7CCGcG0QWxmWqbaPGDEHKlHLkFmRs1sTlEnMsMqQQ67snKcgdBWVMytwHr0pCVMqjzUQQtgp5HOT2eCdIS1NxFGbBnfukQPWwAZEjFgCco34ojY9lV923BPU0/s320/IMG_0459.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340156661194765618" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUZylr3w_XKO3I96l9mZc8yeh4ZXXSXgFxr4tRIOUo4tWncqy_iFDYWJlPUC_ltTxs3-_HGD4es6k2DB0_UjWSbPa1Dzo8pFbPoddiNwAQM-pyzw8Rij4GUFgsYZ4IHmzm1IBm8zv3gNMZ/s1600-h/IMG_0454.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUZylr3w_XKO3I96l9mZc8yeh4ZXXSXgFxr4tRIOUo4tWncqy_iFDYWJlPUC_ltTxs3-_HGD4es6k2DB0_UjWSbPa1Dzo8pFbPoddiNwAQM-pyzw8Rij4GUFgsYZ4IHmzm1IBm8zv3gNMZ/s320/IMG_0454.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340155820531190354" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-RUnRdfOphHBlDovjVuHkkn3ditmLM2ctykP9w-rrMl6xd_WrmT8R2MYvf9PSLbmu7UENtg8qSUyw7LcBpYDCZGXJ5GRChFJVziY1eINszvsoDT_ozy0lqMpKmKPDu2viFk-q0r96aSR8/s1600-h/IMG_0452.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-RUnRdfOphHBlDovjVuHkkn3ditmLM2ctykP9w-rrMl6xd_WrmT8R2MYvf9PSLbmu7UENtg8qSUyw7LcBpYDCZGXJ5GRChFJVziY1eINszvsoDT_ozy0lqMpKmKPDu2viFk-q0r96aSR8/s320/IMG_0452.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340154801690996930" /></a><br /><br />Seusai melaksanakan praktik perbaikan pembelajaran, beberapa mahasiswa foto bersama dengan Masnur Muslich di depan kelas.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5zlJXUIXQwruG2Dd1lcoo_j1dNq9Tlhl3L3HQWzQ7RKyK2LxC4F3LXfTQxl6m269sgRamJh90M8j5PeyEDLWsVacq-czxxicfZjzu_hKZlbSwLG6M3Co0oAMLnDtnUfjlto0FVGANoLvf/s1600-h/IMG_0470.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5zlJXUIXQwruG2Dd1lcoo_j1dNq9Tlhl3L3HQWzQ7RKyK2LxC4F3LXfTQxl6m269sgRamJh90M8j5PeyEDLWsVacq-czxxicfZjzu_hKZlbSwLG6M3Co0oAMLnDtnUfjlto0FVGANoLvf/s320/IMG_0470.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340159519090023490" /></a><br /><br /> </span><br />Pada tanggal 19 dan 21 Mei 2009 Masnur Muslich memberikan bimbingan praktik perbaikan pembelajaran terhadap 15 mahasiswa peserta matakuliah PKP di SD Negeri Rejoso 3 Kabupaten Naganjuk. Siswa sasarannya adalah kelas II, III, IV, dan V. Masing-masing mahasiswa menampilkan pembelajaran eksakta dan non-eksakta. Inilah sebagian tampilan mereka.Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-80853280696215699612009-05-22T17:30:00.000-07:002009-05-22T17:45:44.307-07:00Kegiatan Diklat Pengembangan KTSP di Blitar<span class="fullpost"><br />DASAR PEMAHAMAN KTSP:<br />Beberapa Catatan Penting<br /><br />Pengantar <br />KTSP merupakan kurikulum hasil penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum tersebut harus sudah dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan/sekolah paling lambat tahun 2009/2010. Terkait dengan pelaksanaan KTSP ini, BSNP telah membuat Panduan Penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.<br />Penyusunan KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan ini hampir senada dengan prinsip implementasi KBK (Kurikulum 2004) yang disebut Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan KBS ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Kesatuan dalam kebijaksanaan ditandai oleh adanya penggunaan perangkat dokumen KBK yang “sama” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, keberagaman dalam pelaksanaan ditandai oleh keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya.<br />Dengan adanya Pengelolaan KBS ini, banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, yaitu sekolah, kepala sekolah, guru, dinas pendidikan kebupaten/kota, dinas pendidikan provinsi dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada KTSP, tingkat satuan pendidikan (sekolah) memiliki kewenangan lebih besar untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum.<br /><br />Prinsip Pengembangan KTSP<br />KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.<br />1.berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;<br />2.beragam dan terpadu;<br />3.tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;<br />4.relevan dengan kebutuhan kehidupan;<br />5.menyeluruh dan berkesinambungan;<br />6.belajar sepanjang hayat; dan<br />7.seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. <br /><br />Acuan Pengembangan KTSP<br />KTSP disusun dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut.<br />Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia <br />Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.<br />Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan <br /> kemampuan peserta didik<br />Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan<br />Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah. <br />Tuntutan pembangunan daerah dan nasional<br />Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.<br />Tuntutan dunia kerja<br />Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.<br />Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. <br />Agama<br />Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah. <br />Dinamika perkembangan global <br />Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.<br />Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan<br />Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /> Kondisi sosial budaya masyarakat setempat<br />Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.<br />Kesetaraan Jender<br />Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.<br />Karakteristik satuan pendidikan<br />Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.<br /><br />Pengembangan Silabus KTSP<br />Silabus dapat didefinisikan sebagai ”garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran” (Salim, 1987:98). Istilah silabus digunakan utuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam rangka pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Seperti kita ketahui, dalam pegembangan kurikulum dan pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditentukan standar kompetensi yang berisikan kebulatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang ingin dicapai, materi yang harus dipelajari, pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian standar kompetensi. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum dan pembelajaran menjawab pertanyaan:<br />Apa yang akan diajarkan (standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pelajaran)?<br />Bagaimana cara mengajarkannya (pengalaman belajara, metode, media)?<br />Bagaimana cara mengetahui cara pencapaiannya (evaluasi atau sistem penilaian)?<br />Berdasarkan gambaran tersebut dapat dinyatakan bahwa silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Dalam implementasinya, silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh masing-masing guru. Selain itu, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran),dan evaluasi rencana pembelajaran. <br /><br />Manfaat Pengembangan Silabus<br />Siabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, sepeti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik rencana pembelajaran untuk satu standar kompetensi maupun untuk satu kompetensi dasar. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pegelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaan secara induvidual. Bahkan, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, sebagaimana yang dianut oleh KTSP, sistem penilaian selalu mengacu pada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam silabus.<br /><br />Pengembang Silabus<br />Yang mengembangkan atau menyusun silabus adalah<br />guru kelas/mata pelajaran, atau<br />kelompok guru kelas/mata pelajaran, atau<br />kelompok kerja guru (PKG/MGMP), atau<br />dinas pendidikan.<br />Penyusunan silabus dilaksanakan bersama-sama oleh guru kelas/mata pelajaran, kelompok guru kelas/mata pelajaran, atau kelompok kerja guru (PKG/MGMP) pada tingkat satuan pendidikan untuk satu sekolah atau kelompok sekolah dengan tetap memperhatikan karakteristik sekolah masing-masing. <br /><br />Prinsip Pengembangan Silabus<br />Silabus merupakan salah satu produk pengembangan kurikulum dan pembelajaran yang berisikan garis-garis besar materi pembelajaran. Beberapa prinsip yang mendasari pengembangan silabus antara lain: ilmiah, relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel,dan menyeluruh .<br />Ilmiah: keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut, dalam penysunan silbus selayaknya dilibatkan pakar di bidang kelimuan setiap mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar materi pelajaran yang disajikan dalam silabus sahih (valid).<br />Relevan: cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai atau ada keterkaitan dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik. <br />Sistematis: komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.<br />Konsisten: ada hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.<br />Memadai: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.<br />Aktual dan Kontekstual: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. <br />Fleksibel: keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.<br />Menyeluruh: komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor). <br /><br />Pelaksanaan Pengembangan KTSP<br />Secara teknis, pelaksanaan pengembangan KTSP dapat dekelompokkan menjadi tiga, yaitu analisis konteks, mekanisme penyusunan, dan pemberlakuan. <br />1. Analisis Konteks<br />Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis konteks adalah sebagai berikut.<br />Menganalisis potensi dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah: peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program yang ada di sekolah<br />Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya. <br />Mengidentifikasi Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan.<br />2. Mekanisme Penyusunan <br />Pada mekanisme penyusunan, yang perlu diperhatikan adalah pembentukan tim penyusun dan perencanaan kegiatan.<br />Tim penyusun<br />Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber, dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas kabupaten/kota dan provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas guru, konselor, kepala madrasah, komite madrasah, dan nara sumber dengan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan khusus (SDLB,SMPLB, dan SMALB) terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />Kegiatan<br />Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru. Tahap kegiatan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan secara garis besar meliputi: penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi. Langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun. <br />3. Pemberlakuan<br />Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br />Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA, dan MAK dinyatakan berlaku oleh kepala madrasah serta diketahui oleh komite madrasah dan oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama. Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. <br /><br />Langkah-langkah Teknis Pengembangan Silabus<br />Secara teknis, langkah-langkah pengembangan silabus mengikuti tahapan sebagai berikut.<br />Langkah pertama: mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar<br />Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sebagaimana yang tercantum pada Standar Isi, dengan memperhatikan hal-hal berikut: <br />urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi; <br />keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;<br />keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran. <br />Langkah kedua: mengidentifikasi materi pokok <br />Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan mempertimbangkan:<br />tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;<br />kebermanfaatan bagi peserta didik;<br />struktur keilmuan;<br />kedalaman dan keluasan materi;<br />relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan<br />alokasi waktu. <br />Langkah ketiga: mengembangkan pengalaman belajar <br />Pengalaman belajar merupakan kegiatan mental dan fisik yang dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar melalui pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan mengaktifkan peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Rumusan pengalaman belajar juga mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik. <br />Langkah keempat: merumuskan indikator keberhasilan belajar<br />Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan dan/atau respons yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. <br />Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian. <br />Langkah kelima: penentuan jenis penilaian<br />Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.<br />Langkah keenam: menentukan alokasi waktu<br />Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menguasai kompetensi dasar.<br />Langkah ketujuh: menentukan sumber belajar<br />Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. <br />Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi. <br />Pengalokasian Unit Waktu dalam Silabus<br />Pengalokasian waktu dalam silabus mengikuti cara-cara berikut.<br />Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan. <br />Implementasi pembelajaran per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum. Khusus untuk SMK/MAK menggunakan penggalan silabus berdasarkan satuan kompetensi.<br /><br />Komponen Silabus<br />Berdasarkan langkah-langkah pengembangan silabus (sebagaimana diuraikan pada butir E di atas), maka format silabus paling tidak memuat sembilan komponen, yaitu komponen:<br />(1)Identitas Sekolah dan Mata Pelajaran<br />(2)Standar Kompetensi<br />(3)Kompetensi Dasar <br />(4)Materi Pokok<br />(5)Pengalaman Belajar<br />(6)Indikator<br />(7)Penilaian<br />(8)Alokasi Waktu<br />(9)Sumber/Bahan/Alat<br /><br />1.Identitas Sekolah dan Mata Pelajaran <br />Pada komponen identifikasi yang perlu diisi adalah nama sekolah, nama mata pelajaran, kelas, dan semester.<br />2. Komponen Standar Kompetensi<br />Pada komponen standar kompetensi, yang perlu dikaji adalah standar kompetensi mata pelajaran yang bersangkutan dengan memperhatikan hal-hal berikut: <br />urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi; <br />keterkaitan antarstandar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran; dan <br />keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antarmata pelajaran. <br />3.Komponen Kompetensi Dasar<br />Pada komponen kompetensi dasar, yang perlu dikaji adalah kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut: <br />urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi;<br />keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran; dan<br />keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran. <br />4.Komponen Materi Pokok<br />Pada komponen materi pokok, yang dilakukan adalah mengidentifikasi materi pokok dengan mempertimbangkan:<br />tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;<br />kebermanfaatan bagi peserta didik;<br />struktur keilmuan;<br />kedalaman dan keluasan materi;<br />relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan<br />alokasi waktu <br />5.Komponen Pengalaman Belajar<br />Pada komponen pengalaman belajar, yang perlu diperhatikan adalah rambu-rambu berikut.:<br />Pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan mengaktifkan peserta didik. <br />Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. <br />Rumusannya mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik<br /><br />6.Komponen Indikator<br />Pada komponen indikator, yang perlu diperhatikan adalah rambu-rambu berikut.<br />Indikator merupakan penjabaran dari KD yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan dan/atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. <br />Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.<br />Rumusan indikator menggunakan kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.<br />Indikator diigunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian. <br />7.Komponen Jenis Penilaian<br />Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Jenis penilaian mana yang dipilih bergantung pada rumusan indikatornya.<br />8.Komponen Alokasi Waktu<br />Pada komponen alokasi waktu, hal-hal berikut perlu dipertimbangkan.<br />Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. <br />Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menguasai kompetensi dasar.<br /><br />9.Komponen Sumber Belajar<br />Pada komponen sumber belajar, hal-hal berikut perlu dipertimbangkan.<br />Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. <br />Sumber belajar dapat berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. <br />Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi. <br /><br /> </span><br /><br />Pada hari Minggu, 10 Mei 2009, Masnur Muslich memberikan materi "Dasar-dasar Pemahaman KTSP" pada Kegiatan Diklat Pengembangan KTSP di LEC Blitar. Kegiatan yang dimotori oleh Lembaga Peningkatan Profesi Guru ini diikuti oleh para guru SD, SAMP, dan SMA di wilayah Blitar dan sekitarnya. Para guru terlihat antusias mengikuti diklat ini. Terbukti, waktu tanya jawab yang disediakan panitia masih kurang. Terpaksa ditambah lagi sekitar satu jam.<br /><br />Berikut ini pokok-pokok materi yang disampaikan Masnur Muslich.Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-55026251776784590462009-03-18T19:29:00.000-07:002009-05-26T09:00:58.298-07:00Situasi Peer Teaching Peserta PLPG dalam Rangka Sertifikasi Guru di Kota Batu<span class="fullpost"><br />PLPG yang berlangsung selama sepuluh hari benar-benar menguras tenaga baik oleh para dosen pembimbing maupun para peserta. Di sela-sela istirahat benar-benar dimanfaatkan untuk menyegarkan fisik dan psikis. <br /><br /><strong>1. Para dosen ketika rehat sebelum memasuki kegiatan PLPG</strong><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAyRZ1iNY0DLwMTcKbhZjiMZIW7Md5mrYf-TXJmPKhyphenhyphenmZHJXKfcap0WfIH4fQNJ8SFebJjSYkKl5aoba-3heal7xqypr0NUBfAap_gYJRNBoaq4bExD0LVOVOTzkwq7DlY9Dg7pqRdsYH6/s1600-h/DSC00960.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAyRZ1iNY0DLwMTcKbhZjiMZIW7Md5mrYf-TXJmPKhyphenhyphenmZHJXKfcap0WfIH4fQNJ8SFebJjSYkKl5aoba-3heal7xqypr0NUBfAap_gYJRNBoaq4bExD0LVOVOTzkwq7DlY9Dg7pqRdsYH6/s320/DSC00960.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314721604473667282" /></a><br />Dr. Anang Santoso yang terlihat paling ganteng sedang <em>digojlok </em>ibu-ibu dosen.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheOPuDpX5lmF5UWCEm6a-yiFwMmvEGGn619S_CVtBrcIBj-bruWqpSOZn_766cs2nk66tqeGGStXqnjtPq_m9DKrUojqf0XxDMaC3NkSgjtPDu9skSOg8kQD8wX6m5yNIZog70BNdggf0b/s1600-h/DSC00961.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheOPuDpX5lmF5UWCEm6a-yiFwMmvEGGn619S_CVtBrcIBj-bruWqpSOZn_766cs2nk66tqeGGStXqnjtPq_m9DKrUojqf0XxDMaC3NkSgjtPDu9skSOg8kQD8wX6m5yNIZog70BNdggf0b/s320/DSC00961.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314722147269790018" /></a><br />Dr. Soedjiono, dosen Jurusan sastra Indonesia Universitas Negeri, yang akhir-akhir ini suka mendalami sastra Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kebatinan, sedang bercengkerama dengan Prof. Dr. Suyitno. <br /><br /><strong>2. Situasi pembekalan oleh Masnur Muslich sebelum pelaksanaan <em>peer teaching</em></strong><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZFvAysN_m9__Qdoj4MDM7i13SeCxwQ8AGYobpXTIkomhxPYuZpE-6PuxL-V3nyhEBa9Rhdz2j3vnv_HcQU1tTSFI3Nd2KGCUaHn6iDmJRg7UGPFTsljccjlCC545AU7wW3-L29bwkvw-f/s1600-h/IMG_0321.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZFvAysN_m9__Qdoj4MDM7i13SeCxwQ8AGYobpXTIkomhxPYuZpE-6PuxL-V3nyhEBa9Rhdz2j3vnv_HcQU1tTSFI3Nd2KGCUaHn6iDmJRg7UGPFTsljccjlCC545AU7wW3-L29bwkvw-f/s320/IMG_0321.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314729716160224226" /></a><br /><br /><strong>3. Situsi pelaksanaan <em>peer teaching </em>yang dibimbing Masnur Muslich</strong><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2L8WXk_4O7qvIl9GH89NBhTiY0skKpOdhvmMyQ4bB1cVW3gRdcyFOmJDg9KOdHfbBgE4sG7_PuW_2ND1b9P7nZECyD-r4Eu-FKSRF3sFy6-hRlYEhGYj_4OzTU88Yu-Qddi8UzOLh1GjI/s1600-h/IMG_0183.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2L8WXk_4O7qvIl9GH89NBhTiY0skKpOdhvmMyQ4bB1cVW3gRdcyFOmJDg9KOdHfbBgE4sG7_PuW_2ND1b9P7nZECyD-r4Eu-FKSRF3sFy6-hRlYEhGYj_4OzTU88Yu-Qddi8UzOLh1GjI/s320/IMG_0183.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5315054380250051234" /></a><br /><br /><strong>4. Masnur Muslich ditodong peserta PLPG untuk berfoto bersama setelah seusai pelaksanaan <em>peer teaching</em></strong><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsT59dPEhOT89Q4Fj13OPUHRA9Da3I0kKZOlf7Jtytg7ADDDWz5FrZgoVsvRy1gTAvII0kkVdZ6_pXz3lY8Dg-3_sKaOLWyU-tuheFpetW1vlL0OQV3pXDh_hGM7FKOZ0AHsX6Q_oY50db/s1600-h/IMG_0217.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsT59dPEhOT89Q4Fj13OPUHRA9Da3I0kKZOlf7Jtytg7ADDDWz5FrZgoVsvRy1gTAvII0kkVdZ6_pXz3lY8Dg-3_sKaOLWyU-tuheFpetW1vlL0OQV3pXDh_hGM7FKOZ0AHsX6Q_oY50db/s320/IMG_0217.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5315054994724846642" /></a><br /> </span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-33518218101473752732009-03-18T18:50:00.000-07:002009-05-26T09:18:54.706-07:00Situasi Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran oleh Mahasiswa Pengikut Matakuliah PKP pada Program Pendidikan SD UT<span class="fullpost"><br />Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang<br />Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang<br />Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan<br /><br />PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya. <br /><br /><strong>1. Diskusi dalam rangka persiapan pelaksanaan perbaikan pembelajaran</strong><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizGy15g_T5ZH5k32kwQ216xXJjm1kSgLxdHSdwaaoqaGaFJ1OdnJ8BLnJ3QH31DXwEnSCV005iqLlz8kv6HdE7ALyxxn6QO9BCI4SCLtTw2VgWX76U4jQ65ozyvUmPW3jZLZeVLb8q08vZ/s1600-h/DSC00948.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizGy15g_T5ZH5k32kwQ216xXJjm1kSgLxdHSdwaaoqaGaFJ1OdnJ8BLnJ3QH31DXwEnSCV005iqLlz8kv6HdE7ALyxxn6QO9BCI4SCLtTw2VgWX76U4jQ65ozyvUmPW3jZLZeVLb8q08vZ/s320/DSC00948.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314711644788888146" /></a><br /><br /><strong>2. Ketua kelas III mengecek kerapian pakaian dan kuku siswa sebelum masuk kelas</strong><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhh33Ce69k_lmXE2ZpI8IBFTjRehCMQky8WDVn2e_KUa0ArfZ1jvu_qDk9r5Y2EisQKrY-wbgQz3YY76buZg0FGWLLaBsc_5_TOFhYuRKmkOPZOTNDYl6nS_6d_Hx1dBP1aq4DPqnlQCqMI/s1600-h/DSC00949.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhh33Ce69k_lmXE2ZpI8IBFTjRehCMQky8WDVn2e_KUa0ArfZ1jvu_qDk9r5Y2EisQKrY-wbgQz3YY76buZg0FGWLLaBsc_5_TOFhYuRKmkOPZOTNDYl6nS_6d_Hx1dBP1aq4DPqnlQCqMI/s320/DSC00949.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314714362738572274" /></a><br /><br /><strong>3. Situasi pelaksanaan perbaikan oleh Mahasiswa peserta PKP</strong><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiJf9_NgGTi01SrStPgdEd9LJlB_O0gd4C9hzwyBIoeSpjaQsRgiHiYqSniy3ZQkyNWfEUF_boJKQtxuU9Nl2d_NsBqFc85zGhB1PohD98d495Tl7XqY8g3YLT6HOn7MJ2yTIEswxOo0Hl/s1600-h/DSC00950.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiJf9_NgGTi01SrStPgdEd9LJlB_O0gd4C9hzwyBIoeSpjaQsRgiHiYqSniy3ZQkyNWfEUF_boJKQtxuU9Nl2d_NsBqFc85zGhB1PohD98d495Tl7XqY8g3YLT6HOn7MJ2yTIEswxOo0Hl/s320/DSC00950.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314715051986750258" /></a><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmz3_CoyEpFHkXrEIFL9jZQn7Y_YygYu6WwZIYdYssIALQzEtt4jZd7Djal49wyVRUUk0OB7WXzBNXh6tO5tfzoyNytwVqXZ59OzMXxq45fLUujxoIK8UTwmCaG6WeQA51iv3Pi3uaLfJs/s1600-h/DSC00963.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmz3_CoyEpFHkXrEIFL9jZQn7Y_YygYu6WwZIYdYssIALQzEtt4jZd7Djal49wyVRUUk0OB7WXzBNXh6tO5tfzoyNytwVqXZ59OzMXxq45fLUujxoIK8UTwmCaG6WeQA51iv3Pi3uaLfJs/s320/DSC00963.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314715690989456642" /></a><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgW0HBlXt6ecetamXpsCz2cPB3x7nQB1u3czdSJxo2vH7G9VGwcgW-E2VWNdedfOQLlig0yHVmaAJQ9Kaqdigbkub0WNr7y2XuagcRvM9osIfqQ9Wm7GvBduhetWfxkoTzM9bvKwxBzvvUY/s1600-h/DSC00964.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgW0HBlXt6ecetamXpsCz2cPB3x7nQB1u3czdSJxo2vH7G9VGwcgW-E2VWNdedfOQLlig0yHVmaAJQ9Kaqdigbkub0WNr7y2XuagcRvM9osIfqQ9Wm7GvBduhetWfxkoTzM9bvKwxBzvvUY/s320/DSC00964.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314716213588113090" /></a><br /><br /><strong>4. Situasi ketika memberikan balikan pelaksanaan perbaikan pembelajaran di deopan mahasiswa dan guru SD Negeri Pesanggrahan, sekaligus sambutan penutupan</strong>.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfixExteTXp8z_GZ0uNC6A-5sTqbojGYOVqVpkwiZOYFoyaxdjSKo58b20v_cbLydnSMEDhJro5wyfG1FFL-1PuTJXKkMM3s2kCX_GvWr_oAG8sImB8MK46jlgMMo7h72MN5a0GEpBvFMf/s1600-h/DSC00966.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfixExteTXp8z_GZ0uNC6A-5sTqbojGYOVqVpkwiZOYFoyaxdjSKo58b20v_cbLydnSMEDhJro5wyfG1FFL-1PuTJXKkMM3s2kCX_GvWr_oAG8sImB8MK46jlgMMo7h72MN5a0GEpBvFMf/s320/DSC00966.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314717056669668018" /></a><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCiKNOTHl2Lqidmgtw5pYUB8s0m8qNZHXiv1QQP0EZCsNegOTFjueE4RDNieKOG-V7kL9ve9SusuJox4AeOPlx_cm7ODhT7EpmXDQMkL8hHF9UQ1y-HA-bP4cN5fTmR8EeheApNi4S8ugG/s1600-h/DSC00967.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCiKNOTHl2Lqidmgtw5pYUB8s0m8qNZHXiv1QQP0EZCsNegOTFjueE4RDNieKOG-V7kL9ve9SusuJox4AeOPlx_cm7ODhT7EpmXDQMkL8hHF9UQ1y-HA-bP4cN5fTmR8EeheApNi4S8ugG/s320/DSC00967.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5314717445827394626" /></a><br /> </span><br />Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang<br />Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang<br />Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan<br /><br />PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya.Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-87497408188655431172009-03-18T06:06:00.000-07:002009-03-20T07:59:28.782-07:00UPAYA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEBAHASAAN DAN KESUSASTRAAN DI DAERAH<span class="fullpost"><br /><strong>Oleh Masnur Muslich</strong><br />(Diadaptasikan dari tulisan IGN Oka)<br /><br /><strong>Permasalahan Konsepsional </strong><br />Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang kita laksanakan di tanah air kita adalah salah satu bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan. Lewat pembinaan dan pengembangan ini, kita melaksanakan kegiatan-kegiatan mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan bangsa kita yang terjalin dari (1) masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah kebahasaan dan kesusastraan daerah, dan (3) masalah penggunaan dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing tertentu, seperti misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Sanskerta, dsb.. Tujuan yang ingin kita capai dalam hubungan ini adalah suatu perangkat tujuan yang kita rancang dengan semangat Orde Baru yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang dimaksudkan oleh (1) bagian Pembukaan UUD 1945, (2) Bab XIII pasal 31 dan pasal 32, dan (3) Bab XV pasal 36. Adapun perangkat tujuan yang dimaksudkan meliputi dua kelompok tujuan yang saling berhubungan, yaitu pertama tujuan bina bangsa dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu; dan kedua tujuan bina bahasa dengan sasaran bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu. Tujuan yang pertama ialah membina seluruh rakyat Indonesia agar mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap berikut.<br />1)Pengetahuan yang sahih tentang (a) kedudukan, fungsi, dan nilai bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu, (b) sistem dan struktur masing-masing bahasa dan kesusastraan itu, dan (c) problematik pemakaian masing-masing bahasa dan kesusastraan itu.<br />2)Keterampilan hakikat yang memadai dalam (a) menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bertutur, menyimak, membaca dan menulis), sebagai alat bernalar/berpikir, dan sebagai alat memandang masalah-masalah kehidupan, dan (b) mengapresiasi serta memanfaatkan karya-karya sastra Indonesia. Keterampilan hakikat yang sama juga dibina pada putra-putra daerah dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan daerahnya yang masih dipeliharanya baik-baik. Dan keterampilan hakikat dalam bahasa asing dibatasi pembinaannya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat teknis.<br />3)Sikap yang positif terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang berupa (a) rasa bangga memilikinya, (b) dorongan menghormatinya, (c) setia menggunakannya dengan baik dan benar, dan (dengan) merasa prihatin akan perlakuan-perlakuan terhadapnya yang kurang pada tempatnya.<br />Tujuan yang kedua ialah membina bahasa dan kesusastraan Indonesia sehingga bahasa Indonesia (termasuk kesusastraannya) memiliki karakterisasi berikut.<br />1)Utuh dan padu sebagai satu bahasa tersendiri dengan perangkat ciri yang secara khas menandai serta membedakan eksistensinya dari bahasa-bahasa lain.<br />2)Tetap bertahan dan terpelihara sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Negara atau Bahasa Resmi, dan Bahasa Kebudayaan Nasional.<br />3)Memiliki kebakuan serta daya wadah dan daya ungkap yang akurat sebagai alat komunikasi.<br />4)Tersebar luas di seluruh wilayah tumpah darah Indonesia.<br />5)Terpakai dalam berbagai bidang kehidupan oleh setiap lapisan masyarakat.<br />Tujuan yang sama juga terdapat pada pembinaan bahasa dan kesusastraan daerah, hanya saja dalam versi yang khusus. Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang telah dilaksanakan dalam setiap era pembangunan, ternyata membuahkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan. Namun di balik keberhasilan ini tidak sedikit pula kekurangan-kekurangan serta hambatan-hambatan yang kita hadapi. Termasuk kekurangan kita dalam hubungan ini ialah:<br />(1)menetapkan lingkup serta menjabarkan secara akurat tujuan-tujuan tahapan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari tujuan umum yang sudah jelas, sehingga berupa sistematika tujuan yang teramati dan terukur pencapaiannya;<br />(2)merancang program-program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang bermutu, relevan, terpadu, efektif, dan efisien;<br />(3)memanfaatkan sumber-sumber langsung atau tidak langsung yang tersedia;<br />(4)menggalang kerjasama, partisipasi, dan integrasi;<br />(5)memotivasi pengabdian (dedikasi) dan prestasi.<br />Adapun jenis-jenis hambatan yang signifikan dalam hubungan ini adalah sebagai berikut:<br />1)Rumit dan uniknya masalah kebahasaan dan kesusastraan di tanah air kita.<br />2)Besarnya jumlah rakyat Indonesia yang harus kita bina, lagi pula tersebarnya mereka di wilayah yang sangat luas.<br />3)Keterbatasan-keterbatasan kita dalam (a) informasi lapangan yang dapat dipercaya, (b) tenaga, kemampuan dan keahlian/pengalaman, (c) dana, fasilitas, dan sarana pelancar lainnya, dan (d) semangat dan pengabdian.<br />4)Masih cukup banyaknya rakyat kita belum memiliki pengertian yang baik tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Malahan tidak sedikit pula yang bersikap dan bertindak tidak simpatik terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan.<br />5)Kurang merangsangnya bidang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari segi sosial dan ekonomi, lebih-lebih lagi dalam kecenderungan masyarakat yang berfikir sekular.<br />Berdasarkan kajian terhadap hakekat, kedudukan dan fungsi, dan tujuan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di satu pihak, dan kajian terhadap kekurangan-kekurangan kita serta hambatan-hambatan yang kita hadapi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan itu di pihak lain, maka secara konsepsional permasalahan yang kita hadapi pada dasarnya berkisar pada:<br />1)masalah ketajaman program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan kita;<br />2)masalah pengelolaan pelaksanaan program itu;<br />3)masalah dedikasi dan motivasi dalam melaksanakannya;<br />4)masalah penggalangan kerjasama, partisipasi, dan integrasi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan;<br />5)masalah sumber informasi lapangan yang dapat dipercaya.<br /><br /><strong>Permasalahan Operasional</strong><br />Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan telah dilaksanakan pula di daerah-daerah propinsi, termasuk Jawa Timur (Jatim). Hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaannya selama ini dalam banyak hal cukup menggembirakan. Malahan – khusus kasus Jatim – jika dibandingkan dengan hasil-hasil daerah lain, Jatim termasuk barisan yang berhasil baik. Walaupun demikian, Jatim menghadapi pula beraneka ragam persoalan dalam melaksanakan pembinaan kebahasaan dan kesusastraan di wilayahnya, dan di tengah-tengah kehidupan warga masyarakatnya.<br />Permasalahan operasional yang dihadapi daerah pada dasarnya di sekitar (1) masalah lapangan, yaitu kondisi objektif daerah dan masyarakatnya, (2) masalah ketenagaan, (3) masalah kelembagaan, (4) masalah kebijakan, dan (5) masalah prasarana dan sarana penunjang/pelancar. Problematik tentang kelima masalah ini akan dipaparkan pada bagian-bagian uraian berikut.<br /><br /><strong>Masalah lapangan</strong><br />Daerah Jatim, misalnya, tempat kita melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan tergolong daerah yang relatif luas arealnya. Di samping pulau Jawa Bagian Timur sebagai intinya, daerah Jatim meliputi pula pulau Madura dan sejumlah pulau-pulau kecil lainnya. Keadaan alam dan lingkungan Jatim dalam banyak hal sering kali menghambat kelancaran jalannya pembangunan, lebih-lebih lagi kalau dihubungkan dengan kondisi transportasi dan sarana komunikasi yang belum boleh dikatakan baik, terutama untuk mencapai daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dan kota-kota.<br />Di daerah yang relatif luas ini bermukim penduduk yang jumlahnya hampir mendekati 30 juta jiwa. Penyebaran permukimannya tidak merata. Demikian pula status sosial ekonominya dan tingkat pendidikannya beragam-ragam keadaannya dengan kondisi kebanyakan berada di bawah semestinya. Malahan tidak sedikit yang keadaan sosial ekonominya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Selain daripada itu, rakyat Jatim berdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa ini masih berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan sukunya yang antara lain berupa adat, tradisi, kepercayaan, dsb.. Sejalan dengan keanekaragaman suku ini, di daerah Jatim terdapat pula bermacam-macam bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dan suku-suku perantauan lainnya). Masing-masing bahasa daerah ini bagi masyarakat pemiliknya merupakan sesuatu yang bernilai dan berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan suku, (2) lambang identitas suku, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat suku. Ikatan masing-masing suku dengan bahasa daerahnya demikian kuatnya sehingga tampak jelas jejaknya pada bahasa Indonesia yang mereka pakai. <br />Selain masyarakat suku, di daerah Jatim, terutama di kota-kota, bermukim pula WNI keturunan Cina. Jumlah mereka ini realtif besar. Secara sosiokultural, mereka memiliki identitas-identitas tersendiri pula. Demikian pula bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Indonesia dialek Cina, pada dasarnya merupakan kenyataan lapangan yang tidak bisa diingkari adanya.<br />Kondisi lapangan Jatim seperti yang dipaparkan di atas, dalam banyak hal merupakan permasalahan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim. Setidak-tidaknya, kondisi lapangan ini harus dimanfaatkan demikian rupa sehingga dia tidak tampil sebagai penghambat semata.<br /><br /><strong>Masalah Ketenagaan</strong><br />Tenaga-tenaga untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim yang tersedia sekarang boleh dikatakan sangat terbatas jumlahnya. Dari jumlah yang tidak banyak ini, sedikit sekali yang betul-betul ahli dalam masalah pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Beban kerja mereka kebanyakan telah melampaui batas. Banyak pula di antara mereka ini yang harus menyelesaikan tugas-tugas di luar bidang kekaryaannya.<br />Kondisi ketenagaan yang serba kurang dipertemukan dengan tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dengan permasalahannya yang demikian luas, rumit, dan uniknya, sulit dibayangkan akan berlangsungnya pelaksanaan tugas yang lancar. Lebih sulit lagi dibayangkan akan tercapainya hasil yang baik.<br /><br /><strong>Masalah Kebijakan </strong><br />Untuk mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan di Jatim yang terjalin dari (1) masalah bahasa dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dsb.), dan (3) pemanfaatan dan penggunaan bahasa-bahasa asing tertentu, suatu pola kebijakan sangat diperlukan. Jatim sampai sekarang belum memilikinya. Kalau toh ada, sangatlah kecil dan jauh dari harapan. Akibatnya dapat diduga. Para pelaksana pembina dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tidak memiliki acuan dan panduan operasional dalam merancang dan melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, hasil-hasil yang dicapainya sering tidak relevan dengan pola dan tujuan pembangunan di Jatim. Gejala kurang baik seperti yang terakhir ini akan dapat diminimalkan, jika Jatim telah menggariskan secara jelas dan tegas pola kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan, lewat Balai Bahasa yang telah dimiliknya.<br /><br /><strong>Masalah Sarana dan Prasarana</strong><br />Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim selama ini cukup banyak mengalami hambatan akibat kekurangan-kekurangan/kelemahan-kelemahan dalam bidang prasarana, sarana, dan faktor-faktor pelancar/penunjang lainnya. Termasuk ke dalamnya adalah kekurangan/kelemahan berikut.<br />1.Informasi lapangan yang dapat dipercaya tentang masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim. Informasi yang demikian ini terbatas sekali adanya karena penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan belum cukup banyak dilakukan.<br />2.Tempat (gedung), ruang, dan peralatan yang tersedia selama ini boleh dikatakan belum memenuhi persyaratan, lebih-lebih lagi jika mau dipenuhi persyaratan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.<br />3.Partisipasi dan integrasi kebanyakan rakyat terhadap kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan belum memadai keadaannya. Persepsi mereka terhadap kegiatan ini agaknya masih kabur.<br />4.Dedikasi dan motivasi.<br />Dedikasi kebanyakan pelaksana pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim boleh dikatakan belum tinggi. Demikian pula pada umumnya di kalangan rakyat dalam mengikuti kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Sejalan dengan gejala negatif ini, motivasi yang dikembangkan belum cukup kuat mendorong/merangsang.<br />5.Koordinasi.<br />Dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tampak gejala bahwa belum tergalang koordinasi yang baik. Gejala ini misalnya terlihat pada bertumpangtindihnya bidang tugas, berulangkalinya dipermasalahkan persoalan yang sama, terlampauinya pihak-pihak yang berkewenangan, dsb.<br />Selain dari kelima faktor tersebut di atas, pelancar/penunjang yang sangat besar pengaruhnya namun tersedianya sangat minim ialah dana. Alokasi dana yang khusus disediakan untuk usaha, upaya, kegiatan, dan maksud-maksud baik yang lain utuk pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim relatif sangat kecil.<br />Demikianlah sejumlah permasalahan operasional yang dihadapi dalam pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.<br /><br /><strong>Kebijakan Pilihan</strong><br />Berdasarkan kajian terhadap permasalahan konsepsional dan permasalahan operasional seperti yang dipaparkan di muka, bermacam-macam kebijakan yang dapat digariskan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di wilayah Propinsi Jawa Timur. Walaupun demikian, hanya sejumlah kebijakan saja yang patut ditetapkan untuk waktu-waktu mendatang. Pembatasan jumlah dan jenis kebijakan ini perlu dilakukan dengan pertimbangan terhadap (1) perlunya kesinambungan antara kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dalam pembangunan sebelumnya, (2) harapan akan hasil nyata yang bisa dicapai dalam pembaungan mendatang, dan (3) kesadaran akan berbagai keterbatasan untuk melaksanakannya, seperti misalnya keterbatasan dalam masalah tenaga, keahlian, kesempatan, dana, fasilitas, dan faktor-faktor penunjang relevan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis kebijakan pilihan yang diperkirakan tepat untuk pembangunan mendatang adalah kebijakan-kebijakan yang memandu kegiatan-kegiatan yang disajikan berikut.<br />Pertama, macam-macam kegiatan yang memperkaya sumber informasi kebahasaan dan kesusastraan. Berikut ini termasuk ke dalam lingkup kegiatan ini.<br />1)Penelitian<br />Penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan memperluas sasaran penelitian dan memperdalam pengkajian. Dengan demikian akan tersedia sumber-sumber informasi masalah kebahasaan dan kesusastraan yang dibutuhkan untuk menyusun macam-macam program operasional pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di bidang pendidikan dan kebudayaan.<br />2)Perekaman dan Pemetaan<br />Perekaman kesusastraan lisan dan pemetaan jenis-jenis dan ragam-ragam bahasa yang ada di kawasan Jawa Timur perlu dilanjutkan dan diperluas serta ditingkatkan mutunya. Rekaman dan peta yang dihasilkan akan merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk pembangunan.<br />3) Publikasi<br />Publikasi adalah sumber informasi yang paling sahih. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan publikasii hasil-hasil penelitian, perekaman, pemetaan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jawa Timur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam penyusunan program pembangunan di bidang pendidikan.<br />Kedua, mengembangkan macam-macam program yang secara langsung atau tidak membina pengetahuan, keterampilan hakikat, dan sikap warga masyarakat Jawa Timur dalam berhubungan dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan dengan bahasa-bahasa asing tertentu. Macam-macam program yang tepat dikembangkan dalam pembangunan mendatang adalah sebagai berikut.<br />1)Program penataran bahasa dan kesusastraan Indonesia untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan hakikat bahasa Indonesia, pengetahuan dan kemampuan mengapresiasi karya sastra Indonesia, dan untuk mempositifkan sikap masyarakat terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program yang sama patut pula dikembangkan pada bahasa dan kesusastraan daerah, terutama untuk masyarakat daerah yang masih memelihara bahasa dan kesusastraannya. Sedangkan untuk bahasa dan kesusastraan asing, program penataran yang patut dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan teknis yang mendesak.<br />2)Program penyuluhan bahasa dan kesusastraan.<br />Program ini dimaksudkan untuk meneruskan kebijakan-kebijakan bahasa dan kesusastraan, seperti misalnya pemakaian EYD, penyusunan istilah, penjelasan tentang karya sastra terlarang, dll.<br />3)Program penyebarluasan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program ini merupakan realisasi dari usaha memberantas buta bahasa Indonesia.<br />4)Program partisipasi terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, termasuk kesusastraannya. Program ini dapat diwujudkan berupa pertemuan-pertemuan (diskusi, seminar, sarasehan, dsb.) ataukah dengan memberi peluang memainkan peranan tertentu dalam jenis-jenis kegiatan yang termasuk lingkup gerakan pembinaan bahasa Indonesia.<br />5)Program penghargaan prestasi bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Program ini hendaknya mengembangkan media, forum, atau wadah yang memberi peluang kepada warga masyarakat memperoleh penghargaan yang patut terhadap prestasinya mengintegrasikan diri dengan pembinaan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah.<br />Ketiga, meningkatkan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Kerja sama ini perlu digalang lewat suatu program yang terencana dan terarah, dengan koordinasi Balai Bahasa Jawa Timur.<br />Keempat, mengembangkan usaha yang memotivasi masyarakat umumnya dan karyawan khususnya untuk mempelajari bahasa dan kesusastraan Indonesia. Usaha ini antara lain dapat diwujudkan dengan menetapkan pengetahuan dan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai persyaratan promosi atau persyaratan penerimaan sebagai karyawan. Usaha yang sama dapat pula dilakukan terhadap bahasa daerah dan bahasa asing tertentu dalam batas-batas kebutuhan khususnya.<br />Demikianlah empat perangkat usaha dan kegiatan yang patut diprogramkan sebagai macam-macam kebijakan pilihan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di daerah Jawa Timur dalam pembangunan mendatang. Keempat perangkat usaha dan kegiatan tersebut di atas, tidak terlepas hubungannya satu dengan yang lainnya. Kesemuanya saling bertautan dalam satu keutuhan yang harus diprogramkan serempak dalam satu tahapan pembangunan.<br />Akhirnya, selain dari perangkat permasalahan yang telah dipaparkan di muka, masih banyak lagi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang belum sempat disajikan dalam uraian ini, lebih-lebih lagi kalau yang diinginkan sebuah sistematika identifikasi permasalahan yang menyeluruh, lengkap, dan terinci. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh identifikasi permasalahan yang agak lengkap tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim disarankan tiga tahapan kerja sebagai berikut.<br />1)Membentuk sebuah tim kecil (ad hoc) dengan tugas pokok melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.<br />2)Mengevaluasi hasil survai tim kecil dalam suatu seminar khusus yang dihadiri oleh ahli-ahli bahasa, guru-guru bahasa, dan pejabat yang secara langsung terlibat dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim.<br />3)Menyusun sistematika identifikasi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dalam suatu lokakarya khusus terbatas dengan memanfaatkan hasil survai tim kecil dan hasil seminar evaluasi di atas.<br /> </span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-82023321641171418072009-03-18T05:53:00.000-07:002009-03-20T08:01:28.213-07:00LINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA<span class="fullpost"><br /><strong>Oleh Masnur Muslich</strong><br />(Diadaptasikan dari Tulisan I Gusti Ngurah Oka)<br /><br />Kalau kita pandang pengajaran bahasa itu sebagai suatu proses, maka di dalamnya kita dapati dua jenis proses, yaitu (a) proses penyerahan bahasa yang diajarkan kepada orang yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan (b) proses penerimaan bahasa yang diajarkan oleh pelajar bahasa. Di dalam sejarah studi pengajaran bahasa, tiap jenis proses tersebut di atas ini merupakan bidang studi tersendiri yang makin mengkhusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini. Proses menyerahkan bahasa yang diajarkan kepada pelajar bahasa adalah pokok persoalan “Ilmu Pengetahuan Bahasa (Language Teaching)”.1) Titik pertemuan kedua jenis proses di atas terletak pada bahasa yang diajarkan atau dipelajari. Karena itu berhasil baiknya proses pengajaran bahasa akan sangat ditentukan bahasa yang diajarkannya dan juga pemahaman pelajar bahasa terhadap bahasa yang dipelajari itu. Pemahaman itu hanya mungkin bisa terjadi kalau bahasa tersebut telah digambarkan secara benar (ilmiah). Dan gambaran ilmiah terhadap bahasa adalah kompetensi linguistik untuk mengemukakannya.2) Dari segi ilmiah bisa kita lihat hubungan dalam proses pengajaran bahasa. Jadi kalau demikian di dalam proses pengajaran bahasa ada tiga persoalan yang harus kita pertimbangkan, yaitu:<br />a)gambaran bahasa (language description) yang akan diajarkan,<br />b)mengajarkan bahasa (language teching) tersebut pada pelajar bahasa,<br />c)belajar bahasa (language learning) tersebut kepada pelajar bahasa.3)<br />Jika titik pertemuan linguistik dengan pengajaran bahasa pada bahasa akan diajarkan atau yang akan dipelajari, maka persoalan yang kita angkat dalam hubungan ini adalah:<br />a)Sejauh manakah sumbangan linguistik kepada pengajaran bahasa?<br />b)Bagaimanakah kemungkinan penerapannya ke dalam pengajaran bahasa Indonesia?<br />Kedua pokok persoalan inilah yang selanjutnya akan merupakan isi dari uraian berikut ini:<br /><br />Sejarah Penerapan Linguistik <br />Ditinjau dari segi sejarahnya, masuknya linguistik ke dalam persoalan Pengajaran bahasa boleh dikatakan belum begitu lama. Di Amerika misalnya pemasukan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis oleh L. Bloomfield. Sehubungan dengan ini, Mary R. Haas dalam karangannya yang berjudul: “The Application of Language Teaching” (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807-817) mengatakan bahwa Bloomfield linguistik pertama yang bertindak sebagai guru bahasa.<br />Hasil-hasil yang baik dicapai Bloomfield dalam linguistik, yaitu mendeskripsikan bahasa yang diselidikinya sebagaimana adanya bahasa tersebut (sesuai dengan sistem dan struktur bahasa tersebut), kemudian diterapkannya ke dalam pengajaran bahasa. Penerapan ide-ide linguistisnya ini antara lain berupa saran-saran bagaimana sebaiknya cara-cara yang ditempuh untuk mengajarkan suatu bahasa dan mempelajari suatu bahasa. Beberapa dari saran tersebut misalnya seperti berikut.<br />a)Orang yang akan mengajarkan suatu bahasa (guru bahasa) hendaknya mengetahui dengan baik bahasa yang akan diajarkannya serta sanggup berbicara dalam bahasa tersebut.<br />b)Guru bahasa juga harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur bahasa yang mana yang harus diajarkan, yang mana di antara unsur-unsur tersebut yang lebih didahulukan dan bagaimana cara-cara yang dapat tepat mengajarkan tiap unsur bahasa tersebut.<br />c)Teknik-teknik yang sebaiknya ditempuh:<br />(1)Melatihkan secara intensif ucapan bunyi-bunyi bahasanya (drill fonetis). Dalam hubungan ini disarankan agar ucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut diusahakan setepat-tepatnya seperti pemakai aslinya (native speaker-nya) mengucapkan bunyi-bunyi tersebut.<br />(2)Menyediakan waktu yang cukup (8 jam seminggu) kepada “drill fonetis” (lebih-lebih lagi pada kelas-kelas permulaan).<br />(3)Mempertentangkan bahasa yang dipelajari dengan bahasa yang dimiliki oleh pelajar bahasa (“approach contrastive”).<br />Saran-saran tersebut di atas ini dikemukakan oleh Bloomfield didasarkan kepada tujuan pengajaran bahasa, yaitu membuat pelajar bahasa mampu berbahasa yang dipelajarinya, dalam waktu secepat-cepatnya dan tepat seperti pemakai aslinya mengucapkan bahasanya. Sedangkan teknik pengajaran tradisional yang terlalu mementingkan pengajaran gramar dan terjemahan namun mengabaikan kemampuan berbahasa. Hal ini terbukti dari kecamannya terhadap hasil-hasil pengajaran bahasa pada waktu itu sebagai berikut: “Of the students who take up the study of foreign languages in our schools and colleges, not one in a hundred attain even a fair reading knowledg, and not one foreign language”. Ide dan saran teknis dari Blooomfield ini termuat di dalam bukunya yang berjudul: “An Introduction to Study of Language” yang terbit tahun 1914.4)<br />Perkembangan study pengajaran bahasa di Amerika kemudian maju dengan pesatnya menjelang Perang Dunia II. Hal itu disebabkan karena kemungkinan-kemungkinan terlibatnya Amerika dalam perang tersebut. Adanya kemungkinan ini (dan memang akhirnya Amerika betul-betul terlibat atau melibatkan diri), dengan sendirinya diperlukan persiapan-persiapan atau perlengkapan-perlengkapan yang bukan saja bersifat kemiliteran namun juga yang bersifat sosial-budaya. Sampai pada saat itu pengetahuan Amerika tentang negara-negara yang bukan Eropa begitu banyak.<br />Demikian juga bahasa-bahasa yang dipelajarinya kebanyakan bahasa-bahasa klasik Eropa saja, seperti misalnya Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol dan lain sebagainya. Sedangkan bahasa-bahasa Asia dan Afrika sedikit sekali yang dipelajarinya.<br />Tuntutan taktis dan strategi militer (yang berupa informasi-informasi militer dan sosial-budaya) dari negara-negara Asia dan Afrika yang hanya mungkin dicapai dengan baik kalau menguasai bahasa-bahasa di negara-negara kedua benua tersebut, mendorong pemerintah Amerika untuk dengan segera dan cepat membentuk tenaga-tenaga yang mampu berbahasa bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Untuk maksud ini kemudian “American Council of Learned Society” membentuk suatu komite dengan nama “Committee on the National School of Modern Oriental Languages and Civilization” yang bertugas menemukan cara-cara yang cepat dan tepat untuk mempelajari bahasa-bahasa dan peradaban timur. Komite ini lalu mengkonsentrasi linguis-linguis Amerika terkemuka (terutama murid-murid L. Bloomfield dan E. Sapir atau linguis-linguis yang mengembangkan ide penegak linguistik modern Amerika ini) yang akhirnya menghasilkan: (1) Field Method in Linguistics (terutama dikembangkan oleh: “Linguistics Institute of the Linguistic Society of America” dan (2) Intensive Language Program yang dikembangkan oleh “The American Council of Learne Society”. Hasil-hasil ini kemudian dimanfaatkan oleh Angkatan Perang Amerika sehingga dalam waktu yang tidak lama hampir lebih dari 26 buah bahasa di Asia dan Afrika yang sudah dikuasainya. Termasuk ke dalamnya Bahasa Indonesia. Dan khusus untuk Pengajaran Bahasa Inggris, maka di Universitas Michigan dibentuk “English Language Institute” di bawah pimpinan Profesor Charles C. Fries.5) Demikianlah sejarah perkembangan Pengajaran Bahasa di Amerika yang dalam keseluruhannya merupakan usaha menerapkan linguistik ke dalam persoalan pengajaran bahasa. Detail dari perkembangan ini diuraikan dengan baik oleh William G. Moulton dalam karangannya yang berjudul: “Linguistic and Language Teaching in the United States, 1940-1960.”6)<br />Dengan tidak mengecilkan usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam penghayatan bahasa seperti yang dikerjakan oleh Amerika, sementara di sini perkembangan di negara itu sajalah yang dikemukakan.<br />Usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam pengajaran bahasa di Indonesia, yaitu ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia, tampaknya baru dimulai perintisnya oleh para linguis muda Indonesia. Karya-karya yang bercorak linguistik dari Soewojo Wojowasito, Samsuri, dan Umar Yunus (Malang), M. Ramlan (Jogya), Lutfi Abbas (Bandung), Anton Muljono, Harimurti Kridalaksana, M. Effendi, A. Latif, T.W. Kamil dan lain sebagainya (Jakarta), banyak atau sedikit dimaksudkan untuk memberi landasan-landasan permulaan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.<br /><br />Sumbangan Linguistik dalam Pengajaran Bahasa <br />T. Hodge dalam karangannya yang berjudul: “The Influence of Linguistics to Language Teaching” (Anthropological Linguistics, 5, ., 1963, 50-56) antara lain mengatakan linguistik membantu pengajaran bahasa dalam:<br />1)menentukan corak bahasa yang diajarkan,<br />2)memberi pedoman tentang pemilihan materi bahasa yang sebaiknya diajarkan, dan<br />3)memberi pedoman tentang cara-cara penganalisaan materi bahasa yang diajarkan.<br />Tentang corak bahasa yang sebaiknya diajarkan, Charleton T. Hodge menyarankan agar pemilihannya didasarkan kepada kebutuhan mereka yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan kepada tujuan pengajaran bahasa. Sehubungan dengan ini hendaknya diperhatikan berbagai versi ujar yang ada dalam bahasa tersebut.<br />Mengenai materi atau bahan pelajaran yang sebaiknya diajarkan, disarankan agar dipersiapkan seri teks-book yang dikatakannya sebagai berikut: “Ideally, the language text is the last of a series of items to be written, following a complete study of the language, and analyzing and reanalyzing it from every aspects”.<br />Di dalam penganalisisan bahasa dan menjadikan pelajaran bahasa itu, Hodge menyarankan adanya kerja sama yang baik antara linguistik dengan paedagogi di satu pihak dan dengan metodologi di pihak lain. Dan teknik yang selalu ditekankannya adalah teknik drill yang intensif dan teknis pembinaan kemampuan berbahasa dalam bahasa yang dipelajari.7) Di samping itu linguistik juga mengembangkan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik. Untuk menyebut beberapa di antaranya, di sini perlu dikemukakan “Oral Approach” yang dirintis C.C. Fries yang dikatakannnya sebagai “A New Approach to Language Learning”8). “The Oral-Aural Method” oleh Robert L. Saitz9), Metode Pembatasan Materi Bahasa oleh W. Cowan, Smith dan S.W. Stevick, Metode Kontrastive Linguistik yang mempertentangkan bahasa yang diajarkan dengan bahasa yang telah dimiliki oleh pelajar bahasa dan malahan akhir-akhir ini sudah berkembang metode baru yang didasarkan kepada “Approach Bilingualism”.10)<br />Rupanya penerapan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik ini mendapatkan pembinaaan yang sangat baiknya dalam pengajaran bahasa Inggris. Dua jenis pengajaran bahasa Inggris yang sekarang terkenal di dunia adalah “Teaching English as a Foreign Language” dan “Teaching English as a Second Language”. Tentang hal ini diuraikan dengan baiknya oleh Charles C. Fries dalam bukunya “Teaching & Learning English as a Foreign Language” Publication of the Modern Language Association, 78: 2- 25-28 (1963),11) banyak berbicara tentang sejarah perkembangan kedua corak Pengajaran Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya dapatlah kita simpulkan bahwa bagaimanapun juga linguistik mempunyai andil yang sangat besar dalam perkembangan pengajaran bahasa dan malahan ada sementara sarjana yang berpendapat hanya pengajaran bahasa yang berdasarkan linguistiklah yang akan merupakan Pengajaran Bahasa yang valid di masa-masa yang akan datang.<br /><br />Kemungkinan-kemungkinan Penerapan Linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia <br />Atas dasar teori penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dan dengan perbandingan pengajaran bahasa Inggris yang telah demikian jauh menerapkan linguistik ke dalamnya, seperti yang diuraikan di atas ini, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan untuk menerapkan apakah saran-saran untuk menerapkan itu sudah adakah di Indonesia dan pada bahasa Indonesia?<br />Seperti telah diuraikan di atas, persyaratan pertama yang harus ada ialah deskripsi linguistik Bahasa Indonesia. Pertanyaan dalam hubungan ini: “Sudahkah bahasa Indonesia dideskripsikan secara linguistik?” Rupanya deskripsi linguistik tentang bahasa Indonesia ini, belumlah begitu besar jumlahnya dan juga belum tinggi mutunya, lebih-lebih lagi kalau kita bandingkan dengan deskripsi linguistik-linguistik yang telah ada dalam bahasa Inggris misalnya. Yang banyak kita dapati tentang bahasa Indonesia adalah terbitan-terbitan yang bernama tatabahasa/kaidah bahasa Indonesia yang ada sekarang ini di Indonesia dan tentang bahasa Indonesia, kebanyakan mempunyai sifat-sifat normatif preskriptif yang kebanyakan pula tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia yang sudah maju pesat.12)<br />Namun walaupun demikian, usaha-usaha permulaan untuk mendeskripsikan bahasa Indonesia secara linguistik yang dikerjakan oleh sementara linguis muda Indonesia, patut kita hargai dalam hubungan ini. Misalnya buku “Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tujuan Bahasa Indonesia I dan II (Jakarta, 1967) karangan Drs. Lufti Abbas, M.A., “Struktur Bahasa Indonesia” (Malang, 1966) karya Drs. Umar Yumus dan karangan-karangan tersebar dari: Anton Muljono, Djojo Kenntjono, Samsuri dan Harimurti Kridalaksana, semuanya merupakan usaha-usaha untuk mengemukakan deskripsi linguistik terhadap Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudah validnya karya-karya di atas ini, maka untuk Pengajaran Bahasa Indonesia di masa sekarang ini ada baiknya untuk sementara dipedomani kepada buku-buku ini, sambil menunggu kehadiran buku-buku yang lebih baik.<br />Syarat kedua yang kita perlukan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia adalah buku-buku pegangan sekolah yang berlandaskan linguistik. Rupanya buku-buku yang demikian inilah yang sedikit sekali adanya di Indonesia atau tidak ada sama sekali. Sehubungan dengan ini, adalah tantangan kepada linguis Indonesia dan terutama tantangan kepada sarjana-sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP untuk segera menghasilkan buku-buku pegangan yang demikian ini. Dikatakan demikian, karena sarjana-sarjana yang terakhir inilah yang di samping telah dibekali pengetahuan linguistik memiliki tentang Mengajarkan Bahasa (Language Teching) dan Belajar Bahasa (Language Learning).<br />Syarat ke tiga yang barangkali merupakan syarat terpenting dalam rangka penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia, adalah guru-guru Bahasa Indonesia yang mampu menerapkan atau mendasarkan pengajaran bahasa Indonesianya di sekolah-sekolah dengan linguistik. Tentunya guru-guru bahasa Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan tinggi di IKIP yang mempunyai kans yang lebih banyak dalam hubungan ini. Hanya saja tenaga-tenaga guru bahasa Indonesia yang sekarang sudah banyak disumbangkan oleh IKIP kebanyakan masih muda usia (kurang berpengalaman) dan juga kurang “keberanian” memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia. Dikatakan demikian karena sikap yang tidak simpatik dari guru-guru bahasa Indonesia angkatan tua dan sistem ujian lama yang masih berjalan rupanya tidak merupakan iklim yang baik untuk memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia pada masa sekarang ini. Namun bisa kita pastikan dalam hubungan ini adalah pastinya linguistik akan diterapkan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang, karena masa-masa itu dan masa-masa sesudahnya adalah Guru-guru Bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh IKIP.<br />Di samping persyaratan teknis ilmiah seperti yang diuraikan di atas ini sudah tentu sangat diperlukan aspirasi partisipasi yang positif dari pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen P. dan K. dengan memberikan fasilitas serta biaya untuk melaksanakan ide penerangan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. <br />Tanpa kedua hal yang terakhir ini, sulitlah kita berbicara tentang kemajuan apalagi tentang peningkatan mutu Pengajaran Bahasa Indonesia yang sering disarankan oleh masyarakat, para ahli/pendidik dan oleh pemerintah. Demikianlah sebuah pandangan tentang hubungan linguistik dengan Pengajaran Bahasa Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan penerapannya ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dalam kesederhanaannya ini bisa dipahami oleh semua pihak dan lebih dari pada itu diharapkan uraian ini dapat merangsang pemikiran-pemikiran yang tentunya harus lebih serta mendetail. Jika hal itu bisa tercapai, tercapai pulalah maksud utama uraian ini. <br />Catatan:<br />1)Lihat: Mary R. Haas, The Application of Linguistics to Language Teaching, (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807).<br />2) Lihat: A.H. Gleason Jr. An Introduction to Descriptive Linguistics, 1961: 1-2.<br />3)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 807.<br />4)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 809.<br />5)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 813.<br />6)Lihat: Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 50.<br />7)Ibid hal. 52.<br />8)Lihat: Harold B. Allen, Teaching English as a Second Language, 1965: 84-87.<br />9)Ibid. hal. 322-325.<br />10)op. cit. Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 52.<br />11)op. cit. A.L. Kroeber, 1985: 811-814.<br />12)Lihat: Anton Muljono; Suatu Reorientasi dalam Tatabahasa Indonesia (termuat dalam Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru, Jakarta, 1967: 45-69).<br /> </span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-74468007751260434402009-03-05T07:25:00.000-08:002009-03-05T07:28:02.480-08:00Dasar-dasar Pemahaman Pembelajaran Berbasis KompetensiOleh Masnur Muslich<br />Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang<br /><br />Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya untuk meningkat mutu pendidikan tersebut telah dan terus dilakukan, mulai dari berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum secara poriodik, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sampai dengan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, indikator ke arah mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. <br />Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas pendidikan ini ditempuh dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan kebutuhan masa depan yang akan dihadapi siswa sebagai warga bangsa agar mereka mampu berpikir global dan bertindak sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal (think globally but act locally), mengingat dunia telah menjadi “kampung global” (McLuhan, 1969), sebagaimana dikutip kembali oleh Kniep (1989). <br />Upaya sentralnya berporos pada pembaruan kurikulum pendidikan. Sebagai usaha terencana, pembaruan kurikulum ini tentulah didasari oleh alasan-alasan yang jelas dan substantif serta mengarah pada terwujudnya sosok kurikulum yang lebih baik, dalam arti yang seluas-luasnya, dan bukan sekedar demi perubahan itu sendiri. Ini berarti, pembaruan kurikulum selayaknya diabdikan pada terwujudnya praktik pembelajaran yang lebih berkualitas bagi siswa, menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, baik dalam kaitannya dengan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar mandiri. <br />Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang disosialisasikan sejak pertengahan tahun 2001 oleh Departemen Pendidikan Nasional (yang diterapkan secara resmi pada tahun ajaran 2004/2005) dan Kurikulum Tingkat Satuan Oendidikan (KTSP) yang dilaksanakan mulai tahun 2006/2007 (lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006) juga ingin mengantisipasi perubahan dan tuntutan masa depan yang akan dihadapi siswa sebagai generasi penerus bangsa. Langkah ini dilakukan setelah diketahui bahwa kurikulum yang telah diterapkan selama ini, yaitu Kurikulum1994, mayoritas masih berbasis materi. Di samping itu, penjabaran materi antarkelas tidak dapat dilihat dengan jelas kesinambungannya.<br />KBK yang telah banyak digunakan di beberapa negara, misalnya Singapura, Australia, dan Inggris (Boediono dan Ella, 1999) ini, di Indonesia baru dilaksanakan secara bertahap di semua jenjang pendidikan mulai tahun ajaran 2002, dan dilaksanakan secara menyeluruh pada tahun ajaran 2004. Hanya saja, setelah sekian tahun berjalan, hasilnya belum siginifikan. Hal ini sebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, konsep KBK itu sendiri yang belum dipahami secara benar oleh guru sebagai ujung tombak di kelas. Akibatnya, ketika guru melakukan penjabaran materi dan program pengajaran, tidak sesuai dengan harapan KBK. Kedua, draf kurikulum yang terus-menerus mengalami perubahan. Akibatnya, guru mengalami kebingungan rujukan sehingga muncul kesemrawutan dalam penerapannya. Ketiga, belum adanya panduan strategi pembelajaran yang mumpuni, yang bisa dipakai pegangan guru ketika akan menjalankan tugas instruksional bagi siswanya. Akibatnya, ketika melaksanakan pembelajaran, guru hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya, yang mayoritas berbasis materi, sehingga tidak ada kemajuan yang berarti. <br />Tanpa menunggu waktu lama, kegagalan KBK tersebut – kalau memang disebut gagal (?) – dibenahi dan disempurnakan dengan munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan KTSP ini diharapkan celah kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam KBK bisa ditanggulangi, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. <br />Terlepas dari kelemahan-kelemahamn tersebut, pembelajaran berbasis kompetensi– sebagaimana harapan KBK dan KTSP– harus dilaksanakan di semua kelas pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Hal ini berarti guru harus mempunyai wawasan yang cukup tentang strategi pembelajaran mata pelajaran yang diampunya, minimal dalam bentuk panduan yang dapat dipakai sebagai pegangan ketika akan melaksanakan pembelajaran di kelas. <br />Upaya pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah juga untuk menjawab kebelumberhasilan tersebut. Bahkan, lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pedidikan Nasional tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi pada Pasal 1 dan Pasal 2 dinyatakan sebagai berikut. <br /><br />Pasal 1<br />(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan pada : <br />a.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;<br />b.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;<br />c.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />d.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. <br />(2)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. <br />(3)Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).<br />(4)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP.<br />(5)Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah.<br /><br />Pasal 2<br />(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran 2006/2007.<br />(2)Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling lambat tahun ajaran 2009/2010.<br />(3)Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007.<br />(4)Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan :<br />a.Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar luar biasa (SDLB):<br /> - tahun I : kelas 1 dan 4;<br /> - tahun II : kelas 1,2,4, dan 5;<br /> - tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.<br />b.Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) :<br /> - tahun I : kelas 1;<br /> - tahun II : kelas 1 dan 2;<br />- tahun III : kelas 1,2, dan 3.<br />(5)Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.<br /><br />Berdasarkan isi yang tertuang dalam pasal 1 dan pasal 2 di atas, mulai tahun ajaran 2006 semua tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah harus mengembangkan dan menerapkan kurikulum berbasis standar isi dan standar kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah secara kreatif dan sesuai dengan kebutuhan, dengan memperhatikan panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).<br /><br />Mengapa pembelajaran berbasis kompetensi?<br />Tentang kompetensi ini ada beberapa rumusan atau pengertian yang perlu dicermati.<br />a.Kompetensi (competence), menurut Hall dan Jones (1976), adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. <br />b.Spencer dan Spencer (dalam Yulaelawati, 2004) mengatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecaapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Ini berarti bahwa kompetensi tersebut cukup mendalam dan bertahan lama sebagai bagian dari kepribadian seseorang sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku seseorang ketika berhadapan dengan berbagai situasi dan masalah; kompetensi dapat menyebabkan atau memprediksi perubahan tigkah laku; dan kompetensi dapat menentukan dan memprediksi apakah seseorang dapat bekerja dengan baik atau tidak dalam ukuran yang spesifik, tertentu, atau standar.<br />c.Lebih teknis lagi, Mardapi dkk. (2001) merumuskan bahwa kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan kedua hal tersebut dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja. Rumusan Marlupi dkk ini jelas dipengaruhi pendapat Adams (1995) bahwa pada hakikatnya dunia industri dapat menentukan standar kompetensi lulusan berupa pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai seseorang agar memiliki kompetensi untuk memasuki dunia kerja, mengingat dunia usaha dan industrilah yang kemudian me-manfaatkan hasil tamatan sekolah. <br />d.Richards (2001) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan menggunakan lulusan sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan tugas dan pekerjaan yang kelak akan dilakukan oleh siswa. <br />e.Sementara itu, Puskur, Balitbang, Depdiknas (2002) memberikan rumusan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan , keterampilan, dan nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar untuk melakukan sesuatu. <br />Yang jelas, berbagai rumusan tentang kompetensi tersebut pada dasarnya adalah daya cakap, daya rasa, dan daya tindak seseorang yang siap diaktualisasikan ketika menghadapi tantangan kehidupannya baik pada masa kini maupun masa akan datang. <br />Apabila dianalisis lebih lanjut, kompetensi ini dapat terdiri atas beberapa aspek. Bloom dkk. (1956), misalnya, menganalisis kompetensi ini menjadi tiga aspek, yang masing-masingnya mempunyai tingakatan berbeda, yaitu (1) kompetensi kognitif, (2) kompetensi afektif, dan (3) kompetensi psikomotorik. Sementara itu, Hall dan Jones membedakan kompetensi menjadi lima jenis, yaitu (1) kompetensi kognitif, yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, dan perhatian; (2) kompetensi afektif, yang meliputi nilai, sikap, minat, dan apresiasi; (3) kompetensi penampilan, yang meliputi demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik; (4) kompetensi produk, yang meliputi keteram-pilan melakukan perubahan; (5) kompetensi eksploratif atau ekspresif, yang menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan dalam prospek kehidupan. <br />Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatakan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya. Ini berarti, apabila selama ini orientasi pembelajaran lebih ditekankan pada aspek “pengetahuan” dan target “materi” yang cenderung verbalistis dan kurang memiliki daya terap, saat ini lebih ditekankan pada aspek “kompetensi” dan target “keterampilan”. Lewat pembelajaan berbasis kompetensi ini, diharapkan mutu lulusan lebih bermakna dalam kehidupannya.<br /><br />Apa perbedaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu?<br />Pengertian KBK dan KTSP<br />Apa sebenarnya kurikulum berbasis kompetensi atau KBK? A competency-based curriculum strats with identification of the competencies each leaner is expected to master, states cear-ly the criteria and conditions by which performance will be asses-sed, and defines the learning activities that will lead to the leaner to mastery of the targeted competency (@MATEC, 2001). Senada dengan itu, Puskur (2002) menyatakan bahwa KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. Batasan tersebut menyiratkan bahwa KBK dikembangkan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh kompetensi dan kecerdasan yang mumpuni dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Dalam arti, lewat penerapan KBK ini tamatan diharapkan memiliki kompetensi atau kemampuan akademik yang baik, keterampilan untuk menunjang hidup yang memadai, pengembangan moral yang terpuji, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup yang sehat, semangat bekerja sama yang kompak, dan apresiasi estetika yang tinggi terhadap dunia sekitar. Berbagai kompetensi tersebut harus berkembang secara harmonis dan berimbang (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2001a). <br />Sementara itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat Panduan Penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP. <br />Berdasarkan pengertian tersebut, perbedaan esensial antara KBK dan KTSP tidak ada. Keduanya sama-sama sperengkat rencana pendidikan yang berorientasi pada kompetensi dan hasil belajar peserta didik. Perbedaannya menampak pada teknis pelaksanaan. Kalau KBK disusun oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas (c.q. Puskur); KTSP disusun oleh tingkat satuan pendidikan masing-masing, dalam hal ini sekolah yang bersangkutan, walaupun masih tetap mengacu pada rambu-rambu nasional Panduan Penyusunan KTSP yang disusun oleh badan indepeneden yang disebur Badan Standar Nasional Pendidiakan (BSNP).<br /><br />Prinsip-prinsip KBK dan KTSP<br />Menyadari bahwa pengembangan kurikulum merupakan proses yang dinamis, maka penyusunan dan pelaksanaan KBK didasarkan pada sembilan prinsip, yaitu prinsip: <br />(1)keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur;<br />(2)penguatan integritas nasional; <br />(3)keseimbangan antara etika, logika, estetika, dan kinestika; <br />(4)kesamaan memperoleh kesempatan; <br />(5)abad pengetahuan dan teknologi informasi;<br />(6)pengembangan kecakapan hidup (life skill); <br />(7)belajar sepanjang hayat; <br />(8)berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif; dan <br />(9)pendekatan menyeluruh dan kemitraan. <br />Prinsip-prinsip itu dikembangkan dan diterapkan dalam rangka melayani dan membantu siswa mengembangkan dirinya secara optimal, baik dalam kaitannya dengan tuntutan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar sepanjang hayat secara mandiri dalam masyarakat. <br />Hampir sama dengan KBK, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:<br />(1)berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;<br />(2)beragam dan terpadu;<br />(3)tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;<br />(4)relevan dengan kebutuhan kehidupan;<br />(5)menyeluruh dan berkesinambungan;<br />(6)belajar sepanjang hayat; dan<br />(7)seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. <br />Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut.<br />a.Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia <br />Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.<br />b.Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik<br />Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />c.Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan<br />Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah. <br />d.Tuntutan pembangunan daerah dan nasional<br />Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.<br />e.Tuntutan dunia kerja<br />Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.<br />f.Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. <br />g.Agama<br />Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah. <br />h.Dinamika perkembangan global <br />Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.<br />i.Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan<br />Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat<br />Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.<br />k.Kesetaraan Jender<br />Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.<br />l.Karakteristik satuan pendidikan<br />Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. <br /><br />Karakteristik utama KBK dan KTSP<br />Berdasar pemahaman tersebut, KBK dan KTSP dikembangkan berdasarkan beberapa karakteristik atau ciri utama. @MA-TEC (2001), misalnya, berfokus pada tiga ciri utama, yaitu (1) berpusat pada siswa (focus on learners), (2) memberikan mata pelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual (provide relevant and contextualzed subject matter), dan (3) mengembangkan mental yang kaya dan kuat pada siswa (develop rich and robust mental models) (@MA-TEC, 2001).<br />Dengan demikian KBK dan KTSP setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut:<br />berbasis kompetenesi dasar (curriculum based competencies), buka materi pelajaran);<br />bertumpu pada pembentukan kemampuan yang dibutuhkan oleh siswa (developmentally-appropriate practice), buka penerusan materi pelajaran;<br />berpendekatan atau berpusat pembelajaran (learner centered curriculum), bukan pengajaran;<br />berpendekatan terpadu atau integratif (integrative curriculum atau learning across curriculum), buka diskrit;<br />bersifat diversifikatif, pluralistis, dan multikultural;<br />bermuatan empat pilar pendidikan kesejagatan, yaitu belajar memahami (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be oneself), dan belajar hidup bersama (learning to live together); dan<br />berwawasan dan bermuatan manajemen berbasis sekolah.<br />Dengan karakteristik tersebut, KBK dan KTSP telah memungkinkan hal-hal berikut.<br />Terkuranginya materi pembelajaran yang demikian banyak dan padat.<br />Tersusunnya perangkat standar dan patokan kompetensi yang perlu dikuasai siswa baik kompetensi tamatan, kompetensi umum, maupun kompetensi dasar mata pelajaran.<br />Terkuranginya beban tugas guru yang selama sangat banyak dan beban belajar siswa yang selama ini sangat berat. <br />Memperbesar kebebasan, kemerdekaan, dan keleluasaan tenaga pendidikan dan pengelola pendidikan di daerah, dan memperikan peluang mereka untuk berimprovisasi, berinovasi, dan berkreasi.<br />Terbuknya kesempatan dan peluang bagi daerah (kota dan kabupaten), bakan pengelola pendidikan dan tenaga pendidikan, untuk melakukan berbagai adaptasi, modifikasi, dan kontekstualisasi kurikulum sesuai dengan kenyataan lapangan, baik kenyataan demografis, geografis, sosiologis, kultural, ma-upun psikologis siswa.<br />Terakomodasinya kepentingan dan kebutuhan daerah setempat, terutama kota dan kabupaten, baik dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan setempat, maupun melestarikan karakteristik daerah, tanpa harus mengabaikan kepentingan bangsa dan nasional.<br />Terbuka lebarnya kesempatan bagi sekolah untuk mengembangkan kemandirian demi peningkatan mutu sekolah, yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.<br /><br />Sementara itu, Puskur (2002) berpegang pada lima karakteristik utama, yaitu (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) guru bukan satu-satunya sumber belajar, dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Dalam praktiknya, ciri-ciri tersebut harus tecermin dalam pembelajaran. <br /><br />Jenjang Kompetensi pada KBK dan KTSP<br />Secara teknis, KBK yang dikembangkan Puskur (2001) mengelompokkan kompetensi menjadi tiga jenjang, yaitu (1) kompetensi tamatan (KT), yaitu kompetensi-kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka menyele-saikan jenjang pendidikan tertentu (SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA), (2) kompetensi umum (KU), yaitu kompetensi-kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka mengikuti mata pelajaran tertentu pada jenjang pendidikan tertentu, dan (3) kompetensi dasar (KD), yaitu kompetensi-kompetensi pokok yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka mengikuti mata pelajaran tertentu pada satuan waktu tertentu (catur wulan atau semester) dan pada jenjang pendidikan tertentu. Kompetensi-kompetensi itu bersifat dinamis, berkembang dari waktu ke waktu, dan berisi deskripsi keterampilan dan pengetahuan yang dapat diaplikasikan tamatan sesuai dengan kebutuhannya (Lihat MDC, 2002). Dalam praktiknya, ketiga jenjang kompetensi ini menjadi acuan guru ketika melaksanakan tugas-tugas instruksional di sekolah.<br />Kompetensi dasar yang selama ini telah dikenal secara umum adalah membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Untuk hidup di era global ini tidak hanya berbekal calistung, tetapi diperlukan pula kompetensi atau kemampuan pemahaman (comprehension), komunikasi (communication), dan perhitungan (computation). Kompetensi-kompetensi dasar itu masih terlalu umum sehingga perlu dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk kompetensi dasar mini-mal yang lebih terurai dalam kurikulum. Oleh karena itu, definisi kompetensi dasar dalam KBK adalah sekumpulan kemampuan dasar minimal yang perlu dikuasai siswa setelah menyelesaikan serangkaian pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran dan jenjang yang disusun secara teratur dan bermakna (Boediono dan Ella, 1999). “Kompetensi dasar minimal” inilah yang diupayakan guru secara maksimal lewat pembelajaran bagi siswanya.<br />Senada dengan itu, ”kompetensi tamatan” pada KBK diistilahkan standar ”kompetensi lulusan” pada KTSP, yang secara yuridis termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah. “Kompetensi umum” pada KBK diistilahkan “standar isi” pada KTSP, yang secara yuridis termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah. Jenis-jenis kompetensi yang lain, yaitu standar kompetensi dan komptensi dasar, tidak ada perbedaan istilah antara KBK dan KTSP. <br />Penerapan Kompetensi dalam pembelajaran<br />Dalam rangka pencapaian standar kompetensi perlu upaya-upaya terencana dan konkret berupa kegiatan pembelajaran bagi siswa. Kegiatan ini harus dirancang sedemikian sehingga mampu mengembangkan kompetensi baik ra-nah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, keahlian guru dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan standar kompetensi yang akan dicapai, strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan, sangat diperlukan (Lihat Irianto, 2002). <br />Ada berbagai model pembelajaran yang bisa digunakan guru, misalnya pembelajaran langsung, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis pada masalah, pembelajaran yang berbasis kompetensi, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, belajar tuntas, konstruktivisme, dan sebagainya. Dari sekian banyak model tersebut, pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran dengan pendekatan kontektual menjadi pilihan utama dalam panduan ini karena dua hal. Pertama, kehadiran KBK dam KTSP dijiwai oleh “semangat” kompetensi yang hendak dicapai lewat pembelajaran. Hal ini terbukti dalam penderetan “kompetenesi dasar” yang diikuti dengan “materi pokok” dan “indikator pencapaian hasil belajar” pada Bab 2 buku KBK dan Standar Isi pada KTSP. Kedua, kompetensi akan lebih cepat tercapai apabila dalam pembelajarannya didukung oleh konteks atau kenyataan yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. <br /> <br />Bagaimana sosok KBK?<br />KBK yang dikembangkan Depdiknas (Puskur, 2002) merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu (1) Kurikulum dan Hasil Belajar, (2) Penilaian Berbasis Kelas, (3) Kegiatan Belajar Mengajar, dan (4) Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Keempat komponen KBK ini merupakan satu kesatuan yang utuh karena dalam praktiknya komponen-komponen ini saling menunjang. Apabila didiagramkan, keterkaitan keempat komponen tersebut terlihat sebagai berikut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Secara garis besar, rumusan kompetensi dalam KBK merupakan pernyataan tentang apa yang diharapkan dapat diketahui (aspek kognitif), disikapi (aspek afektif), dan dilakukan siswa (aspek psikomotor), dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Keempat komponen KBK ini dalam rangka “mengabdi” ketercapaian kompetensi tersebut. <br /><br />Kurikulum dan Hasil Belajar (KHB)<br /> KBH ini memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan, yaitu sejak TK/RA sampai dengan kelas 12. Kompetensi yang menyeluruh – dari jenjang prasekolah sampai dengan kelas 12 – ini rangkaian kompetensi yang memungkinkan siswa untuk maju secara bertahap, berkelanjutan, dan konsisten dalam pendidikan seiring dengan perkembangan dan kematangan psikologisnya. Dengan pemajangan kompetensi ini tidak hanya pengelola pendidikan (terutama guru) saja yang paham tentang hasil belajar yang diharapkan dicapai siswa pada setiap jenjang pendidikan, tetapi juga siswa dan orangtua. Pada sisi lain, dengan KBH ini guru tetap memperoleh kelonggaran untuk memilih, menentukan, dan mengembangkan pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswanya untuk mencapai hasil belajar yang masimal. KBH ini juga mem-berikan kesempatan guru untuk mengembangkan program pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kehidupan, keadaan sekolah atau lingkungan, dan kebutuhan serta kemampuan siswa. <br /><br />Penilaian Berbasis Kelas (PBK)<br />PBK ini memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan stan-dar yang harus dicapai, peta kemajuan belajar siswa, dan pelaporan. Penilaian ini disebut berbasis kelas karena penilaian ini dilaksanakan secara terpadu dalam pembelajaran di kelas. <br />Dalam praktiknya, PBK ini bisa dilakukan melalui pengumpulan kerja siswa (potofolio), hasil karya (product), penugasan (project), kinerja (performance), dan tes tulis (paper and pencil). Hasil PBK ini berguna untuik lima hal, yaitu:<br />(1)umpan balik bagi siswa tentang kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajar;<br />(2)memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa untuk melakukan pengayaan dan remidiasi;<br />(3)umpan balik bagi guru untuk memperbaiki program pembelajarannya; <br />(4)memungkinkan siswa mencapai kompetensi dengan kecepatan berbeda-beda; dan<br />(5)memberi informasi yang lebih komuniukatif kepada stakeholder tentang efektivitas pendidikan sehingga meningkat partisipasinya.<br /><br />Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)<br />KBM ini memuat gagasan-gagasan pokok pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. Komponen ini menyebutkan bahwa belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna dan pemahaman. Dengan demikian, dalam praktiknya, guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar tetap ada pada diri siswa sendiri, sedangkan guru bertanggung jawab menciptakan situasi yang menyenangkan, yang bisa mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. <br /> KBM dalam KBK ini memegang sepuluh prinsip pembelajaran, yaitu sebagai berikut.<br />1.Berpusat pada siswa. Setiap siswa adalah unik karena berbeda dlam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Jadi, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu bera-gam sesuai dengan karakteristik siswa. KBM perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan mendorong siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal.<br />2.Belajar dengan melakukan. KBM perlu memberikan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah, dan prinsip disiplin ilmu yang dipelajari siswa. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan, menganalisis, melakukan, dan menyimpulkan sendiri kompetensi yang harus dikuasai sebagai hasil belajar.<br />3.Mengembangkan kemampuan sosial. Siswa – sebagai makhluk sosial – akan lebih mudah membangun dan mengembangkan pemahaman melalui interaksi soial, yaitu mengomunikasikan gagasannya dengan siswa lain atau gurunya. Untuk meningkatkan terjadinya perbaikan pemahaman siswa, KBM bisa dirancang dalam bentuk diskusi, tanya jawab antarteman, dan bekerja sama dalam melakukan kegiatan tertentu. Dengan demikian, KBM memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan, prestasi) dan berlatih untuk bekerja sama. KBM perlu dirancang untuk mendorong siswa mengembangkan empatinya sehingga dapat mengembangkan saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.<br />4.Mengembangkan keingingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. Siswa – sebagai manusia – dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu; imajinasi yang dimilikinya sebagai modal untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif; sedangkan fitrah ber-Tuhan sebagai modal untuk bertaqwa kepada Tuhan. KBM, bagaimana pun jenisnya, diupayakan bisa mengembangkan rasa keingintahuan siswa, menyuburkan imajinasi, dan memperkuat rasa ketaqwaan kepada Tuhan. <br />5.Mengemnbangkan keterampilan pemecahan masalah. Siswa perlu dilatih memecahkan masalah agar bisa menguasai tantangan kehidupannya. KBM hendaknya mampu mendorong dan melatih siswa untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. KBM hendaknya juga bisa merangsang siswa untuk secara aktif mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dengan menggunakan pola pikir kritis, logis, dan ilmiah.<br />6.Mengembangkan kreativitas siswa. Siswa memiliki potensi untuk berbeda dalam hal pola pikir, daya ima-jinasi, fantasi, dan hasil karyanya. Oleh karena itu, KBM perlu dirancang untuk memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi sehingga kreativitas siswa bisa terbangun dan berkembang secara optimal.<br />7.Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi. Siswa perlu mengenal penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini. KBM perlu memberikan peluang agar siswa memperoleh infor-masi dari multimedia, setidaknya dalam penyajian materi dan penggunaan media pembelajaran. Penggunaan media yan bervariasi ini merupakan konsekuensi logis dari variasi pendekatan yang dipilih guru untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa.<br />8.Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik. Dalam KBK dijelaskan bahwa siswa perlu memperoleh wawasan dan kesadaran untuk menjadi warga negara yang produktif dan bertanggung ja-wab. Dengan demikian, KBM perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat membekali siswa agar menjadi warga masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab. KBM juga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran sis-wa akan kemajemukan bangsa akibat keragaman latar belakang geografis, budaya, sosial, adat isti-adat, agama, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Juga, hendaknya KBM mampu menggugah kesadaran siswa akan hal dan kewajiban sebagai warga negara.<br />9.Belajar sepanjang hayat. Kemampuan afektif ini diperlukan siswa untuk ketahanan fisik dan mentalnya. KBM harus bisa mendorong siswa untuk dapat melihat dirinya sendiri secara positif dan apa adanya. Sehubungan dengan itu, siswa perlu dibekali dengan keterampilan belajar yang meliputi rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama supaya dirinya terdorong untuk selalu belajar di mana saja, dari apa/siapa saja, dan dalam keadaan apa saja.<br />10.Perpaduan kompetisi, kerja sama, dan solidaritas. KBM juga perlu memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi secara positif, bekerja sama, dan solidaritas; selain mengem-bangkan belajar secara mendiri. KBM yang memenuhi ketiga hal tersebut dan yang bercirikan individual-competitive dan collaborative-cooperative memerlukan kemampuan dan keterampilan guru dalam mengelola ruang kelas, mengelola siswa, dan mengelola kegiatan pembelajaran. <br /><br />Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (PKBS)<br />PKBS memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar, yang dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.<br />Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, KBK mengakomodasi berbagai perbedaan secara tanggap budaya dengan mensinergikan aneka ragam kepentingan dan kemampuan daerah. Melalui PKBS ini, KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan pembelajaran untuk semua siswa terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan gender. Dengan demikian, sebagai implementasi dari pengembangan KBK, PKBS ini merupakan kesatuan pengembangan yang utuh dalam disentralisasi kurikulum daerah, mulai dari pengembangan silabus, pengembangan dan penetapan materi yang diperlukan di sekolah atau daerah, pelaksanaan kurikulum, dan pegembangan sistem pemanatauan (monitoring). <br />Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum nasional dalam KBK mencakup dua inovasi pendidikan, yaitu (1) berfokus pada standar kompetensi dan hasil belajar, dan (2) mendesentralisasikan pengembangan silabus dan pelaksanaannya. Kedua inovasi ini sesuai dengan prinsip “kesatuan dalam kebijakan” dan “keragaman dalam pelaksanaan”. Prinsip pertama terlihat pada adanya penetapan standar kompetensi dan hasil belajar oleh Pusat; sedangkan prinsip kedua ditandai oleh adanya pengembangan silabus oleh Daerah, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal. <br />Alur pengembangan KBK terlihat pada diagram di bawah ini. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi<br /><br /><br /><br /><br />Bagaimana implikasi atas PKBS ini bagi daerah atau sekolah? <br />(1)Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum menjadi dinamis dengan pemecahan masalah yang secara langsung dapat ditangani pada tingkat sekolah atau daerah.<br />(2)Pengelolaan kurikulum sepenuhnya ditangani oleh sekolah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. <br />(3)Pemberdayaan tenaga kependidikan yang berpotensi di daerah untuk dilibatkan dalam penyusunan silabus, pelaksanaan, dan penilaiannya.<br />(4)Pemanfaatan sumber-sumber daya pendidikan lainnya yang terdapat di daerah untuk penyusunan silabus.<br />(5)Penggunaan sumber-sumber informasi lain termasuk multimedia yang bermanfaat untuk memperkaya penyusunan silabus dan pelaksanaannya.<br />(6)Pembentukan tim pengembang kurikulum dan jaringan kurikulum.<br />(7)Pengembangan sistem informasi kurikulum melalui WEB.<br /><br />Bagaimana sosok KTSP?<br /><br />Sebagaimana Panduan Penyusunan KTSP yang disusun oleh BSNP, KTSP ada empat komponen, yaitu (1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, (2) struktur dan muatan KTSP, (3) kalender pendidikan, dan (4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)<br />Komponen 1: Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan<br />Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut. <br />Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.<br /><br />Komponen 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam Standar Isi, yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran sebagai berikut.<br />Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia <br />Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian <br />Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi <br />Kelompok mata pelajaran estetika<br />Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan<br />Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7.<br />Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.<br />Mata pelajaran<br />Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi.<br />Muatan Lokal<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Kegiatan Pengembangan Diri<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik. <br />Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. <br />Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. <br />Pengaturan Beban Belajar <br />Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standar.<br />Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar.<br />Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.<br />Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. <br />Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut.<br />Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.<br />Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. <br /><br />Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan<br />Kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan mengacu kepada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.<br />Pendidikan Kecakapan Hidup <br />Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.<br />Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran. <br />Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.<br />Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran. <br />Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br /><br />Komponen 3: Kalender Pendidikan<br />Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi. <br /><br />Komponen 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran<br />Silabus ini merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.<br /><br />Secara dokumentatif, komponen KTSP tersebut dikemas dalam dua dokumen:<br />Dokumen I memuat acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan kTSP, dan kalender pendidikan<br />Dokumen II memuat silabus dari sk/kd yang dikembangkan pusat dan silabus dari sk/kd yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan).<br />Secara garis besar, struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut.<br /><br />A. Sruktur KTSP Dokumen 1<br /><br />BAB I PENDAHULUAN<br />A.Latar Belakang (dasar pemikiran penyusunan KTSP) <br />B.Tujuan Pengembangan KTSP<br />C.Prinsip Pengembangan KTSP<br />Catatan: <br />Prinsip pengembangan KTSP sesuai dengan karakteristik sekolah yang bersangkutan.<br /><br />BAB II . TUJUAN PENDIDIKAN<br />A.Tujuan pendidikan (Disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)<br />B.Visi Sekolah<br />C.Misi Sekolah<br />D.Tujuan Sekolah<br />Catatan:<br />Penyusunan visi, misi, tujuan satuan pendidikan bisa dilakukan dengan tiga tahap:<br />Tahap 1 : Hasil Belajar Siswa<br />Apa yg hrs dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah mereka menamatkan sekolah?<br />Tahap 2 : Suasana Pembelajaran<br />Suasana pembelajaran seperti apa yg dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu?<br />Tahap 3 : Suasana Sekolah<br />Suasana sekolah – sebagai lembaga/organisasi pembelajaran – seperti apa yg diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa?<br /><br />BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM<br />Meliputi Sub Komponen:<br />A.Mata pelajaran<br />Berisi “Struktur Kurikulum Tingkat Sekolah” yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian SKL.<br />Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain:<br />mengatur alokasi waktu pembelajaran “tatap muka” seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan Ketrampilan/Bahasa asing lain);<br />memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru; <br />mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum; dan<br />tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi.<br /><br />B.Muatan lokal<br />Berisi tentang: Jenis, Strategi Pemilihan dan pelaksanaan Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.<br />Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mapel lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi Mapel tersendiri;<br />Merupakan Mata pelajaran wajib yang tercantum dlm. Struktur kurikulum;<br />Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka).<br />Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester, mengacu pada: minat dan atau karakteristik program studi yang diselenggarakan di sek.<br />Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran, sesuai dengan minat dan prog. Mulok yang diselenggarakan sekolah.<br />Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, Contoh:<br />- Bdg. Budidaya: Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, pembibitan ikan hias dan konsumsi, dll<br />- Bdg. Pengolahan: Pembuatan Abon, Kerupuk, Ikan Asin, Baso dll.<br />- Bdg. TIK dan lain2: Web Desain, Berkomunkasi seb. Guide, akuntansi komputer, Kewirausahaan dll<br />Sekolah harus menyusun SK, KD dan Silabus untuk Mata pelajaran Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.<br />Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok<br />C.Kegiatan Pengembangan diri<br />Bertujuan memberikan kesempatan kpd peserta didik utk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dg kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah.<br />Dapat dilaksanakan dalam bentuk keg: <br />Pelayanan Konseling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karir ), dan atau<br />pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti: Kepramukaan, Kepemimpinan, KIR dll. <br />Bukan Mata Pelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD dan silabus.<br />Dilaksanakan melalui Ekstra kurikuler<br />Penilaian dilakukan secara kualitatif (deskripsi), yang difokuskan pada “Perubahan Sikap dan Perkembangan Perilaku Peserta Didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri. <br />D.Pengaturan beban belajar<br />Berisi tentang jumlah beban belajar per MP, per minggu per semester dan per Tahun Pelajaran yang dilaksana-kan di sekolah, sesuai dg. alokasi waktu yang tercantum dlm. Struktur Kurikulum <br />Sekolah dapat mengatur alokasi waktu utk setiap MP pada smt ganjil dan genap dlm satu th pelajaran sesuai dg. Kebutuhan, tetapi Jml. Beban belajar per tahun secara keseluruhan tetap.<br />Alokasi waktu kegiatan Praktik diper-hitungkan sbb: 2 JPL praktik di seko-lah setara dg 1 JPL ttp muka, dan 4 JPL praktik di luar sek setara dg 1 JPL ttp muka.<br />Sekolah dpt memanfaatkan alokasi Tambahan 4 JPL dan alokasi waktu penugasan terstruktur (PT) dan penugasan tidak terstruktur (PTT) sebanyak 0% – 60% per MP (Maks. 60 % X 38 JPL = 22 Jpl) untuk kegiatan remedial, pengayaan, penambahan jam praktik dll, sesuai dg potensi dan kebutuhan siswa dlm mencapai kompetensi pd. Mata pelajaran tertentu.<br />Pemanfaatan alokasi waktu PT dan PTT, harus dirancang secara tersistem dan terprogram menjadi bagian integral dari KBM pada Mapel ybs, <br />Alokasi waktu PT dan PTT tidak perlu dicantumkan dalam struktur kurikulum dan silabus, tetapi dicantumkan dalam Skenario Pembelajaran, Satpel.<br />Sekolah harus mengendalikan agar pemanfaatan waktu dimaksud dapat digunakan oleh setiap guru secara efisien, efektif, dan tidak membebani siswa. <br /><br />E.Ketuntasan Belajar<br />Berisi tentang Kriteria dan melanisme penetapan Ketuntasan Minimal Per Mata Pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dg mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0 – 100 %, dgn batas kriteria ideal minimum 75 %. <br />Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per MP dg mempertimbangkan: kemampuan rata2 siswa, kompleksitas, SD pendukung. <br />Sek dpt menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, ttp secara bertahap hrs dpt mencapai kriteria ketuntasan ideal<br /><br />F.Kenaikan Kelas, dan kelulusan<br />Berisi tentang kriteria dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta streategi penanganan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh Sekolah. Program disusun mengacu pada hal2 sebagai berikut:<br />Panduan kenaikan kelas yang akan disusun oleh Dit. Pembinaan SMA <br />Sedangkan ketentuan kelulusan akan diatur secara khusus dalam peraturan tersendiri.<br /><br />G.Penjurusan<br />Berisi tentang kriteria dan meka-nisme Penjurusan serta strategi-/kegiatan Penelusuran bakat, minat dan prestasi yang diberlakukan oleh Sekolah, yang disusun dengan mengacu pada:<br />Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.<br /><br />H.Pendidikan kecakapan Hidup<br />Bukan mata pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integral dari semua MP.<br />Tidak masuk dalam struktur kurikulum.<br /> Dapat disajikan secara terintegrasi dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan ecara khusus.<br /> Substansi Kecakapan Hidup meliputi: Kecakapan pribadi, sosial, akademik dan atau vokasional.<br />Untuk kecakapan vokasional, dapat diperoleh darisatuan pend ybs, al melalui mapel Mulok dan atau mapel Keterampilan.<br />Bila Sk dan KD pd mapel keterampilan tidak sesuai dg kebutuhan siswa dan sekolah, maka sek dpt mengembangkan SK, KD dan Silabus keterampilan lain sesuai dg kebutuhan sekolah.<br />Pembelajaran mapel keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif melalui Intra kurikuler.<br />Pengembangan SK,KD, Silabus dan Bahan Ajar dan Penyelenggaraan Pembelajaran Keterampilan Vokasional dpt dilakukan melalui kerjasama dengan satuan pend formal/non formal lain.<br /><br />I.Pendidikan berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global.<br />Substansinya mencakup aspek: Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, ekologi, dan lain- lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.<br />Dapat merupakan bagian dari semua MP yg terintegrasi, atau menjadi mapel Mulok.<br />Dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau satuan pendidikan nonformal.<br /><br />Catatan: Untuk PLB/PK ditambah dengan Program Khusus <br /><br />BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN<br />Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dng kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.<br /><br />Contoh pengembangan KTSP bisa dilihat pada Lampiran 1.<br /><br /><br />B. Struktur KTSP Dokumen 2<br /><br />A.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN PUSAT<br />B.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN SEKOLAH (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)<br /><br />SD/MI<br />A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III)<br />B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI)<br />C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />D.Silabus Keagamaan (Khusus MI)<br /><br />SMP/MTs<br />A.Silabus Mata Pelajaran (Kelas VII, VIII dan IX)<br />B.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />C.Silabus Mapel IPA dan IPS Terpadu (Kelas VII, VIII, dan IX)<br />D.Silabus Keagamaan (Khusus MTs)<br /><br />SMA/MA<br />A.Silabus Mata Pelajaran Wajib <br /> - Kelas X – 16 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – IPA – 13 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – IPS – 13 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – Bahasa – 13 Mapel <br />B. Silabus Mulok<br />C. Silabus Keagamaan (Khusus MA)<br /><br />SMK<br />A.Silabus Mata Pelajaran Wajib <br />B.Silabus Mulok<br /><br />PLB/PENDIDIKAN KHUSUS<br />A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III : SDLB-A,B,D,E, Semua Kelas SDLB, SMPLB dan SMALB : C, C1,D1, dan G)<br />B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI : SDLB-A,B,D,E dan SMPLB dan SMALB : A, B, D, E)<br />C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />D.Silabus Program Khusus (Untuk SDLB dan SMPLB) <br /><br /><br />Uraian lebih lanjut silakan baca <em>KTSP: pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual </em>oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-61424314431131678652009-03-05T07:23:00.000-08:002009-03-05T07:28:43.520-08:00LANDASAN, PRINSIP, KOMPONEN, DAN STRUKTUR KTSPOleh Masnur Muslich<br />Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang<br /><br />A.Apa Landasan Penyusunan KTSP?<br />KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. <br />Dalam penyusunannnya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi <br />Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). <br /><br />Apa saja bunyi UU, PP, dan Permen yang terkait dengan penyusunan KTSP? <br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).<br /><br />Pasal 1<br />(19) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.<br />Pasal 18<br />(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.<br />(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.<br />(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. <br />(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br />Pasal 32<br />(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.<br />(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.<br />(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah <br />Pasal 35<br />(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. <br />Pasal 36<br />(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. <br />(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.<br />(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:<br />a. peningkatan iman dan takwa;<br />d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; <br />e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; <br />f. tuntutan dunia kerja;<br />b. peningkatan akhlak mulia;<br />c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; <br />g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; <br />h. agama;<br />i. dinamika perkembangan global; dan <br />j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.<br />(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.<br />Pasal 37<br />(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:<br />a. pendidikan agama;<br />b. pendidikan kewarganegaraan;<br />c. bahasa;<br />d. matematika;<br />e. ilmu pengetahuan alam;<br />f. ilmu pengetahuan sosial;<br />g. seni dan budaya; <br />h. pendidikan jasmani dan olahraga; <br />i. keterampilan/kejuruan; dan<br />j. muatan lokal.<br />(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:<br />a. pendidikan agama;<br />b. pendidikan kewarganegaraan; dan<br />c. bahasa.<br />(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br />Pasal 38<br />(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.<br />(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. <br /><br />Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20.<br /><br />Pasal 1 <br />(5) Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. <br />(13) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.<br />(14) Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.<br />(15) Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.<br />Pasal 5 <br />(1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.<br />(2) Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.<br />Pasal 6 <br />(6) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus padpendidikan dasar dan menengah terdiri atas: <br />a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; <br />b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; <br />c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; <br />d. kelompok mata pelajaran estetika; <br />e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.<br />Pasal 7 <br />(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. <br />(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani. <br />(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/ SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.<br />(4) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. <br /> (5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. <br /> (6) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. <br /> (7) Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan. <br /> (8) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.<br />Pasal 8 <br />(1) Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.<br />(2) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar. <br /> (3) Ketentuan mengenai kedalaman muatan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.<br />Pasal 10 <br />(1) Beban belajar untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas masing-masing. <br />(2) MI/MTs/MA atau bentuk lain yang sederajat dapat menambahkan beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian sesuai dengan kebutuhan dan ciri khasnya. <br />(3) Ketentuan mengenai beban belajar, jam pembelajaran, waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap kelompok matapelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.<br />Pasal 11 <br />(1) Beban belajar untuk SMP/MTs/SMPLB, atau bentuk lain yang sederajat dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS).<br />(2) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester.<br />(3) Beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori mandiri dinyatakan dalam satuan kredit semester. <br />(4) Beban belajar minimal dan maksimal bagi satuan pendidikan yang menerapkan sistem SKS ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usul dari BSNP.<br />Pasal 13 <br />(1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. <br />(2) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. <br />(3) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran pendidikan estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. <br />(4) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />Pasal 14 <br />(1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. <br />(2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. <br />(3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />Pasal 16 <br />(1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. <br />(2) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi sekurang-kurangnya: <br />a. Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori standar; <br />b. Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori mandiri; <br />(3) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah keagamaan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. <br />(4) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi sekurang-kurangnya model-model kurikulum satuan pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah.<br />(5) Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (4) sekurang-kurangnya meliputi model kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem paket dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan apabila menggunakan sistem kredit semester.<br />Pasal 17 <br />(1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. <br />(2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.<br />Pasal 18 <br />(1) Kalender pendidikan/kalender akademik mencakup permulaan tahun ajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif, dan hari libur. <br />(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya satu minggu dan jeda antar semester. <br />(3) Kalender pendidikan/akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap satuan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. <br />Pasal 20<br />Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. <br /><br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi memuat putusan sebagai berikut.<br />Pasal 1 <br />(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. <br />(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini. <br /><br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan memuat putusan sebagai berikut.<br />Pasal 1<br />(1)Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.<br />(2)Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.<br />(3)Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br /><br />Kalau begitu, apa itu KTSP? <br />KTSP yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP. <br />Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat Panduan Penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.<br />Penyusunan KTSP yang dipercayakan pada masing tingkat satuan pendidikan ini hampir senada dengan prinsip implementasi KBK (Kurikulum 2004) yang disebut Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip Pengelolaan KBS ini mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KBK yang “sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya. <br /><br />Dengan adanya Pengelolaan KBS ini maka banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, yaitu: sekolah, kepala sekolah, guru, dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi dan Depniknas. Pada KTSP, kewenangan tingkat satuan pendidikan (sekolah) untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.<br /><br />B. Apa saja prinsip dan acuan pengembangan KTSP?<br />KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:<br />berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;<br />beragam dan terpadu;<br />tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;<br />relevan dengan kebutuhan kehidupan;<br />menyeluruh dan berkesinambungan;<br />belajar sepanjang hayat; dan<br />seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. <br />Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut.<br />Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia <br />Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.<br />Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik<br />Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan<br />Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah. <br />Tuntutan pembangunan daerah dan nasional<br />Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.<br />Tuntutan dunia kerja<br />Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.<br />Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. <br />Agama<br />Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah. <br />Dinamika perkembangan global <br />Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.<br />Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan<br />Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /> Kondisi sosial budaya masyarakat setempat<br />Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.<br />Kesetaraan Jender<br />Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.<br />Karakteristik satuan pendidikan<br />Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. <br /><br />C. Apa saja komponen KTSP?<br />KTSP ada empat komponen, yaitu (1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, (2) struktur dan muatan KTSP, (3) kalender pendidikan, dan (4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)<br />Komponen 1: Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan<br />Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut. <br />Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.<br />Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.<br /><br />Komponen 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam Standar Isi, yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran sebagai berikut.<br />Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia <br />Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian <br />Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi <br />Kelompok mata pelajaran estetika<br />Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan<br />Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7.<br />Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.<br />Mata pelajaran<br />Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi.<br />Muatan Lokal<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Kegiatan Pengembangan Diri<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik. <br />Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. <br />Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. <br />Pengaturan Beban Belajar <br />Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standar.<br />Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar.<br />Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.<br />Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. <br />Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. <br />Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut.<br />Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.<br />Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. <br /><br />Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan<br />Kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan mengacu kepada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.<br />Pendidikan Kecakapan Hidup <br />Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.<br />Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran. <br />Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br />Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.<br />Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran. <br />Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.<br /><br />Komponen 3: Kalender Pendidikan<br />Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi. <br /><br />Komponen 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran<br />Silabus ini merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.<br /><br />D. Bagaimana struktur KTSP?<br />Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen:<br />Dokumen I memuat acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan kTSP, dan kalender pendidikan<br />Dokumen II memuat silabus dari sk/kd yang dikembangkan pusat dan silabus dari sk/kd yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan).<br />Secara garis besar, struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut.<br /><br />A. Sruktur KTSP Dokumen 1<br /><br />BAB I PENDAHULUAN<br />A.Latar Belakang (dasar pemikiran penyusunan KTSP) <br />B.Tujuan Pengembangan KTSP<br />C.Prinsip Pengembangan KTSP<br />Catatan: <br />Prinsip pengembangan KTSP sesuai dengan karakteristik sekolah yang bersangkutan.<br /><br />BAB II . TUJUAN PENDIDIKAN<br />A.Tujuan pendidikan (Disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)<br />B.Visi Sekolah<br />C.Misi Sekolah<br />D.Tujuan Sekolah<br />Catatan:<br />Penyusunan visi, misi, tujuan satuan pendidikan bisa dilakukan dengan tiga tahap:<br />Tahap 1 : Hasil Belajar Siswa<br />Apa yg hrs dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah mereka menamatkan sekolah?<br />Tahap 2 : Suasana Pembelajaran<br />Suasana pembelajaran seperti apa yg dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu?<br />Tahap 3 : Suasana Sekolah<br />Suasana sekolah – sebagai lembaga/organisasi pembelajaran – seperti apa yg diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa?<br /><br />BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM<br />Meliputi Sub Komponen:<br />A.Mata pelajaran<br />Berisi “Struktur Kurikulum Tingkat Sekolah” yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian SKL.<br />Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain:<br />mengatur alokasi waktu pembelajaran “tatap muka” seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan Ketrampilan/Bahasa asing lain);<br />memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru; <br />mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum; dan<br />tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi.<br /><br />B.Muatan lokal<br />Berisi tentang: Jenis, Strategi Pemilihan dan pelaksanaan Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.<br />Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mapel lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi Mapel tersendiri;<br />Merupakan Mata pelajaran wajib yang tercantum dlm. Struktur kurikulum;<br />Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka).<br />Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester, mengacu pada: minat dan atau karakteristik program studi yang diselenggarakan di sek.<br />Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran, sesuai dengan minat dan prog. Mulok yang diselenggarakan sekolah.<br />Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, Contoh:<br />- Bdg. Budidaya: Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, pembibitan ikan hias dan konsumsi, dll<br />- Bdg. Pengolahan: Pembuatan Abon, Kerupuk, Ikan Asin, Baso dll.<br />- Bdg. TIK dan lain2: Web Desain, Berkomunkasi seb. Guide, akuntansi komputer, Kewirausahaan dll<br />Sekolah harus menyusun SK, KD dan Silabus untuk Mata pelajaran Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.<br />Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok<br />C.Kegiatan Pengembangan diri<br />Bertujuan memberikan kesempatan kpd peserta didik utk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dg kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah.<br />Dapat dilaksanakan dalam bentuk keg: <br />Pelayanan Konseling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karir ), dan atau<br />pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti: Kepramukaan, Kepemimpinan, KIR dll. <br />Bukan Mata Pelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD dan silabus.<br />Dilaksanakan melalui Ekstra kurikuler<br />Penilaian dilakukan secara kualitatif (deskripsi), yang difokuskan pada “Perubahan Sikap dan Perkembangan Perilaku Peserta Didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri. <br />D.Pengaturan beban belajar<br />Berisi tentang jumlah beban belajar per MP, per minggu per semester dan per Tahun Pelajaran yang dilaksana-kan di sekolah, sesuai dg. alokasi waktu yang tercantum dlm. Struktur Kurikulum <br />Sekolah dapat mengatur alokasi waktu utk setiap MP pada smt ganjil dan genap dlm satu th pelajaran sesuai dg. Kebutuhan, tetapi Jml. Beban belajar per tahun secara keseluruhan tetap.<br />Alokasi waktu kegiatan Praktik diper-hitungkan sbb: 2 JPL praktik di seko-lah setara dg 1 JPL ttp muka, dan 4 JPL praktik di luar sek setara dg 1 JPL ttp muka.<br />Sekolah dpt memanfaatkan alokasi Tambahan 4 JPL dan alokasi waktu penugasan terstruktur (PT) dan penugasan tidak terstruktur (PTT) sebanyak 0% – 60% per MP (Maks. 60 % X 38 JPL = 22 Jpl) untuk kegiatan remedial, pengayaan, penambahan jam praktik dll, sesuai dg potensi dan kebutuhan siswa dlm mencapai kompetensi pd. Mata pelajaran tertentu.<br />Pemanfaatan alokasi waktu PT dan PTT, harus dirancang secara tersistem dan terprogram menjadi bagian integral dari KBM pada Mapel ybs, <br />Alokasi waktu PT dan PTT tidak perlu dicantumkan dalam struktur kurikulum dan silabus, tetapi dicantumkan dalam Skenario Pembelajaran, Satpel.<br />Sekolah harus mengendalikan agar pemanfaatan waktu dimaksud dapat digunakan oleh setiap guru secara efisien, efektif, dan tidak membebani siswa. <br /><br />E.Ketuntasan Belajar<br />Berisi tentang Kriteria dan melanisme penetapan Ketuntasan Minimal Per Mata Pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dg mempertimbangkan hal-hal sbb:<br />Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0 – 100 %, dgn batas kriteria ideal minimum 75 %. <br />Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per MP dg mempertimbangkan: kemampuan rata2 siswa, kompleksitas, SD pendukung. <br />Sek dpt menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, ttp secara bertahap hrs dpt mencapai kriteria ketuntasan ideal<br /><br />F.Kenaikan Kelas, dan kelulusan<br />Berisi tentang kriteria dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta streategi penanganan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh Sekolah. Program disusun mengacu pada hal2 sebagai berikut:<br />Panduan kenaikan kelas yang akan disusun oleh Dit. Pembinaan SMA <br />Sedangkan ketentuan kelulusan akan diatur secara khusus dalam peraturan tersendiri.<br /><br />G.Penjurusan<br />Berisi tentang kriteria dan meka-nisme Penjurusan serta strategi-/kegiatan Penelusuran bakat, minat dan prestasi yang diberlakukan oleh Sekolah, yang disusun dengan mengacu pada:<br />Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.<br /><br />H.Pendidikan kecakapan Hidup<br />Bukan mata pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integral dari semua MP.<br />Tidak masuk dalam struktur kurikulum.<br /> Dapat disajikan secara terintegrasi dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan ecara khusus.<br /> Substansi Kecakapan Hidup meliputi: Kecakapan pribadi, sosial, akademik dan atau vokasional.<br />Untuk kecakapan vokasional, dapat diperoleh darisatuan pend ybs, al melalui mapel Mulok dan atau mapel Keterampilan.<br />Bila Sk dan KD pd mapel keterampilan tidak sesuai dg kebutuhan siswa dan sekolah, maka sek dpt mengembangkan SK, KD dan Silabus keterampilan lain sesuai dg kebutuhan sekolah.<br />Pembelajaran mapel keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif melalui Intra kurikuler.<br />Pengembangan SK,KD, Silabus dan Bahan Ajar dan Penyelenggaraan Pembelajaran Keterampilan Vokasional dpt dilakukan melalui kerjasama dengan satuan pend formal/non formal lain.<br /><br />I.Pendidikan berbasis Keunggulan Lokal dan Global<br />Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global.<br />Substansinya mencakup aspek: Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, ekologi, dan lain- lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.<br />Dapat merupakan bagian dari semua MP yg terintegrasi, atau menjadi mapel Mulok.<br />Dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau satuan pendidikan nonformal.<br /><br />Catatan: Untuk PLB/PK ditambah dengan Program Khusus <br /><br />BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN<br />Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dng kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.<br /><br />Contoh pengembangan KTSP bisa dilihat pada Lampiran 1.<br /><br /><br />B. Struktur KTSP Dokumen 2<br /><br />A.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN PUSAT<br />B.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN SEKOLAH (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)<br /><br />SD/MI<br />A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III)<br />B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI)<br />C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />D.Silabus Keagamaan (Khusus MI)<br /><br />SMP/MTs<br />A.Silabus Mata Pelajaran (Kelas VII, VIII dan IX)<br />B.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />C.Silabus Mapel IPA dan IPS Terpadu (Kelas VII, VIII, dan IX)<br />D.Silabus Keagamaan (Khusus MTs)<br /><br />SMA/MA<br />A.Silabus Mata Pelajaran Wajib <br /> - Kelas X – 16 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – IPA – 13 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – IPS – 13 Mapel<br /> - Kelas XI, XII – Bahasa – 13 Mapel <br />B. Silabus Mulok<br />C. Silabus Keagamaan (Khusus MA)<br /><br />SMK<br />A.Silabus Mata Pelajaran Wajib <br />B.Silabus Mulok<br /><br />PLB/PENDIDIKAN KHUSUS<br />A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III : SDLB-A,B,D,E, Semua Kelas SDLB, SMPLB dan SMALB : C, C1,D1, dan G)<br />B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI : SDLB-A,B,D,E dan SMPLB dan SMALB : A, B, D, E)<br />C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)<br />D.Silabus Program Khusus (Untuk SDLB dan SMPLB) <br />Demikianlah gambaran sekilas tentang KTSP dan pengembangannya. Pengembangan secara lebih teknis, terutama pengembangan silabus, pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pengembangan kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengembangan penilaian dijelaskan pada bab-bab berikutnya.<br /><br /><br />Uraian lebih lanjut silakan baca <em>KTSP (Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dasar Pemahaman dan Pengembangan </em>oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-38529958125547775102009-01-23T22:29:00.000-08:002009-01-23T22:34:16.602-08:00Penulisan Karya Tulis Ilmiah Bagi GuruOleh Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang<br />Makalah Disajikan dalam Pelatihan Profesi Guru<br />Melalui Penelitian Tindakan Kelas Tingkat Nasional<br />Probolinggo, 10 Agustus 2008<br />Pengantar<br />Ketika reformasi dunia pendidikan bergulir, keinginan bangsa Indonesia untuk menjadikan guru menjadi pendidik profesional sangat kencang terdengar. Aura se­mangat ini sangat kentara ketika kita membaca Undang-Undang Nomor 14 Ta­hun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa profesi guru se­bagai pro­­­fesi yang ‘sejajar’ (baca: diapresiasi sama) dengan dosen perguruan tinggi. Guru tidak lagi dianggap sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ dalam makna nega­tif, tetapi menjadi seorang yang pantas dan layak diapresiasi tinggi karena kepro­fesi­onalan mereka.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Harus dipahami bahwa guru profesional yang layak diapresiasi tinggi itu ada­lah guru yang menjadi pelaku aktif sebuah proses pembentukan ilmu penge­tahu­an (knowledge construction). Penelitian, penulisan, dan pertemuan ilmiah merupakan tiga serangkai kegiatan yang tak bisa dipisahkan dari usaha pembentukan penge­tahuan yang dia lakukan. <br />Penelitian, penulisan karya ilmiah (KI), dan pertemuan ilmiah adalah satu hal yang seyogianya tak bisa dipisahkan dalam kegiatan seorang guru dalam rangka menjalankan profesi kependidikannya di sekolah. Kegiatan “pembentukan penge­ta­huan” tersebut seharusnya membudaya dalam jiwa seorang pendidik. Pendek­nya, layaknya seorang guru besar yang mengajar di perguruan tinggi, bagi se­orang ‘guru kecil’ yang mengajar di sekolah pun, masalah pengembangan keilmu­an sudah menjadi tuntutan sekaligus kewajiban profesi mereka.<br />Terlibatnya seorang guru dalam dunia penelitian, misalnya dengan melaku­kan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), diyakini bakal men­jadi salah satu penentu meningkatnya wawasan dan kemampuan mendidik mere­ka. Proses penelitian, mau tidak mau, akan mendorong seorang guru untuk terus membaca. Dunia penelitian memungkinkan para guru itu untuk terus melakukan refleksi pada setiap kegiatan pengajaran yang mereka lakukan. Mencarikan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Yang pada ujungnya tentu akan berdam­pak pada semakin berkualitasnya pembelajaran di sekolah.<br />Kegiatan penulisan KI dan pertemuan ilmiah pun diyakini sebagai ajang mem­perluas wawasan guru terkait dengan bidang yang digelutinya. Apalagi, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seirama dengan perkembang­an zaman. Guru sebagai sosok yang menjadi panutan siswa harus mengikuti per­kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.<br /><br />Realitas yang Paradoks<br />Jujur, harus diakui bahwa mayoritas guru kita sepertinya masih sangat jauh dari dunia penelitian, penulisan KI, dan pertemuan ilmiah. Selama ini, du­nia pem­ben­tukan pengetahuan itu seakan berada pada satu lembah, sementara para guru berada pada lembah yang lain. Seakan ada jurang yang amat dalam memisahkan keduanya. Kenyataan yang paradoksal seperti itulah yang mendo­rong penulis meng­­ambil tajuk “urgensi Kompetensi Karya Tulis Ilmiah bagi Guru” pada forum seminar ini.<br />Ada banyak guru yang stagnan pada pangkat/golongan IVa karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka mempunyai KI. Realitas seperti ini secara statistik sangat jelas terlihat pada data Badan Kepegawaian Nasional. Tahun 2005, misalnya, bahwa dari 1.461.124 guru saat itu, ditinjau dari golongan/ruang kepangkatan guru, tercatat sebanyak 22,87% guru golongan IVA; 0,16% guru golongan IVB; 0,006% guru golongan IVC; 0,001% guru golongan IVD; dan 0,00% guru golongan IVE. Data ini sangat jelas memperkuat kenyataan betapa sedikitnya para guru kita yang terlibat dalam aktivitas ilmiah, seperti halnya penelitian itu.<br />Banyak faktor yang menyebabkan mengapa para guru selama ini cenderung jauh dari dunia pembentukan pengetahuan. Tidak kondusifnya iklim sekolah untuk menjadikan guru sebagai “pengembang ilmu” bisa jadi merupakan faktor utama yang menyebabkan realitas seperti ini. Berbeda dengan dunia perguruan tinggi yang mengharuskan setiap dosen untuk terus mereaktualisasi dan meng-upgarde ilmu pengetahuan mereka, di sekolah suasana seperti ini nyaris tak terasa. Pada sisi lain, selama ini cukup banyak guru kita yang sudah merasa cukup dengan apa yang mereka punyai karena memang dunia di sekitar mereka juga ‘tak menuntut’ banyak dari para guru ini.<br />Kurangnya fasilitas untuk melakukan penelitian di sekolah merupakan salah satu penyebab dari kurang kondusifnya suasana sekolah terkait dengan pemben­tukan pengetahuan ini. Terbatasnya resources dan atau referensi, tidak adanya jurnal penelitian di sekolah, dan tidak teralokasikannya dana khusus untuk pene­litian adalah di antara contoh nyata tidak kondusifnya dunia pembentukan penge­tahuan di sekolah kita selama ini. Suasana seperti ini biasanya akan lebih terasa di seko­lah-sekolah yang berlokasi di daerah terpencil.<br /><br />Secercah Harapan<br />Pasca pemberlakuan Undang-Undang Guru dan Dosen, ada optimisme dan harapan kita bahwa dunia penelitian di kalangan pendidik kita bakal mengalami perbaikan. Fasli Jalal (2006) dalam makalahnya berjudul "Peningkatan Mutu Pen­didikan" menjelaskan komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif agar para guru termotivasi melakukan penelitian. Pemerintah berkomitmen mengalokasi dana yang tak sedikit untuk kegiatan seperti ini.<br />Pada tahun 2007 pemerintah memrogramkan tiga kegiatan utama pening­kat­­an profesional guru berkolaborasi dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependi­dikan (LPTK) dan menyediakan dana block grant untuk itu, yakni kegiatan:<br />(1) penelitian tindakan kelas bagi 3.837 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 13.653.600.000,-;<br />(2) bimbingan karya tulis ilmiah bagi 10.000 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 50.000.000.000,-; dan<br />(3) pertemuan ilmiah guru, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasio­nal. Pemerintah pun memberikan hak cuti kepada guru yang akan melaksa­nakan kegiatan penelitian dan penulisan buku.<br />Program sertifikasi guru yang dimulai sejak tahun 2006 secara tidak langsung juga akan memicu para guru untuk terlibat dalam aktivitas penelitian dan penulisan KI karena salah satu unsur yang mendapat porsi penilaian cukup besar dalam por­to­folio sertifikasi yang dikumpulkan para guru adalah karya pengem­bang­an profesi, yang pin pentingnya adalah penelitian dan KI.<br />Apalagi dengan semakin tersedianya berbagai sumber belajar di banyak se­kolah seiring dengan telah masuknya program internet ke sekolah, masalah ter­batasnya resources untuk meneliti mungkin tak lagi menjadi kendala utama. Media internet jelas akan sangat membantu para guru memperlancar proses penelitian dan penulisan KI yang mereka lakukan. Tak hanya untuk mencari refe­rensi seba­gai kerangka teoretis, internet juga bisa menggantikan peran jurnal pene­litian yang selama ini tak tersedia di sekolah karena ada banyak situs yang siap memublikasi­kan sebuah KI secara online, selama hasil penelitian itu layak dipublikasikan.<br />Dengan iklim seperti ini, masalah penelitian dan penulisan KI di ka­langan guru tidak lagi masalah mungkin atau tidak mungkin, tapi justru sebuah kenisca­yaan. Ketika semakin banyak guru kita yang terlibat dalam aktivitas ilmiah seperti ini, maka harapan untuk mengejar ketertinggalan kita dalam bidang pendi­dikan sudah semakin dekat.<br /><br />Posisi Karya Tulis Ilmiah dalam Pengembangan Profesi Guru<br />Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa kenaikan pangkat/jabatan Guru Pem­bina /Golongan IVa ke atas mewajibkan adanya angka kredit dari kegi­atan Pe­ngem­bangan Profesi. Berbeda dengan anggapan umum yang ada saat ini, menyu­sun KTI bukan merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi. Menyu­sun KTI merupakan salah satu bentuk dari kegiatan pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi terdiri dari lima macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun KTI, (2) menemukan Teknologi Tepat Guna, (3) membuat alat peraga/bimbingan, (4) menciptakan karya seni dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Namun, dengan berbagai alasan, antara lain karena belum jelasnya petunjuk ope­rasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain menyusun KTI, maka pe­lak­sanaan kegiatan pengembangan profesi, sebagian terbesar dilakukan melalui KTI. Diketahui bahwa KTI adalah laporan tertulis tentang (hasil) suatu kegiatan il­miah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan il­miah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, karangan ilmiah, tulisan ilmiah populer, prasaran seminar, buku, diktat, dan terjemahan.<br />KTI dapat dipilah dalam dua kelompok yaitu (a) KTI yang merupakan laporan hasil pengkajian /penelitian, dan (b) KTI yang berupa tinjauan/ulasan/ gagasan ilmiah. Keduanya dapat disajikan dalam bentuk buku, diktat, modul, karya terje­mahan, makalah, tulisan di jurnal, atau berupa artikel yang dimuat di media masa. KTI juga berbeda bentuk penyajiannya sehubungan dengan berbedanya tujuan penulisan serta media yang menerbitkannya. Karena berbedanya macam KTI ser­ta bentuk penyajiannya, berbeda pula penghargaan angka kredit yang diberikan.<br />Meskipun berbeda macam dan besaran angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah) mempunyai kesamaan, yaitu:<br />- hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan;<br />- kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah;<br />- kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah; dan<br />- tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan KI.<br />Salah satu bentuk KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit 4). Niat guru untuk menggunakan laporan penelitian sebagai KTI sangatlah tinggi. Namun, ada seba­gi­an guru yang masih merasa belum memahami tentang apa dan bagaimana pe­ne­litian pembelajaran itu. Akibatnya, kerja penelitian dirasakan sebagai kegiatan yang sukar, memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak, hal mana tentu tidak sepenuhnya benar.<br /><br />Mengapa Banyak KTI yang belum Memenuhi Syarat?<br />Berdasar pengalaman dalam penilaian portofolio, terdapat hal-hal “aneh” sebagai berikut.<br />a. Dari KTI yang diajukan, tidak sedikit berupa KTI “orang lain” yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut “dijahitkan” oleh orang lain, yang umum­nya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis, atau laporan penelitian.<br />b. Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum. KTI yang tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Mengapa demikian? Karena KTI semacam itulah yang paling mudah ditiru, dipakai kembali oleh orang lain de­ngan cara mengganti nama penulisnya.<br />Sebagai contoh, KTI yang berjudul: (a) Membangun karakter bangsa melalui kegi­at­an ekstrakurikuler, (b) Peranan orang tua dalam mendidik anak, (c)Tindakan preventif terhadap kenakalan remaja, dan (d) Peranan pendidikan dalam pemba­ngun­an pada dasarnya tidak menjelaskan permasalahan spesifik yang berkaitan de­ngan tugas dan tanggung jawab guru. Jadi, meskipun KTI berada dalam bidang pendidikan tetapi (a) apa manfaat KTI tersebut dalam upaya peningkatan profesi guru?, (b) bagaimana dapat diketahui bahwa KTI tersebut adalah karya guru yang bersangkutan?<br />Akhir-akhir ini kegiatan membuat KTI yang berupa laporan hasil penelitian me­nunjukan jumlah yang semakin meningkat, yang disebabkan oleh hal-hal berikut.<br />a. Para guru makin memahami bahwa salah satu tujuan kegiatan pengembangan profesi adalah dilakukannya kegiatan nyata di kelasnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Bagi sebagian besar guru, melakukan kegiatan seperti itu, sudah sering/biasa dilakukan<br />b. Kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan kaidah-kaidah il­miah, karena hanya dengan cara itulah, mereka akan mendapat jawaban yang benar secara keilmuan terhadap apa yang ingin dikajinya.<br />c. Apabila kegiatan tersebut dilakukan di kelasnya, maka kegiatan tersebut dapat berupa penelitian eksperimen, atau penelitian tindakan yang semakin layak un­tuk menjadi prioritas kegiatan. Kegiatan nyata dalam proses pembelajaran, da­pat berupa tindakan untuk menguji atau menerapkan hal-hal baru dalam praktik pembelajarannya. Saat ini, berbagai inovasi baru dalam pembelajaran, memer­lukan verifikasi maupun penerapan dalam proses pembelajaran.<br /><br />Penelitian Pembelajaran yang Dilakukan di Kelas<br />Berbagai kegiatan pengembangan profesi yang dapat dilakukan guru dengan melibatkan para siswanya, antara lain dengan melakukan penelitian di ke­lasnya. Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan di dalam kelas, yaitu: (a) pene­litian eksperimen, dan (b) penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ekspe­rimen dan PTK lebih diharapkan dilakukan guru dalam upayanya menulis KI karena hal-hal berikut.<br />(1) KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya.<br />(2) Dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesinya.<br />Penelitian eksperimen dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang akibat dari adanya suatu treatment atau perlakuan. Penelitian ek­sperimen dilakukan untuk mengetes suatu hipotesis dengan ciri khusus: (a) ada­nya variabel bebas yang dimanipulasi, (b) adanya pengendalian atau pengon­trolan terhadap semua variabel lain kecuali variabel bebas yang dima­nipulasi, (c) adanya pengamatan dan pengukuran tindakan manipulasi variabel bebas. terhadap vari­abel terikat sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan di memperbaiki/mening­kat­kan mutu praktik pembelajaran<br />PTK adalah penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas­. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas. PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas. Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan nyata dan praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di kelas, yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dengan siswa yang sedang belajar.<br /><br /><br /></span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-26035119356704836712008-10-04T22:57:00.000-07:002009-03-05T07:29:47.253-08:00Bahasa Indonesia dalam KTI<span style="font-family:arial;">Bahasa Indonesia dalam KTI:</span><br /><span style="font-family:arial;">Pokok-pokok Pikiran<br /></span><br /><span style="font-family:arial;">Anang Santoso</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4626677507232764081#_ftn1" name="_ftnref1"><span style="font-family:arial;">[1]</span></a><br /><span style="font-family:arial;">Sunaryo H.S.<br /><br /><span style="font-family:arial;">Untuk mengawali tulisan, satu hal penting perlu dikemukakan, yakni kaidah “selingkung” dalam tatatulis ilmiah. Kaidah selingkung adalah aturan-aturan yang sifatnya berlaku dalam lingkungan tertentu, misalnya departemen satu berbeda dengan departemen lainnya, pemda satu berbeda dengan pemda lainnya, majalah satu berbeda dengan majalah lainnya, jurnal satu berbeda dengan jurnal lainnya. Dengan demikian, apabila kita menyusun karya tulis ilmiah, kita harus mengikuti aturan yang ada di lingkungan yang dimaksud.<br />Tulisan ini tidak membahas aturan dalam “selingkung” itu. Tulisan ini hanya memfokuskan pada aturan yang sifatnya berlaku untuk semua penulisan karya ilmiah.<br />Apa yang harus diperhatikan dalam menggunaan bahasa Indonesia (BI) untuk karya tulis ilmiah? Banyak hal yang harus dikuasai oleh seorang penulis karya ilmiah. Berikut dikemukakan beberapa hal yang harus diperhatilkan.<br /><br /><span class="fullpost"><br /><strong>PERTAMA, BI YANG DIGUNAKAN ADALAH BI RAGAM TULIS.</strong> </span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">Ragam ini mengharuskan penggunaan kata yang utuh, terutama kata yang mengandung afiksasi atau pengimbuhan.<br /><br />SESUAI TIDAK SESUAI<br />bekerja kerja<br />menjual jual<br />tidak nggak atau tak<br />bukan ‘kan</span><br /><span style="font-family:arial;">memang emang<br /><br />Dalam ragam tulisan peranan tanda baca atau pungtuasi menjadi sangat penting. Perhatikan kalimat (1) dan (2) berikut!<br /><br />(1) Peninggalan Kerajaan Majapahit, yang ada di Probolinggo, sekarang sudah rusak parah.<br />(2) Peninggalan Kerajaan Majapahit yang ada di Probolinggo sekarang sudah rusak parah.<br /><br />Dalam kalimat (1), anak kalimat yang ada di Probolinggo, yang ditulis di antara dua tanda koma, hanyalah merupakan keterangan tambahan dan tidak membatasi frasa peninggalan Kerajaan Mahapahit. Sebaliknya, pada kalimat (2) anak kalimat yang sama membatasi pengertian peninggalan Kerajaan Mahapahit.<br />Implikasinya dari perbedaan ini ialah bahwa dalam kalimat (1) Kerajaan Majapahit hanya mempunyai satu-satunya peninggalan sejarah dan peninggalan itu ada di Probolinggo, sedangkan pada kalimat (2) Kerajaan Majapahit mempunyai lebih dari satu peninggalan sejarah dan salah satu di antara peninggalan itu ada di Probolinggo. Perbedaan yang dalam bahasa lisan dinyatakan dengan menurunkan intonasi pada (1) di atas dalam bahasa tulis harus diungkapkan dengan jelas sehingga tidak akan timbul salah mengerti.<br /><br /><strong>KEDUA, BI YANG DIGUNAKAN ADALAH BI YANG FORMAL.</strong> </span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">Formal artinya resmi. Bentuk formal berlawanan dengan bentuk yang kolokial atau bahasa sehari-hari. Bentuk formal digunakan dalam situasi berbahasa yang formal, misalnya dalam penulisan karya ilmiah. Berikut contoh kata-kata formal dan tidak formal.<br /><br />FORMAL TIDAK FORMAL<br />daripada ketimbang<br />hanya cuma<br />berkata bilang<br />membuat bikin<br />bagi buat/pro/teruntuk<br />memberi kasih<br /><br />Berikut contoh bentukan kata yang formal dan tidak formal.<br /><br />FORMAL TIDAK FORMAL<br />mencuci nyuci<br />ditemukan diketemukan<br />legalisasi legalisir<br />lokalisasi lokalisir<br />realisasi realisir<br />terbentur kebentur<br />tertabrak ketabrak<br />pergelaran pagelaran<br />metode metoda<br />mengubah merubah/merobah/mengobah<br /><br /><strong>KETIGA, BAHASA ILMIAH BERTOLAK DARI GAGASAN.</strong> </span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">Itu berarti, penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan. Pilihan kalimatnya lebih cocok kalimat pasif.<br /><br />ORIENTASI GAGASAN<br />Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menumbuhkan dan membina anak berbakat sangat penting.<br />Perlu diketahui bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangat penting dalam penanaman moral Pancasila<br /></span><br /><span style="font-family:arial;">ORIENTASI PENULIS<br />Dari uraian tadi penulis dapat menyimpulkan bahwa menumbuhkan dan membina anak berbakat sangat penting.<br /></span><span style="font-family:arial;"></span><span style="font-family:arial;">Kita tahu bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangat penting dalam penanaman moral Pancasila.<br /><br />Kalimat aktif yang berorientasi pada gagasan dapat digunakan seperti contoh (3) dan (4) berikut.<br /><br />(3) Badudu (1985) menyatakan bahwa bahasa ilmiah merupakan suatu laras (register) bahasa yang khusus yang memiliki coraknya sendiri.<br />(4) Perkembangan perekonomian Indonesia pascareformasi berjalan sangat lambat.<br /><br /><strong>KEEMPAT, BAHASA ILMIAH BERSIFAT OBJEKTIF</strong>. </span><br /><span style="font-family:arial;"></span><br /><span style="font-family:arial;">Syarat ini terkait dengan ciri ketiga. Dengan menempatkan gagasan sebagai pangkal tolak, sifat objektif akan terwujud.<br /><br />OBJEKTIF<br />Contoh-contoh di atas telah memberikan bukti besar peranan orang tua dalam pembentukan kepribadian anak.<br />Dari paparan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.<br /><br /></span><span style="font-family:arial;"></span><span style="font-family:arial;">SUBJEKTIF</span><br /><span style="font-family:arial;">Contoh-contoh di atas telah memberikan bukti betapa besarnya peranan orang tua dalam pembentukan kepribadian anak.</span><br /><span style="font-family:arial;">Dari paparan tersebut kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut.<br /></span><br /><p><span style="font-family:arial;"><strong>KELIMA, BI YANG DIGUNAKAN ADALAH BAHASA YANG LUGAS.</strong> </span></p><p><span style="font-family:arial;">Lugas artinya ‘apa adanya’. Bahasa lugas membentuk ketunggalan arti. Dengan bahasa yang bermakna apa adanya, salah tafsir dan salah paham terhadap paparan ilmiah dapat dihindarkan. Dalam kalimat (5) ditemukan keambiguan (kemaknagandaan) karena keterangan “yang muda” dapat menerangkan hanya “wanita” atau “pria dan wanita”.<br /><br />(5) Pria dan wanita yang muda harus ikut serta.<br /><br />Kalau prianya tidak harus muda maka kalimat (6) berikut akan lebih jelas.<br /><br />(6) Wanita yang muda dan pria harus ikut serta.<br /><br /><strong>KEENAM, KALIMAT YANG DIGUNAKAN DALAM KARYA ILMIAH ADALAH KALIMAT HEMAT.</strong> </span></p><p><span style="font-family:arial;">Kalimat hemat menghindari penggunaan kata yang berlebihan. Berikut ditampilkan kalimat hemat dan tidak hemat.<br /><br />HEMAT<br />Nilai etis tersebut menjadi pedoman hidup bagi setiap warga negara Indonesia.<br />Pendidikan agama di sekolah dasar tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan dari orang tua.<br />Obahorok dengan iklhas menerima dan menghisap cerutu pemberian kepala suku yang lebih besar, Presiden RI.<br /></span></p><span style="font-family:arial;">TIDAK HEMAT<br />Nilai etis tersebut di atas menjadi pedoman dan dasar pegangan hidup bagi setiap warganegara Indonesia.</span><br /><span style="font-family:arial;">Pendidikan agama di sekolah dasar tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan dari orang tua dalam keluarga.<br />Obahorok dengan ikhlas menerima dan menghisap rokok cerutu pemberian kepala suku yang lebih besar, Presiden RI.<br /></span><br /><span style="font-family:arial;"><br /><strong>KETUJUH, KALIMAT YANG DIGUNAKAN ADALAH KALIMAT LENGKAP.</strong><br /><br />Kalimat lengkap adalah kalimat yang unsur-unsur wajibnya hadir dalam kalimat itu, khususnya subjek dan predikat. Berikut ditampilkan contoh kalimat lengkap dan tidak lengkap.<br /><br />LENGKAP<br />Pendidikan memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi antara subjek didik dengan pendidik.<br />Kenakalan anak-anak yang kadang-kadang merupakan perbuatan kriminal memerlukan perhatian yang cukup serius dari alat-alat negara.<br />Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan kata kerja karena perubahan kala dan persona.<br /><br />TIDAK LENGKAP<br />Di dalam pendidikan memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi antara subjek didik dengan pendidik.<br />Dengan kenakalan anak-anak yang kadang-kadang merupakan perbuatan kriminal memerlukan perhatian yang cukup serius dari alat-alat negara.<br />Di dalam bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan kata kerja karena perubahan kala dan persona.<br /><br /><br /><strong>KEDELAPAN, BAHASA DALAM KARYA TULIS BERSIFAT KONSISTEN.</strong><br /><br />Konsisten artinya ‘taat asas’ atau ajeg. Sekali sebuah unsur bahasa, tanda baca, dan tanda-tanda lain, serta istilah digunakan sesuai dengan kaidah, itu semua selanjutna digunakan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila pada bagian awal uraian terdapat singkatan SMP (Sekolah Menengah Pertama), pada uraian selanjutnya digunakan singkatan SMP, bukan SLTP. Kalimat (7) adalah tidak konsisten, sedangkan kalimat (8) adalah konsisten.<br /><br />(7) Perlucutan senjata di wilayah Libanon Selatan itu tidak penting bagi pejuang Hisbullah. Untuk mereka, yang penting adalah pencabutan embargo persenjataan.<br />(8) Perlucutan senjata di wilayah Libanon Selatan itu tidak penting bagi pejuang Hisbullah. Bagi mereka, yang penting adalah pencabutan embargo persenjataan.<br /><br />Merujuk pada pandangan Suparno (1988) kata tugas “untuk” digunakan untuk mengantarkan tujuan dan kata tugas “bagi” digunakan untuk mengantarkan objek.<br /><br />Papaparan di atas hanyalah sebagaian hal yang harus dipahami oleh seorang penulis karya ilmiah. Masih banyak aspek lain yang harus dikuasai oleh penulis, seperti (1) cara merujuk atau mengutip dari pelbagai sumber, (2) cara menuliskan daftar rujukan dan atau daftar pustaka, (3) cara menulis abstrak, (4) cara merumuskan masalah dan tujuan, (5) cara menjabarkan isi, (6) cara menyusun simpulan, dan sebagainya.<br />Perlu dipahami bahwa penguasaan berbagai-bagai kaidah penulisan, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa, tidak langsung jadi begitu saja. Para penulis memerlukan proses yang panjang untuk menguasainya. Bagi peserta seminar ini, menurut saya, haruslah menerapkan motto 3M1—membaca, membaca, membaca—dan 3M2—menulis, menulis, menulis. Tanpa aktivitas membaca, pengetahuan kita akan kering sehingga bekal untuk menulis pun sangat minim. Demikian juga, menulis perlu dibiasakan dan dilatihkan. Tanpa pembiasaan dan pelatihan yang intensif, kemampuan menulis kita sulit dikembangkan.<br /><br /><strong>DAFTAR RUJUKAN</strong><br /><br />Basuki, I.A. 2000. Bahasa Indonesia Artikel Ilmiah. Dalam Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.), Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (hlm. 65—84). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.<br />Dardjowidjojo, S. 1988. Prinsip dan Format dalam Penulisan Ilmiah. Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, 2(9): hlm. 111—134.<br />Johannes, H. 1983. Gaya Bahasa Keilmuan. Dalam Halim, A. & Lumintaintang, Y.B. (Eds.), Kongres Bahasa Indonesia III (hlm. 644—659). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.<br />Moeliono, A. Tanpa Tahun. Bahasa yang Efisien dan Efektif dalam Bidang Iptek. Makalah disampaikan pada Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi, Sub-Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, Ditjen Dikti, Depdiknas.<br />Rivai, M.A. 2005. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />Suparno. 1998. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Tulisan Ilmiah. Makalah disajikan pada Seminar-Lokakarya Penyuntingan Jurnal Angkatan IV IKIP Malang, tanggal 13—16 Januari 1998.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4626677507232764081#_ftnref1" name="_ftn1"><span style="font-family:arial;">[1]</span></a><span style="font-family:arial;"> Dr. Anang Santoso, M.Pd. dan Dr. Sunaryo H.S., S.H., M.Hum. adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Penulisan Karya Ilmiah di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tanggal 10 Agustus 2008.</span><br /></span><br /><br /><br /></span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-63800599704826303812008-10-04T22:49:00.000-07:002009-09-22T20:25:54.102-07:00Urgensi Kompetensi Karya Tulis Ilmiah bagi Guru: Kenyataan, Harapan, Pengembangan<span style="font-family:arial;"><br /><em>Makalah Disajikan dalam Pelatihan Profesi Guru<br />Melalui Penelitian Tindakan Kelas Tingkat Nasional<br />Probolinggo, 10 Agustus 2008</em><br /><br />Oleh<br /><strong>Suyono <br />Masnur Muslich</strong><br /><em>Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang</em><br /><br /><br /> </span><br /><span style="font-family:arial;"><br /><br /><strong>Pengantar</strong><br />Ketika reformasi dunia pendidikan bergulir, keinginan bangsa Indonesia untuk menjadikan guru menjadi pendidik profesional sangat kencang terdengar. Aura se­mangat ini sangat kentara ketika kita membaca Undang-Undang Nomor 14 Ta­hun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa profesi guru se­bagai pro­­­fesi yang ‘sejajar’ (baca: diapresiasi sama) dengan dosen perguruan tinggi. Guru tidak lagi dianggap sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ dalam makna nega­tif, tetapi menjadi seorang yang pantas dan layak diapresiasi tinggi karena kepro­fesi­onalan mereka.<br />Harus dipahami bahwa guru profesional yang layak diapresiasi tinggi itu ada­lah guru yang menjadi pelaku aktif sebuah proses pembentukan ilmu penge­tahu­an (knowledge construction). Penelitian, penulisan, dan pertemuan ilmiah merupakan tiga serangkai kegiatan yang tak bisa dipisahkan dari usaha pembentukan penge­tahuan yang dia lakukan. <br />Penelitian, penulisan karya ilmiah (KI), dan pertemuan ilmiah adalah satu hal yang seyogianya tak bisa dipisahkan dalam kegiatan seorang guru dalam rangka menjalankan profesi kependidikannya di sekolah. Kegiatan “pembentukan penge­ta­huan” tersebut seharusnya membudaya dalam jiwa seorang pendidik. Pendek­nya, layaknya seorang guru besar yang mengajar di perguruan tinggi, bagi se­orang ‘guru kecil’ yang mengajar di sekolah pun, masalah pengembangan keilmu­an sudah menjadi tuntutan sekaligus kewajiban profesi mereka.<br />Terlibatnya seorang guru dalam dunia penelitian, misalnya dengan melaku­kan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), diyakini bakal men­jadi salah satu penentu meningkatnya wawasan dan kemampuan mendidik mere­ka. Proses penelitian, mau tidak mau, akan mendorong seorang guru untuk terus membaca. Dunia penelitian memungkinkan para guru itu untuk terus melakukan refleksi pada setiap kegiatan pengajaran yang mereka lakukan. Mencarikan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Yang pada ujungnya tentu akan berdam­pak pada semakin berkualitasnya pembelajaran di sekolah.<br />Kegiatan penulisan KI dan pertemuan ilmiah pun diyakini sebagai ajang mem­perluas wawasan guru terkait dengan bidang yang digelutinya. Apalagi, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seirama dengan perkembang­an zaman. Guru sebagai sosok yang menjadi panutan siswa harus mengikuti per­kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.<br /><br /><strong>Realitas yang Paradoks</strong><br />Jujur, harus diakui bahwa mayoritas guru kita sepertinya masih sangat jauh dari dunia penelitian, penulisan KI, dan pertemuan ilmiah. Selama ini, du­nia pem­ben­tukan pengetahuan itu seakan berada pada satu lembah, sementara para guru berada pada lembah yang lain. Seakan ada jurang yang amat dalam memisahkan keduanya. Kenyataan yang paradoksal seperti itulah yang mendo­rong penulis meng­­ambil tajuk “urgensi Kompetensi Karya Tulis Ilmiah bagi Guru” pada forum seminar ini.<br />Ada banyak guru yang stagnan pada pangkat/golongan IVa karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka mempunyai KI. Realitas seperti ini secara statistik sangat jelas terlihat pada data Badan Kepegawaian Nasional. Tahun 2005, misalnya, bahwa dari 1.461.124 guru saat itu, ditinjau dari golongan/ruang kepangkatan guru, tercatat sebanyak 22,87% guru golongan IVA; 0,16% guru golongan IVB; 0,006% guru golongan IVC; 0,001% guru golongan IVD; dan 0,00% guru golongan IVE. Data ini sangat jelas memperkuat kenyataan betapa sedikitnya para guru kita yang terlibat dalam aktivitas ilmiah, seperti halnya penelitian itu.<br />Banyak faktor yang menyebabkan mengapa para guru selama ini cenderung jauh dari dunia pembentukan pengetahuan. Tidak kondusifnya iklim sekolah untuk menjadikan guru sebagai “pengembang ilmu” bisa jadi merupakan faktor utama yang menyebabkan realitas seperti ini. Berbeda dengan dunia perguruan tinggi yang mengharuskan setiap dosen untuk terus mereaktualisasi dan meng-upgarde ilmu pengetahuan mereka, di sekolah suasana seperti ini nyaris tak terasa. Pada sisi lain, selama ini cukup banyak guru kita yang sudah merasa cukup dengan apa yang mereka punyai karena memang dunia di sekitar mereka juga ‘tak menuntut’ banyak dari para guru ini.<br />Kurangnya fasilitas untuk melakukan penelitian di sekolah merupakan salah satu penyebab dari kurang kondusifnya suasana sekolah terkait dengan pemben­tukan pengetahuan ini. Terbatasnya resources dan atau referensi, tidak adanya jurnal penelitian di sekolah, dan tidak teralokasikannya dana khusus untuk pene­litian adalah di antara contoh nyata tidak kondusifnya dunia pembentukan penge­tahuan di sekolah kita selama ini. Suasana seperti ini biasanya akan lebih terasa di seko­lah-sekolah yang berlokasi di daerah terpencil.<br /><br /><strong>Secercah Harapan</strong><br />Pasca pemberlakuan Undang-Undang Guru dan Dosen, ada optimisme dan harapan kita bahwa dunia penelitian di kalangan pendidik kita bakal mengalami perbaikan. Fasli Jalal (2006) dalam makalahnya berjudul "Peningkatan Mutu Pen­didikan" menjelaskan komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif agar para guru termotivasi melakukan penelitian. Pemerintah berkomitmen mengalokasi dana yang tak sedikit untuk kegiatan seperti ini.<br />Pada tahun 2007 pemerintah memrogramkan tiga kegiatan utama pening­kat­­an profesional guru berkolaborasi dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependi­dikan (LPTK) dan menyediakan dana block grant untuk itu, yakni kegiatan:<br />(1) penelitian tindakan kelas bagi 3.837 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 13.653.600.000,-;<br />(2) bimbingan karya tulis ilmiah bagi 10.000 guru dengan alokasi dana sebesar Rp. 50.000.000.000,-; dan<br />(3) pertemuan ilmiah guru, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasio­nal. Pemerintah pun memberikan hak cuti kepada guru yang akan melaksa­nakan kegiatan penelitian dan penulisan buku.<br />Program sertifikasi guru yang dimulai sejak tahun 2006 secara tidak langsung juga akan memicu para guru untuk terlibat dalam aktivitas penelitian dan penulisan KI karena salah satu unsur yang mendapat porsi penilaian cukup besar dalam por­to­folio sertifikasi yang dikumpulkan para guru adalah karya pengem­bang­an profesi, yang pin pentingnya adalah penelitian dan KI.<br />Apalagi dengan semakin tersedianya berbagai sumber belajar di banyak se­kolah seiring dengan telah masuknya program internet ke sekolah, masalah ter­batasnya resources untuk meneliti mungkin tak lagi menjadi kendala utama. Media internet jelas akan sangat membantu para guru memperlancar proses penelitian dan penulisan KI yang mereka lakukan. Tak hanya untuk mencari refe­rensi seba­gai kerangka teoretis, internet juga bisa menggantikan peran jurnal pene­litian yang selama ini tak tersedia di sekolah karena ada banyak situs yang siap memublikasi­kan sebuah KI secara online, selama hasil penelitian itu layak dipublikasikan.<br />Dengan iklim seperti ini, masalah penelitian dan penulisan KI di ka­langan guru tidak lagi masalah mungkin atau tidak mungkin, tapi justru sebuah kenisca­yaan. Ketika semakin banyak guru kita yang terlibat dalam aktivitas ilmiah seperti ini, maka harapan untuk mengejar ketertinggalan kita dalam bidang pendi­dikan sudah semakin dekat.<br /><br /><strong>Posisi Karya Tulis Ilmiah dalam Pengembangan Profesi Guru</strong><br />Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa kenaikan pangkat/jabatan Guru Pem­bina /Golongan IVa ke atas mewajibkan adanya angka kredit dari kegi­atan Pe­ngem­bangan Profesi. Berbeda dengan anggapan umum yang ada saat ini, menyu­sun KTI bukan merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi. Menyu­sun KTI merupakan salah satu bentuk dari kegiatan pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi terdiri dari lima macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun KTI, (2) menemukan Teknologi Tepat Guna, (3) membuat alat peraga/bimbingan, (4) menciptakan karya seni dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Namun, dengan berbagai alasan, antara lain karena belum jelasnya petunjuk ope­rasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain menyusun KTI, maka pe­lak­sanaan kegiatan pengembangan profesi, sebagian terbesar dilakukan melalui KTI. Diketahui bahwa KTI adalah laporan tertulis tentang (hasil) suatu kegiatan il­miah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan il­miah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, karangan ilmiah, tulisan ilmiah populer, prasaran seminar, buku, diktat, dan terjemahan.<br />KTI dapat dipilah dalam dua kelompok yaitu (a) KTI yang merupakan laporan hasil pengkajian /penelitian, dan (b) KTI yang berupa tinjauan/ulasan/ gagasan ilmiah. Keduanya dapat disajikan dalam bentuk buku, diktat, modul, karya terje­mahan, makalah, tulisan di jurnal, atau berupa artikel yang dimuat di media masa. KTI juga berbeda bentuk penyajiannya sehubungan dengan berbedanya tujuan penulisan serta media yang menerbitkannya. Karena berbedanya macam KTI ser­ta bentuk penyajiannya, berbeda pula penghargaan angka kredit yang diberikan.<br />Meskipun berbeda macam dan besaran angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah) mempunyai kesamaan, yaitu:<br />- hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan;<br />- kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah;<br />- kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah; dan<br />- tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan KI.<br />Salah satu bentuk KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit 4). Niat guru untuk menggunakan laporan penelitian sebagai KTI sangatlah tinggi. Namun, ada seba­gi­an guru yang masih merasa belum memahami tentang apa dan bagaimana pe­ne­litian pembelajaran itu. Akibatnya, kerja penelitian dirasakan sebagai kegiatan yang sukar, memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak, hal mana tentu tidak sepenuhnya benar.<br /><br /><strong>Mengapa Banyak KTI yang Belum Memenuhi Syarat?</strong><br />Berdasar pengalaman dalam penilaian portofolio, terdapat hal-hal “aneh” sebagai berikut.<br />a. Dari KTI yang diajukan, tidak sedikit berupa KTI “orang lain” yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut “dijahitkan” oleh orang lain, yang umum­nya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis, atau laporan penelitian.<br />b. Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum. KTI yang tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Mengapa demikian? Karena KTI semacam itulah yang paling mudah ditiru, dipakai kembali oleh orang lain de­ngan cara mengganti nama penulisnya.<br />Sebagai contoh, KTI yang berjudul: (a) Membangun karakter bangsa melalui kegi­at­an ekstrakurikuler, (b) Peranan orang tua dalam mendidik anak, (c)Tindakan preventif terhadap kenakalan remaja, dan (d) Peranan pendidikan dalam pemba­ngun­an pada dasarnya tidak menjelaskan permasalahan spesifik yang berkaitan de­ngan tugas dan tanggung jawab guru. Jadi, meskipun KTI berada dalam bidang pendidikan tetapi (a) apa manfaat KTI tersebut dalam upaya peningkatan profesi guru?, (b) bagaimana dapat diketahui bahwa KTI tersebut adalah karya guru yang bersangkutan?<br />Akhir-akhir ini kegiatan membuat KTI yang berupa laporan hasil penelitian me­nunjukan jumlah yang semakin meningkat, yang disebabkan oleh hal-hal berikut.<br />a. Para guru makin memahami bahwa salah satu tujuan kegiatan pengembangan profesi adalah dilakukannya kegiatan nyata di kelasnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Bagi sebagian besar guru, melakukan kegiatan seperti itu, sudah sering/biasa dilakukan<br />b. Kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan kaidah-kaidah il­miah, karena hanya dengan cara itulah, mereka akan mendapat jawaban yang benar secara keilmuan terhadap apa yang ingin dikajinya.<br />c. Apabila kegiatan tersebut dilakukan di kelasnya, maka kegiatan tersebut dapat berupa penelitian eksperimen, atau penelitian tindakan yang semakin layak un­tuk menjadi prioritas kegiatan. Kegiatan nyata dalam proses pembelajaran, da­pat berupa tindakan untuk menguji atau menerapkan hal-hal baru dalam praktik pembelajarannya. Saat ini, berbagai inovasi baru dalam pembelajaran, memer­lukan verifikasi maupun penerapan dalam proses pembelajaran.<br /><br /><strong>Penelitian Pembelajaran yang Dilakukan di Kelas</strong><br />Berbagai kegiatan pengembangan profesi yang dapat dilakukan guru dengan melibatkan para siswanya, antara lain dengan melakukan penelitian di ke­lasnya. Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan di dalam kelas, yaitu: (a) pene­litian eksperimen, dan (b) penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ekspe­rimen dan PTK lebih diharapkan dilakukan guru dalam upayanya menulis KI karena hal-hal berikut.<br />(1) KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya.<br />(2) Dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesinya.<br />Penelitian eksperimen dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang akibat dari adanya suatu treatment atau perlakuan. Penelitian ek­sperimen dilakukan untuk mengetes suatu hipotesis dengan ciri khusus: (a) ada­nya variabel bebas yang dimanipulasi, (b) adanya pengendalian atau pengon­trolan terhadap semua variabel lain kecuali variabel bebas yang dima­nipulasi, (c) adanya pengamatan dan pengukuran tindakan manipulasi variabel bebas. terhadap vari­abel terikat sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan di memperbaiki/mening­kat­kan mutu praktik pembelajaran<br />PTK adalah penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas­. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas. PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas. Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan nyata dan praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di kelas, yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dengan siswa yang sedang belajar.<br /><br /><strong>Menilai KTI Hasil Penelitian</strong><br />Sebelum diajukan untuk dinilai, KTI harus terlebih dahulu dinilai oleh si penu­lis sendiri. Penulis hendaknya mampu menilai apakah KTI yang diajukannya, telah memenuhi syarat sebagai KTI yang benar dan baik. Bagaimana kriteria KTI yang benar dan baik? Di samping memakai berbagai kriteria penulisan KTI yang umum dipergunakan, terdapat beberapa kriteria dan persyaratan yang khusus yang digunakan untuk menilai KTI dalam pengembangan profesi guru.<br />Untuk dapat membuat laporan penelitian, si penulis terlebih dahulu harus melakukan penelitian. Kegiatan penelitian yang umum dilakukan oleh guru adalah di bidang pembelajaran di kelas atau di sekolahnya karena tujuan pengembangan profesinya adalah di bidang pe­ningkatan mutu pembelajarannya. Jenis kegiatan penelitian pembelajaran yang dapat dilakukan adalah penelitian eksperimen atau PTK.<br />Kerangka Penulisan KTI laporan hasil penelitian umumnya terdiri dari tiga bagian utama yaitu:<br />· Bagian pendahuluan yang terdiri dari: halaman judul, lembaran persetujuan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran, serta abstrak atau ringkasan.<br />· Bagian isi yang umumnya terdiri dari beberapa bab sebagai berikut<br />- Bab I Pendahuluan atau permasalahan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan, rumusan masalah, tujuan, kegunaan, dll;<br />- Bab II Kajian Teori atau pembahasan kepustakaan;<br />- Bab III Metode Penelitian;<br />- Bab IV Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil Penelitian;<br />- Bab V Kesimpulan dan Saran.<br />· Bagian penunjang yang umumnya terdiri dari sajian daftar pustaka dan lam­piran-lampiran.<br />Di samping kriteria-kriteria di atas, KTI laporan hasil penelitian itu harus me­me­nuhi kriteria “APIK,” yang artinya adalah sebagai berikut.<br />- A asli, penelitian harus merupakan karya asli penyusunnya, bukan merupakan plagiat, jiplakan, atau disusun dengan niat dan prosedur yang tidak jujur. Syarat utama KI adalah kejujuran.<br />- P perlu, permasalahan yang dikaji pada penelitian itu memang perlu, mempu­nyai manfaat. Bukan hal yang mengada-ada, atau memasalahkan sesuatu yang tidak perlu lagi dipermasalahkan.<br />- I lmiah, penelitian harus berbentuk, berisi, dan dilakukan sesuai dengan kai­dah-kaidah kebenaran ilmiah. Penelitian harus benar, baik teorinya, faktanya maupun analisis yang digunakannya.<br />- K konsisten, penelitian harus disusun sesuai dengan kemampuan penyusun­nya. Bila penulisnya seorang guru, maka penelitian haruslah berada pada bi­dang kelimuan yang sesuai dengan kemampuan guru tersebut. Penelitian di bidang pembelajaran yang semestinya dilakukan guru adalah yang bertujuan dengan upaya peningkatan mutu hasil pembelajaran dari siswanya, di kelas atau di sekolahnya.<br />Ciri-ciri yang menampak, KTI yang “aspal“dapat teridentifikasi antara lain me­lalui indicator berikut:<br />a. Adanya bagian-bagian tulisan, atau petunjuk lain yang menunjukkan bahwa karya tulis itu merupakan skripsi, penelitian atau karya tulis orang lain, yang dirubah di sana-sini dan digunakan sebagai KTI nya (seperti misalnya ben­tuk ketikan yang tidak sama, tempelan nama, dll).<br />b. Terdapat petunjuk adanya lokasi dan subyek yang tidak konsisten;<br />c. Terdapat tanggal pembuatan yang tidak sesuai.<br />d. Terdapat berbagai data yang tidak konsisten, tidak akurat.<br />e. Waktu pelaksanaan pembuatan KTI yang kurang masuk akal (misalnya pem­buatan KTI yang terlalu banyak dalam kurun waktu tertentu).<br />f. Adanya kesamaan isi, format, gaya penulisan yang sangat mencolok dengan KTI yang lain.<br />g. Masalah yang dikaji terlalu luas, tidak langsung berhubungan dengan per­ma­sa­lahan yang berkaitan dengan upaya pengembangan profesi si penulis.<br />h. mMasalah yang ditulis tidak menunjukan adanya kegiatan nyata penulis da­lam peningkatan / pengembangan profesinya sebagai guru.<br />i. Permasalahan yang ditulis, sangat mirip dengan KTI yang telah ada sebe­lum­nya, telah jelas jawabannya, kurang jelas manfaatnya dan merupakan hal mengulangulang.<br />j. Tulisan yang diajukan tidak termasuk pada macam KTI yang memenuhi sya­rat untuk dapat dinilai.<br />KTI merupakan “bukti” dari kegiatan pengembangan profesi dari si penulis. Dengan demikian, apa yang dipermasalahkan haruslah sesuatu yang diperlukan dalam upaya yang bersangkutan untuk mengembangkan profesinya. Karena itu, harus jelas apa manfaat penelitian yang dilakukan bagi siswa di kelas/sekolahnya. Sebagai KI, KTI harus menunjukkan bahwa masalah yang dikaji berada di khasa­nah keilmuan dengan menggunakan kriteria kebenaran ilmiah dan mengunakan meto­de ilmiah serta memakai tatacara penulisan ilmiah.Hal yang ditulis dalam KTI ha­rus sesuai (konsisten) dengan kompetensi si penulis, dan sesuai dengan tujuan si penulis untuk pengembangan profesinya sebagai guru<br />KTI yang “tidak ilmiah” dapat terlihat dari hal-hal berikut.<br />a. Masalah yang dituliskan berada di luar khasanah keilmuan;<br />b. Latar belakang masalah tidak jelas sehingga tidak dapat menunjukkan pen­ting­nya hal yang dibahas dan hubungan masalah tersebut dengan upaya­nya untuk mengembangkan profesinya sebagai widyaiswara;<br />c. Rumusan masalah tidak jelas sehingga kurang dapat diketahui apa sebe­nar­nya yang akan diungkapkan pada KTInya;<br />d. Kebenarannya tidak terdukung oleh kebenaran teori, kebenaran fakta dan kebenaran analisisnya;<br />e. Landasan teori perlu perluas dan disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas;<br />f. Bila KTI-nya merupakan laporan hasil penelitian, tampak dari metode pene­liti­an, sampling, data, analisis hasil yang tidak / kurang benar;<br />g. Kesimpulan tidak/belum menjawab permasalahan yang diajukan KTI yang tidak “konsisten” dapat terlihat dari;<br />h. Masalah yang dikaji tidak sesuai dengan tugas si penulis sebagai guru;<br />i. Masalah yang dikaji tidak sesuai latar belakang keahlian atau tugas pokok penulisnya; dan<br />j. Masalah yang dikaji tidak berkaitan dengan upaya penulis untuk mengem­bang­kan profesinya sebagai guru (misalnya masalah tersebut tidak meng­kaji permasalahan di bidang pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu siswa di kelasnya yang sesuai dengan bidang tugasnya).<br /><br /><strong>Pengembangan Kemampuan Menulis KI Bagi Guru</strong><br />Menulis KI, bagi guru, sebenarnya merupakan kebutuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di dunia pendidikan dan pembelajaran, mereka perlu terus-menerus menambah wawasan dan pemahaman mengenai berbagai hal baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan mata pelajaran yang diampunya. Lebih lanjut, mengapa kemampuan menulis KI guru perlu dikembangkan? Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi perlunya pengembangan kemampuan menulis KI bagi guru, yakni<br />(1) guru sebagai insan terpelajar;<br />(2) guru sebagai agen pembaharu;<br />(3) guru sebagai pendorong dan mitra siswa dalam menulis KI, (d) guru seba­gai peneliti (terutama PTK); dan<br />(4) guru sebagai penulis KI.<br />Empat alasan tersebut menguatkan bahwa guru perlu terus-menerus belajar me­ngem­bangkan kemampuannya dalam menulis KI.<br /> Sementara itu, tujuan pengembangan kemampuan menulis KI bagi guru adalah:<br />(1) guru (lebih) terampil dalam menulis KI;<br />(2) guru dapat menyebarluaskan gagasan dan temuannya melalui KI;<br />(3) guru lebih percaya diri dalam komunitasnya dan di hadapan siswanya;<br />(4) guru produktif dalam mengembangkan gagasannya secara tertulis;<br />(5) guru terhindar dari perilaku plagiat; dan<br />(6) guru lebih cepat dalam mengembangkan karirnya.<br /> Lebih lanjut, adanya pengembangan kemampuan menulis KI bagi guru akan mempunyai dua dampak utama, yakni: (a) guru memperoleh tambahan peng­hasilan dari menulis ilmiah (bila diterbitkan oleh penerbit atau dipublikasikan melalui media massa dan memenangi kompetisi), dan (b) wawasan dan pema­haman guru mengenai sesuatu (terutama yang terkait dengan dunia pendidikan) lebih mendalam dan komprehensif.<br /> Pengembangan kemampuan menulis KI guru akan terlaksana dengan baik bila sejumlah kiat berikut diamalkan, yakni:<br />(1) terus-menerus dilakukan penyadaran kepada guru tentang pentingnya pe­ngembangan kemampuan menulis KI bagi dirinya;<br />(2) diwujudkan komunitas yang mendorong guru mau belajar dan tertantang menulis KI;<br />(3) secara mandiri atau bersama rekan dalam komunitasnya guru terus-me­ne­rus belajar menulis KI;<br />(4) guru banyak membaca dan berpikir kritis;<br />(5) guru memilikilah buku harian untuk mencatat/merekam hasil pengamatan, data, dan hasil pemikiran atau sekedar judul atau topik yang perlu ditulis;<br />(6) guru mulai menulis KI dengan topik yang paling dikuasai dan disenangi;<br />(7) guru belajar menulis KI dengan membuat peta konsep atau peta pikiran;<br />(8) guru terus belajar membuat kerangka tulisan yang lengkap berdasarkan peta konsep yang telah dihasilkan;<br />(9) berdasarkan kerangka tulisan, guru mulai menulis KI dari bagian mana saja;<br />(10) guru membiasakan diri menulis sekurang-kurangnya satu halaman sehari;<br />(11) guru membiasakan diri membaca secara kritis tulisan yang telah dihasil­kan dan sempurnakan;<br />(12) guru menyempatkan membaca tulisan ilmiah yang baik karya orang lain (untuk bahan belajar);<br />(13) guru mengikuti berbagai kompetisi penulisan KI (lokal, regional, nasional),<br />(14) guru membiasakan diri meminta rekan sejawat untuk membaca dan mem­be­rikan masukan terhadap tulisan yang telah dihasilkan;<br />(15) guru berani mengirimkan KI yang telah dihasilkan kepada Dewan Redaksi koran atau majalah atau Dewan Penyunting jurnal ilmiah; dan<br />(16) guru terbiasa mendokumentasikan dan menyimpan dengan baik KI yang telah dihasilkan.<br /><br /><strong>Kepustakaan</strong><br />Muslich, Masnur. 2008. “Melaksanakan PTK Itu Mudah”. Naskah Dipersiapkan un­tuk Pedo­man Pelatihan Peningkatan Profesi Guru.<br />_____________. 2008. “Menulis KTI Itu Mudah.” Naskah Dipersiapkan untuk Pe­do­man Pelatihan Peningkatan Profesi Guru.<br />Suhardjono. 2006. “Laporan Penelitian sebagai KTI.” Makalah pada Pelatihan Pe­ningkatan Mutu Guru dalam Pengembangan Profesi di Pusdiklat Diknas Sa­wangan, Jakarta, Februari 2006.<br /> </span>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-86451893326823882632008-10-04T22:25:00.000-07:002009-05-26T09:08:34.089-07:00BANGKIT BAGI GURU<div align="center"><strong>Bangkit bagi Guru</strong><br /> </div><div align="left"> Diadaptasikan oleh Masnur Muslich<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1J05p33nNxQGdGtpdMb7WpZIS1cs084lmjQRhqJ5W_mpMF1onTqlX5ZXTKoEulot_aBsT6aVUHG-k90x6xPTm3ovV23unwnghyphenhyphenkBct7RpQxTZNHMdL1_b10Wo9gMa9pybF4RirylzgQTC/s1600-h/Masnur.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 194px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1J05p33nNxQGdGtpdMb7WpZIS1cs084lmjQRhqJ5W_mpMF1onTqlX5ZXTKoEulot_aBsT6aVUHG-k90x6xPTm3ovV23unwnghyphenhyphenkBct7RpQxTZNHMdL1_b10Wo9gMa9pybF4RirylzgQTC/s200/Masnur.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340165151653662242" /></a><br /><br />Bangkit itu Susah ...<br />Susah melihat anak didik susah<br />Senang melihat anak didik senang<br /><br />Bangkit itu Takut ...<br />Takut untuk gagal<br />Takut untuk tidak dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran dengan baik<br /><br />Bangkit itu Malu ...<br />Malu menjadi benalu<br />Malu karena minta petunjuk melulu<br /><br />Bangkit itu Marah ...<br />Marah bila martabat guru dilecehkan<br />Marah bila dicap sebagai guru tidak profesional<br /><br />Bangkit itu Mencuri<br />Mencuri perhatian dunia pendidikan dengan prestasi<br />Mencuri kreativitas demi keberhasilan anak didik sendiri<br /><br />Bangkit itu Tidak ada<br />Tida ada kata menyerah<br />Tidak ada kata putus asa<br />Karena demi anak bangsa<br /><br />Bangkit itu Aku<br />Guru untuk anak didikku<br /> </div>Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-273698648952837452008-05-17T17:40:00.000-07:002008-05-17T18:15:41.534-07:00Siapa Penggagas Blog Ini?Bisa Anda duga bahwa penggagas blog ini adalah Masnur Muslich (Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang). Sosok guru yang sudah 28 tahun (1980 - 2008) malang melintang di dunia pendidikan dan sering berinteraksi dengan guru bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan lewat forum seminar, lokakarya, pelatihan, dan pendampingan terkait dengan tugas-tugas profesinya.<br /><br />Ketika pemberlakukan Kurikulum 1984, ia menulis buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD, SMP, dan SMA. Ketika pemberlakukan kurikulum 1994, ia menulis buku pelajaran Bahasa Indonesiua SMP dan SMA. Saat ini, bersamaan dengan pemberlakukan kurikulum KTSP, ia menulis model buku pelajaran Bahasa Indonesia SD (atas sponsor Pusat perbukuan) dan buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMK.<br /><br />Pada tahun 2007 ia menulis dua buku bacaan bagi guru, yaitu KTSP: <em>Dasar Pemahaman dan Pengembangannya</em> dan <em>KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.</em><br /><br />Pada tahun 2008 ia menulis dua buku untuk referensi mahasiswa, yaitu <em>Tatabentuk Bahasa </em><br /><em>Indonesia</em> dan <em>Fonologi Bahasa Indonesia.</em><br /><br />Saat ini sedang menyelesaikan tiga buku lagi, yaitu "Panduan Menulis Buku Teks", "10 Pengembangan Kompetensi Guru", dan "Tatakalimat Bahasa Indonesia".<br /><br />Di sela-sela kesibukannya di kampus, ia masih sempat mengurus karya tulis dosen dan guru yang ingin diterbitkan secara nasional, ber-ISBN. Pertemuan dengan para guru dalam forum seminar, lokakarya, dan pendampingan tentang penerapan KTSP Bidang Studi Bahasa Indonesia, Penulisan Karya Ilmiah, Penulisan Buku Pelajaran, Penelitian Tindakan Kelas tetap tidak bisa dielakkannya.<br /><br />Pada tahun 2008 ini pun ia menggadakan penelitian hibah bersaing bertajuk "Pengembangan Media Pembelajaran Kosakata Berbasis Audiovisual pada Anak Usia Dini" (atas sponsor Dirjen Dikti).<br /><br />Intinya, di tengah-tengah keksibukannya, ia tetap menginginkan profesionalitas para guru Bahasa Indonesia di tanah air meningkat.<br /><br />Tekad dia: "Ayo berkreasi demi masa depan anak bangsa."Masnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4626677507232764081.post-15722127422415726642008-05-17T16:53:00.009-07:002008-05-17T17:33:02.003-07:00Untuk Siapa Blog Forum Guru Bahasa Indonesia ini?Blog ini diciptakan khusus guru bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), termasuk yang mengajar di perguruan tinggi (yang biasa disebut dosen), yang ingin meningkatkan profesionalitasnya<br /><br />Gagasan ini muncul untuk menjawab keluhan para guru di lapangan atas hal-hal berikut.<br /><ol><li>Sebagian besar guru merasa kurang memperoleh akses informasi yang terkait dengan bidang kebahasaan, kesastraan, dan pengajarannya.</li><li>Sebagian besar guru tidak mengetahui ke mana harus mengekspresikan gagasan, pikiran, dan hasil ujicobanya.</li><li>Sebagian besar guru ingin berkomunikasi secara intentif dengan guru sejenis, yang tidak memerlukan biaya mahal. Kalau ada forum ilmiah yang berbentuk seminar, lokakarya, dan pelatihan, biayanya cukup mahal.</li></ol>Ayo, bagi Anda (guru bahasa Indonesia) yang ingin berkreasi secara profesional, silakan memanfaatkan blog ini!<br /><ul><li>Kirimkan karya tulis ilmiah Anda (baik dalam bentuk makalah maupuan sinopsis hasil penelitian tindakan kelas), resensi (tinjauan buku), atau karya sastra ke blog ini!</li><li>Kirimkan karya Anda vis email: <a href="mailto:forgubindo@yahoo.co.id">forgubindo@yahoo.co.id</a> atau <a href="mailto:muslich_m@yahoo.co.id">muslich_m@yahoo.co.id</a></li></ul>Karya Anda pasti dibaca oleh ribuan guru sejawat Anda. Ini berarti Anda telah memberikan pencerahan kepada teman!<br /><br />Anda pun juga boleh menyampaikan keluhan dan harapan terkait dengan tugas-tugas profesi Anda, untuk ditindaklanjuti atau dicarikan solusinya oleh teman sejawat yang lain.<br /><br />Pendeknya, manfaatkan blog Forum Guru Bahasa Indonesia sebagai ajang interaksi dan komunikasi antarguru sejenis demi peningkatan profesioanalisme Anda.<br /><br />Selamat berkreasi.<br /><br />Penjaga Blog,<br /><br /><br />Masnur Muslich<br />Email: <a href="mailto:muslich_m@yahhoo.co.id">muslich_m@yahhoo.co.id</a><br />Website: muslich-m.blogspot.comMasnur Muslichhttp://www.blogger.com/profile/17033423385969186093noreply@blogger.com0