Oleh: Zulvina Narida Anom
ABSTRAK
Jurnalisme sastra adalah berita yang ditulis dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subjek, pembaca mengimajikan tampakan fakta yang dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan ketepatan diksi didasarkan pada sudut pandang jurnalis untuk membentuk konstruksi realitas. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhadap realitas yang diberitakan.
Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh deskripsi tentang penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan diksiuntuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial; kedua, mendeskripisikan gaya bahasa untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dianggap relevan untuk penelitian jurnalistik. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks berita laporan utama dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca sumber data dengan menjadikan peneliti sebagai human instrument. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikasi, menafsirkan, dan mendeskripsikan data, kemudian mengambil kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan. Pertama penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi, dan (b) penggunaan gaya bahasa. Kedua, pemilihan diksi dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Ketiga, penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, peneliti selanjutnya, dan bagi majalah Tempo. Semua pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian dengan pengetahuan jurnalisitk, sehingga mereka dapat lebih memahami dan mengetahui tentang jurnalistik, khususnya jurnalisme sastra.
Kata Kunci : jurnalisme sastra, konstruksi realitas, majalah
Jurnalistik yang merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa (Kusumaningrat, 2006:15) membutuhkan media untuk menyampaikan hasil pekerjaannya kepada masyarakat. Dalam jurnalisme, beberapa teknik penulisan berita dengan pemaparan tergantung pada jenis berita agar memudahkan penyampaiannya kepada pembaca. Perkembangan teknik penulisan jurnalistik kemudian semakin berkembang melihat bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter dan keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual. Salah satu teknik penulisan berita baru yang digunakan oleh beberapa media massa yakni jurnalisme sastra atau literary journalism.
Jurnalisme sastra adalah salah satu dari empat jenis jurnalisme baru yang lahir dari upaya praktisi jurnalistik dalam memperbarui teknik penyampaian berita dari jurnalistik konvensional.Gaya fiksi digunakan sebatas pada gaya pemaparan berita dengan pemilihan diksi dan gaya bahasa untuk memenuhi unsur naratif dan dramatikal tulisan. Penulisan jurnalistik bukan lagi sekedar upaya untuk menampilkan nilai-nilai human interest secara lebih dramatis, tetapi juga menampilkan substansi berita sebagai sarana informasi. Jurnalis baru mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional, mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis sedang berlangsung di lokasi (Kurnia, 2002:5).
Penyajian berita yang lebih mengutamakan substansi berita yang dikemas dengan gaya fiksi memberi kesempatan pembaca lebih bisa menikmati berita karena pembaca merasa tidak hanya membaca berita melainkan juga mengetahui berita. Para penulis melukiskan adegan-adegan sensorik pada tingkat keintiman yang begitu dekat dengan pengalaman dan sensasi pembaca, sehingga terwujudlah hubungan khusus antara konstruksi teks dan kondisi psikis pembaca, pembaca menyatu dengan penulis dan bersama-sama mereka memahat makna (Kurnia, 2002:135). Narasi berita yang disajikan penulis membuat pembaca seolah mengetahui langsung dari pelaku kejadian maupun saksi kejadian yang diberitakan, sedangkan yang dimaksud memahat makna adalah pembaca dibebaskan untuk membentuk persepsi sendiri atas berita yang disajikan secara subjektif.
Awal kemunculan teknik penulisan berita jurnalisme sastra ini terjadi di Amerika pada tahun 1960-an, dan kemudian banyak dipakai dalam pelaporan berita oleh wartawan sekaligus digunakan oleh sebagian besar kolumnis media cetak. Di Indonesia, teknik penulisan berita ini bisa ditemui dalam koran Kompas, majalah Pantau, majalah Tempo, dan beberapa situs media berita maupun situs jurnal. Penulisan berita ini biasa ditemui dalam laporan utama sebuah media cetak, meski lazimnya laporan utama ditulis dengan teknik penulisan straight news, tetapi beberapa media cetak seperti disebut di atas menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra untuk kepentingan dramatisasi laporan dan membuat berita jadi memikat. Dalam penulisan jurnal maupun artikel non penelitian juga ditemukan beberapa artikel yang menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra dengan tidak mengurangi substansi informasi yang ditulis.
Penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra mempunyai kelebihan dalam hal penyampaian fakta kepada pembaca, dibandingkan dengan teknik penulisan jurnalisme konvensional. Jurnalisme sastra lebih memperkecil adanya kemungkinan fakta yang disembunyikan di balik berita. Berita yang disajikan tidak lagi disampaikan dalam bentuk kronologis, melainkan dalam bentuk pelaporan fakta yang didramatisir sedemikian rupa. Jurnalis mengobservasi objek liputan seperti penulis novel yang mencari dan mendapatkan realitas pengisahan berikut objek kisahnya (Kurnia, 2002:19). Di sinilah terdapat kaitan antara teknik penulisan berita jurnalisme sastra dengan konstruksi realitas yang dibentuk penulis. Pembaca tidak disuguhi informasi-fakta, tetapi rekonstruksi pelbagai kejadian dan tokoh-orang beserta pemaknaannya (Kurnia, 2002:19). Dalam merekonstruksi kejadian yang diberitakan tentu tidak lepas dari kegiatan penyuntingan berita, namun dengan narasi berita yang disajikan menunjukkan kegiatan penulis yang hendak mendapatkan perspektif yang setepat dan secermat mungkin. Dalam kehidupan masyarakat, realitas terkonstruksi bersamaan dengan peran serta media massa. Penulisan berita dalam media inilah yang menjadi berbeda-beda karena masing-masing media memiliki sudut pandang pemberitaan yang layak diberitakan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemberitaan terdapat beberapa keberpihakan media terhadap hal maupun pihak tertentu. Dalam berita terdapat informasi yang dipotong, sedangkan sisi yang lainnya dieksplorasi sedemikian rupa sehingga menjadi berita besar dan hangat dibicarakan masyarakat. Eksplorasi berita yang berlebihan yang dilakukan oleh penulis berita dapat mengakibatkan pembingkaian realitas yang sangat jauh dari kenyataan. Bagi Berger dalam Eriyanto (2007:15), realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing, dan selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2007:16).
Media massa mempunyai peran utama dalam membentuk konstruksi realitas. Sebagai penyampai berita kepada masyarakat, berita yang diproduksi dan telah melewati proses penyuntingan selain berupa informasi faktual juga merupakan konstruk sosial baru. Jurnalisme sastra yang digunakan sebagai teknik penulisan untuk membentuk konstruksi realitas adalah salah satu teknik yang tepat karena kedekatannya dengan tulisan bentuk feature. Di Indonesia, yang menganut falsafah pers Pancasila yang demokratis telah mengatur Undang-Undang RI No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam UU tersebut diatur jurnalisme melalui ketentuan pers, sehingga dalam pemberitaan tidak terlalu mengeksplorasi dan mengeksploitasi berita yang merugikan sumber berita. Setiap berita yang disajikan selalu mempunyai batasan tertentu dalam pelaporannya, artinya tidak semua kejadian peristiwa disajikan sepenuhnya. Pada proses penyuntingan inilah kepentingan konstruksi realitas dimainkan oleh penyunting media massa, karena bagi wartawan segala informasi apapun yang ada di lapangan selayaknya dihimpun dan dilaporkan.
Persyaratan jurnalistik seperti faktual, objektif, akurat, terpercaya, dan penggunaan bahasa yang baik dan benar tetap menjadi soal penting dalam jurnalisme sastra. Pencarian realitas faktual menjadi pekerjaan yang lebih berat, panjang, dan melelahkan (Kurnia, 2000:1). Meskipun teknik penulisan feature merupakan produk gabungan jurnalistik dan sastra, namun jurnlisme sasatra tetap mengutamakan keakuratan berita sebagai syarat utama jurnalistik. Jurnalisme sastra bukan hanya membahas cara membuat laporan seestetis sastra, tetapi sejak awal menekankan bahwa pekerjaan membuat berita sudah dimulai ketika jurnalis mencari bahan berita, menyusunnya, hingga melaporkannya (Kurnia, 2000:1). Dengan demikian, jurnalisme sastra tidak sekedar teknik penulisan berita yang merupakan inovasi menarik minat pembaca, tetapi juga teknik pelaporan berita yang lebih akurat dan mendalam.
Meski jurnalisme sastra sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an dengan nama jurnalisme baru dan pada tahun 1997 istilah jurnalisme sastra dipakai di sebuah buku terjemahan Pedoman untuk Wartawan, namun ulasan mengenai teknik penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra masih sangat jarang ditemui baik dari literatur maupun diskursus wacana. Dengan mempelajari lebih lanjut secara teoritis dan penelitian, diharapkan pengetahuan tentang jurnalistik akan bertambah dan pembahasan mengenai jurnalisme sastra lebih sering ditemui sebagai teknik penulisan berita yang tidak asing lagi. Dengan mempelajari keterkaitan penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi relaitas, akan mampu menambah nalar kritis dalam membaca berita. Berita tidak lagi dipahami sebagai informasi yang diterima dan diserap begitu saja, melainkan diterima dengan sikap skeptis sebelum mempercayai berita sebagai langkah awal mengkritisi fenomena yang yang diberitakan. Sehingga, pengetahuan ini tidak hanya layak diketahui oleh praktisi media saja tetapi juga oleh pembaca berita pada umumnya.
Penelitian mengenai penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo ini difokuskan pada penerbitan bulan Oktober 2008, pada bulan tersebut telah terbit empat edisi masing-masing terbit tiap enam hari sekali. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober pun dipilih penelitian pada rubrik Laporan Utama yang merupakan fokus peliputan berita dalam tiap edisi penerbitan. Pada bulan Oktober tersebut, pemberitaan yang disajikan majalah Tempo cukup menunjukkan representasi penelitian dengan adanya pemberitaan mengenai tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Pemberitaan tokoh tentang kegiatan kampanye para calon presiden, peristiwa tentang pembalakan hutan liar dan krisis ekonomi global, dan tentang setting sosial Indonesia timur.
Penelitian ini secara praktis adalah langkah awal penulis untuk memahami penerapan jurnalisme sastra dalam media cetak. Tempo merupakan media cetak yang sudah sejak lama menggunakan teknik ini. Majalah Tempo terbukti lebih menarik minat banyak pembaca untuk membaca berita yang disajikan. Dibanding majalah Pantau yang juga menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra, majalah Tempo terbukti lebih lama bertahan sebagai majalah berita mingguan sejak tahun 1980-an.
Majalah Tempo memuat tiga belas rubrik, laporan utama dalam majalah Tempo yang merupakan fokus penelitian ini adalah fokus liputan yang disajikan dengan teknik penulisan Jurnalisme Sastra dengan memperhatikan keaktualan berita. Dalam laporan utama majalah Tempo yang dimuat dengan panjang antara 10-17 halaman tergantung panjang berita, penerapan jurnalisme sastra digunakan sebagai teknik penulisan yang memberikan dramatisasi berita namun tetap akurat, tajam, dan objektif. Dengan teknik penulisan jurnalisme sastra, membuat berita yang panjang tersebut tetap menarik untuk diikuti hingga tuntas.
Dengan latar belakang di atas, maka penelitian berjudul“Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008” dapat dikatakan penelitian yang baru. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis, khususnya di Universitas Negeri Malang.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti prinsip kerja metode deskriptif kualitatif. Rancangan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena relevan dengan ciri-ciri penelitian kualitatif. Sebagaimana dikatakan Bogdan dan Taylor (dalam Moelong, 1990:3) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa deskripsi kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Ciri dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) data dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan dan bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis dilakukan secara induktif dan (5) makna merupakan andalan utama.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data yang ada dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tanpa melakukan tindakan merubah ataupun memberikan tindakan tertentu. Kemudian peneliti melakukan analisis deskriptif atas penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tersebut. Peneliti mendeskripsikan penerapan jurnalisme sastra yang digunakan oleh majalah Tempo dalam penulisan rubrik laporan utama melalui penggunaan gaya bahasa dan diksi yang tepat untuk membentuk konstruksi realitas serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketepatan penerapan tersebut.
Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data yang ada dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Pendekatan ini tidak mementingkan jumlah melainkan kadar dari jawaban pertanyaan “bagaimana”. Hal ini sejalan dengan salah satu ciri penelitian kualitatif yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Dengan demikian, peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2000:6). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif.
Selain ciri tersebut, penelitian ini berlatar alamiah dan manusia sebagai instrumen utama. Berlatar alamiah, dalam arti bahwa data dan sumber data pada penelitian ini dibiarkan apa adanya (alami), tidak ada perlakuan khusus terhadapnya. Manusia sebagai instrumen utama merupakan alat pengumpul data utama. Sebagai instrumen utama, peneliti dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian, peneliti dapat menyadari dan mengatasinya (Moleong, 2000:4-5). Di samping itu, orang sebagai instrumen memiliki senjata “dapat memutuskan” yang secara luwes dapat digunakannya. Ia senantiasa dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan.
Suatu penelitian perlu adanya metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Surachmad (1989:131) mengemukakan bahwa metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian Aminuddin (1990:11) menyatakan bahwa dalam memilih suatu metode yang perlu diperhatikan adalah adanya relevansi antara masalah yang dibahas, prediksi gejala yang akan dikaji, serta target yang akan dicapai dengan metode yang akan dipilih. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan/metode penelitian kualitatif.
Pembahasan
Majalah Tempo dianggap sebagai majalah yang kontroversial baik dari segi pemilihan kata maupun dalam hal keberanian mengungkap fakta hasil reportase jurnalis. Majalah Tempo secara terbuka memposisikan diri sebagai media yang oposisi terhadap Pemerintah. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan yang sering memunculkan permasalahan di kalangan pejabat birokrasi Negara. Penggunaan pilihan kata yang berani sesuai dengan fakta hasil reportase juga kerap terkesan mendiskreditkan tokoh, peristiwa, dan setting sosial tertentu.
Diksi digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih kata. Setiap kata yang dipilih oleh jurnalis mengandung tujuan untuk mengonstruksi realitas yang dibentuk. Pilihan kata (diksi) yang tepat, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap pembaca.
Sedangkan gaya bahasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih perumpamaan maupun perbandingan. Gaya bahasa jurnalisme sastra tidak bisa diklasifikasikan tersendiri dari gaya bahasa pada umumnya, karena gaya bahasa merupakan berlaku universal. Dengan gaya bahasa yang dipilih oleh jurnalis memunculkan berita yang disampaikan secara implisit. Sehingga, dalam membaca berita yang disajikan dengan penerapan jurnalisme sastra, pembaca mendapatkan berita yang detil.
Majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menerapkan penulisan jurnalisme sastra dalam memaparkan berita, khususnya dalam rubrik laporan utama dengan penulisan depth news atau laporan yang mendalam. Penerapan jurnalisme sastra bertujuan untuk menarik pembaca terhadap pemberitaan yang dipaparkan secara panjang dan mendetil. Di samping itu, penerapan jurnalisme sastra menggunakan aturan yang lebih lunak bagi jurnalis untuk merefleksikan amatannya melalui pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan fakta liputan. Jurnalis berkesempatan menyampaikan kritik secara implisit dengan tujuan memberikan wacana kritis terhadap masyarakat pembaca.
Diksi yang sering digunakan dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 adalah diksi kata bernilai rasa. Diksi kata bernilai rasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh sesuai dengan karakter yang diamati jurnalis dengan memasukkan penilaian jurnalis terhadap karakter tokoh tersebut. Kata bernilai rasa tinggi akan memiliki dampak yang lebih kuat di benak khalayak dibandingkan dengan kata-kata bernilai rasa rendah (Sumadiria, 2006:30-33). Kata bernilai rasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, bernilai rasa merendahkan atau meninggikan.
Diksi kata abstrak digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan kesan mengaburkan tokoh yang diberitakan. Kata abstrak tidak langsung menunjukkan interpretasi penulis terhadap tokoh secara langsung. Penggunaan kata abstrak memberi peluang bagi pembaca sebagai pembentuk konstruksinya sendiri atas tokoh yang diberitakan. Jurnalis hanya mengemukakan pilihan kata yang menunjuk kepada suatu sifat, konsep, atau gagasan terhadap tokoh. Diksi kata lugas digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh dengan pilihan kata yang bersifat tembak langsung, tegas, lurus, apa adanya, kata-kata yang bersahaja, sekaligus ringkas, tidak merupakan frasa yang panjang, dan tidak mendayu-dayu (Sumadiria, 2006:30-33). Diksi yang digunakan sesuai dengan interpretasi jurnalis tentang ciri yang paling menonjol dari tokoh yang mampu menguatkan pemahaman pembaca.
Dalam pemberitaan, majalah Tempo berani menyajikan berita secara mendalam dan faktual. Independensi majalah Tempo terlihat dari pemberitaan peristiwa yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah, sekaligus keberanian majalah Tempo memberitakan peristiwa yang bersinggungan dengan kritik sosial berbeda dengan media lainnya. Majalah Tempo menghadirkan seri pemberitaan yang menggali sekuen-sekuen berdasarkan rekonstruksi peristiwa-peristiwa paling dramatis (Kurnia, 2002:152).
Diksi kata konkret digunakan untuk memberitakan setting sosial yang mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Setting sosial masyarakat yang diberitakan dengan diksi kata konkret adalah masyarakat yang sudah jelas diketahui mengenai kondisinya. Pilihan kata atau diksi harus mempertimbangkan dimensi sosiologis untuk masyarakat. Sehingga, dalam pemilihan diksi kata konkret jurnalis tidak perlu memunculkan makna lain dari pilihan kata tersebut. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, kata konkret digunakan untuk memaparkan berita sesuai dengan data kuat yang diperoleh dari reportase. Data tersebut dipaparkan dengan pemberitaan yang konkret dengan pilihan kata yang apa adanya sesuai dengan paparan data tersebut. Diksi kata abstrak digunakan untuk menyajikan berita tentang setting sosial dengan latar masyarakat yang kompleks. Gagasan jurnalis terhadap reportase kondisi sosial sangat menonjol dalam menyajikan berita, maka kata abstrak bisa memunculkan makna ambigu. Jurnalis mengonstruk setting sosial dengan kata abstrak yang mampu menggiring pemahaman pembaca dalam memandang masyarakat tertentu sesuai dengan interpretasi penulis.
Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa untuk mengonstruksi tokoh tertentu. Penggunaan gaya bahasa ini disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhdap tokoh yang diberitakan. Setiap penulis memiliki kepribadian dan karakter yang melekat dalam gaya bahasa tulisannya, yang membentuk identitas kewartawanan atau kesastrawanan seseorang (Sumadiria, 2006:145). Gaya bahasa hiperbola digunakan untuk mengonstruksi peristiwa yang dilebihkan oleh jurnalis. Penggunaan gaya bahasa hiperbola untuk menonjolkan kritik maupun prediksi jurnalis atas suatu peristiwa. Pilihan kata yang terkesan membesarkan peristiwa mengonstruk berita sebagai realitas berdasarkan interpretasi jurnalis. Gaya bahasa hiperbola dipilih sesuai dengan gagasan mengenai ide-ide yang sulit diungkapkan dengan kata yang lazim digunakan. Kata berlebihan yang digunakan untuk memberikan konstruksi memberikan vonis suatu terhadap peristiwa.
Gaya bahasa Epitet digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan penyebutan yang dipilih oleh jurnalis. Menurut Keraaf (dalam Sumadiria 2006:167), Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frasa deskriptif yang memerikan atau menggantikan nama sesuatu. Gaya bahasa Epitet digunakan untuk memperhalus justifikasi jurnalis terhadap hasil reportase yang disajikan. Jurnalis menentukan identifikasi terhadap setting sosial yang secara tidak langsung membentuk konstruksi terhadap kondisi masyarakat yang diberitakan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 gaya bahasa Epitet digunakan untuk menyebut negara tertentu sesuai dengan reportase jurnalis.
Gaya bahasa Sinekdoke digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya. Menurut Dale (dalam Sumadiria, 2006:163), Sinekdoke adalah gaya bahasa yang mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, Sinekdoke digunakan dengan menyebut nama negara yang merupakan ungkapan keseluruhan untuk menyebut sesuatu yang menjadi bagian negara tersebut. Jurnalis membentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan identifikasi bagian tertentu dari keseluruhan masyarakat tersebut atau sebaliknya. Sehingga, pembaca berasumsi sesuai dengan ungkapan yang disajikan oleh jurnalis tersebut.
Gaya bahasa Hiperbola termasuk gaya bahasa pertentangan, menurut Tarigan (dalam Sumadiria 2006:153), Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Penggunaan gaya bahasa Hiperbola sarat dengan informasi yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, gaya bahasa Hiperbola digunakan untuk mengonstruk setting sosial yang paling parah. Jurnalis tetap memiliki data akurat untuk kepentingan melebihkan berita tersebut, reportase yang detil dan verifikasi yang bisa dipertanggung jawabkan menguatkan jurnalis untuk menggunakan ungkapan yang hiperbolis.
Kesimpulan
Sebagaimana telah dipaparkan dan dianalisis pada bab sebelumnya, bahwa majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita. Bentuk penerapan tersebut terlihat dari pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa dalam memaparkan berita. Penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional. Perbedaaan tersebut terlihat dari kebebasan jurnalis dalam menggunakan gaya penulisan sesuai dengan sudut pandangnya untuk kepentingan dramatisasi penulisan. Dengan tidak meninggalkan unsur kebenaran berita dan objektivitas penulisan.
Berdasarkan hasil penelitian, yaitu deskripsi data dan analisis data hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
(1) Penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat
dari pemilihan diksi oleh jurnalis untuk memudahkan penyajian berita sehingga dipahami oleh pembaca meliputi diksi kata bernilai rasa, kata lugas, kata konkret, kata abstrak, kata khusus, dan kata umum; dan (b) penggunaan gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat dari gaya penuturan memasukkan unsur sastra untuk menyajikan berita yang enak dibaca dengan pemaparan yang mengalir secara dramatis.
(2) Pemilihan diksi dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh bergantung pada latar belakang tokoh yang diberitakan, jurnalis memaparkan ciri khas karakter tokoh melalui diksi yang digunakan yang bisa dipertanggung jawabkan secara faktual. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang peristiwa yang diberitakan merupakan potongan peristiwa yang dianggap representatif untuk menampilkan fakta, diksi yang digunakan dalam membentuk konstruksi realitas merupakan diksi menurut penilaian jurnalis sebagai orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.
(3) Penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Gaya
bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh memilih kata yang berhubungan dengan karakter atau ciri khas tokoh tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter tokoh tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan karakter tokoh. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi tentang peristiwa memilih kata yang berhubungan dengan kondisi terjadinya peristiwa, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan kondisi peristiwa tersebut, makna konotasi kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan peristiwa secara nyata, beberapa peristiwa yang diberitakan dengan bahasa yang berlebihan disertai dengan data, jurnalis tidak meninggalkan unsur kebenaran berita. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan kondisi latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, sehingga makna konotasi gaya bahasa yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.
Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Aminuddin. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Yogya: Tiara Wacana
Eriyanto. 2007. Analisis Framing. Yogyakarta: LKIS
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit
Harsono, Andreas. 2008. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas
Kurnia, Santana Septiawan. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kusumaningrat, Hikmat. 2006. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Rosda
Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.. Bandung: Rosda
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda
Sumadiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Surachmat, Pawito. 1989. PenelitianBahasa dan Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogya: Tiara Wacana
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda
Rahzen, Taufik. 2007. Tanah Air Bahasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...
Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008
03.39 | Label: Artikel | 17 Comments
Analisis Wacana Iklan Operator Seluler di Jawa Pos-Radar Malang
Oleh
Lie, Michael Eliantono Adiseputra
Abstrak: Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler yang ada di Jawa Pos-Radar Malang bulan Januari—Juni 2009. Data penelitian kualitatif ini berupa satuan wacana yang meliputi kata, frase, dan kalimat dan dianalisis menggunakan teknik analisis wacana deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini adalah deskripsi diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler. Diksi yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah diksi nonkhas dan diksi khas iklan tulis. Piranti kohesi yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler ialah piranti kohesi gramatikal (referensi, substitusi, dan konjungsi) dan leksikal (pengulangan). Struktur wacana yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler ini adalah (1) BU + SBU, (2) BU + SBU + B, (3) BU + SBU + P, (4) BU + SBU + B + P, (5) BU + SBU + P, dan (6) BU + P.
Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, pembuat iklan hendaknya menggunakan kata-kata khusus, dapat memaksimalkan penggunakan jenis diksi yang lebih emotif, memanfaatkan aksen pada butir utama iklan, dan memanfaatkan diksi intertekstualitas dalam iklan. Calon konsumen hendaknya mencermati kata khusus yang digunakan untuk menekankan keuntungan berlebih. Para pendidik dapat memanfaatkan iklan untuk pengajaran tentang diksi. Kedua, pembuat iklan dapat menggunakan substitusi untuk meringkas iklan dan hendaknya lebih sering menggunakan piranti konjungsi contohan dalam iklan, dan menggunakan piranti konjungsi tegasan untuk lebih meyakinkan calon konsumen. Ketiga, pembuat iklan hendaknya menampilkan informasi yang penting untuk diketahui calon konsumen dan menggunakan struktur iklan BU + SBU + B + P. Calon konsumen hendaknya lebih mencermati penutup iklan karena pada umumnya pembuat iklan menyajikan informasi cukup penting pada bagian ini.
Kata Kunci: analisis wacana, iklan cetak, operator seluler
Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mempromosikan suatu produk dan memotivasi pembeli potensial (Agustrijanto, 2006:7). Di sinilah terjadi penyampaian pesan dari produsen yang diwakili biro iklan kepada calon konsumen. Hal ini menandakan terjadinya interaksi searah dalam bentuk komunikasi dari produsen ke calon konsumen.
Pada umumnya iklan tak lepas dari penggunaan bahasa agar pesan dapat diterima dengan baik. Penggunaan bahasa iklan menjadi salah satu aspek penting bagi keberhasilan iklan. Tujuannya untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik dengan sesuatu yang diiklankan.
Penggunaan bahasa dalam iklan membuat iklan dapat digolongkan dalam wacana. Sebagai wacana, iklan memiliki keutuhan makna, sehingga wacana iklan dapat dianalisis secara kebahasaan. Hal-hal yang dapat dianalisis dari wacana iklan di antaranya adalah diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana.
Wacana iklan menarik untuk diteliti karena iklan dapat mengubah prilaku calon konsumen yang awalnya tidak berniat membaca atau mendengarkan sebuah iklan menjadi tertarik untuk menyimak suatu iklan. Bahkan calon konsumen dapat terpengaruh untuk menggunakan produk yang diiklankan (Martutik, 1992:1). Karena topik wacana iklan menarik untuk diteliti, maka dilakukan penelitian wacana iklan operator seluler. Tujuannya ialah mendeskripsikan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler,
METODE PENELITIAN
Penelitian Analisis Wacana Iklan Operator Seluler di Jawa Pos-Radar Malang ini menggunakan rancangan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah satuan-satuan wacana. Satuan-satuan wacana itu berupa kata, frase, dan kalimat yang ada dalam wacana iklan. Ditinjau dari media pemuatan iklan tersebut, data yang ada berupa wacana tulis. Data-data ini bersumber dari iklan operator seluler yang diiklankan pada media cetak Jawa Pos-Radar Malang pada Januari—Juni 2009 yang diseleksi berdasarkan (1) iklan operator seluler berjenis non-advertorial, (2) iklan produk yang menawarkan layanan maupun barang, (3) data yang sama tidak diambil lagi sebagai korpus data. Dari hasil pemilihan ini, data yang terkumpul adalah 93 data iklan operator seluler.
Sesuai dengan ciri penelitian kualitatif, data yang diambil dalam penelitian jenis ini s menunjukkan adanya penggunaan pola yang berulang. Atas dasar itulah, peneliti hanya menggunakan Jawa Pos-Radar Malang sebagai sumber data. Pemilihan media ini sebagai sumber data karena kualitas cetakan lebih baik daripada harian lainnya.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dokumentasi. Setelah itu, peneliti melakukan klasifikasi iklan dengan pengkodean, mencatat diksi, mencatat piranti kohesi, dan struktur wacana yang digunakan pada setiap iklan ke dalam tabel pengamatan, mendeskripsikan, dan menganalisis data tersebut.
Data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis wacana yang dipaparkan secara deskriptif kulitatif, yaitu dengan memaparkan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana iklan operator seluler. Wacana-wacana yang dianalisis adalah wacana yang sesuai dengan kriteria-kriteria iklan yang telah ditentukan sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian terhadap temuan data dapat dideskripsikan diksi, piranti kohesi dan struktur wacana yang terdapat dalam wacana yang terdapat pada wacana iklan cetak operator seluler. Deskripsi hasil penelitian ini akan dilengkapi dengan pembahasan terhadap hasil penelitian.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan agar selaras dengan yang tepat untuk mengungkapkan gagasan sehingga menimbulkan efek tertentu yang diinginkan. Diksi yang ditemukan pada iklan operator seluler yang dianalisis adalah diksi nonkhas dan diksi khas. Diksi nonkhas ialah diksi yang berupa kata umum-khusus, kata abstrak-konkret, kata emotif-kurang emotif (Keraf, 1984; Suparno dan Yunus, 2002), sedangkan diksi khas iklan berupa diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur, dan diksi intertekstualitas (Goddard, 1998).
Penggunaan kata umum dan khusus tampak pada iklan esia berikut.
(1) Hape esia Fu
Mari (a) membuka peruntungan, (b) menggapai kebahagiaan di tahun baru Imlek! Dengan hape esia Fu, sebagai hape pertama di Indonesia yang dilengkapi aplikasi: Fengshui & Fortune Cookies* Kalender Fu (kalender keberuntungan)
Cuma Rp 299 ribu (c) Harga sudah termasuk PPN Gratis 240.000 karakter
SMS Diskon 50% (d) nelpon ke Cina, Hongkong, dan Singapura sepanjang
tahun 2009 dengan menggunakan kode awal 01010. Contoh nelpon ke Cina: 01010861064823600. (H104)
Pada kutipan (1) yang merupakan iklan Hape Esia Fu di atas terdapat dua kata umum (membuka dan harga) dan dua kata khusus. Kata umum itu adalah “membuka” (a) dan “harga” (c), sedangkan kata khusus adalah “menggapai” (b) dan “nelpon” (d).
Kata “membuka” memiliki definisi ‘menjadikan tidak tertutup atau tidak bertutup’. Kata ini memiliki beberapa kata khusus yaitu menyingkap, merintis, mengurai, menanggalkan, meretas, dan mengungkap. Kata “harga” memiliki definisi ‘nilai barang yang ditentukan atau dirupakan dengan uang’. Kata khusus dari harga adalah tarif.
Kata “menggapai” memiliki definisi ‘mengulur-ulurkan tangan hendak mencapai atau memegang’. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa kata umum dari ‘menggapai’ adalah mencapai. Kata “nelpon” yang merupakan ragam cakapan yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari yang berasal dari kata “menelepon”. Kata “menelepon” adalah kata khusus dari bercakap-cakap. Penggunaan kata umum-khusus juga dapat dilihat pada iklan Telkomsel berikut.
(2) SMS PRO mengatur SMS datang biar saat-saat tak terganggu
Dapatkan Telkomsel SMS PRO, (a) layanan terbaru yang memberikan kemudahan dan kelebihan dan ber-SMS.
SMS (b) Auto Reply
Persis email, Anda bisa menjawab pesan secara (c) otomatis.
SMS (d) Copy
SMS (e) dialihkan ke nomor lain, Anda dapat copy-nya, berita pentingpun tak hilang.
SMS (f) Divert
Mengalihkan setiap sms yang masuk ke nomor lain.
SMS (g) Blacklist
(h) Memblok SMS dari 10 nomor yang tak diinginkan, tanpa diketahui si pengirim.
SMS (i) Whitelist
Cuma SMS penting dari 10 nomor tertentu yang boleh mengganggu.
Caranya:
Ketik MENU lalu SMS ke 2255 dan ikuti (j) petunjuknya. (A605)
Pada kutipan (2) di atas digunakan kata umum maupun khusus. Kata umum yang digunakan adalah “layanan”, “dialihkan”, dan “petunjuknya”, sedangkan kata-kata khusus yang digunakan adalah “auto reply”, “otomatis”, “copy”, “divert”, “blacklist”, “memblok” dan “whitelist”.
Kata “layanan” (a) memiliki definisi ‘kemudahan yang diberikan kepada seseorang’. Kata yang lebih khusus dari “layanan” adalah servis. Kata “dialihkan” (e) memiliki definisi ‘dipindahkan’. Kata yang lebih khusus dari kata “dialihkan” ini adalah diverting (bandingkan kutipan f). Kata petunjuk berdefinisi ‘ketentuan yang memberi arah atau bimbingan bagaimana sesuatu harus dilakukan’, enklitik –nya pada kata “petunjuknya” mengacu pada tulisan yang ada di layar ponsel. Kata khusus dari “petunjuknya” (j) adalah instruksinya.
Kata-kata khusus yang digunakan dalam iklan Telkomsel itu ialah kata-kata bahasa Inggris maupun bahasa yang diserap dari bahasa Inggris. Kata-kata khusus yang masih dalam bahasa Inggris adalah “auto reply” (b), “copy” (d), “divert” (f), “blacklist” (g), dan “whitelist” (i), sedangkan kata-kata khusus yang merupakan unsur serapan adalah “otomatis” (c) dan “memblok” (h).
Frase “auto reply” memiliki definisi menjawab dengan sendirinya’. Kata “copy” memiliki definisi ‘tindasan (surat dan sebagainya); tembusan; turunan’. Kata “divert” memiliki definisi ‘pindah atau alih’. Kata “blacklist” memiliki definisi ‘daftar nama (nomor) orang atau organisasi yang dianggap membahayakan keamanan’. Sebaliknya, kata “whitelist” dapat didefinisikan sebagai ‘daftar nama (nomor) orang atau organisasi yang dianggap tidak membahayakan keamanan’. Kata khusus tersebut dapat diganti dengan terjemahan bahasa Indonesia agar menjadi lebih umum, yaitu: jawab dengan sendirinya (b), tindasan (d), pengalihan (f), daftar hitam (g), daftar putih (i).
Kata konkret dan kata abstrak ditemukan dalam data iklan operator seluler. Penggunaan kata konkret terdapat pada iklan mentari berikut.
(3) Baru! (a) Kartu perdana AXIS lebih banyak gratisnya
10 menit nelpon ke semua AXIS
10 SMS ke semua AXIS
1 MB akses data
Pulsa perdana Rp 3000
Termasuk bonus bulanan (D401)
Frase “kartu perdana” ini merupakan kata konkret. Kartu adalah ‘kertas tebal, berbentuk persegi panjang’, sedangkan perdana berarti ‘pertama’. Kata “perdana” digunakan untuk menerangkan kata “kartu”. Keterangan yang dimaksud adalah kartu ini yang harus kali pertama dibeli agar dapat menggunakan telepon seluler. Kartu ini dapat dilihat keberadaannya. Kartu yang digunakan dalam telepon seluler ini berbentuk persegi panjang dengan ketebalan 2 milimeter dengan sirkuit berwarna emas di tengah-tengahnya.
Selain kata konkret, pada iklan operator seluler dapat dijumpai penggunaan kata abstrak. Kata abstrak terdapat pada iklan esia sebagai berikut.
(4) Mari membuka (a) peruntungan, menggapai (b) kebahagiaan di tahun baru
Imlek! Dengan hape esia Fu, sebagai hape pertama di Indonesia yang dilengkapi aplikasi : Fengshui & Fortune Cookies* Kalender Fu (kalender keberuntungan) (H104)
“Peruntungan” dan “kebahagiaan” adalah kata absrak karena kata-kata tersebut tidak dapat dirasakan kehadirannya lewat pancaindra. Kata “peruntungan” (a) adalah suatu keadaan untung maupun malang yang telah digariskan oleh Tuhan atau nasib. Tanpa adanya keterangan bentuk peruntungan yang dimaksud, kata ini masih abstrak. Sama halnya dengan kata “kebahagiaan” (b), kata yang memiliki arti ‘perasaan bahagia, kesenangan dan ketentraman’ ini hanya berupa konsep jika tidak ada suatu aktivitas atau suasana yang menunjukkan bahwa sesorang atau kelompok orang memperoleh kebahagiaan.
Kata kurang emotif dan lebih emotif ditemukan dalam data iklan cetak operator seluler. Penggunaan kata lebih emotif ini dapat dilihat pada iklan Fren ini.
(5) (a) Nelpon Pake Fren Bayarnya (b) Pake Daun
(c) Sobat baru kamu!
Gratis nelpon dari Fren Sobat ke semua Fren. Beli 1 Dapat 4 nomor. SMS diskon 70% ke semua operator. Bonus isi ulang 400% Conference call ke semua Fren. Aktif 8 bulan
Mobile-8 Customer Care: 0888-185-6868 atau 888 dari Fren Kamu www.mobile-8.com. Hanya Tersedia di Jawa & Bali. (F102)
Kata “nelpon” (a), “pake” (b), dan “sobat” (c) pada kutipan di atas adalah kata-kata yang lebih emotif. Kata-kata ini berasal dari bahasa yang digunakan dalam percakapan tidak resmi. Kata “nelpon” memiliki kata yang kurang emotif yaitu menelepon yang memiliki arti ‘kegiatan bercakap-cakap (memanggil melalui pesawat telepon). Kata “pake” memiliki kata yang kurang emotif yaitu “memakai” (menggunakan). Kata “sobat” memiliki kata yang kurang emotif yaitu sahabat (teman). Tujuan dari penggunaan kata-kata yang lebih emotif ini adalah memperpendek jarak sosial antara pengiklan dan konsumen.
Kata yang kurang emotif digunakan pada iklan simPATI berikut.
(6) simPATI setia menemani ke mana pun (a) engkau melangkah
Di mana pun Anda berada simPATI selalu hadir menemani dengan jangkauan terluas dan fasilitas layanan yang terlengkap. (A505)
Kata engkau dan Anda pada kutipan di atas adalah kata yang kurang emotif. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan kutipan (11), kata lebih emotif dari “engkau” dan “Anda” adalah kamu.
Dari hasil analisis data terdapat diksi khas iklan tulis (cetak) yang digunakan dalam iklan operator seluler. Diksi iklan cetak yang digunakan pada iklan operator seluler diklasifikasi menjadi tiga kelompok besar, yaitu diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur, dan diksi intertekstualitas.
Dalam iklan yang dianalisis ditemukan penggunaan sudut pandang orang pertama dan ketiga sebagai narator iklan. Pada sudut pandang orang pertama digunakan kata “aku” dan “-ku”. Sudut padang orang ketiga dapat dilihat dari penggunaan nama produk atau gabungan nama perusahaan dan produk.
Contoh diksi yang menunjukkan narator iklan yang menggunakan sudut padang orang pertama adalah sebagai berikut.
(7) Capek nelpon putus nyambung, makanya aku ganti kartu aja pake esia! (H601)
Kata “aku” adalah pronomina orang pertama. Maksud dari kata “aku” pada iklan ini (7) adalah orang berkostum jagoan yang ditampilkan pada visual iklan esia itu. Orang inilah yang menjadi narator iklan pada iklan esia Termurah di atas (7).
Berikut contoh data yang menggunakan diksi yang menunjukkan narator iklan menggunakan sudut pandang orang ketiga yang berupa nama produk.
(8) Logo: AXIS
Tagline: GSM yang baik
Termurah nelpon ke semua operator lain
hanya Rp300 per menit Kapan saja, di mana saja
Nelpon pake AXIS ke semua telepon rumah dan operator lain se-Indonesia selama 3 menit cukup bayar 1 menit dan berulang untuk kelipatannya. (D601)
Selain operator di atas, iklan operator lainnya menggunakan gabungan antara nama produk dan nama perusahaan. Dari hasil analisis data diketahui bahwa operator yang menggunakan bentuk ini umumnya adalah operator yang memiliki berbagai variasi produk, kecuali Ceria. Berikut ini adalah contoh iklan Ceria yang menggunakan bentuk ini.
(9) Logo: (a) Ceria
Tagline: Jelas Terjangkau
Ceria Internet hanya Rp208/jam*!
Info: 0828 1700 1700
Kecepatan hingga 153 kbps. Koneksi, stabil!, Instalasi mudah, langsung nge-Net! Bisa Telepon & SMS!
Penawaran harga paket Ceria Internet:
Paket Rp150.000 unlimited masa aktif 30 hari
Paket Rp100.000 selama 130 jam masa aktif 30 hari
Paket Rp50.000 selama 60 jam masa aktif 30 hari
Paket Rp20.000 selama 18 jam masa aktif 10 hari
Paket Rp10.000 selama 8 jam masa aktif 5 hari
Hanya Rp599ribu! (sudah termasuk Kartu Perdana, Pulsa 10 ribu & PPN)
Ceria Internet adalah kerjasama (b) PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia dengan PT Centrin Online Tbk (I501)
Pada iklan dalam kutipan (9) terdapat nama produk yang diiklankan yaitu “Ceria” (a) dan perusahaan produsen produk yaitu “PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia” (b).
Penggunaan diksi pun dapat menentukan siapa sasaran pembaca yang dituju suatu iklan. Dalam iklan esia berikut digunakan kata-kata yang menunjukkan lokasi sasaran.
(10) Nggawe esia murahnya sepanjang hari…
murahnya sepanjang hari, setiap hari…
Nelpon termurah ke semua nomor telepon rumah & CDMA lokal 0341 cuma Rp 50/30 dtk
sepanjang hari, setiap hari s/d 31 Maret 2009
Berlaku di Malang (Promo sejenis berlaku di seluruh Jawa Timur, info klik www.myesia.com) (H101)
Iklan esia (10) menunjukkan bahwa sasaran pembaca adalah orang yang berdomisili di daerah yang menggunakan bahasa Jawa. Kata “nggawe” berarti memakai dalam bahasa Jawa. Dalam konteks iklan ini, sasaran pembaca yang dimaksud adalah pembaca yang berdomisili di daerah Malang dan sekitarnya.
Penggunaan bahasa Jawa kasar ini dimaksudkan untuk memperpendek jarak hubungan sosial pembaca dan penulis iklan. Penggunaan bahasa Jawa kasar ini menekankan kedudukan yang setara antara pengiklan dan sasaran iklan.
Diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan ini dikatakan sebagai diksi khas iklan tulis karena narator dan sasaran iklan tidak ditunjukkan melalui suara narator secara langsung. Akan tetapi, narator dan sasaran iklan ditunjukkan oleh penggunaan kata-kata yang diwujukan melalui teks tulis.
Dalam iklan operator seluler dalam media surat kabar digunakan diksi akspek tutur (diksi yang digunakan pada pembicaraan nyata), yaitu deiksis, fitur prosodi, aksen, alih topik, informasi bersama dan informasi baru, gaya akrab.
Bentuk deiksis yang ditemukan dalam iklan operator seluler ada dua jenis, yaitu: deiksis waktu dan deiksis persona. Deiksis ini tidak selalu digunakan pada setiap iklan operator seluler.
Deiksis waktu yang digunakan adalah sekarang, kini, dan kali ini. Deiksis waktu yang menggunakan kata sekarang dapat dilihat pada iklan XL berikut.
(11) Pake XL murahnya langsung dari awal.
Sekarang nelpon pake XL 15X lebih murah dibanding operator lain.
Bahkan nelpon lamaan dikit diskon 90%. (C203)
Kata “sekarang” pada kutipan (11) oleh seorang pengiklan dimaknai pada saat iklan itu terbit. Akan tetapi, pembaca akan memaknai kata “sekarang” sebagai waktu pada saat pembaca membaca iklan itu. Maka dari itu, pada iklan tertentu kadangkala diberikan keterangan masa berlaku promosi.
Deiksis persona juga digunakan dalam iklan operator seluler di media cetak. Deiksis yang digunakan adalah kata “kamu”, “-mu”, “Anda”. Penggunaan kata kamu dapat ditemukan pada iklan StarOne berikut.
(12) Buruan, miliki HP ZTE C310 StarOne PINTER sekarang!
Cuma Rp 256.000 dan kamu bisa menikmati gratis 6 bulan nelpon ke nomor lokal StarOne dan SMS ke semua nomor StarOne. (B305)
Kata “kamu” sebagai pronomina orang kedua pada iklan StarOne di atas (12) merujuk pada pembaca iklan. Jadi, apabila orang yang membaca iklan ini bernama A, maka yang dimaksud dengan “kamu” adalah A, sedangkan apabila B yang membaca iklan ini, maka yang dimaksud “kamu” adalah B.
Fitur prosodi yang digunakan pada iklan operator ini berupa seruan keras dan ujaran panjang. Seruan keras ditunjukkan dengan tanda seru yang lebih dari satu dan ujaran panjang ditandai dengan beberapa titik.
(13) HARGA TERMURAH!!! Bayar cuma Rp 5.000,- Dapet Rp 5.000,- (masa aktif 30 hari) (H101)
(14) Asiiikkk… Kartu As Kasih 300 SMS Gratis Setiap Hari. (A105)
Pada kutipan (14), frase harga termurah ditulis dengan huruf kapital semua dan memakai tiga tanda seru. Pengguanan huruf kapital semua pada frase “harga termurah” menggambarkan adanya penekanan, sedangkan penggunaan tiga buah tanda seru menandakan adanya seruan keras. Fitur prosodi berupa ujaran panjang digunakan pada kutipan (15) dengan penandaan tiga buah titik dan pemanjangan dua fonem terakhir yakni /i/ dan /k/.
Penggunaan aksen yang merupakan penggunaan kata sedaerah fonetis digunakan pada iklan kartu As pada kutipan (15), frase “Asiiikkk… Kartu As Kasih” memiliki kedekatan fonetik, asik dengan as, kartu dengan kasih. Asik dan kasih merupakan kata-kata dalam bahasa gaul. Asik adalah bentuk bahasa gaul dari kata “asyik” yang digunakan untuk mengungkapkan ekspresi kesenangan, sedangkan kata “kasih” adalah kata dalam bahasa gaul yang berarti ‘memberikan’.
Pengalihan topik juga terjadi pada iklan operator seluler. Contoh pengalihan topik ini dapat dilihat pada iklan TelkomFlexi berikut.
(16) Flexi ke Telpon Rumah Terbukti Termurah
Gak cuma di beberapa kota, tapi se-Indonesia
cuma Rp 35/menit
Ikuti Paket Tagihan Tetap Flexi ke Telpon Rumah dan nikmati tarif termurahnya!
Flexi Rp 35/menit CDMA A Rp 80/menit CDMA B Rp 250/menit CDMA C Rp 850/menit
Flexi ke flexi tetap gratis
Se-komunitas, se-Indonesia
Informasi: TELKOM 147 atau www.telkomflexi.com
yestv your entertainment solution Anda ingin berlangganan televisi berbayar? Hubungi 14047 (G502)
Pada iklan (16) terjadi pengalihan topik dari tarif flexi ke telepon rumah ke penawaran televisi berbayar. Pengalihan penawaran antara flexi dan yestv ini dilakukan karena antara dua produk ini masih bernaung pada kelompok usaha yang sama, yaitu TELKOM.
Asumsi adanya informasi pengetahuan bersama digunakan pada beberapa iklan. Salah satu iklan tersebut adalah iklan esia berikut.
(17) Yang lain cuma ke sesama, esia murah ke semuanya! (H102)
Yang dimaksud dengan yang lain pada kutipan iklan (17) di atas adalah operator seluler lain di Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengetahui bahwa operator seluler di Indonesia selain esia adalah Telkomsel, Indosat, XL, AXIS, 3, Mobile-8, TelkomFlexi, Ceria.
Informasi baru tentu juga diberikan dalam iklan. Sebelum membaca iklan ini orang tidak tahu tentang informasi ini. Contohnya terdapat pada iklan berikut.
(18) Lebih untung pake HP AXIS Hoki
HP layar warna pertama yang membuatmu lebih untung
Gratis setiap bulan
Nelpon 25 menit 250 SMS Pulsa Rp 2.500
Nikmati segera semua keuntungan di atas dengan harga terjangkau Hanya Rp 249 ribu
Dapatkan di AXIS Center serta di toko-toko HP di kotamu.
Promosi AXIS selalu murah dan jujur. (D302)
Sebelum adanya iklan ini (18) orang tidak mengetahui bahwa AXIS telah mengeluarkan produk baru yang bernama AXIS Hoki. Informasi baru lainnya adalahh keuntungan ponsel AXIS Hoki serta harganya.
Iklan juga menggunakan diksi yang bisa membentuk keakraban dengan calon pengguna layanan. Contoh dapat dilihat pada iklan Smart berikut.
(19) Murahnya Komplit!
Cuma Smart yang murahnya 24 Jam, bukan promo!
Telepon lokal, interlokal, SMS serta internetan, murah! Hebatnya lagi, biar cuma pakai Rp 10 dalam seminggu, Smart kamu bisa aktif terus.
Smart, terus-terusan murahnya, terus-terusan aktifnya!
Interlokal ke operator lain Rp10/detik
Interlokal ke sesama Smart Rp1/detik
SMS ke semua operator Rp50/SMS
Internet Rp0,275/KB
Murahnya Komplit 24 Jam Bukan Tarif Promo
Customer Care 088 11 22 33 44
881 (dari nomor Smart)
www.smart-telecom.co.id (J201)
Pada iklan Smart di atas (19) kata-kata yang digunakan adalah kata sehari-hari yang emotif. Kata-kata emotif yang digunakan adalah “komplit”, “cuma", “hebatnya lagi” “biar”, “kamu”, “bisa”, “terus-terusan”.
Diksi intertekstual dijumpai pada iklan yang mempunyai teks acuan sebelumnya. Diksi ini dapat ditemui pada tagline iklan operator seluler 3 dan AXIS.
Tagline Operator 3 “3, Jaringan GSM-mu” mengacu pada tagline lama “3, Jaringan Seluler-mu”. Penggantian yang terjadi pada akhir tahun 2007 ini mempertegas bahwa operator 3 beoperasi pada Jaringan GSM.
Tagline AXIS juga berasal dari penyimpulan iklan yang pernah diiklankan AXIS pada tahun 2008. Iklan ini menyatakan bahwa “murah itu baik, langsung itu baik, jujur itu baik”. Pada waktu iklan itu dibuat tarif AXIS memang murah, langsung (dihitung dari detik pertama), dan jujur (tanpa syarat dan ketentuan berlaku).
Diksi intertekstual merupakan diksi khas iklan karena kata-kata ini memiliki hubungan antarteks. Hubungan ini terjadi karena bila iklan dikaitkan dengan iklan yang telah muncul sebelumnya.
Piranti Kohesi
Piranti kohesi adalah bentuk linguistik yang digunakan sebagai penghubung unsur-unsur wacana sehingga terbentuk suatu hubungan kohesif (Rani, 2004). Piranti kohesi gramatikal yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah referensi, substitusi, dan konjungsi. Referensi yang digunakan ialah referensi anafora dan katafora. Substitusi yang digunakan ialah substitusi katafora. Konjungsi yang digunakan adalah konjungsi piranti penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan.
Referensi anafora adalah referensi yang antesedennya berada di sebelah kiri pronomina. Referensi anafora yang digunakan dalam iklan operator seluler adalah sebagai berikut.
(20) Gratis Sunlight setiap isi pulsa Mentari & IM3
lebih senang! Isi ulang pulsa ada bonusnya. (B202)
Enklitik –nya pada kata “bonusnya” mengacu pada referensi “Sunlight”. “Sunlight” yang merupakan produk sabun cuci piring akan diberikan sebagai tambahan barang yang didapat dalam pembelian setelah melakukan pengisian pulsa. Enklitik ini merupakan jenis pronomina noninsani terasingkan sebab “Sunlight” dan bonus dapat dipisahkan.
Referensi katafora juga digunakan pada iklan cetak operator seluler. Iklan simPATI berikut menggunakan referensi katafora noninsani.
(21) Puas (a) kualitasnya, puas (b) murahnya
Tarif hemat (c) simPATI Rp 0,5/detik tetap bikin puas (A104)
Enklitik –nya (a, b) pada iklan di atas memiliki acuan yang sama yaitu simPATI (c). Acuan yang sama ini memiki maksud bahwa layanan simPATI membuat puas para pelanggannya, baik dari segi kualitas maupun tarif murah.
Penggunaan substitusi anafora digunakan pada iklan operator seluler untuk menggantikan frase, klausa, maupun kalimat. Substitusi ini digunakan pada iklan operator kartu As berikut.
(22) Nelpon Lama cuma Rp 1000 Pagi Siang Malam
Tekan #1
(a) Pake Kartu As, nelpon lama kapan aja, pagi siang atau malam sama murahnya. (b) Caranya gampang. Tekan #1
Pada iklan kartu As (22) di atas terdapat penggunaan substitusi anafora. Enklitik –nya pada kata “caranya” (b) menggantikan keseluruhan frase “pake kartu As, nelpon lama kapan aja, pagi siang atau malam sama murahnya” (a). Penggunaan substitusi ini untuk menghindari penyebutan kalimat secara berulang.
Penggunaan konjungsi ditemukan dalam data iklan operator seluler yang dianalisis. Jenis-jenis konjungsi yang digunakan pada iklan operator seluler adalah penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan.
Piranti konjungsi berupa penambahan dapat ditemukan pada iklan IM3 berikut.
(23) kalo bosan mending SMS-an
(a) Per SMS Rp 0,1 seharian. Nikmati juga (b) nelpon Rp 0,1 per detik sampe puas bangeetss! (B101)
Kata “juga” berfungsi untuk menambahkan informasi baru pada pembaca bahwa selain biaya SMS yang memiliki tarif Rp 0,1 yang disebutkan pada butir (a), tarif percakapan per detik operator IM3 adalah Rp 0,1 (b). Hal ini memberikan informasi kepada pembaca bahwa tarif murah IM3 berlaku untuk SMS dan percakapan.
Piranti konjungsi sebab-akibat ditemukan dalam iklan operator seluler yang berpola akibat-sebab seperti pada iklan Telkomsel berikut ini.
(24) 14 menit nelpon GRATIS
(a) Cerita ke semua orang tanpa ada habisnya tentang fasilitas baru dari kantor
14 kali SMS GRATIS
(b) Kesempatan untuk lebih dekat dengan semua cucu.
14 kali MMS GRATIS
(c) Pamerkan belanjaan Anda ke semua teman yang sedang di kantor.
Karena (d) di ulang tahun ke-14, TELKOMSEL memanjakan Anda pelanggan kartuHALO dengan hadiah 14 menit nelpon gratis, 14 SMS gratis, dan 14 MMS gratis. Nikmati berkomunikasi lebih leluasa! (A502)
Iklan di atas (24) menggunakan piranti sebab-akibat “karena” untuk memadukan gagasan antara akibat dan sebab. Pada butir (a), (b), (c) disebutkan tiga buah aktivitas yang dapat dilakukan pelanggan kartuHALO. Kesemuanya itu dapat dilakukan sebab ada hadiah sebagai wujud ucapan terima kasih Telkomsel kepada pelanggan kartuHALO. Pernyataan tentang sebaban ini dapat dilihat pada butir (d).
Piranti simpulan dapat ditemukan dalam iklan AXIS berikut.
(25) (a) Menelepon ke Arab Saudi lebih murah, Cuma Rp 1388/menit
Jadi dengan AXIS, (b) menelepon ke Arab Saudi sama dengan Rp 23/detik Tarif ini terbukti paling murah per menitnya dibandingkan dengan operator lain Nikmati menit-menit menelepon berharga kamu bersama AXIS Cukup tekan 01012
Iklan AXIS itu (25) menggunakan piranti simpulan untuk menyimpulkan tarif murah AXIS. Pada butir (a) disebutkan bahwa tarif menelpon ke Arab Saudi menggunakan operator ini hanya Rp1.388/menit. Dari pernyataan itu ditarik kesimpulan tarif per detik menelpon ke Arab Saudi. Piranti simpulan “jadi” digunakan untuk memadukan antara kalimat (a) dan (b).
Pada iklan operator seluler ditemukan penggunaan piranti contohan. Piranti contohan menghubungkan antara contoh dengan kalimat sebelumnya. Piranti contohan terdapat pada iklan berikut.
(26) (a) Diskon 50% nelpon ke Cina, Hongkong, dan Singapura sepanjang tahun 2009 dengan menggunakan kode awal 01010. Contoh (b) nelpon ke Cina : 01010861064823600. (H104)
Iklan di atas menggunakan piranti contohan dengan kata “contoh”. Kalimat yang berada di belakang kata contoh (b) itu adalah penjelas dalam bentuk nyata dari penggunaan kode awal 01010 seperti yang disebutkan pada (a). Dengan adanya contoh ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami cara penggunaan fasilitas ini.
Penggunaan piranti tegasan digunakan untuk menegaskan kembali kalimat sebelumnya agar dapat segera dipahami. Piranti ini digunakan pada iklan XL berikut.
(27) Pake XL murahnya langsung dari awal.
Sekarang nelpon pake XL 15X lebih murah dibanding operator lain.
Bahkan nelpon lamaan dikit diskon 90%. (C203)
Kata “bahkan” pada iklan di atas (27) digunakan untuk penegasan. Yang ingin ditegaskan dari iklan itu adalah tarif XL yang murah dan makin lama makin murah karena bila menelpon dalam jangka waktu yang lama pengguna akan memperoleh potongan harga sebesar 90% dari harga normal.
Piranti kohesi leksikal yang digunakan berupa pengulangan. Bentuk pengulangan yang terdapat dalam iklan operator yang dianalisis berupa pengulangan penuh, pengulangan dengan bentuk lain, dan pengulangan dengan penggantian.
Bentuk pengulangan penuh yang ditemukan pada iklan operator seluler dapat berupa pengulangan nama produk, pengulangan jenis layanan yang diiklankan, pengulangan kata ganti, pengulangan keunggulan produk, dan pengulangan lainnya. Contoh bentuk pengulangan penuh nama produk dapat dilihat pada kutipan iklan Kartu As berikut.
(28) Asiiikkk… (a) Kartu As Kasih 300 SMS Gratis Setiap Hari
*899#
SMS-an pake (b) Kartu As makin Asik cukup hubungi *899# dari nomor (c) Kartu As kamu & nikmati 300 SMS Gratis setiap hari dari pukul 00.00 - 19.00 waktu setempat. Berlaku untuk semua (d) Kartu As termasuk (e) Kartu As Fress.
Berlaku mulai 7 Januari 2009
Berlaku ke sesama pelanggan Telkomsel
Bisa juga Gift SMS ke sesama pengguna (f) Kartu As caranya: hubungi *899# dan pilih menu 300 SMS Gratis, lalu pilih Gift
Info lengkap hubungi 116 (GRATIS) atau klik www.telkomsel.com
(A105)
Pada iklan kartu As (28) di atas, nama produk “kartu As” diulang lima kali (a, b, c, d, dan, f). Sebenarnya kata “Kartu As” dalam iklan ini disebut enam kali, namun kata pada butir (e) tidak termasuk pengulangan penuh karena kata “Kartu As Fress” menjadi satu kesatuan yang merupakan varian dari produk “Kartu As” yang menawarkan fasilitas lebih daripada kartu As reguler. Dengan pengulangan nama produk ini, maka secara tidak langsung pembaca akan mengingat-ingat bahwa yang ditawarkan adalah produk “Kartu As”.
Pengulangan dengan bentuk lain juga ditemukan pada iklan operator seluler. Contoh penggunaan pengulangan dengan bentuk lain adalah sebagai berikut.
(29) Setiap Isi Ulang Rp 50 ribu (a) Gratis Internetan Unlimited (b) selama 30 hari!
Setiap isi ulang Rp 50.000 langsung (c) gratis internetan sepuasnya, (d) sebulan penuh! (J502)
Frase “Gratis Internetan Unlimited” (a) pada iklan Smart di atas diulang dengan bentuk lain berupa frase “gratis internetan sepuasnya” (c). Unlimited berasal dari bahasa Inggris yang artinya ‘tanpa batas’. Dengan adanya fasilitas ini, pelanggan diasumsikan akan mengalami kepuasan. Oleh karena itulah, frase “Gratis Internetan Unlimited” (a) diulang dengan bentuk lain yaitu “gratis internetan sepuasnya” (c). Frase “selama 30 hari” (b) juga mengalami pengulangan dengan bentuk lain yaitu “sebulan penuh” (d). Dalam ekonomi, satu bulan dihitung 30 hari. Atas dasar inilah frase “selama 30 hari” (b) diulang dengan frase “sebulan penuh” (d).
Pengulangan dengan penggantian juga ditemukan dalam iklan operator seluler. Pengulangan dalam bentuk ini sama dengan penggunaan piranti kohesi gramatikal substitusi.
Struktur Wacana Iklan
Struktur wacana iklan yang terdapat dalam wacana iklan cetak operator seluler terbentuk dari unsur pembangun wacana iklan, yaitu butir utama (BU), subbutir utama (SBU), badan (B), dan penutup (P). Dari analisis data diketahui bahwa unsur pembentuk wacana iklan itu memiliki enam pola struktur.
Pola pertama yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.
(30) (a) Fren selalu terbuka
(b) Siap buka-bukaan? Klik www.mobile-8.com/sobat (F101)
Kalimat “Fren selalu terbuka” (a) merupakan butir utama iklan Fren yang digunakan untuk membangkitkan rasa ingin tahu calon konsumen. Pembaca iklan akan terdorong untuk mengetahui maksud kalimat dalam butir utama dengan pertanyaan “apa yang dimaksud dengan kalimat (a) itu?” dan “mengapa dikatakan demikian?”. Penulis iklan memanfaatkan nama produk yang diiklankan dalam butir utama ini dengan cerdik, sehingga kalimat (a) mengandung pengertian ganda. Kata “Fren” dapat diartikan sebagai nama produk maupun ‘teman’, sehingga pembaca pun dibuat makin penasaran. Subbutir utama yang menjelaskan butir utama menggunakan kalimat pertanyaan yang menuntut perhatian lebih, yaitu “Siap buka-bukaan?” Pertanyaan yang menggoda itu mengandung arti “Apakah pembaca siap saling membuka dengan Fren”. Pembaca akan mendapatkan jawaban jika membuka alamat laman itu (b).
Pola kedua yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + B. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.
(31) (a) Malang, nikmati Layanan indosat broadband 3.5G
(b) Speed gives you more
(c) Akses lebih cepat hingga 3.6 Mbps Dapatkan paket unlimited mulai Rp 100.000 per bulan browsing apa aja, gak masalah! (B201)
Butir utama pada iklan di atas bertujuan untuk menarik perhatian konsumen khusus. Butir utama pada iklan ini dapat dilihat pada kalimat (a). Kata yang berada pada awal kalimat (a), “Malang” menunjukkan bahwa sasaran iklan ini adalah masyarakat Malang. Kalimat subbutir utama (b) merupakan tagline dari produk indosat broadband 3.5G ini yang memiliki arti ‘kecepatan yang memberi Anda lebih”. Badan iklan ini (c) menampilkan alasan objektif. Alasan yang dimaksud adalah akses cepat internet hingga 3.6 mega bit per detik. Layanan ini dapat dinikmati dengan membayar minimal Rp100.000,00 per bulan untuk mengakses internet tanpa batas.
Pola ketiga yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + P. Struktur ini ditemukan pada iklan Telkomsel Flash berikut.
(32) (a) Internetan Sepuasnya Cuma Rp 125.000,-
(b) Melaju Super Cepat di Dunia Maya Hingga 3.6 Mbps
(c) Datangi layanan FLASH di booth Telkomsel Corner di Malang Town Square lantai dasar (setiap Jumat s.d. Minggu) selama bulan april
(d) Syarat dan ketentuan berlaku
(e) Hubungi 111 kartuHALO atau 0807 1811 811 dan (021) 5291 9811 dari fixed phone atau klik www.telkomsel.com/flash (A401)
Butir utama iklan (a) menekankan keuntungan kepada calon konsumen. Keuntungan yang dimaksud adalah konsumen dapat memperoleh layanan internet sepuasnya hanya dengan Rp125.000,00. Butir utama ini diperjelas oleh keterangan subbutir utama pada (b) berupa kecepatan koneksi internet maksimal yang dapat diperoleh calon konsumen, yaitu 3,6 Mega Bit per Second. Bagian penutup iklan terdiri atas proposisi yang dikembangkan dengan teknik lunak dan butir pasif. Pengembangan penutup iklan dengan teknik lunak ditunjukkan pada kalimat (c). Calon konsumen diajak untuk mengunjungi stan FLASH Telkomsel Corner di Matos lantai pada bulan April setiap Jumat sampai Minggu. Kalimat (c) disebut dikembangkan dengan teknik lunak karena tidak memerintahkan konsumen untuk bertindak segera. Kalimat (d) memberi informasi kepada konsumen bahwa ada syarat dan ketentuan dalam penggunaan layanan dan hal itu tidak ditampilkan pada iklan ini. Kalimat (e) berisi imbauan kepada konsumen untuk menghubungi nomor layanan pelanggan Telkomsel atau mengunjungi laman jejaring Telkomsel.
Pola keempat yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + SBU + B + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.
(33) (a) Minta ang pao ke China, hanya 234/mnt.
(b) Juga ke Hong Kong dan Taiwan.
Gong Xi, Gong Xi, Gong Xi Fat Choi!
Ayo rayakan Imlek dengan (c) tarif nelpon termurah ke China, Hong Kong, dan Taiwan hanya Rp 234/menit. Buruan ucapin Gong Xi dan minta ang pao!
Tekan 01089 + kode negara + kode area + nomor tujuan
Dapatkan 2 RBT Imlek hanya dengan Rp 2 ribu untuk 30 hari pertama, caranya ketik PAKET
(d) Tarif belum termasuk PPN 10%
(e) Minimal sekali isi ulang Rp 10 ribu untuk menikmati promo ini.
(f) Tarif berlaku mulai 15 Januari s/d 28 Februari 2009
(g) www.three.co.id
(h) 0896 4 4000 123 (E101)
Butir utama pada iklan (33) menggunakan proposisi yang menekankan keuntungan kepada calon konsumen. Hal ini dapat dilihat pada (a) yang menyatakan tarif menelpon ke Cina hanya Rp234,00 per menit. Tarif ini tergolong murah jadi calon konsumen dalam meminta ang pao pada kerabatnya di Cina melalui telepon. Pada tahun baru Imlek, tradisi memberi dan meminta ang pao ini bertujuan menyambung silahturahmi antarkerabat. Tujuan ini ditekankan pada frase “minta ang pao ke China” (a) ini. Subbutir utama pada iklan (33) menambahkan informasi yang dinyatakan pada butir utama iklan (a). Penambahan informasi tentang keuntungan itu diwadahi dalam kalimat “Juga ke Hong Kong dan Taiwan” (b). Dengan kalimat ini, konsumen menjadi mengetahui bahwa tarif menelepon 234 per menit ke Cina juga berlaku untuk negara “Hong Kong dan Taiwan”. Dua negara ini juga mayoritas penduduknya beretnis Cina karena merupakan provinsi spesial negara Cina.
Badan iklan dalam iklan ini menggunakan proposisi dengan alasan objektif. Alasan objektif dikemukakan pada (c) yang berisi alasan mengapa tarif menelepon 3 termurah untuk tujuan Cina, Hong Kong, dan Taiwan dikatakan termurah. Tarif 3 dikatakan termurah karena hanya 234/menit, paling murah di antara tarif operator seluler di Indonesia saat itu.
Bagian penutup iklan yang semuanya menggunakan butir pasif dapat ditemukan pada (d) sampai (h). Kalimat (d) memberikan informasi bahwa tarif promosi menelepon murah ke Cina, Hong Kong, dan Taiwan ini belum termasuk PPN 10%. Kalimat (f) memberikan informasi syarat yang harus dipenuhi calon konsumen untuk dapat memanfaatkan keuntungan ini, yaitu calon konsumen harus mengisi ulang pulsanya paling sedikit Rp10.000,00. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka tarif yang berlaku adalah tarif normal. Kalimat (f) memberikan informasi masa berlaku promosi. Artinya, di luar waktu tersebut tarif ini akan mengikuti tarif normal. Butir pasif yang ada di (g) dan (h) memberikan informasi kepada calon konsumen alamat laman jejaring 3 yang dapat diakses calon konsumen dan nomor layanan pelanggan yang dapat dihubungi jika calon konsumen membutuhkan informasi yang lebih lengkap.
Pola kelima yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + B + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.
(34): (a) mentari Gratis Pulsa Rp.18.000
(b) Pulsa Kartu perdana Rp 3.000 plus bonus @ Rp 5.000 pada 3 kali isi ulang pertama
(c) Info lengkap: www.indosat.com (B301)
Butir utama pada iklan (a) menggunakan proposisi yang menekankan keuntungan bagi calon konsumen, yaitu pulsa cuma-cuma senilai Rp18.000,00. Badan iklan (b) pada iklan ini menggunakan alasan objektif, yaitu setiap pembelian kartu perdana, calon konsumen akan mendapatkan pulsa Rp3.000,00 ditambah tiga kali tambahan Rp5000,00 pada tiga kali isi ulang pertama. Penutup iklan menggunakan butir pasif. Butir pasif (c) ini berisi alamat laman jejaring yang dapat diakses calon konsumen bila ingin mendapat informasi lebih lengkap.
Pola keenam yang digunakan pada wacana iklan operator seluler adalah BU + P. Struktur ini ditemukan pada iklan operator berikut.
(35) Sekali mana cukup? (a) Pake Mentari gratis nelpon berkali-kali seharian
(b) Gratis nelpon berkali-kali jam 00.00 - 17.00 (3600 detik ke sesama Indosat) untuk wilayah Jawa.Cara: nelpon ke sesama Indosat menggunakan pulsa utama minimal Rp 1.500/hari (akumulasi) untuk Senin-Jumat & Rp 2.000/hari (akumulasi) untuk Sabtu-Minggu sesuai dengan rentang waktu di atas. (c) Program ini dapat juga dinikmati oleh pelanggan IM3. Caranya ketik reg
(e) Waktu Nelpon Tarif
23.00 - 04.59 Rp 5/detik
05.00 - 22.59 Rp 20/detik
(f) Info lebih lanjut: www.indosat.com (B503)
Butir utama iklan mentari di atas dapat ditemukan pada (a). Butir ini menekankan keuntungan kepada calon konsumen, yaitu calon konsumen mentari dapat menelpon berkali-kali tanpa dikenakan biaya sepanjang hari.
Bagian penutup iklan ini menggunakan teknik pengembangan campuran antara teknik lunak dan butir pasif. Butir (b) memuat ketentuan dan cara untuk mendapatkan fasilitas menelepon berkali-kali tanpa dikenakan biaya. Kalimat pertama pada butir (c) menginformasikan bahwa pelanggan IM3 (sama-sama produk Indosat) juga dapat mendapatkan layanan ini. Pada kalimat selanjutnya, ditampilkan informasi berupa cara memindah paket IM3 ke Mentari.
Pada (d) digunakan teknik penjualan dengan teknik lunak yang menyatakan bahwa tarif murah Mentari tetap berlaku. Dengan adanya informasi ini, diharapkan calon konsumen membeli kartu perdana Mentari apalagi deskripsi tarif Mentari disebutkan pada butir (e). Pada bagian terakhir penutup iklan (f), calon konsumen diberi informasi alamat laman jejaring yang dapat dikunjungi jika calon konsumen membutuhkan informasi lebih lengkap.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Diksi yang digunakan dalam iklan operator seluler dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu diksi nonkhas dan diksi khas iklan tulis. Diksi nonkhas yang digunakan dalam iklan operator seluler berupa kata umum-khusus, kata abstrak-konkret, dan kata emotif-kurang emotif. Sementara itu, diksi khas iklan tulis berupa diksi yang menunjukkan narator dan sasaran iklan, diksi aspek tutur (deiksis, fitur prosodi, aksen, pengalihan topik, informasi bersama dan informasi baru, serta gaya akrab), dan diksi intertekstualitas.
Piranti kohesi yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler berupa piranti kohesi gramatikal dan leksikal. Piranti kohesi gramatikal yang digunakan berupa referensi (anafora dan katafora), substitusi (anafora), dan konjungsi (penambahan, sebab-akibat, simpulan, contohan, dan tegasan). Piranti kohesi leksikal yang digunakan adalah pengulangan (pengulangan penuh, pengulangan dalam bentuk lain, dan pengulangan penggantian).
Struktur wacana yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler sama dengan iklan pada umumnya, yaitu dibangun oleh butir utama (BU), subbutir utama (SBU), badan (B), dan penutup (P). Unsur ini tidak selalu digunakan dengan lengkap. Ada enam pola struktur yang digunakan dalam iklan cetak operator seluler, yaitu (1) BU + SBU, (2) BU + SBU + B, (3) BU + SBU + P, (4) BU + SBU + B + P, (5) BU + SBU + P, dan (6) BU + P.
Saran
Dari penelitian ini dapat disampaikan saran yang terkait dengan diksi, piranti kohesi, dan struktur wacana. Saran ini diberikan pada pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian.
Berkaitan dengan diksi disampaikan saran kepada pembuat iklan, calon konsumen, dan pendidik. (1) Bagi pembuat iklan hendaknya menggunakan kata-kata khusus agar makna kata dalam iklan menjadi lebih tepat, namun tetap harus sesuai dengan segmentasi sasaran iklan; dapat memaksimalkan penggunaan jenis diksi yang lebih emotif agar jarak sosial antara produsen dan konsumen makin dekat; dapat memanfaatkan aksen pada butir utama iklan, sehingga lebih menarik perhatian calon konsumen, serta; dapat memanfaatkan diksi intertekstualitas dalam iklan. (2) Bagi calon konsumen, hendaknya mencermati kata khusus yang digunakan untuk menekankan keuntungan berlebih seperti kata gratis. Selain itu, calon konsumen harus kritis dalam membaca suatu iklan. (3) Bagi para pendidik dapat memanfaatkan iklan untuk pengajaran tentang diksi. Siswa dapat ditugasi untuk menentukan jenis diksi yang terdapat dalam iklan.
Berkaitan dengan piranti kohesi disampaikan saran kepada para pembuat iklan. Mereka dapat menggunakan substitusi untuk meringkas iklan. Dengan demikian, kata-kata tidak digunakan berulang dan tempat iklan yang masih tersedia dapat digunakan untuk memuat informasi lain; hendaknya lebih sering menggunakan piranti konjungsi contohan dalam iklan yang dapat mempercepat pemahaman calon konsumen tentang maksud iklan; hendaknya memakai piranti konjungsi tegasan yang digunakan untuk lebih meyakinkan calon konsumen.
Berkaitan dengan struktur wacana disampaikan saran kepada pembuat iklan dan calon konsumen. (1) Bagi pembuat iklan hendaknya menonjolkan informasi penting bagi calon konsumen yang umumnya dimuat pada butir penutup. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran huruf, menebalkan, maupun memberi warna yang kontras dengan teks iklan lain; hendaknya menggunakan struktur iklan BU + SBU + B + P agar informasi kepada calon konsumen dapat disajikan lebih lengkap; (2) Bagi calon konsumen hendaknya lebih mencermati penutup iklan karena pada umumnya pembuat iklan menyajikan informasi cukup penting pada bagian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Agustrijanto. 2006. Copywritting: Seni Mengasah Kreativitas dan Memahami Bahasa Iklan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Goddard, Angela. 1998. The Language of Advertising: Written Texts. London: Routladge.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa: Komposisi Lanjutan I. Jakarta: Gramedia.
Martutik. 1992. Analisis Wacana Iklan Radio yang Berbahasa Indonesia. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang.
Rani, Abdul dkk. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayu Media.
Suparno dan Mohammad Yunus. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...
03.30 | Label: Artikel | 1 Comments