Situasi Peer Teaching Peserta PLPG dalam Rangka Sertifikasi Guru di Kota Batu


PLPG yang berlangsung selama sepuluh hari benar-benar menguras tenaga baik oleh para dosen pembimbing maupun para peserta. Di sela-sela istirahat benar-benar dimanfaatkan untuk menyegarkan fisik dan psikis.

1. Para dosen ketika rehat sebelum memasuki kegiatan PLPG


Dr. Anang Santoso yang terlihat paling ganteng sedang digojlok ibu-ibu dosen.


Dr. Soedjiono, dosen Jurusan sastra Indonesia Universitas Negeri, yang akhir-akhir ini suka mendalami sastra Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kebatinan, sedang bercengkerama dengan Prof. Dr. Suyitno.

2. Situasi pembekalan oleh Masnur Muslich sebelum pelaksanaan peer teaching


3. Situsi pelaksanaan peer teaching yang dibimbing Masnur Muslich


4. Masnur Muslich ditodong peserta PLPG untuk berfoto bersama setelah seusai pelaksanaan peer teaching

ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

Situasi Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran oleh Mahasiswa Pengikut Matakuliah PKP pada Program Pendidikan SD UT


Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang
Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang
Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan

PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya.

1. Diskusi dalam rangka persiapan pelaksanaan perbaikan pembelajaran



2. Ketua kelas III mengecek kerapian pakaian dan kuku siswa sebelum masuk kelas



3. Situasi pelaksanaan perbaikan oleh Mahasiswa peserta PKP







4. Situasi ketika memberikan balikan pelaksanaan perbaikan pembelajaran di deopan mahasiswa dan guru SD Negeri Pesanggrahan, sekaligus sambutan penutupan.





Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang
Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang
Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan

PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya. ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

UPAYA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEBAHASAAN DAN KESUSASTRAAN DI DAERAH


Oleh Masnur Muslich
(Diadaptasikan dari tulisan IGN Oka)

Permasalahan Konsepsional
Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang kita laksanakan di tanah air kita adalah salah satu bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan. Lewat pembinaan dan pengembangan ini, kita melaksanakan kegiatan-kegiatan mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan bangsa kita yang terjalin dari (1) masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah kebahasaan dan kesusastraan daerah, dan (3) masalah penggunaan dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing tertentu, seperti misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Sanskerta, dsb.. Tujuan yang ingin kita capai dalam hubungan ini adalah suatu perangkat tujuan yang kita rancang dengan semangat Orde Baru yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang dimaksudkan oleh (1) bagian Pembukaan UUD 1945, (2) Bab XIII pasal 31 dan pasal 32, dan (3) Bab XV pasal 36. Adapun perangkat tujuan yang dimaksudkan meliputi dua kelompok tujuan yang saling berhubungan, yaitu pertama tujuan bina bangsa dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu; dan kedua tujuan bina bahasa dengan sasaran bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu. Tujuan yang pertama ialah membina seluruh rakyat Indonesia agar mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap berikut.
1)Pengetahuan yang sahih tentang (a) kedudukan, fungsi, dan nilai bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu, (b) sistem dan struktur masing-masing bahasa dan kesusastraan itu, dan (c) problematik pemakaian masing-masing bahasa dan kesusastraan itu.
2)Keterampilan hakikat yang memadai dalam (a) menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bertutur, menyimak, membaca dan menulis), sebagai alat bernalar/berpikir, dan sebagai alat memandang masalah-masalah kehidupan, dan (b) mengapresiasi serta memanfaatkan karya-karya sastra Indonesia. Keterampilan hakikat yang sama juga dibina pada putra-putra daerah dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan daerahnya yang masih dipeliharanya baik-baik. Dan keterampilan hakikat dalam bahasa asing dibatasi pembinaannya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat teknis.
3)Sikap yang positif terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang berupa (a) rasa bangga memilikinya, (b) dorongan menghormatinya, (c) setia menggunakannya dengan baik dan benar, dan (dengan) merasa prihatin akan perlakuan-perlakuan terhadapnya yang kurang pada tempatnya.
Tujuan yang kedua ialah membina bahasa dan kesusastraan Indonesia sehingga bahasa Indonesia (termasuk kesusastraannya) memiliki karakterisasi berikut.
1)Utuh dan padu sebagai satu bahasa tersendiri dengan perangkat ciri yang secara khas menandai serta membedakan eksistensinya dari bahasa-bahasa lain.
2)Tetap bertahan dan terpelihara sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Negara atau Bahasa Resmi, dan Bahasa Kebudayaan Nasional.
3)Memiliki kebakuan serta daya wadah dan daya ungkap yang akurat sebagai alat komunikasi.
4)Tersebar luas di seluruh wilayah tumpah darah Indonesia.
5)Terpakai dalam berbagai bidang kehidupan oleh setiap lapisan masyarakat.
Tujuan yang sama juga terdapat pada pembinaan bahasa dan kesusastraan daerah, hanya saja dalam versi yang khusus. Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang telah dilaksanakan dalam setiap era pembangunan, ternyata membuahkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan. Namun di balik keberhasilan ini tidak sedikit pula kekurangan-kekurangan serta hambatan-hambatan yang kita hadapi. Termasuk kekurangan kita dalam hubungan ini ialah:
(1)menetapkan lingkup serta menjabarkan secara akurat tujuan-tujuan tahapan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari tujuan umum yang sudah jelas, sehingga berupa sistematika tujuan yang teramati dan terukur pencapaiannya;
(2)merancang program-program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang bermutu, relevan, terpadu, efektif, dan efisien;
(3)memanfaatkan sumber-sumber langsung atau tidak langsung yang tersedia;
(4)menggalang kerjasama, partisipasi, dan integrasi;
(5)memotivasi pengabdian (dedikasi) dan prestasi.
Adapun jenis-jenis hambatan yang signifikan dalam hubungan ini adalah sebagai berikut:
1)Rumit dan uniknya masalah kebahasaan dan kesusastraan di tanah air kita.
2)Besarnya jumlah rakyat Indonesia yang harus kita bina, lagi pula tersebarnya mereka di wilayah yang sangat luas.
3)Keterbatasan-keterbatasan kita dalam (a) informasi lapangan yang dapat dipercaya, (b) tenaga, kemampuan dan keahlian/pengalaman, (c) dana, fasilitas, dan sarana pelancar lainnya, dan (d) semangat dan pengabdian.
4)Masih cukup banyaknya rakyat kita belum memiliki pengertian yang baik tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Malahan tidak sedikit pula yang bersikap dan bertindak tidak simpatik terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan.
5)Kurang merangsangnya bidang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari segi sosial dan ekonomi, lebih-lebih lagi dalam kecenderungan masyarakat yang berfikir sekular.
Berdasarkan kajian terhadap hakekat, kedudukan dan fungsi, dan tujuan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di satu pihak, dan kajian terhadap kekurangan-kekurangan kita serta hambatan-hambatan yang kita hadapi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan itu di pihak lain, maka secara konsepsional permasalahan yang kita hadapi pada dasarnya berkisar pada:
1)masalah ketajaman program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan kita;
2)masalah pengelolaan pelaksanaan program itu;
3)masalah dedikasi dan motivasi dalam melaksanakannya;
4)masalah penggalangan kerjasama, partisipasi, dan integrasi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan;
5)masalah sumber informasi lapangan yang dapat dipercaya.

Permasalahan Operasional
Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan telah dilaksanakan pula di daerah-daerah propinsi, termasuk Jawa Timur (Jatim). Hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaannya selama ini dalam banyak hal cukup menggembirakan. Malahan – khusus kasus Jatim – jika dibandingkan dengan hasil-hasil daerah lain, Jatim termasuk barisan yang berhasil baik. Walaupun demikian, Jatim menghadapi pula beraneka ragam persoalan dalam melaksanakan pembinaan kebahasaan dan kesusastraan di wilayahnya, dan di tengah-tengah kehidupan warga masyarakatnya.
Permasalahan operasional yang dihadapi daerah pada dasarnya di sekitar (1) masalah lapangan, yaitu kondisi objektif daerah dan masyarakatnya, (2) masalah ketenagaan, (3) masalah kelembagaan, (4) masalah kebijakan, dan (5) masalah prasarana dan sarana penunjang/pelancar. Problematik tentang kelima masalah ini akan dipaparkan pada bagian-bagian uraian berikut.

Masalah lapangan
Daerah Jatim, misalnya, tempat kita melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan tergolong daerah yang relatif luas arealnya. Di samping pulau Jawa Bagian Timur sebagai intinya, daerah Jatim meliputi pula pulau Madura dan sejumlah pulau-pulau kecil lainnya. Keadaan alam dan lingkungan Jatim dalam banyak hal sering kali menghambat kelancaran jalannya pembangunan, lebih-lebih lagi kalau dihubungkan dengan kondisi transportasi dan sarana komunikasi yang belum boleh dikatakan baik, terutama untuk mencapai daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dan kota-kota.
Di daerah yang relatif luas ini bermukim penduduk yang jumlahnya hampir mendekati 30 juta jiwa. Penyebaran permukimannya tidak merata. Demikian pula status sosial ekonominya dan tingkat pendidikannya beragam-ragam keadaannya dengan kondisi kebanyakan berada di bawah semestinya. Malahan tidak sedikit yang keadaan sosial ekonominya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Selain daripada itu, rakyat Jatim berdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa ini masih berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan sukunya yang antara lain berupa adat, tradisi, kepercayaan, dsb.. Sejalan dengan keanekaragaman suku ini, di daerah Jatim terdapat pula bermacam-macam bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dan suku-suku perantauan lainnya). Masing-masing bahasa daerah ini bagi masyarakat pemiliknya merupakan sesuatu yang bernilai dan berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan suku, (2) lambang identitas suku, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat suku. Ikatan masing-masing suku dengan bahasa daerahnya demikian kuatnya sehingga tampak jelas jejaknya pada bahasa Indonesia yang mereka pakai.
Selain masyarakat suku, di daerah Jatim, terutama di kota-kota, bermukim pula WNI keturunan Cina. Jumlah mereka ini realtif besar. Secara sosiokultural, mereka memiliki identitas-identitas tersendiri pula. Demikian pula bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Indonesia dialek Cina, pada dasarnya merupakan kenyataan lapangan yang tidak bisa diingkari adanya.
Kondisi lapangan Jatim seperti yang dipaparkan di atas, dalam banyak hal merupakan permasalahan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim. Setidak-tidaknya, kondisi lapangan ini harus dimanfaatkan demikian rupa sehingga dia tidak tampil sebagai penghambat semata.

Masalah Ketenagaan
Tenaga-tenaga untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim yang tersedia sekarang boleh dikatakan sangat terbatas jumlahnya. Dari jumlah yang tidak banyak ini, sedikit sekali yang betul-betul ahli dalam masalah pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Beban kerja mereka kebanyakan telah melampaui batas. Banyak pula di antara mereka ini yang harus menyelesaikan tugas-tugas di luar bidang kekaryaannya.
Kondisi ketenagaan yang serba kurang dipertemukan dengan tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dengan permasalahannya yang demikian luas, rumit, dan uniknya, sulit dibayangkan akan berlangsungnya pelaksanaan tugas yang lancar. Lebih sulit lagi dibayangkan akan tercapainya hasil yang baik.

Masalah Kebijakan
Untuk mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan di Jatim yang terjalin dari (1) masalah bahasa dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dsb.), dan (3) pemanfaatan dan penggunaan bahasa-bahasa asing tertentu, suatu pola kebijakan sangat diperlukan. Jatim sampai sekarang belum memilikinya. Kalau toh ada, sangatlah kecil dan jauh dari harapan. Akibatnya dapat diduga. Para pelaksana pembina dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tidak memiliki acuan dan panduan operasional dalam merancang dan melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, hasil-hasil yang dicapainya sering tidak relevan dengan pola dan tujuan pembangunan di Jatim. Gejala kurang baik seperti yang terakhir ini akan dapat diminimalkan, jika Jatim telah menggariskan secara jelas dan tegas pola kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan, lewat Balai Bahasa yang telah dimiliknya.

Masalah Sarana dan Prasarana
Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim selama ini cukup banyak mengalami hambatan akibat kekurangan-kekurangan/kelemahan-kelemahan dalam bidang prasarana, sarana, dan faktor-faktor pelancar/penunjang lainnya. Termasuk ke dalamnya adalah kekurangan/kelemahan berikut.
1.Informasi lapangan yang dapat dipercaya tentang masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim. Informasi yang demikian ini terbatas sekali adanya karena penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan belum cukup banyak dilakukan.
2.Tempat (gedung), ruang, dan peralatan yang tersedia selama ini boleh dikatakan belum memenuhi persyaratan, lebih-lebih lagi jika mau dipenuhi persyaratan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
3.Partisipasi dan integrasi kebanyakan rakyat terhadap kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan belum memadai keadaannya. Persepsi mereka terhadap kegiatan ini agaknya masih kabur.
4.Dedikasi dan motivasi.
Dedikasi kebanyakan pelaksana pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim boleh dikatakan belum tinggi. Demikian pula pada umumnya di kalangan rakyat dalam mengikuti kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Sejalan dengan gejala negatif ini, motivasi yang dikembangkan belum cukup kuat mendorong/merangsang.
5.Koordinasi.
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tampak gejala bahwa belum tergalang koordinasi yang baik. Gejala ini misalnya terlihat pada bertumpangtindihnya bidang tugas, berulangkalinya dipermasalahkan persoalan yang sama, terlampauinya pihak-pihak yang berkewenangan, dsb.
Selain dari kelima faktor tersebut di atas, pelancar/penunjang yang sangat besar pengaruhnya namun tersedianya sangat minim ialah dana. Alokasi dana yang khusus disediakan untuk usaha, upaya, kegiatan, dan maksud-maksud baik yang lain utuk pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim relatif sangat kecil.
Demikianlah sejumlah permasalahan operasional yang dihadapi dalam pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.

Kebijakan Pilihan
Berdasarkan kajian terhadap permasalahan konsepsional dan permasalahan operasional seperti yang dipaparkan di muka, bermacam-macam kebijakan yang dapat digariskan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di wilayah Propinsi Jawa Timur. Walaupun demikian, hanya sejumlah kebijakan saja yang patut ditetapkan untuk waktu-waktu mendatang. Pembatasan jumlah dan jenis kebijakan ini perlu dilakukan dengan pertimbangan terhadap (1) perlunya kesinambungan antara kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dalam pembangunan sebelumnya, (2) harapan akan hasil nyata yang bisa dicapai dalam pembaungan mendatang, dan (3) kesadaran akan berbagai keterbatasan untuk melaksanakannya, seperti misalnya keterbatasan dalam masalah tenaga, keahlian, kesempatan, dana, fasilitas, dan faktor-faktor penunjang relevan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis kebijakan pilihan yang diperkirakan tepat untuk pembangunan mendatang adalah kebijakan-kebijakan yang memandu kegiatan-kegiatan yang disajikan berikut.
Pertama, macam-macam kegiatan yang memperkaya sumber informasi kebahasaan dan kesusastraan. Berikut ini termasuk ke dalam lingkup kegiatan ini.
1)Penelitian
Penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan memperluas sasaran penelitian dan memperdalam pengkajian. Dengan demikian akan tersedia sumber-sumber informasi masalah kebahasaan dan kesusastraan yang dibutuhkan untuk menyusun macam-macam program operasional pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
2)Perekaman dan Pemetaan
Perekaman kesusastraan lisan dan pemetaan jenis-jenis dan ragam-ragam bahasa yang ada di kawasan Jawa Timur perlu dilanjutkan dan diperluas serta ditingkatkan mutunya. Rekaman dan peta yang dihasilkan akan merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk pembangunan.
3) Publikasi
Publikasi adalah sumber informasi yang paling sahih. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan publikasii hasil-hasil penelitian, perekaman, pemetaan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jawa Timur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam penyusunan program pembangunan di bidang pendidikan.
Kedua, mengembangkan macam-macam program yang secara langsung atau tidak membina pengetahuan, keterampilan hakikat, dan sikap warga masyarakat Jawa Timur dalam berhubungan dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan dengan bahasa-bahasa asing tertentu. Macam-macam program yang tepat dikembangkan dalam pembangunan mendatang adalah sebagai berikut.
1)Program penataran bahasa dan kesusastraan Indonesia untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan hakikat bahasa Indonesia, pengetahuan dan kemampuan mengapresiasi karya sastra Indonesia, dan untuk mempositifkan sikap masyarakat terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program yang sama patut pula dikembangkan pada bahasa dan kesusastraan daerah, terutama untuk masyarakat daerah yang masih memelihara bahasa dan kesusastraannya. Sedangkan untuk bahasa dan kesusastraan asing, program penataran yang patut dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan teknis yang mendesak.
2)Program penyuluhan bahasa dan kesusastraan.
Program ini dimaksudkan untuk meneruskan kebijakan-kebijakan bahasa dan kesusastraan, seperti misalnya pemakaian EYD, penyusunan istilah, penjelasan tentang karya sastra terlarang, dll.
3)Program penyebarluasan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program ini merupakan realisasi dari usaha memberantas buta bahasa Indonesia.
4)Program partisipasi terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, termasuk kesusastraannya. Program ini dapat diwujudkan berupa pertemuan-pertemuan (diskusi, seminar, sarasehan, dsb.) ataukah dengan memberi peluang memainkan peranan tertentu dalam jenis-jenis kegiatan yang termasuk lingkup gerakan pembinaan bahasa Indonesia.
5)Program penghargaan prestasi bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Program ini hendaknya mengembangkan media, forum, atau wadah yang memberi peluang kepada warga masyarakat memperoleh penghargaan yang patut terhadap prestasinya mengintegrasikan diri dengan pembinaan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah.
Ketiga, meningkatkan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Kerja sama ini perlu digalang lewat suatu program yang terencana dan terarah, dengan koordinasi Balai Bahasa Jawa Timur.
Keempat, mengembangkan usaha yang memotivasi masyarakat umumnya dan karyawan khususnya untuk mempelajari bahasa dan kesusastraan Indonesia. Usaha ini antara lain dapat diwujudkan dengan menetapkan pengetahuan dan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai persyaratan promosi atau persyaratan penerimaan sebagai karyawan. Usaha yang sama dapat pula dilakukan terhadap bahasa daerah dan bahasa asing tertentu dalam batas-batas kebutuhan khususnya.
Demikianlah empat perangkat usaha dan kegiatan yang patut diprogramkan sebagai macam-macam kebijakan pilihan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di daerah Jawa Timur dalam pembangunan mendatang. Keempat perangkat usaha dan kegiatan tersebut di atas, tidak terlepas hubungannya satu dengan yang lainnya. Kesemuanya saling bertautan dalam satu keutuhan yang harus diprogramkan serempak dalam satu tahapan pembangunan.
Akhirnya, selain dari perangkat permasalahan yang telah dipaparkan di muka, masih banyak lagi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang belum sempat disajikan dalam uraian ini, lebih-lebih lagi kalau yang diinginkan sebuah sistematika identifikasi permasalahan yang menyeluruh, lengkap, dan terinci. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh identifikasi permasalahan yang agak lengkap tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim disarankan tiga tahapan kerja sebagai berikut.
1)Membentuk sebuah tim kecil (ad hoc) dengan tugas pokok melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.
2)Mengevaluasi hasil survai tim kecil dalam suatu seminar khusus yang dihadiri oleh ahli-ahli bahasa, guru-guru bahasa, dan pejabat yang secara langsung terlibat dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim.
3)Menyusun sistematika identifikasi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dalam suatu lokakarya khusus terbatas dengan memanfaatkan hasil survai tim kecil dan hasil seminar evaluasi di atas.
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

LINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA


Oleh Masnur Muslich
(Diadaptasikan dari Tulisan I Gusti Ngurah Oka)

Kalau kita pandang pengajaran bahasa itu sebagai suatu proses, maka di dalamnya kita dapati dua jenis proses, yaitu (a) proses penyerahan bahasa yang diajarkan kepada orang yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan (b) proses penerimaan bahasa yang diajarkan oleh pelajar bahasa. Di dalam sejarah studi pengajaran bahasa, tiap jenis proses tersebut di atas ini merupakan bidang studi tersendiri yang makin mengkhusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini. Proses menyerahkan bahasa yang diajarkan kepada pelajar bahasa adalah pokok persoalan “Ilmu Pengetahuan Bahasa (Language Teaching)”.1) Titik pertemuan kedua jenis proses di atas terletak pada bahasa yang diajarkan atau dipelajari. Karena itu berhasil baiknya proses pengajaran bahasa akan sangat ditentukan bahasa yang diajarkannya dan juga pemahaman pelajar bahasa terhadap bahasa yang dipelajari itu. Pemahaman itu hanya mungkin bisa terjadi kalau bahasa tersebut telah digambarkan secara benar (ilmiah). Dan gambaran ilmiah terhadap bahasa adalah kompetensi linguistik untuk mengemukakannya.2) Dari segi ilmiah bisa kita lihat hubungan dalam proses pengajaran bahasa. Jadi kalau demikian di dalam proses pengajaran bahasa ada tiga persoalan yang harus kita pertimbangkan, yaitu:
a)gambaran bahasa (language description) yang akan diajarkan,
b)mengajarkan bahasa (language teching) tersebut pada pelajar bahasa,
c)belajar bahasa (language learning) tersebut kepada pelajar bahasa.3)
Jika titik pertemuan linguistik dengan pengajaran bahasa pada bahasa akan diajarkan atau yang akan dipelajari, maka persoalan yang kita angkat dalam hubungan ini adalah:
a)Sejauh manakah sumbangan linguistik kepada pengajaran bahasa?
b)Bagaimanakah kemungkinan penerapannya ke dalam pengajaran bahasa Indonesia?
Kedua pokok persoalan inilah yang selanjutnya akan merupakan isi dari uraian berikut ini:

Sejarah Penerapan Linguistik
Ditinjau dari segi sejarahnya, masuknya linguistik ke dalam persoalan Pengajaran bahasa boleh dikatakan belum begitu lama. Di Amerika misalnya pemasukan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis oleh L. Bloomfield. Sehubungan dengan ini, Mary R. Haas dalam karangannya yang berjudul: “The Application of Language Teaching” (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807-817) mengatakan bahwa Bloomfield linguistik pertama yang bertindak sebagai guru bahasa.
Hasil-hasil yang baik dicapai Bloomfield dalam linguistik, yaitu mendeskripsikan bahasa yang diselidikinya sebagaimana adanya bahasa tersebut (sesuai dengan sistem dan struktur bahasa tersebut), kemudian diterapkannya ke dalam pengajaran bahasa. Penerapan ide-ide linguistisnya ini antara lain berupa saran-saran bagaimana sebaiknya cara-cara yang ditempuh untuk mengajarkan suatu bahasa dan mempelajari suatu bahasa. Beberapa dari saran tersebut misalnya seperti berikut.
a)Orang yang akan mengajarkan suatu bahasa (guru bahasa) hendaknya mengetahui dengan baik bahasa yang akan diajarkannya serta sanggup berbicara dalam bahasa tersebut.
b)Guru bahasa juga harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur bahasa yang mana yang harus diajarkan, yang mana di antara unsur-unsur tersebut yang lebih didahulukan dan bagaimana cara-cara yang dapat tepat mengajarkan tiap unsur bahasa tersebut.
c)Teknik-teknik yang sebaiknya ditempuh:
(1)Melatihkan secara intensif ucapan bunyi-bunyi bahasanya (drill fonetis). Dalam hubungan ini disarankan agar ucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut diusahakan setepat-tepatnya seperti pemakai aslinya (native speaker-nya) mengucapkan bunyi-bunyi tersebut.
(2)Menyediakan waktu yang cukup (8 jam seminggu) kepada “drill fonetis” (lebih-lebih lagi pada kelas-kelas permulaan).
(3)Mempertentangkan bahasa yang dipelajari dengan bahasa yang dimiliki oleh pelajar bahasa (“approach contrastive”).
Saran-saran tersebut di atas ini dikemukakan oleh Bloomfield didasarkan kepada tujuan pengajaran bahasa, yaitu membuat pelajar bahasa mampu berbahasa yang dipelajarinya, dalam waktu secepat-cepatnya dan tepat seperti pemakai aslinya mengucapkan bahasanya. Sedangkan teknik pengajaran tradisional yang terlalu mementingkan pengajaran gramar dan terjemahan namun mengabaikan kemampuan berbahasa. Hal ini terbukti dari kecamannya terhadap hasil-hasil pengajaran bahasa pada waktu itu sebagai berikut: “Of the students who take up the study of foreign languages in our schools and colleges, not one in a hundred attain even a fair reading knowledg, and not one foreign language”. Ide dan saran teknis dari Blooomfield ini termuat di dalam bukunya yang berjudul: “An Introduction to Study of Language” yang terbit tahun 1914.4)
Perkembangan study pengajaran bahasa di Amerika kemudian maju dengan pesatnya menjelang Perang Dunia II. Hal itu disebabkan karena kemungkinan-kemungkinan terlibatnya Amerika dalam perang tersebut. Adanya kemungkinan ini (dan memang akhirnya Amerika betul-betul terlibat atau melibatkan diri), dengan sendirinya diperlukan persiapan-persiapan atau perlengkapan-perlengkapan yang bukan saja bersifat kemiliteran namun juga yang bersifat sosial-budaya. Sampai pada saat itu pengetahuan Amerika tentang negara-negara yang bukan Eropa begitu banyak.
Demikian juga bahasa-bahasa yang dipelajarinya kebanyakan bahasa-bahasa klasik Eropa saja, seperti misalnya Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol dan lain sebagainya. Sedangkan bahasa-bahasa Asia dan Afrika sedikit sekali yang dipelajarinya.
Tuntutan taktis dan strategi militer (yang berupa informasi-informasi militer dan sosial-budaya) dari negara-negara Asia dan Afrika yang hanya mungkin dicapai dengan baik kalau menguasai bahasa-bahasa di negara-negara kedua benua tersebut, mendorong pemerintah Amerika untuk dengan segera dan cepat membentuk tenaga-tenaga yang mampu berbahasa bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Untuk maksud ini kemudian “American Council of Learned Society” membentuk suatu komite dengan nama “Committee on the National School of Modern Oriental Languages and Civilization” yang bertugas menemukan cara-cara yang cepat dan tepat untuk mempelajari bahasa-bahasa dan peradaban timur. Komite ini lalu mengkonsentrasi linguis-linguis Amerika terkemuka (terutama murid-murid L. Bloomfield dan E. Sapir atau linguis-linguis yang mengembangkan ide penegak linguistik modern Amerika ini) yang akhirnya menghasilkan: (1) Field Method in Linguistics (terutama dikembangkan oleh: “Linguistics Institute of the Linguistic Society of America” dan (2) Intensive Language Program yang dikembangkan oleh “The American Council of Learne Society”. Hasil-hasil ini kemudian dimanfaatkan oleh Angkatan Perang Amerika sehingga dalam waktu yang tidak lama hampir lebih dari 26 buah bahasa di Asia dan Afrika yang sudah dikuasainya. Termasuk ke dalamnya Bahasa Indonesia. Dan khusus untuk Pengajaran Bahasa Inggris, maka di Universitas Michigan dibentuk “English Language Institute” di bawah pimpinan Profesor Charles C. Fries.5) Demikianlah sejarah perkembangan Pengajaran Bahasa di Amerika yang dalam keseluruhannya merupakan usaha menerapkan linguistik ke dalam persoalan pengajaran bahasa. Detail dari perkembangan ini diuraikan dengan baik oleh William G. Moulton dalam karangannya yang berjudul: “Linguistic and Language Teaching in the United States, 1940-1960.”6)
Dengan tidak mengecilkan usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam penghayatan bahasa seperti yang dikerjakan oleh Amerika, sementara di sini perkembangan di negara itu sajalah yang dikemukakan.
Usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam pengajaran bahasa di Indonesia, yaitu ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia, tampaknya baru dimulai perintisnya oleh para linguis muda Indonesia. Karya-karya yang bercorak linguistik dari Soewojo Wojowasito, Samsuri, dan Umar Yunus (Malang), M. Ramlan (Jogya), Lutfi Abbas (Bandung), Anton Muljono, Harimurti Kridalaksana, M. Effendi, A. Latif, T.W. Kamil dan lain sebagainya (Jakarta), banyak atau sedikit dimaksudkan untuk memberi landasan-landasan permulaan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.

Sumbangan Linguistik dalam Pengajaran Bahasa
T. Hodge dalam karangannya yang berjudul: “The Influence of Linguistics to Language Teaching” (Anthropological Linguistics, 5, ., 1963, 50-56) antara lain mengatakan linguistik membantu pengajaran bahasa dalam:
1)menentukan corak bahasa yang diajarkan,
2)memberi pedoman tentang pemilihan materi bahasa yang sebaiknya diajarkan, dan
3)memberi pedoman tentang cara-cara penganalisaan materi bahasa yang diajarkan.
Tentang corak bahasa yang sebaiknya diajarkan, Charleton T. Hodge menyarankan agar pemilihannya didasarkan kepada kebutuhan mereka yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan kepada tujuan pengajaran bahasa. Sehubungan dengan ini hendaknya diperhatikan berbagai versi ujar yang ada dalam bahasa tersebut.
Mengenai materi atau bahan pelajaran yang sebaiknya diajarkan, disarankan agar dipersiapkan seri teks-book yang dikatakannya sebagai berikut: “Ideally, the language text is the last of a series of items to be written, following a complete study of the language, and analyzing and reanalyzing it from every aspects”.
Di dalam penganalisisan bahasa dan menjadikan pelajaran bahasa itu, Hodge menyarankan adanya kerja sama yang baik antara linguistik dengan paedagogi di satu pihak dan dengan metodologi di pihak lain. Dan teknik yang selalu ditekankannya adalah teknik drill yang intensif dan teknis pembinaan kemampuan berbahasa dalam bahasa yang dipelajari.7) Di samping itu linguistik juga mengembangkan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik. Untuk menyebut beberapa di antaranya, di sini perlu dikemukakan “Oral Approach” yang dirintis C.C. Fries yang dikatakannnya sebagai “A New Approach to Language Learning”8). “The Oral-Aural Method” oleh Robert L. Saitz9), Metode Pembatasan Materi Bahasa oleh W. Cowan, Smith dan S.W. Stevick, Metode Kontrastive Linguistik yang mempertentangkan bahasa yang diajarkan dengan bahasa yang telah dimiliki oleh pelajar bahasa dan malahan akhir-akhir ini sudah berkembang metode baru yang didasarkan kepada “Approach Bilingualism”.10)
Rupanya penerapan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik ini mendapatkan pembinaaan yang sangat baiknya dalam pengajaran bahasa Inggris. Dua jenis pengajaran bahasa Inggris yang sekarang terkenal di dunia adalah “Teaching English as a Foreign Language” dan “Teaching English as a Second Language”. Tentang hal ini diuraikan dengan baiknya oleh Charles C. Fries dalam bukunya “Teaching & Learning English as a Foreign Language” Publication of the Modern Language Association, 78: 2- 25-28 (1963),11) banyak berbicara tentang sejarah perkembangan kedua corak Pengajaran Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya dapatlah kita simpulkan bahwa bagaimanapun juga linguistik mempunyai andil yang sangat besar dalam perkembangan pengajaran bahasa dan malahan ada sementara sarjana yang berpendapat hanya pengajaran bahasa yang berdasarkan linguistiklah yang akan merupakan Pengajaran Bahasa yang valid di masa-masa yang akan datang.

Kemungkinan-kemungkinan Penerapan Linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Atas dasar teori penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dan dengan perbandingan pengajaran bahasa Inggris yang telah demikian jauh menerapkan linguistik ke dalamnya, seperti yang diuraikan di atas ini, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan untuk menerapkan apakah saran-saran untuk menerapkan itu sudah adakah di Indonesia dan pada bahasa Indonesia?
Seperti telah diuraikan di atas, persyaratan pertama yang harus ada ialah deskripsi linguistik Bahasa Indonesia. Pertanyaan dalam hubungan ini: “Sudahkah bahasa Indonesia dideskripsikan secara linguistik?” Rupanya deskripsi linguistik tentang bahasa Indonesia ini, belumlah begitu besar jumlahnya dan juga belum tinggi mutunya, lebih-lebih lagi kalau kita bandingkan dengan deskripsi linguistik-linguistik yang telah ada dalam bahasa Inggris misalnya. Yang banyak kita dapati tentang bahasa Indonesia adalah terbitan-terbitan yang bernama tatabahasa/kaidah bahasa Indonesia yang ada sekarang ini di Indonesia dan tentang bahasa Indonesia, kebanyakan mempunyai sifat-sifat normatif preskriptif yang kebanyakan pula tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia yang sudah maju pesat.12)
Namun walaupun demikian, usaha-usaha permulaan untuk mendeskripsikan bahasa Indonesia secara linguistik yang dikerjakan oleh sementara linguis muda Indonesia, patut kita hargai dalam hubungan ini. Misalnya buku “Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tujuan Bahasa Indonesia I dan II (Jakarta, 1967) karangan Drs. Lufti Abbas, M.A., “Struktur Bahasa Indonesia” (Malang, 1966) karya Drs. Umar Yumus dan karangan-karangan tersebar dari: Anton Muljono, Djojo Kenntjono, Samsuri dan Harimurti Kridalaksana, semuanya merupakan usaha-usaha untuk mengemukakan deskripsi linguistik terhadap Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudah validnya karya-karya di atas ini, maka untuk Pengajaran Bahasa Indonesia di masa sekarang ini ada baiknya untuk sementara dipedomani kepada buku-buku ini, sambil menunggu kehadiran buku-buku yang lebih baik.
Syarat kedua yang kita perlukan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia adalah buku-buku pegangan sekolah yang berlandaskan linguistik. Rupanya buku-buku yang demikian inilah yang sedikit sekali adanya di Indonesia atau tidak ada sama sekali. Sehubungan dengan ini, adalah tantangan kepada linguis Indonesia dan terutama tantangan kepada sarjana-sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP untuk segera menghasilkan buku-buku pegangan yang demikian ini. Dikatakan demikian, karena sarjana-sarjana yang terakhir inilah yang di samping telah dibekali pengetahuan linguistik memiliki tentang Mengajarkan Bahasa (Language Teching) dan Belajar Bahasa (Language Learning).
Syarat ke tiga yang barangkali merupakan syarat terpenting dalam rangka penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia, adalah guru-guru Bahasa Indonesia yang mampu menerapkan atau mendasarkan pengajaran bahasa Indonesianya di sekolah-sekolah dengan linguistik. Tentunya guru-guru bahasa Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan tinggi di IKIP yang mempunyai kans yang lebih banyak dalam hubungan ini. Hanya saja tenaga-tenaga guru bahasa Indonesia yang sekarang sudah banyak disumbangkan oleh IKIP kebanyakan masih muda usia (kurang berpengalaman) dan juga kurang “keberanian” memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia. Dikatakan demikian karena sikap yang tidak simpatik dari guru-guru bahasa Indonesia angkatan tua dan sistem ujian lama yang masih berjalan rupanya tidak merupakan iklim yang baik untuk memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia pada masa sekarang ini. Namun bisa kita pastikan dalam hubungan ini adalah pastinya linguistik akan diterapkan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang, karena masa-masa itu dan masa-masa sesudahnya adalah Guru-guru Bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh IKIP.
Di samping persyaratan teknis ilmiah seperti yang diuraikan di atas ini sudah tentu sangat diperlukan aspirasi partisipasi yang positif dari pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen P. dan K. dengan memberikan fasilitas serta biaya untuk melaksanakan ide penerangan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.
Tanpa kedua hal yang terakhir ini, sulitlah kita berbicara tentang kemajuan apalagi tentang peningkatan mutu Pengajaran Bahasa Indonesia yang sering disarankan oleh masyarakat, para ahli/pendidik dan oleh pemerintah. Demikianlah sebuah pandangan tentang hubungan linguistik dengan Pengajaran Bahasa Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan penerapannya ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dalam kesederhanaannya ini bisa dipahami oleh semua pihak dan lebih dari pada itu diharapkan uraian ini dapat merangsang pemikiran-pemikiran yang tentunya harus lebih serta mendetail. Jika hal itu bisa tercapai, tercapai pulalah maksud utama uraian ini.
Catatan:
1)Lihat: Mary R. Haas, The Application of Linguistics to Language Teaching, (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807).
2) Lihat: A.H. Gleason Jr. An Introduction to Descriptive Linguistics, 1961: 1-2.
3)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 807.
4)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 809.
5)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 813.
6)Lihat: Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 50.
7)Ibid hal. 52.
8)Lihat: Harold B. Allen, Teaching English as a Second Language, 1965: 84-87.
9)Ibid. hal. 322-325.
10)op. cit. Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 52.
11)op. cit. A.L. Kroeber, 1985: 811-814.
12)Lihat: Anton Muljono; Suatu Reorientasi dalam Tatabahasa Indonesia (termuat dalam Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru, Jakarta, 1967: 45-69).
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

Dasar-dasar Pemahaman Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya untuk meningkat mutu pendidikan tersebut telah dan terus dilakukan, mulai dari berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum secara poriodik, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sampai dengan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun, indikator ke arah mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas pendidikan ini ditempuh dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan kebutuhan masa depan yang akan dihadapi siswa sebagai warga bangsa agar mereka mampu berpikir global dan bertindak sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal (think globally but act locally), mengingat dunia telah menjadi “kampung global” (McLuhan, 1969), sebagaimana dikutip kembali oleh Kniep (1989).
Upaya sentralnya berporos pada pembaruan kurikulum pendidikan. Sebagai usaha terencana, pembaruan kurikulum ini tentulah didasari oleh alasan-alasan yang jelas dan substantif serta mengarah pada terwujudnya sosok kurikulum yang lebih baik, dalam arti yang seluas-luasnya, dan bukan sekedar demi perubahan itu sendiri. Ini berarti, pembaruan kurikulum selayaknya diabdikan pada terwujudnya praktik pembelajaran yang lebih berkualitas bagi siswa, menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, baik dalam kaitannya dengan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar mandiri.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang disosialisasikan sejak pertengahan tahun 2001 oleh Departemen Pendidikan Nasional (yang diterapkan secara resmi pada tahun ajaran 2004/2005) dan Kurikulum Tingkat Satuan Oendidikan (KTSP) yang dilaksanakan mulai tahun 2006/2007 (lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006) juga ingin mengantisipasi perubahan dan tuntutan masa depan yang akan dihadapi siswa sebagai generasi penerus bangsa. Langkah ini dilakukan setelah diketahui bahwa kurikulum yang telah diterapkan selama ini, yaitu Kurikulum1994, mayoritas masih berbasis materi. Di samping itu, penjabaran materi antarkelas tidak dapat dilihat dengan jelas kesinambungannya.
KBK yang telah banyak digunakan di beberapa negara, misalnya Singapura, Australia, dan Inggris (Boediono dan Ella, 1999) ini, di Indonesia baru dilaksanakan secara bertahap di semua jenjang pendidikan mulai tahun ajaran 2002, dan dilaksanakan secara menyeluruh pada tahun ajaran 2004. Hanya saja, setelah sekian tahun berjalan, hasilnya belum siginifikan. Hal ini sebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, konsep KBK itu sendiri yang belum dipahami secara benar oleh guru sebagai ujung tombak di kelas. Akibatnya, ketika guru melakukan penjabaran materi dan program pengajaran, tidak sesuai dengan harapan KBK. Kedua, draf kurikulum yang terus-menerus mengalami perubahan. Akibatnya, guru mengalami kebingungan rujukan sehingga muncul kesemrawutan dalam penerapannya. Ketiga, belum adanya panduan strategi pembelajaran yang mumpuni, yang bisa dipakai pegangan guru ketika akan menjalankan tugas instruksional bagi siswanya. Akibatnya, ketika melaksanakan pembelajaran, guru hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya, yang mayoritas berbasis materi, sehingga tidak ada kemajuan yang berarti.
Tanpa menunggu waktu lama, kegagalan KBK tersebut – kalau memang disebut gagal (?) – dibenahi dan disempurnakan dengan munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan KTSP ini diharapkan celah kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam KBK bisa ditanggulangi, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Terlepas dari kelemahan-kelemahamn tersebut, pembelajaran berbasis kompetensi– sebagaimana harapan KBK dan KTSP– harus dilaksanakan di semua kelas pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Hal ini berarti guru harus mempunyai wawasan yang cukup tentang strategi pembelajaran mata pelajaran yang diampunya, minimal dalam bentuk panduan yang dapat dipakai sebagai pegangan ketika akan melaksanakan pembelajaran di kelas.
Upaya pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah juga untuk menjawab kebelumberhasilan tersebut. Bahkan, lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pedidikan Nasional tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi pada Pasal 1 dan Pasal 2 dinyatakan sebagai berikut.

Pasal 1
(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan pada :
a.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;
b.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;
c.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
d.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3)Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(4)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP.
(5)Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah.

Pasal 2
(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran 2006/2007.
(2)Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling lambat tahun ajaran 2009/2010.
(3)Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007.
(4)Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan :
a.Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar luar biasa (SDLB):
- tahun I : kelas 1 dan 4;
- tahun II : kelas 1,2,4, dan 5;
- tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.
b.Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) :
- tahun I : kelas 1;
- tahun II : kelas 1 dan 2;
- tahun III : kelas 1,2, dan 3.
(5)Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.

Berdasarkan isi yang tertuang dalam pasal 1 dan pasal 2 di atas, mulai tahun ajaran 2006 semua tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah harus mengembangkan dan menerapkan kurikulum berbasis standar isi dan standar kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah secara kreatif dan sesuai dengan kebutuhan, dengan memperhatikan panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Mengapa pembelajaran berbasis kompetensi?
Tentang kompetensi ini ada beberapa rumusan atau pengertian yang perlu dicermati.
a.Kompetensi (competence), menurut Hall dan Jones (1976), adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur.
b.Spencer dan Spencer (dalam Yulaelawati, 2004) mengatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecaapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Ini berarti bahwa kompetensi tersebut cukup mendalam dan bertahan lama sebagai bagian dari kepribadian seseorang sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku seseorang ketika berhadapan dengan berbagai situasi dan masalah; kompetensi dapat menyebabkan atau memprediksi perubahan tigkah laku; dan kompetensi dapat menentukan dan memprediksi apakah seseorang dapat bekerja dengan baik atau tidak dalam ukuran yang spesifik, tertentu, atau standar.
c.Lebih teknis lagi, Mardapi dkk. (2001) merumuskan bahwa kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan kedua hal tersebut dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja. Rumusan Marlupi dkk ini jelas dipengaruhi pendapat Adams (1995) bahwa pada hakikatnya dunia industri dapat menentukan standar kompetensi lulusan berupa pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai seseorang agar memiliki kompetensi untuk memasuki dunia kerja, mengingat dunia usaha dan industrilah yang kemudian me-manfaatkan hasil tamatan sekolah.
d.Richards (2001) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan menggunakan lulusan sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan tugas dan pekerjaan yang kelak akan dilakukan oleh siswa.
e.Sementara itu, Puskur, Balitbang, Depdiknas (2002) memberikan rumusan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan , keterampilan, dan nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Yang jelas, berbagai rumusan tentang kompetensi tersebut pada dasarnya adalah daya cakap, daya rasa, dan daya tindak seseorang yang siap diaktualisasikan ketika menghadapi tantangan kehidupannya baik pada masa kini maupun masa akan datang.
Apabila dianalisis lebih lanjut, kompetensi ini dapat terdiri atas beberapa aspek. Bloom dkk. (1956), misalnya, menganalisis kompetensi ini menjadi tiga aspek, yang masing-masingnya mempunyai tingakatan berbeda, yaitu (1) kompetensi kognitif, (2) kompetensi afektif, dan (3) kompetensi psikomotorik. Sementara itu, Hall dan Jones membedakan kompetensi menjadi lima jenis, yaitu (1) kompetensi kognitif, yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, dan perhatian; (2) kompetensi afektif, yang meliputi nilai, sikap, minat, dan apresiasi; (3) kompetensi penampilan, yang meliputi demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik; (4) kompetensi produk, yang meliputi keteram-pilan melakukan perubahan; (5) kompetensi eksploratif atau ekspresif, yang menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai kegunaan dalam prospek kehidupan.
Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatakan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya. Ini berarti, apabila selama ini orientasi pembelajaran lebih ditekankan pada aspek “pengetahuan” dan target “materi” yang cenderung verbalistis dan kurang memiliki daya terap, saat ini lebih ditekankan pada aspek “kompetensi” dan target “keterampilan”. Lewat pembelajaan berbasis kompetensi ini, diharapkan mutu lulusan lebih bermakna dalam kehidupannya.

Apa perbedaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu?
Pengertian KBK dan KTSP
Apa sebenarnya kurikulum berbasis kompetensi atau KBK? A competency-based curriculum strats with identification of the competencies each leaner is expected to master, states cear-ly the criteria and conditions by which performance will be asses-sed, and defines the learning activities that will lead to the leaner to mastery of the targeted competency (@MATEC, 2001). Senada dengan itu, Puskur (2002) menyatakan bahwa KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. Batasan tersebut menyiratkan bahwa KBK dikembangkan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh kompetensi dan kecerdasan yang mumpuni dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Dalam arti, lewat penerapan KBK ini tamatan diharapkan memiliki kompetensi atau kemampuan akademik yang baik, keterampilan untuk menunjang hidup yang memadai, pengembangan moral yang terpuji, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup yang sehat, semangat bekerja sama yang kompak, dan apresiasi estetika yang tinggi terhadap dunia sekitar. Berbagai kompetensi tersebut harus berkembang secara harmonis dan berimbang (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2001a).
Sementara itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat Panduan Penyusunan KTSP. Panduan ini diharapkan menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. Departemen Pendidikan Nasional mengharapkan paling lambat tahun 2009/2010, semua sekolah telah melaksanakan KTSP.
Berdasarkan pengertian tersebut, perbedaan esensial antara KBK dan KTSP tidak ada. Keduanya sama-sama sperengkat rencana pendidikan yang berorientasi pada kompetensi dan hasil belajar peserta didik. Perbedaannya menampak pada teknis pelaksanaan. Kalau KBK disusun oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas (c.q. Puskur); KTSP disusun oleh tingkat satuan pendidikan masing-masing, dalam hal ini sekolah yang bersangkutan, walaupun masih tetap mengacu pada rambu-rambu nasional Panduan Penyusunan KTSP yang disusun oleh badan indepeneden yang disebur Badan Standar Nasional Pendidiakan (BSNP).

Prinsip-prinsip KBK dan KTSP
Menyadari bahwa pengembangan kurikulum merupakan proses yang dinamis, maka penyusunan dan pelaksanaan KBK didasarkan pada sembilan prinsip, yaitu prinsip:
(1)keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur;
(2)penguatan integritas nasional;
(3)keseimbangan antara etika, logika, estetika, dan kinestika;
(4)kesamaan memperoleh kesempatan;
(5)abad pengetahuan dan teknologi informasi;
(6)pengembangan kecakapan hidup (life skill);
(7)belajar sepanjang hayat;
(8)berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif; dan
(9)pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Prinsip-prinsip itu dikembangkan dan diterapkan dalam rangka melayani dan membantu siswa mengembangkan dirinya secara optimal, baik dalam kaitannya dengan tuntutan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar sepanjang hayat secara mandiri dalam masyarakat.
Hampir sama dengan KBK, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
(1)berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;
(2)beragam dan terpadu;
(3)tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
(4)relevan dengan kebutuhan kehidupan;
(5)menyeluruh dan berkesinambungan;
(6)belajar sepanjang hayat; dan
(7)seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan acuan operasional sebagai berikut.
a.Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
b.Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c.Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah.
d.Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
e.Tuntutan dunia kerja
Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
f.Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
g.Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah.
h.Dinamika perkembangan global
Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.
i.Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
j. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.
k.Kesetaraan Jender
Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.
l.Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.

Karakteristik utama KBK dan KTSP
Berdasar pemahaman tersebut, KBK dan KTSP dikembangkan berdasarkan beberapa karakteristik atau ciri utama. @MA-TEC (2001), misalnya, berfokus pada tiga ciri utama, yaitu (1) berpusat pada siswa (focus on learners), (2) memberikan mata pelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual (provide relevant and contextualzed subject matter), dan (3) mengembangkan mental yang kaya dan kuat pada siswa (develop rich and robust mental models) (@MA-TEC, 2001).
Dengan demikian KBK dan KTSP setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut:
berbasis kompetenesi dasar (curriculum based competencies), buka materi pelajaran);
bertumpu pada pembentukan kemampuan yang dibutuhkan oleh siswa (developmentally-appropriate practice), buka penerusan materi pelajaran;
berpendekatan atau berpusat pembelajaran (learner centered curriculum), bukan pengajaran;
berpendekatan terpadu atau integratif (integrative curriculum atau learning across curriculum), buka diskrit;
bersifat diversifikatif, pluralistis, dan multikultural;
bermuatan empat pilar pendidikan kesejagatan, yaitu belajar memahami (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be oneself), dan belajar hidup bersama (learning to live together); dan
berwawasan dan bermuatan manajemen berbasis sekolah.
Dengan karakteristik tersebut, KBK dan KTSP telah memungkinkan hal-hal berikut.
Terkuranginya materi pembelajaran yang demikian banyak dan padat.
Tersusunnya perangkat standar dan patokan kompetensi yang perlu dikuasai siswa baik kompetensi tamatan, kompetensi umum, maupun kompetensi dasar mata pelajaran.
Terkuranginya beban tugas guru yang selama sangat banyak dan beban belajar siswa yang selama ini sangat berat.
Memperbesar kebebasan, kemerdekaan, dan keleluasaan tenaga pendidikan dan pengelola pendidikan di daerah, dan memperikan peluang mereka untuk berimprovisasi, berinovasi, dan berkreasi.
Terbuknya kesempatan dan peluang bagi daerah (kota dan kabupaten), bakan pengelola pendidikan dan tenaga pendidikan, untuk melakukan berbagai adaptasi, modifikasi, dan kontekstualisasi kurikulum sesuai dengan kenyataan lapangan, baik kenyataan demografis, geografis, sosiologis, kultural, ma-upun psikologis siswa.
Terakomodasinya kepentingan dan kebutuhan daerah setempat, terutama kota dan kabupaten, baik dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan setempat, maupun melestarikan karakteristik daerah, tanpa harus mengabaikan kepentingan bangsa dan nasional.
Terbuka lebarnya kesempatan bagi sekolah untuk mengembangkan kemandirian demi peningkatan mutu sekolah, yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Sementara itu, Puskur (2002) berpegang pada lima karakteristik utama, yaitu (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, (2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, (4) guru bukan satu-satunya sumber belajar, dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Dalam praktiknya, ciri-ciri tersebut harus tecermin dalam pembelajaran.

Jenjang Kompetensi pada KBK dan KTSP
Secara teknis, KBK yang dikembangkan Puskur (2001) mengelompokkan kompetensi menjadi tiga jenjang, yaitu (1) kompetensi tamatan (KT), yaitu kompetensi-kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka menyele-saikan jenjang pendidikan tertentu (SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA), (2) kompetensi umum (KU), yaitu kompetensi-kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka mengikuti mata pelajaran tertentu pada jenjang pendidikan tertentu, dan (3) kompetensi dasar (KD), yaitu kompetensi-kompetensi pokok yang seharusnya dimiliki siswa setelah mereka mengikuti mata pelajaran tertentu pada satuan waktu tertentu (catur wulan atau semester) dan pada jenjang pendidikan tertentu. Kompetensi-kompetensi itu bersifat dinamis, berkembang dari waktu ke waktu, dan berisi deskripsi keterampilan dan pengetahuan yang dapat diaplikasikan tamatan sesuai dengan kebutuhannya (Lihat MDC, 2002). Dalam praktiknya, ketiga jenjang kompetensi ini menjadi acuan guru ketika melaksanakan tugas-tugas instruksional di sekolah.
Kompetensi dasar yang selama ini telah dikenal secara umum adalah membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Untuk hidup di era global ini tidak hanya berbekal calistung, tetapi diperlukan pula kompetensi atau kemampuan pemahaman (comprehension), komunikasi (communication), dan perhitungan (computation). Kompetensi-kompetensi dasar itu masih terlalu umum sehingga perlu dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk kompetensi dasar mini-mal yang lebih terurai dalam kurikulum. Oleh karena itu, definisi kompetensi dasar dalam KBK adalah sekumpulan kemampuan dasar minimal yang perlu dikuasai siswa setelah menyelesaikan serangkaian pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran dan jenjang yang disusun secara teratur dan bermakna (Boediono dan Ella, 1999). “Kompetensi dasar minimal” inilah yang diupayakan guru secara maksimal lewat pembelajaran bagi siswanya.
Senada dengan itu, ”kompetensi tamatan” pada KBK diistilahkan standar ”kompetensi lulusan” pada KTSP, yang secara yuridis termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah. “Kompetensi umum” pada KBK diistilahkan “standar isi” pada KTSP, yang secara yuridis termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Penddikan Dasar dan Menengah. Jenis-jenis kompetensi yang lain, yaitu standar kompetensi dan komptensi dasar, tidak ada perbedaan istilah antara KBK dan KTSP.
Penerapan Kompetensi dalam pembelajaran
Dalam rangka pencapaian standar kompetensi perlu upaya-upaya terencana dan konkret berupa kegiatan pembelajaran bagi siswa. Kegiatan ini harus dirancang sedemikian sehingga mampu mengembangkan kompetensi baik ra-nah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, keahlian guru dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan standar kompetensi yang akan dicapai, strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan, sangat diperlukan (Lihat Irianto, 2002).
Ada berbagai model pembelajaran yang bisa digunakan guru, misalnya pembelajaran langsung, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis pada masalah, pembelajaran yang berbasis kompetensi, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, belajar tuntas, konstruktivisme, dan sebagainya. Dari sekian banyak model tersebut, pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran dengan pendekatan kontektual menjadi pilihan utama dalam panduan ini karena dua hal. Pertama, kehadiran KBK dam KTSP dijiwai oleh “semangat” kompetensi yang hendak dicapai lewat pembelajaran. Hal ini terbukti dalam penderetan “kompetenesi dasar” yang diikuti dengan “materi pokok” dan “indikator pencapaian hasil belajar” pada Bab 2 buku KBK dan Standar Isi pada KTSP. Kedua, kompetensi akan lebih cepat tercapai apabila dalam pembelajarannya didukung oleh konteks atau kenyataan yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana sosok KBK?
KBK yang dikembangkan Depdiknas (Puskur, 2002) merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu (1) Kurikulum dan Hasil Belajar, (2) Penilaian Berbasis Kelas, (3) Kegiatan Belajar Mengajar, dan (4) Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Keempat komponen KBK ini merupakan satu kesatuan yang utuh karena dalam praktiknya komponen-komponen ini saling menunjang. Apabila didiagramkan, keterkaitan keempat komponen tersebut terlihat sebagai berikut.
















Secara garis besar, rumusan kompetensi dalam KBK merupakan pernyataan tentang apa yang diharapkan dapat diketahui (aspek kognitif), disikapi (aspek afektif), dan dilakukan siswa (aspek psikomotor), dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Keempat komponen KBK ini dalam rangka “mengabdi” ketercapaian kompetensi tersebut.

Kurikulum dan Hasil Belajar (KHB)
KBH ini memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan, yaitu sejak TK/RA sampai dengan kelas 12. Kompetensi yang menyeluruh – dari jenjang prasekolah sampai dengan kelas 12 – ini rangkaian kompetensi yang memungkinkan siswa untuk maju secara bertahap, berkelanjutan, dan konsisten dalam pendidikan seiring dengan perkembangan dan kematangan psikologisnya. Dengan pemajangan kompetensi ini tidak hanya pengelola pendidikan (terutama guru) saja yang paham tentang hasil belajar yang diharapkan dicapai siswa pada setiap jenjang pendidikan, tetapi juga siswa dan orangtua. Pada sisi lain, dengan KBH ini guru tetap memperoleh kelonggaran untuk memilih, menentukan, dan mengembangkan pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswanya untuk mencapai hasil belajar yang masimal. KBH ini juga mem-berikan kesempatan guru untuk mengembangkan program pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kehidupan, keadaan sekolah atau lingkungan, dan kebutuhan serta kemampuan siswa.

Penilaian Berbasis Kelas (PBK)
PBK ini memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan stan-dar yang harus dicapai, peta kemajuan belajar siswa, dan pelaporan. Penilaian ini disebut berbasis kelas karena penilaian ini dilaksanakan secara terpadu dalam pembelajaran di kelas.
Dalam praktiknya, PBK ini bisa dilakukan melalui pengumpulan kerja siswa (potofolio), hasil karya (product), penugasan (project), kinerja (performance), dan tes tulis (paper and pencil). Hasil PBK ini berguna untuik lima hal, yaitu:
(1)umpan balik bagi siswa tentang kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajar;
(2)memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa untuk melakukan pengayaan dan remidiasi;
(3)umpan balik bagi guru untuk memperbaiki program pembelajarannya;
(4)memungkinkan siswa mencapai kompetensi dengan kecepatan berbeda-beda; dan
(5)memberi informasi yang lebih komuniukatif kepada stakeholder tentang efektivitas pendidikan sehingga meningkat partisipasinya.

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
KBM ini memuat gagasan-gagasan pokok pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. Komponen ini menyebutkan bahwa belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna dan pemahaman. Dengan demikian, dalam praktiknya, guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar tetap ada pada diri siswa sendiri, sedangkan guru bertanggung jawab menciptakan situasi yang menyenangkan, yang bisa mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
KBM dalam KBK ini memegang sepuluh prinsip pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
1.Berpusat pada siswa. Setiap siswa adalah unik karena berbeda dlam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Jadi, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu bera-gam sesuai dengan karakteristik siswa. KBM perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan mendorong siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
2.Belajar dengan melakukan. KBM perlu memberikan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah, dan prinsip disiplin ilmu yang dipelajari siswa. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan, menganalisis, melakukan, dan menyimpulkan sendiri kompetensi yang harus dikuasai sebagai hasil belajar.
3.Mengembangkan kemampuan sosial. Siswa – sebagai makhluk sosial – akan lebih mudah membangun dan mengembangkan pemahaman melalui interaksi soial, yaitu mengomunikasikan gagasannya dengan siswa lain atau gurunya. Untuk meningkatkan terjadinya perbaikan pemahaman siswa, KBM bisa dirancang dalam bentuk diskusi, tanya jawab antarteman, dan bekerja sama dalam melakukan kegiatan tertentu. Dengan demikian, KBM memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan, prestasi) dan berlatih untuk bekerja sama. KBM perlu dirancang untuk mendorong siswa mengembangkan empatinya sehingga dapat mengembangkan saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
4.Mengembangkan keingingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. Siswa – sebagai manusia – dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu; imajinasi yang dimilikinya sebagai modal untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif; sedangkan fitrah ber-Tuhan sebagai modal untuk bertaqwa kepada Tuhan. KBM, bagaimana pun jenisnya, diupayakan bisa mengembangkan rasa keingintahuan siswa, menyuburkan imajinasi, dan memperkuat rasa ketaqwaan kepada Tuhan.
5.Mengemnbangkan keterampilan pemecahan masalah. Siswa perlu dilatih memecahkan masalah agar bisa menguasai tantangan kehidupannya. KBM hendaknya mampu mendorong dan melatih siswa untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkannya dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. KBM hendaknya juga bisa merangsang siswa untuk secara aktif mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dengan menggunakan pola pikir kritis, logis, dan ilmiah.
6.Mengembangkan kreativitas siswa. Siswa memiliki potensi untuk berbeda dalam hal pola pikir, daya ima-jinasi, fantasi, dan hasil karyanya. Oleh karena itu, KBM perlu dirancang untuk memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi sehingga kreativitas siswa bisa terbangun dan berkembang secara optimal.
7.Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi. Siswa perlu mengenal penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini. KBM perlu memberikan peluang agar siswa memperoleh infor-masi dari multimedia, setidaknya dalam penyajian materi dan penggunaan media pembelajaran. Penggunaan media yan bervariasi ini merupakan konsekuensi logis dari variasi pendekatan yang dipilih guru untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
8.Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik. Dalam KBK dijelaskan bahwa siswa perlu memperoleh wawasan dan kesadaran untuk menjadi warga negara yang produktif dan bertanggung ja-wab. Dengan demikian, KBM perlu memberikan wawasan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat membekali siswa agar menjadi warga masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab. KBM juga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran sis-wa akan kemajemukan bangsa akibat keragaman latar belakang geografis, budaya, sosial, adat isti-adat, agama, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Juga, hendaknya KBM mampu menggugah kesadaran siswa akan hal dan kewajiban sebagai warga negara.
9.Belajar sepanjang hayat. Kemampuan afektif ini diperlukan siswa untuk ketahanan fisik dan mentalnya. KBM harus bisa mendorong siswa untuk dapat melihat dirinya sendiri secara positif dan apa adanya. Sehubungan dengan itu, siswa perlu dibekali dengan keterampilan belajar yang meliputi rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama supaya dirinya terdorong untuk selalu belajar di mana saja, dari apa/siapa saja, dan dalam keadaan apa saja.
10.Perpaduan kompetisi, kerja sama, dan solidaritas. KBM juga perlu memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi secara positif, bekerja sama, dan solidaritas; selain mengem-bangkan belajar secara mendiri. KBM yang memenuhi ketiga hal tersebut dan yang bercirikan individual-competitive dan collaborative-cooperative memerlukan kemampuan dan keterampilan guru dalam mengelola ruang kelas, mengelola siswa, dan mengelola kegiatan pembelajaran.

Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (PKBS)
PKBS memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar, yang dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, KBK mengakomodasi berbagai perbedaan secara tanggap budaya dengan mensinergikan aneka ragam kepentingan dan kemampuan daerah. Melalui PKBS ini, KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan pembelajaran untuk semua siswa terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan gender. Dengan demikian, sebagai implementasi dari pengembangan KBK, PKBS ini merupakan kesatuan pengembangan yang utuh dalam disentralisasi kurikulum daerah, mulai dari pengembangan silabus, pengembangan dan penetapan materi yang diperlukan di sekolah atau daerah, pelaksanaan kurikulum, dan pegembangan sistem pemanatauan (monitoring).
Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum nasional dalam KBK mencakup dua inovasi pendidikan, yaitu (1) berfokus pada standar kompetensi dan hasil belajar, dan (2) mendesentralisasikan pengembangan silabus dan pelaksanaannya. Kedua inovasi ini sesuai dengan prinsip “kesatuan dalam kebijakan” dan “keragaman dalam pelaksanaan”. Prinsip pertama terlihat pada adanya penetapan standar kompetensi dan hasil belajar oleh Pusat; sedangkan prinsip kedua ditandai oleh adanya pengembangan silabus oleh Daerah, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.
Alur pengembangan KBK terlihat pada diagram di bawah ini.














Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi




Bagaimana implikasi atas PKBS ini bagi daerah atau sekolah?
(1)Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum menjadi dinamis dengan pemecahan masalah yang secara langsung dapat ditangani pada tingkat sekolah atau daerah.
(2)Pengelolaan kurikulum sepenuhnya ditangani oleh sekolah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
(3)Pemberdayaan tenaga kependidikan yang berpotensi di daerah untuk dilibatkan dalam penyusunan silabus, pelaksanaan, dan penilaiannya.
(4)Pemanfaatan sumber-sumber daya pendidikan lainnya yang terdapat di daerah untuk penyusunan silabus.
(5)Penggunaan sumber-sumber informasi lain termasuk multimedia yang bermanfaat untuk memperkaya penyusunan silabus dan pelaksanaannya.
(6)Pembentukan tim pengembang kurikulum dan jaringan kurikulum.
(7)Pengembangan sistem informasi kurikulum melalui WEB.

Bagaimana sosok KTSP?

Sebagaimana Panduan Penyusunan KTSP yang disusun oleh BSNP, KTSP ada empat komponen, yaitu (1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, (2) struktur dan muatan KTSP, (3) kalender pendidikan, dan (4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)
Komponen 1: Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Komponen 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam Standar Isi, yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran sebagai berikut.
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kelompok mata pelajaran estetika
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7.
Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
Mata pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi.
Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik.
Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier.
Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Pengaturan Beban Belajar
Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standar.
Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar.
Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.
Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.
Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.
Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka.
Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut.
Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.

Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan
Kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan mengacu kepada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.
Pendidikan Kecakapan Hidup
Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.
Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran.
Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

Komponen 3: Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.

Komponen 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
Silabus ini merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.

Secara dokumentatif, komponen KTSP tersebut dikemas dalam dua dokumen:
Dokumen I memuat acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan kTSP, dan kalender pendidikan
Dokumen II memuat silabus dari sk/kd yang dikembangkan pusat dan silabus dari sk/kd yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan).
Secara garis besar, struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut.

A. Sruktur KTSP Dokumen 1

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang (dasar pemikiran penyusunan KTSP)
B.Tujuan Pengembangan KTSP
C.Prinsip Pengembangan KTSP
Catatan:
Prinsip pengembangan KTSP sesuai dengan karakteristik sekolah yang bersangkutan.

BAB II . TUJUAN PENDIDIKAN
A.Tujuan pendidikan (Disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)
B.Visi Sekolah
C.Misi Sekolah
D.Tujuan Sekolah
Catatan:
Penyusunan visi, misi, tujuan satuan pendidikan bisa dilakukan dengan tiga tahap:
Tahap 1 : Hasil Belajar Siswa
Apa yg hrs dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah mereka menamatkan sekolah?
Tahap 2 : Suasana Pembelajaran
Suasana pembelajaran seperti apa yg dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu?
Tahap 3 : Suasana Sekolah
Suasana sekolah – sebagai lembaga/organisasi pembelajaran – seperti apa yg diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa?

BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM
Meliputi Sub Komponen:
A.Mata pelajaran
Berisi “Struktur Kurikulum Tingkat Sekolah” yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian SKL.
Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain:
mengatur alokasi waktu pembelajaran “tatap muka” seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan Ketrampilan/Bahasa asing lain);
memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru;
mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum; dan
tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi.

B.Muatan lokal
Berisi tentang: Jenis, Strategi Pemilihan dan pelaksanaan Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal-hal sbb:
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.
Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mapel lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi Mapel tersendiri;
Merupakan Mata pelajaran wajib yang tercantum dlm. Struktur kurikulum;
Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka).
Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester, mengacu pada: minat dan atau karakteristik program studi yang diselenggarakan di sek.
Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran, sesuai dengan minat dan prog. Mulok yang diselenggarakan sekolah.
Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, Contoh:
- Bdg. Budidaya: Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, pembibitan ikan hias dan konsumsi, dll
- Bdg. Pengolahan: Pembuatan Abon, Kerupuk, Ikan Asin, Baso dll.
- Bdg. TIK dan lain2: Web Desain, Berkomunkasi seb. Guide, akuntansi komputer, Kewirausahaan dll
Sekolah harus menyusun SK, KD dan Silabus untuk Mata pelajaran Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.
Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok
C.Kegiatan Pengembangan diri
Bertujuan memberikan kesempatan kpd peserta didik utk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dg kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta didik, dan kondisi sekolah.
Dapat dilaksanakan dalam bentuk keg:
Pelayanan Konseling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karir ), dan atau
pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti: Kepramukaan, Kepemimpinan, KIR dll.
Bukan Mata Pelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD dan silabus.
Dilaksanakan melalui Ekstra kurikuler
Penilaian dilakukan secara kualitatif (deskripsi), yang difokuskan pada “Perubahan Sikap dan Perkembangan Perilaku Peserta Didik setelah mengikuti kegiatan pengembangan diri.
D.Pengaturan beban belajar
Berisi tentang jumlah beban belajar per MP, per minggu per semester dan per Tahun Pelajaran yang dilaksana-kan di sekolah, sesuai dg. alokasi waktu yang tercantum dlm. Struktur Kurikulum
Sekolah dapat mengatur alokasi waktu utk setiap MP pada smt ganjil dan genap dlm satu th pelajaran sesuai dg. Kebutuhan, tetapi Jml. Beban belajar per tahun secara keseluruhan tetap.
Alokasi waktu kegiatan Praktik diper-hitungkan sbb: 2 JPL praktik di seko-lah setara dg 1 JPL ttp muka, dan 4 JPL praktik di luar sek setara dg 1 JPL ttp muka.
Sekolah dpt memanfaatkan alokasi Tambahan 4 JPL dan alokasi waktu penugasan terstruktur (PT) dan penugasan tidak terstruktur (PTT) sebanyak 0% – 60% per MP (Maks. 60 % X 38 JPL = 22 Jpl) untuk kegiatan remedial, pengayaan, penambahan jam praktik dll, sesuai dg potensi dan kebutuhan siswa dlm mencapai kompetensi pd. Mata pelajaran tertentu.
Pemanfaatan alokasi waktu PT dan PTT, harus dirancang secara tersistem dan terprogram menjadi bagian integral dari KBM pada Mapel ybs,
Alokasi waktu PT dan PTT tidak perlu dicantumkan dalam struktur kurikulum dan silabus, tetapi dicantumkan dalam Skenario Pembelajaran, Satpel.
Sekolah harus mengendalikan agar pemanfaatan waktu dimaksud dapat digunakan oleh setiap guru secara efisien, efektif, dan tidak membebani siswa.

E.Ketuntasan Belajar
Berisi tentang Kriteria dan melanisme penetapan Ketuntasan Minimal Per Mata Pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dg mempertimbangkan hal-hal sbb:
Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0 – 100 %, dgn batas kriteria ideal minimum 75 %.
Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per MP dg mempertimbangkan: kemampuan rata2 siswa, kompleksitas, SD pendukung.
Sek dpt menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, ttp secara bertahap hrs dpt mencapai kriteria ketuntasan ideal

F.Kenaikan Kelas, dan kelulusan
Berisi tentang kriteria dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta streategi penanganan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh Sekolah. Program disusun mengacu pada hal2 sebagai berikut:
Panduan kenaikan kelas yang akan disusun oleh Dit. Pembinaan SMA
Sedangkan ketentuan kelulusan akan diatur secara khusus dalam peraturan tersendiri.

G.Penjurusan
Berisi tentang kriteria dan meka-nisme Penjurusan serta strategi-/kegiatan Penelusuran bakat, minat dan prestasi yang diberlakukan oleh Sekolah, yang disusun dengan mengacu pada:
Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.

H.Pendidikan kecakapan Hidup
Bukan mata pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integral dari semua MP.
Tidak masuk dalam struktur kurikulum.
Dapat disajikan secara terintegrasi dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan ecara khusus.
Substansi Kecakapan Hidup meliputi: Kecakapan pribadi, sosial, akademik dan atau vokasional.
Untuk kecakapan vokasional, dapat diperoleh darisatuan pend ybs, al melalui mapel Mulok dan atau mapel Keterampilan.
Bila Sk dan KD pd mapel keterampilan tidak sesuai dg kebutuhan siswa dan sekolah, maka sek dpt mengembangkan SK, KD dan Silabus keterampilan lain sesuai dg kebutuhan sekolah.
Pembelajaran mapel keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif melalui Intra kurikuler.
Pengembangan SK,KD, Silabus dan Bahan Ajar dan Penyelenggaraan Pembelajaran Keterampilan Vokasional dpt dilakukan melalui kerjasama dengan satuan pend formal/non formal lain.

I.Pendidikan berbasis Keunggulan Lokal dan Global
Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global.
Substansinya mencakup aspek: Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, ekologi, dan lain- lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.
Dapat merupakan bagian dari semua MP yg terintegrasi, atau menjadi mapel Mulok.
Dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau satuan pendidikan nonformal.

Catatan: Untuk PLB/PK ditambah dengan Program Khusus

BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dng kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.

Contoh pengembangan KTSP bisa dilihat pada Lampiran 1.


B. Struktur KTSP Dokumen 2

A.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN PUSAT
B.SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN SEKOLAH (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)

SD/MI
A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III)
B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI)
C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)
D.Silabus Keagamaan (Khusus MI)

SMP/MTs
A.Silabus Mata Pelajaran (Kelas VII, VIII dan IX)
B.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)
C.Silabus Mapel IPA dan IPS Terpadu (Kelas VII, VIII, dan IX)
D.Silabus Keagamaan (Khusus MTs)

SMA/MA
A.Silabus Mata Pelajaran Wajib
- Kelas X – 16 Mapel
- Kelas XI, XII – IPA – 13 Mapel
- Kelas XI, XII – IPS – 13 Mapel
- Kelas XI, XII – Bahasa – 13 Mapel
B. Silabus Mulok
C. Silabus Keagamaan (Khusus MA)

SMK
A.Silabus Mata Pelajaran Wajib
B.Silabus Mulok

PLB/PENDIDIKAN KHUSUS
A.Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III : SDLB-A,B,D,E, Semua Kelas SDLB, SMPLB dan SMALB : C, C1,D1, dan G)
B.Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI : SDLB-A,B,D,E dan SMPLB dan SMALB : A, B, D, E)
C.Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (Jika Ada)
D.Silabus Program Khusus (Untuk SDLB dan SMPLB)


Uraian lebih lanjut silakan baca KTSP: pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008) ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...