Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008

Oleh: Zulvina Narida Anom


ABSTRAK

Jurnalisme sastra adalah berita yang ditulis dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subjek, pembaca mengimajikan tampakan fakta yang dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan ketepatan diksi didasarkan pada sudut pandang jurnalis untuk membentuk konstruksi realitas. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhadap realitas yang diberitakan.

Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh deskripsi tentang penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan diksiuntuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial; kedua, mendeskripisikan gaya bahasa untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dianggap relevan untuk penelitian jurnalistik. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks berita laporan utama dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca sumber data dengan menjadikan peneliti sebagai human instrument. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikasi, menafsirkan, dan mendeskripsikan data, kemudian mengambil kesimpulan.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan. Pertama penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi, dan (b) penggunaan gaya bahasa. Kedua, pemilihan diksi dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Ketiga, penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita untuk membentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, peneliti selanjutnya, dan bagi majalah Tempo. Semua pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian dengan pengetahuan jurnalisitk, sehingga mereka dapat lebih memahami dan mengetahui tentang jurnalistik, khususnya jurnalisme sastra.

Kata Kunci : jurnalisme sastra, konstruksi realitas, majalah

Jurnalistik yang merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa (Kusumaningrat, 2006:15) membutuhkan media untuk menyampaikan hasil pekerjaannya kepada masyarakat. Dalam jurnalisme, beberapa teknik penulisan berita dengan pemaparan tergantung pada jenis berita agar memudahkan penyampaiannya kepada pembaca. Perkembangan teknik penulisan jurnalistik kemudian semakin berkembang melihat bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter dan keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual. Salah satu teknik penulisan berita baru yang digunakan oleh beberapa media massa yakni jurnalisme sastra atau literary journalism.

Jurnalisme sastra adalah salah satu dari empat jenis jurnalisme baru yang lahir dari upaya praktisi jurnalistik dalam memperbarui teknik penyampaian berita dari jurnalistik konvensional.Gaya fiksi digunakan sebatas pada gaya pemaparan berita dengan pemilihan diksi dan gaya bahasa untuk memenuhi unsur naratif dan dramatikal tulisan. Penulisan jurnalistik bukan lagi sekedar upaya untuk menampilkan nilai-nilai human interest secara lebih dramatis, tetapi juga menampilkan substansi berita sebagai sarana informasi. Jurnalis baru mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional, mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis sedang berlangsung di lokasi (Kurnia, 2002:5).

Penyajian berita yang lebih mengutamakan substansi berita yang dikemas dengan gaya fiksi memberi kesempatan pembaca lebih bisa menikmati berita karena pembaca merasa tidak hanya membaca berita melainkan juga mengetahui berita. Para penulis melukiskan adegan-adegan sensorik pada tingkat keintiman yang begitu dekat dengan pengalaman dan sensasi pembaca, sehingga terwujudlah hubungan khusus antara konstruksi teks dan kondisi psikis pembaca, pembaca menyatu dengan penulis dan bersama-sama mereka memahat makna (Kurnia, 2002:135). Narasi berita yang disajikan penulis membuat pembaca seolah mengetahui langsung dari pelaku kejadian maupun saksi kejadian yang diberitakan, sedangkan yang dimaksud memahat makna adalah pembaca dibebaskan untuk membentuk persepsi sendiri atas berita yang disajikan secara subjektif.

Awal kemunculan teknik penulisan berita jurnalisme sastra ini terjadi di Amerika pada tahun 1960-an, dan kemudian banyak dipakai dalam pelaporan berita oleh wartawan sekaligus digunakan oleh sebagian besar kolumnis media cetak. Di Indonesia, teknik penulisan berita ini bisa ditemui dalam koran Kompas, majalah Pantau, majalah Tempo, dan beberapa situs media berita maupun situs jurnal. Penulisan berita ini biasa ditemui dalam laporan utama sebuah media cetak, meski lazimnya laporan utama ditulis dengan teknik penulisan straight news, tetapi beberapa media cetak seperti disebut di atas menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra untuk kepentingan dramatisasi laporan dan membuat berita jadi memikat. Dalam penulisan jurnal maupun artikel non penelitian juga ditemukan beberapa artikel yang menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra dengan tidak mengurangi substansi informasi yang ditulis.

Penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra mempunyai kelebihan dalam hal penyampaian fakta kepada pembaca, dibandingkan dengan teknik penulisan jurnalisme konvensional. Jurnalisme sastra lebih memperkecil adanya kemungkinan fakta yang disembunyikan di balik berita. Berita yang disajikan tidak lagi disampaikan dalam bentuk kronologis, melainkan dalam bentuk pelaporan fakta yang didramatisir sedemikian rupa. Jurnalis mengobservasi objek liputan seperti penulis novel yang mencari dan mendapatkan realitas pengisahan berikut objek kisahnya (Kurnia, 2002:19). Di sinilah terdapat kaitan antara teknik penulisan berita jurnalisme sastra dengan konstruksi realitas yang dibentuk penulis. Pembaca tidak disuguhi informasi-fakta, tetapi rekonstruksi pelbagai kejadian dan tokoh-orang beserta pemaknaannya (Kurnia, 2002:19). Dalam merekonstruksi kejadian yang diberitakan tentu tidak lepas dari kegiatan penyuntingan berita, namun dengan narasi berita yang disajikan menunjukkan kegiatan penulis yang hendak mendapatkan perspektif yang setepat dan secermat mungkin. Dalam kehidupan masyarakat, realitas terkonstruksi bersamaan dengan peran serta media massa. Penulisan berita dalam media inilah yang menjadi berbeda-beda karena masing-masing media memiliki sudut pandang pemberitaan yang layak diberitakan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemberitaan terdapat beberapa keberpihakan media terhadap hal maupun pihak tertentu. Dalam berita terdapat informasi yang dipotong, sedangkan sisi yang lainnya dieksplorasi sedemikian rupa sehingga menjadi berita besar dan hangat dibicarakan masyarakat. Eksplorasi berita yang berlebihan yang dilakukan oleh penulis berita dapat mengakibatkan pembingkaian realitas yang sangat jauh dari kenyataan. Bagi Berger dalam Eriyanto (2007:15), realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing, dan selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2007:16).

Media massa mempunyai peran utama dalam membentuk konstruksi realitas. Sebagai penyampai berita kepada masyarakat, berita yang diproduksi dan telah melewati proses penyuntingan selain berupa informasi faktual juga merupakan konstruk sosial baru. Jurnalisme sastra yang digunakan sebagai teknik penulisan untuk membentuk konstruksi realitas adalah salah satu teknik yang tepat karena kedekatannya dengan tulisan bentuk feature. Di Indonesia, yang menganut falsafah pers Pancasila yang demokratis telah mengatur Undang-Undang RI No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam UU tersebut diatur jurnalisme melalui ketentuan pers, sehingga dalam pemberitaan tidak terlalu mengeksplorasi dan mengeksploitasi berita yang merugikan sumber berita. Setiap berita yang disajikan selalu mempunyai batasan tertentu dalam pelaporannya, artinya tidak semua kejadian peristiwa disajikan sepenuhnya. Pada proses penyuntingan inilah kepentingan konstruksi realitas dimainkan oleh penyunting media massa, karena bagi wartawan segala informasi apapun yang ada di lapangan selayaknya dihimpun dan dilaporkan.

Persyaratan jurnalistik seperti faktual, objektif, akurat, terpercaya, dan penggunaan bahasa yang baik dan benar tetap menjadi soal penting dalam jurnalisme sastra. Pencarian realitas faktual menjadi pekerjaan yang lebih berat, panjang, dan melelahkan (Kurnia, 2000:1). Meskipun teknik penulisan feature merupakan produk gabungan jurnalistik dan sastra, namun jurnlisme sasatra tetap mengutamakan keakuratan berita sebagai syarat utama jurnalistik. Jurnalisme sastra bukan hanya membahas cara membuat laporan seestetis sastra, tetapi sejak awal menekankan bahwa pekerjaan membuat berita sudah dimulai ketika jurnalis mencari bahan berita, menyusunnya, hingga melaporkannya (Kurnia, 2000:1). Dengan demikian, jurnalisme sastra tidak sekedar teknik penulisan berita yang merupakan inovasi menarik minat pembaca, tetapi juga teknik pelaporan berita yang lebih akurat dan mendalam.

Meski jurnalisme sastra sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an dengan nama jurnalisme baru dan pada tahun 1997 istilah jurnalisme sastra dipakai di sebuah buku terjemahan Pedoman untuk Wartawan, namun ulasan mengenai teknik penulisan berita dengan teknik jurnalisme sastra masih sangat jarang ditemui baik dari literatur maupun diskursus wacana. Dengan mempelajari lebih lanjut secara teoritis dan penelitian, diharapkan pengetahuan tentang jurnalistik akan bertambah dan pembahasan mengenai jurnalisme sastra lebih sering ditemui sebagai teknik penulisan berita yang tidak asing lagi. Dengan mempelajari keterkaitan penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi relaitas, akan mampu menambah nalar kritis dalam membaca berita. Berita tidak lagi dipahami sebagai informasi yang diterima dan diserap begitu saja, melainkan diterima dengan sikap skeptis sebelum mempercayai berita sebagai langkah awal mengkritisi fenomena yang yang diberitakan. Sehingga, pengetahuan ini tidak hanya layak diketahui oleh praktisi media saja tetapi juga oleh pembaca berita pada umumnya.

Penelitian mengenai penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo ini difokuskan pada penerbitan bulan Oktober 2008, pada bulan tersebut telah terbit empat edisi masing-masing terbit tiap enam hari sekali. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober pun dipilih penelitian pada rubrik Laporan Utama yang merupakan fokus peliputan berita dalam tiap edisi penerbitan. Pada bulan Oktober tersebut, pemberitaan yang disajikan majalah Tempo cukup menunjukkan representasi penelitian dengan adanya pemberitaan mengenai tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Pemberitaan tokoh tentang kegiatan kampanye para calon presiden, peristiwa tentang pembalakan hutan liar dan krisis ekonomi global, dan tentang setting sosial Indonesia timur.

Penelitian ini secara praktis adalah langkah awal penulis untuk memahami penerapan jurnalisme sastra dalam media cetak. Tempo merupakan media cetak yang sudah sejak lama menggunakan teknik ini. Majalah Tempo terbukti lebih menarik minat banyak pembaca untuk membaca berita yang disajikan. Dibanding majalah Pantau yang juga menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastra, majalah Tempo terbukti lebih lama bertahan sebagai majalah berita mingguan sejak tahun 1980-an.

Majalah Tempo memuat tiga belas rubrik, laporan utama dalam majalah Tempo yang merupakan fokus penelitian ini adalah fokus liputan yang disajikan dengan teknik penulisan Jurnalisme Sastra dengan memperhatikan keaktualan berita. Dalam laporan utama majalah Tempo yang dimuat dengan panjang antara 10-17 halaman tergantung panjang berita, penerapan jurnalisme sastra digunakan sebagai teknik penulisan yang memberikan dramatisasi berita namun tetap akurat, tajam, dan objektif. Dengan teknik penulisan jurnalisme sastra, membuat berita yang panjang tersebut tetap menarik untuk diikuti hingga tuntas.

Dengan latar belakang di atas, maka penelitian berjudul“Penerapan Jurnalisme Sastra sebagai Pembentuk Konstruksi Realitas dalam Majalah Tempo Edisi Bulan Oktober 2008” dapat dikatakan penelitian yang baru. Peneliti belum menemukan penelitian sejenis, khususnya di Universitas Negeri Malang.


Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti prinsip kerja metode deskriptif kualitatif. Rancangan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena relevan dengan ciri-ciri penelitian kualitatif. Sebagaimana dikatakan Bogdan dan Taylor (dalam Moelong, 1990:3) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa deskripsi kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Ciri dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) data dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan dan bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis dilakukan secara induktif dan (5) makna merupakan andalan utama.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data yang ada dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tanpa melakukan tindakan merubah ataupun memberikan tindakan tertentu. Kemudian peneliti melakukan analisis deskriptif atas penerapan jurnalisme sastra untuk membentuk konstruksi realitas dalam rubrik laporan utama majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 tersebut. Peneliti mendeskripsikan penerapan jurnalisme sastra yang digunakan oleh majalah Tempo dalam penulisan rubrik laporan utama melalui penggunaan gaya bahasa dan diksi yang tepat untuk membentuk konstruksi realitas serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketepatan penerapan tersebut.

Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data yang ada dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Pendekatan ini tidak mementingkan jumlah melainkan kadar dari jawaban pertanyaan “bagaimana”. Hal ini sejalan dengan salah satu ciri penelitian kualitatif yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Dengan demikian, peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2000:6). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif.

Selain ciri tersebut, penelitian ini berlatar alamiah dan manusia sebagai instrumen utama. Berlatar alamiah, dalam arti bahwa data dan sumber data pada penelitian ini dibiarkan apa adanya (alami), tidak ada perlakuan khusus terhadapnya. Manusia sebagai instrumen utama merupakan alat pengumpul data utama. Sebagai instrumen utama, peneliti dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian, peneliti dapat menyadari dan mengatasinya (Moleong, 2000:4-5). Di samping itu, orang sebagai instrumen memiliki senjata “dapat memutuskan” yang secara luwes dapat digunakannya. Ia senantiasa dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan.

Suatu penelitian perlu adanya metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Surachmad (1989:131) mengemukakan bahwa metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian Aminuddin (1990:11) menyatakan bahwa dalam memilih suatu metode yang perlu diperhatikan adalah adanya relevansi antara masalah yang dibahas, prediksi gejala yang akan dikaji, serta target yang akan dicapai dengan metode yang akan dipilih. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan/metode penelitian kualitatif.

Pembahasan

Majalah Tempo dianggap sebagai majalah yang kontroversial baik dari segi pemilihan kata maupun dalam hal keberanian mengungkap fakta hasil reportase jurnalis. Majalah Tempo secara terbuka memposisikan diri sebagai media yang oposisi terhadap Pemerintah. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan yang sering memunculkan permasalahan di kalangan pejabat birokrasi Negara. Penggunaan pilihan kata yang berani sesuai dengan fakta hasil reportase juga kerap terkesan mendiskreditkan tokoh, peristiwa, dan setting sosial tertentu.

Diksi digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih kata. Setiap kata yang dipilih oleh jurnalis mengandung tujuan untuk mengonstruksi realitas yang dibentuk. Pilihan kata (diksi) yang tepat, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap pembaca.

Sedangkan gaya bahasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan ketepatan memilih perumpamaan maupun perbandingan. Gaya bahasa jurnalisme sastra tidak bisa diklasifikasikan tersendiri dari gaya bahasa pada umumnya, karena gaya bahasa merupakan berlaku universal. Dengan gaya bahasa yang dipilih oleh jurnalis memunculkan berita yang disampaikan secara implisit. Sehingga, dalam membaca berita yang disajikan dengan penerapan jurnalisme sastra, pembaca mendapatkan berita yang detil.

Majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menerapkan penulisan jurnalisme sastra dalam memaparkan berita, khususnya dalam rubrik laporan utama dengan penulisan depth news atau laporan yang mendalam. Penerapan jurnalisme sastra bertujuan untuk menarik pembaca terhadap pemberitaan yang dipaparkan secara panjang dan mendetil. Di samping itu, penerapan jurnalisme sastra menggunakan aturan yang lebih lunak bagi jurnalis untuk merefleksikan amatannya melalui pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan fakta liputan. Jurnalis berkesempatan menyampaikan kritik secara implisit dengan tujuan memberikan wacana kritis terhadap masyarakat pembaca.

Diksi yang sering digunakan dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 adalah diksi kata bernilai rasa. Diksi kata bernilai rasa digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh sesuai dengan karakter yang diamati jurnalis dengan memasukkan penilaian jurnalis terhadap karakter tokoh tersebut. Kata bernilai rasa tinggi akan memiliki dampak yang lebih kuat di benak khalayak dibandingkan dengan kata-kata bernilai rasa rendah (Sumadiria, 2006:30-33). Kata bernilai rasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, bernilai rasa merendahkan atau meninggikan.

Diksi kata abstrak digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas dengan kesan mengaburkan tokoh yang diberitakan. Kata abstrak tidak langsung menunjukkan interpretasi penulis terhadap tokoh secara langsung. Penggunaan kata abstrak memberi peluang bagi pembaca sebagai pembentuk konstruksinya sendiri atas tokoh yang diberitakan. Jurnalis hanya mengemukakan pilihan kata yang menunjuk kepada suatu sifat, konsep, atau gagasan terhadap tokoh. Diksi kata lugas digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh dengan pilihan kata yang bersifat tembak langsung, tegas, lurus, apa adanya, kata-kata yang bersahaja, sekaligus ringkas, tidak merupakan frasa yang panjang, dan tidak mendayu-dayu (Sumadiria, 2006:30-33). Diksi yang digunakan sesuai dengan interpretasi jurnalis tentang ciri yang paling menonjol dari tokoh yang mampu menguatkan pemahaman pembaca.

Dalam pemberitaan, majalah Tempo berani menyajikan berita secara mendalam dan faktual. Independensi majalah Tempo terlihat dari pemberitaan peristiwa yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah, sekaligus keberanian majalah Tempo memberitakan peristiwa yang bersinggungan dengan kritik sosial berbeda dengan media lainnya. Majalah Tempo menghadirkan seri pemberitaan yang menggali sekuen-sekuen berdasarkan rekonstruksi peristiwa-peristiwa paling dramatis (Kurnia, 2002:152).

Diksi kata konkret digunakan untuk memberitakan setting sosial yang mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Setting sosial masyarakat yang diberitakan dengan diksi kata konkret adalah masyarakat yang sudah jelas diketahui mengenai kondisinya. Pilihan kata atau diksi harus mempertimbangkan dimensi sosiologis untuk masyarakat. Sehingga, dalam pemilihan diksi kata konkret jurnalis tidak perlu memunculkan makna lain dari pilihan kata tersebut. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, kata konkret digunakan untuk memaparkan berita sesuai dengan data kuat yang diperoleh dari reportase. Data tersebut dipaparkan dengan pemberitaan yang konkret dengan pilihan kata yang apa adanya sesuai dengan paparan data tersebut. Diksi kata abstrak digunakan untuk menyajikan berita tentang setting sosial dengan latar masyarakat yang kompleks. Gagasan jurnalis terhadap reportase kondisi sosial sangat menonjol dalam menyajikan berita, maka kata abstrak bisa memunculkan makna ambigu. Jurnalis mengonstruk setting sosial dengan kata abstrak yang mampu menggiring pemahaman pembaca dalam memandang masyarakat tertentu sesuai dengan interpretasi penulis.

Penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Penerapan jurnalisme sastra dalam majalah Tempo menggunakan gaya bahasa untuk mengonstruksi tokoh tertentu. Penggunaan gaya bahasa ini disesuaikan dengan interpertasi jurnalis terhdap tokoh yang diberitakan. Setiap penulis memiliki kepribadian dan karakter yang melekat dalam gaya bahasa tulisannya, yang membentuk identitas kewartawanan atau kesastrawanan seseorang (Sumadiria, 2006:145). Gaya bahasa hiperbola digunakan untuk mengonstruksi peristiwa yang dilebihkan oleh jurnalis. Penggunaan gaya bahasa hiperbola untuk menonjolkan kritik maupun prediksi jurnalis atas suatu peristiwa. Pilihan kata yang terkesan membesarkan peristiwa mengonstruk berita sebagai realitas berdasarkan interpretasi jurnalis. Gaya bahasa hiperbola dipilih sesuai dengan gagasan mengenai ide-ide yang sulit diungkapkan dengan kata yang lazim digunakan. Kata berlebihan yang digunakan untuk memberikan konstruksi memberikan vonis suatu terhadap peristiwa.

Gaya bahasa Epitet digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan penyebutan yang dipilih oleh jurnalis. Menurut Keraaf (dalam Sumadiria 2006:167), Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frasa deskriptif yang memerikan atau menggantikan nama sesuatu. Gaya bahasa Epitet digunakan untuk memperhalus justifikasi jurnalis terhadap hasil reportase yang disajikan. Jurnalis menentukan identifikasi terhadap setting sosial yang secara tidak langsung membentuk konstruksi terhadap kondisi masyarakat yang diberitakan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 gaya bahasa Epitet digunakan untuk menyebut negara tertentu sesuai dengan reportase jurnalis.

Gaya bahasa Sinekdoke digunakan sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya. Menurut Dale (dalam Sumadiria, 2006:163), Sinekdoke adalah gaya bahasa yang mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, Sinekdoke digunakan dengan menyebut nama negara yang merupakan ungkapan keseluruhan untuk menyebut sesuatu yang menjadi bagian negara tersebut. Jurnalis membentuk konstruksi realitas tentang setting sosial dengan identifikasi bagian tertentu dari keseluruhan masyarakat tersebut atau sebaliknya. Sehingga, pembaca berasumsi sesuai dengan ungkapan yang disajikan oleh jurnalis tersebut.

Gaya bahasa Hiperbola termasuk gaya bahasa pertentangan, menurut Tarigan (dalam Sumadiria 2006:153), Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Penggunaan gaya bahasa Hiperbola sarat dengan informasi yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008, gaya bahasa Hiperbola digunakan untuk mengonstruk setting sosial yang paling parah. Jurnalis tetap memiliki data akurat untuk kepentingan melebihkan berita tersebut, reportase yang detil dan verifikasi yang bisa dipertanggung jawabkan menguatkan jurnalis untuk menggunakan ungkapan yang hiperbolis.


Kesimpulan

Sebagaimana telah dipaparkan dan dianalisis pada bab sebelumnya, bahwa majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 menggunakan penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita. Bentuk penerapan tersebut terlihat dari pemilihan diksi dan penggunaan gaya bahasa dalam memaparkan berita. Penerapan jurnalisme sastra dalam penulisan berita berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional. Perbedaaan tersebut terlihat dari kebebasan jurnalis dalam menggunakan gaya penulisan sesuai dengan sudut pandangnya untuk kepentingan dramatisasi penulisan. Dengan tidak meninggalkan unsur kebenaran berita dan objektivitas penulisan.

Berdasarkan hasil penelitian, yaitu deskripsi data dan analisis data hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

(1) Penerapan jurnalisme sastra sebagai pembentuk konstruksi realitas dalam majalah Tempo edisi bulan Oktober 2008 terlihat dari 2 segi, yakni (a) penggunaan diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat

dari pemilihan diksi oleh jurnalis untuk memudahkan penyajian berita sehingga dipahami oleh pembaca meliputi diksi kata bernilai rasa, kata lugas, kata konkret, kata abstrak, kata khusus, dan kata umum; dan (b) penggunaan gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas, hal itu terlihat dari gaya penuturan memasukkan unsur sastra untuk menyajikan berita yang enak dibaca dengan pemaparan yang mengalir secara dramatis.

(2) Pemilihan diksi dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh bergantung pada latar belakang tokoh yang diberitakan, jurnalis memaparkan ciri khas karakter tokoh melalui diksi yang digunakan yang bisa dipertanggung jawabkan secara faktual. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang peristiwa yang diberitakan merupakan potongan peristiwa yang dianggap representatif untuk menampilkan fakta, diksi yang digunakan dalam membentuk konstruksi realitas merupakan diksi menurut penilaian jurnalis sebagai orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung. Diksi sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.

(3) Penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh, peristiwa, dan setting sosial. Gaya

bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang tokoh memilih kata yang berhubungan dengan karakter atau ciri khas tokoh tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter tokoh tersebut, makna kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan karakter tokoh. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi tentang peristiwa memilih kata yang berhubungan dengan kondisi terjadinya peristiwa, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan kondisi peristiwa tersebut, makna konotasi kata yang dikonstruk oleh jurnalis menunjukkan peristiwa secara nyata, beberapa peristiwa yang diberitakan dengan bahasa yang berlebihan disertai dengan data, jurnalis tidak meninggalkan unsur kebenaran berita. Gaya bahasa sebagai pembentuk konstruksi realitas tentang setting sosial memilih kata yang berhubungan dengan kondisi latar belakang daerah tertentu, konstruksi realitas yang dibentuk jurnalis disesuaikan dengan karakter masyarakat daerah tersebut, sehingga makna konotasi gaya bahasa yang dikonstruk oleh jurnalis menyiratkan kondisi sosial.


Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Aminuddin. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Yogya: Tiara Wacana
Eriyanto. 2007. Analisis Framing. Yogyakarta: LKIS
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit
Harsono, Andreas. 2008. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas
Kurnia, Santana Septiawan. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kusumaningrat, Hikmat. 2006. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Rosda
Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.. Bandung: Rosda
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda
Sumadiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Surachmat, Pawito. 1989. PenelitianBahasa dan Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogya: Tiara Wacana
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda
Rahzen, Taufik. 2007. Tanah Air Bahasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...