Situasi Peer Teaching Peserta PLPG dalam Rangka Sertifikasi Guru di Kota Batu


PLPG yang berlangsung selama sepuluh hari benar-benar menguras tenaga baik oleh para dosen pembimbing maupun para peserta. Di sela-sela istirahat benar-benar dimanfaatkan untuk menyegarkan fisik dan psikis.

1. Para dosen ketika rehat sebelum memasuki kegiatan PLPG


Dr. Anang Santoso yang terlihat paling ganteng sedang digojlok ibu-ibu dosen.


Dr. Soedjiono, dosen Jurusan sastra Indonesia Universitas Negeri, yang akhir-akhir ini suka mendalami sastra Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kebatinan, sedang bercengkerama dengan Prof. Dr. Suyitno.

2. Situasi pembekalan oleh Masnur Muslich sebelum pelaksanaan peer teaching


3. Situsi pelaksanaan peer teaching yang dibimbing Masnur Muslich


4. Masnur Muslich ditodong peserta PLPG untuk berfoto bersama setelah seusai pelaksanaan peer teaching

ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

Situasi Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran oleh Mahasiswa Pengikut Matakuliah PKP pada Program Pendidikan SD UT


Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang
Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang
Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan

PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya.

1. Diskusi dalam rangka persiapan pelaksanaan perbaikan pembelajaran



2. Ketua kelas III mengecek kerapian pakaian dan kuku siswa sebelum masuk kelas



3. Situasi pelaksanaan perbaikan oleh Mahasiswa peserta PKP







4. Situasi ketika memberikan balikan pelaksanaan perbaikan pembelajaran di deopan mahasiswa dan guru SD Negeri Pesanggrahan, sekaligus sambutan penutupan.





Pembimbing: Masnur Muslich, Universitas Negeri Malang
Kelompok Belajar: Gondangwetan, UPBJJ Malang
Lokasi: SD Negeri Sanggrahan Kec. Gondangwetan Kab. Pasuruan

PKP(Peningkatan Kemampuan Profesional)adalah salah satu matakuliah yang harus ditempuh mahasiswa Program Pendidikan S1 SD Universitas terbuka. Matakuliah yang ditempuh pada semester X ini merupakan matakuliah puncak. Mengapa demikian? Karena selain mahasiswa harus dapat mengaplikasikan atau mengolaborasikan serangkaian konsep, teori, dan ilmu yang telah diperolehnya dalam berbagai modul di depan kelas, ia harus piawai dalam melaporkannya sdalam bentuk PTK. Mulai dari penyusunan RPP, pengadaan media, dan pelaksaannya di kelas, seolah ia kekurangan waktu. Inilah dokumennya. ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

UPAYA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEBAHASAAN DAN KESUSASTRAAN DI DAERAH


Oleh Masnur Muslich
(Diadaptasikan dari tulisan IGN Oka)

Permasalahan Konsepsional
Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang kita laksanakan di tanah air kita adalah salah satu bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan. Lewat pembinaan dan pengembangan ini, kita melaksanakan kegiatan-kegiatan mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan bangsa kita yang terjalin dari (1) masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah kebahasaan dan kesusastraan daerah, dan (3) masalah penggunaan dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing tertentu, seperti misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Sanskerta, dsb.. Tujuan yang ingin kita capai dalam hubungan ini adalah suatu perangkat tujuan yang kita rancang dengan semangat Orde Baru yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang dimaksudkan oleh (1) bagian Pembukaan UUD 1945, (2) Bab XIII pasal 31 dan pasal 32, dan (3) Bab XV pasal 36. Adapun perangkat tujuan yang dimaksudkan meliputi dua kelompok tujuan yang saling berhubungan, yaitu pertama tujuan bina bangsa dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu; dan kedua tujuan bina bahasa dengan sasaran bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu. Tujuan yang pertama ialah membina seluruh rakyat Indonesia agar mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap berikut.
1)Pengetahuan yang sahih tentang (a) kedudukan, fungsi, dan nilai bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan bahasa-bahasa asing tertentu, (b) sistem dan struktur masing-masing bahasa dan kesusastraan itu, dan (c) problematik pemakaian masing-masing bahasa dan kesusastraan itu.
2)Keterampilan hakikat yang memadai dalam (a) menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bertutur, menyimak, membaca dan menulis), sebagai alat bernalar/berpikir, dan sebagai alat memandang masalah-masalah kehidupan, dan (b) mengapresiasi serta memanfaatkan karya-karya sastra Indonesia. Keterampilan hakikat yang sama juga dibina pada putra-putra daerah dalam hubungannya dengan bahasa dan kesusastraan daerahnya yang masih dipeliharanya baik-baik. Dan keterampilan hakikat dalam bahasa asing dibatasi pembinaannya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat teknis.
3)Sikap yang positif terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang berupa (a) rasa bangga memilikinya, (b) dorongan menghormatinya, (c) setia menggunakannya dengan baik dan benar, dan (dengan) merasa prihatin akan perlakuan-perlakuan terhadapnya yang kurang pada tempatnya.
Tujuan yang kedua ialah membina bahasa dan kesusastraan Indonesia sehingga bahasa Indonesia (termasuk kesusastraannya) memiliki karakterisasi berikut.
1)Utuh dan padu sebagai satu bahasa tersendiri dengan perangkat ciri yang secara khas menandai serta membedakan eksistensinya dari bahasa-bahasa lain.
2)Tetap bertahan dan terpelihara sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Negara atau Bahasa Resmi, dan Bahasa Kebudayaan Nasional.
3)Memiliki kebakuan serta daya wadah dan daya ungkap yang akurat sebagai alat komunikasi.
4)Tersebar luas di seluruh wilayah tumpah darah Indonesia.
5)Terpakai dalam berbagai bidang kehidupan oleh setiap lapisan masyarakat.
Tujuan yang sama juga terdapat pada pembinaan bahasa dan kesusastraan daerah, hanya saja dalam versi yang khusus. Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang telah dilaksanakan dalam setiap era pembangunan, ternyata membuahkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan. Namun di balik keberhasilan ini tidak sedikit pula kekurangan-kekurangan serta hambatan-hambatan yang kita hadapi. Termasuk kekurangan kita dalam hubungan ini ialah:
(1)menetapkan lingkup serta menjabarkan secara akurat tujuan-tujuan tahapan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari tujuan umum yang sudah jelas, sehingga berupa sistematika tujuan yang teramati dan terukur pencapaiannya;
(2)merancang program-program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan yang bermutu, relevan, terpadu, efektif, dan efisien;
(3)memanfaatkan sumber-sumber langsung atau tidak langsung yang tersedia;
(4)menggalang kerjasama, partisipasi, dan integrasi;
(5)memotivasi pengabdian (dedikasi) dan prestasi.
Adapun jenis-jenis hambatan yang signifikan dalam hubungan ini adalah sebagai berikut:
1)Rumit dan uniknya masalah kebahasaan dan kesusastraan di tanah air kita.
2)Besarnya jumlah rakyat Indonesia yang harus kita bina, lagi pula tersebarnya mereka di wilayah yang sangat luas.
3)Keterbatasan-keterbatasan kita dalam (a) informasi lapangan yang dapat dipercaya, (b) tenaga, kemampuan dan keahlian/pengalaman, (c) dana, fasilitas, dan sarana pelancar lainnya, dan (d) semangat dan pengabdian.
4)Masih cukup banyaknya rakyat kita belum memiliki pengertian yang baik tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Malahan tidak sedikit pula yang bersikap dan bertindak tidak simpatik terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan.
5)Kurang merangsangnya bidang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan dari segi sosial dan ekonomi, lebih-lebih lagi dalam kecenderungan masyarakat yang berfikir sekular.
Berdasarkan kajian terhadap hakekat, kedudukan dan fungsi, dan tujuan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di satu pihak, dan kajian terhadap kekurangan-kekurangan kita serta hambatan-hambatan yang kita hadapi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan itu di pihak lain, maka secara konsepsional permasalahan yang kita hadapi pada dasarnya berkisar pada:
1)masalah ketajaman program pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan kita;
2)masalah pengelolaan pelaksanaan program itu;
3)masalah dedikasi dan motivasi dalam melaksanakannya;
4)masalah penggalangan kerjasama, partisipasi, dan integrasi dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan;
5)masalah sumber informasi lapangan yang dapat dipercaya.

Permasalahan Operasional
Pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional di bidang pendidikan dan kebudayaan telah dilaksanakan pula di daerah-daerah propinsi, termasuk Jawa Timur (Jatim). Hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaannya selama ini dalam banyak hal cukup menggembirakan. Malahan – khusus kasus Jatim – jika dibandingkan dengan hasil-hasil daerah lain, Jatim termasuk barisan yang berhasil baik. Walaupun demikian, Jatim menghadapi pula beraneka ragam persoalan dalam melaksanakan pembinaan kebahasaan dan kesusastraan di wilayahnya, dan di tengah-tengah kehidupan warga masyarakatnya.
Permasalahan operasional yang dihadapi daerah pada dasarnya di sekitar (1) masalah lapangan, yaitu kondisi objektif daerah dan masyarakatnya, (2) masalah ketenagaan, (3) masalah kelembagaan, (4) masalah kebijakan, dan (5) masalah prasarana dan sarana penunjang/pelancar. Problematik tentang kelima masalah ini akan dipaparkan pada bagian-bagian uraian berikut.

Masalah lapangan
Daerah Jatim, misalnya, tempat kita melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan tergolong daerah yang relatif luas arealnya. Di samping pulau Jawa Bagian Timur sebagai intinya, daerah Jatim meliputi pula pulau Madura dan sejumlah pulau-pulau kecil lainnya. Keadaan alam dan lingkungan Jatim dalam banyak hal sering kali menghambat kelancaran jalannya pembangunan, lebih-lebih lagi kalau dihubungkan dengan kondisi transportasi dan sarana komunikasi yang belum boleh dikatakan baik, terutama untuk mencapai daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dan kota-kota.
Di daerah yang relatif luas ini bermukim penduduk yang jumlahnya hampir mendekati 30 juta jiwa. Penyebaran permukimannya tidak merata. Demikian pula status sosial ekonominya dan tingkat pendidikannya beragam-ragam keadaannya dengan kondisi kebanyakan berada di bawah semestinya. Malahan tidak sedikit yang keadaan sosial ekonominya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Selain daripada itu, rakyat Jatim berdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa dengan suku Jawa dan Madura yang terbanyak/terbesar. Dalam suasana-suasana kedaerahan dan kesukuan, tiap suku bangsa ini masih berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan sukunya yang antara lain berupa adat, tradisi, kepercayaan, dsb.. Sejalan dengan keanekaragaman suku ini, di daerah Jatim terdapat pula bermacam-macam bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dan suku-suku perantauan lainnya). Masing-masing bahasa daerah ini bagi masyarakat pemiliknya merupakan sesuatu yang bernilai dan berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan suku, (2) lambang identitas suku, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat suku. Ikatan masing-masing suku dengan bahasa daerahnya demikian kuatnya sehingga tampak jelas jejaknya pada bahasa Indonesia yang mereka pakai.
Selain masyarakat suku, di daerah Jatim, terutama di kota-kota, bermukim pula WNI keturunan Cina. Jumlah mereka ini realtif besar. Secara sosiokultural, mereka memiliki identitas-identitas tersendiri pula. Demikian pula bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Indonesia dialek Cina, pada dasarnya merupakan kenyataan lapangan yang tidak bisa diingkari adanya.
Kondisi lapangan Jatim seperti yang dipaparkan di atas, dalam banyak hal merupakan permasalahan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim. Setidak-tidaknya, kondisi lapangan ini harus dimanfaatkan demikian rupa sehingga dia tidak tampil sebagai penghambat semata.

Masalah Ketenagaan
Tenaga-tenaga untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim yang tersedia sekarang boleh dikatakan sangat terbatas jumlahnya. Dari jumlah yang tidak banyak ini, sedikit sekali yang betul-betul ahli dalam masalah pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Beban kerja mereka kebanyakan telah melampaui batas. Banyak pula di antara mereka ini yang harus menyelesaikan tugas-tugas di luar bidang kekaryaannya.
Kondisi ketenagaan yang serba kurang dipertemukan dengan tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dengan permasalahannya yang demikian luas, rumit, dan uniknya, sulit dibayangkan akan berlangsungnya pelaksanaan tugas yang lancar. Lebih sulit lagi dibayangkan akan tercapainya hasil yang baik.

Masalah Kebijakan
Untuk mengolah keseluruhan jaringan masalah kebahasaan dan kesusastraan di Jatim yang terjalin dari (1) masalah bahasa dan kesusastraan Indonesia, (2) masalah bahasa dan kesusastraan daerah (Jawa, Madura, Osing, Tengger, dsb.), dan (3) pemanfaatan dan penggunaan bahasa-bahasa asing tertentu, suatu pola kebijakan sangat diperlukan. Jatim sampai sekarang belum memilikinya. Kalau toh ada, sangatlah kecil dan jauh dari harapan. Akibatnya dapat diduga. Para pelaksana pembina dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tidak memiliki acuan dan panduan operasional dalam merancang dan melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, hasil-hasil yang dicapainya sering tidak relevan dengan pola dan tujuan pembangunan di Jatim. Gejala kurang baik seperti yang terakhir ini akan dapat diminimalkan, jika Jatim telah menggariskan secara jelas dan tegas pola kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan, lewat Balai Bahasa yang telah dimiliknya.

Masalah Sarana dan Prasarana
Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim selama ini cukup banyak mengalami hambatan akibat kekurangan-kekurangan/kelemahan-kelemahan dalam bidang prasarana, sarana, dan faktor-faktor pelancar/penunjang lainnya. Termasuk ke dalamnya adalah kekurangan/kelemahan berikut.
1.Informasi lapangan yang dapat dipercaya tentang masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim. Informasi yang demikian ini terbatas sekali adanya karena penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan belum cukup banyak dilakukan.
2.Tempat (gedung), ruang, dan peralatan yang tersedia selama ini boleh dikatakan belum memenuhi persyaratan, lebih-lebih lagi jika mau dipenuhi persyaratan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
3.Partisipasi dan integrasi kebanyakan rakyat terhadap kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan belum memadai keadaannya. Persepsi mereka terhadap kegiatan ini agaknya masih kabur.
4.Dedikasi dan motivasi.
Dedikasi kebanyakan pelaksana pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim boleh dikatakan belum tinggi. Demikian pula pada umumnya di kalangan rakyat dalam mengikuti kebijakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan. Sejalan dengan gejala negatif ini, motivasi yang dikembangkan belum cukup kuat mendorong/merangsang.
5.Koordinasi.
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim tampak gejala bahwa belum tergalang koordinasi yang baik. Gejala ini misalnya terlihat pada bertumpangtindihnya bidang tugas, berulangkalinya dipermasalahkan persoalan yang sama, terlampauinya pihak-pihak yang berkewenangan, dsb.
Selain dari kelima faktor tersebut di atas, pelancar/penunjang yang sangat besar pengaruhnya namun tersedianya sangat minim ialah dana. Alokasi dana yang khusus disediakan untuk usaha, upaya, kegiatan, dan maksud-maksud baik yang lain utuk pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di Jatim relatif sangat kecil.
Demikianlah sejumlah permasalahan operasional yang dihadapi dalam pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.

Kebijakan Pilihan
Berdasarkan kajian terhadap permasalahan konsepsional dan permasalahan operasional seperti yang dipaparkan di muka, bermacam-macam kebijakan yang dapat digariskan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di wilayah Propinsi Jawa Timur. Walaupun demikian, hanya sejumlah kebijakan saja yang patut ditetapkan untuk waktu-waktu mendatang. Pembatasan jumlah dan jenis kebijakan ini perlu dilakukan dengan pertimbangan terhadap (1) perlunya kesinambungan antara kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dalam pembangunan sebelumnya, (2) harapan akan hasil nyata yang bisa dicapai dalam pembaungan mendatang, dan (3) kesadaran akan berbagai keterbatasan untuk melaksanakannya, seperti misalnya keterbatasan dalam masalah tenaga, keahlian, kesempatan, dana, fasilitas, dan faktor-faktor penunjang relevan lainnya. Oleh karena itu, jenis-jenis kebijakan pilihan yang diperkirakan tepat untuk pembangunan mendatang adalah kebijakan-kebijakan yang memandu kegiatan-kegiatan yang disajikan berikut.
Pertama, macam-macam kegiatan yang memperkaya sumber informasi kebahasaan dan kesusastraan. Berikut ini termasuk ke dalam lingkup kegiatan ini.
1)Penelitian
Penelitian terhadap masalah kebahasaan dan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan memperluas sasaran penelitian dan memperdalam pengkajian. Dengan demikian akan tersedia sumber-sumber informasi masalah kebahasaan dan kesusastraan yang dibutuhkan untuk menyusun macam-macam program operasional pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
2)Perekaman dan Pemetaan
Perekaman kesusastraan lisan dan pemetaan jenis-jenis dan ragam-ragam bahasa yang ada di kawasan Jawa Timur perlu dilanjutkan dan diperluas serta ditingkatkan mutunya. Rekaman dan peta yang dihasilkan akan merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk pembangunan.
3) Publikasi
Publikasi adalah sumber informasi yang paling sahih. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan publikasii hasil-hasil penelitian, perekaman, pemetaan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jawa Timur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam penyusunan program pembangunan di bidang pendidikan.
Kedua, mengembangkan macam-macam program yang secara langsung atau tidak membina pengetahuan, keterampilan hakikat, dan sikap warga masyarakat Jawa Timur dalam berhubungan dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah, dan dengan bahasa-bahasa asing tertentu. Macam-macam program yang tepat dikembangkan dalam pembangunan mendatang adalah sebagai berikut.
1)Program penataran bahasa dan kesusastraan Indonesia untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan hakikat bahasa Indonesia, pengetahuan dan kemampuan mengapresiasi karya sastra Indonesia, dan untuk mempositifkan sikap masyarakat terhadap bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program yang sama patut pula dikembangkan pada bahasa dan kesusastraan daerah, terutama untuk masyarakat daerah yang masih memelihara bahasa dan kesusastraannya. Sedangkan untuk bahasa dan kesusastraan asing, program penataran yang patut dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan teknis yang mendesak.
2)Program penyuluhan bahasa dan kesusastraan.
Program ini dimaksudkan untuk meneruskan kebijakan-kebijakan bahasa dan kesusastraan, seperti misalnya pemakaian EYD, penyusunan istilah, penjelasan tentang karya sastra terlarang, dll.
3)Program penyebarluasan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Program ini merupakan realisasi dari usaha memberantas buta bahasa Indonesia.
4)Program partisipasi terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, termasuk kesusastraannya. Program ini dapat diwujudkan berupa pertemuan-pertemuan (diskusi, seminar, sarasehan, dsb.) ataukah dengan memberi peluang memainkan peranan tertentu dalam jenis-jenis kegiatan yang termasuk lingkup gerakan pembinaan bahasa Indonesia.
5)Program penghargaan prestasi bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Program ini hendaknya mengembangkan media, forum, atau wadah yang memberi peluang kepada warga masyarakat memperoleh penghargaan yang patut terhadap prestasinya mengintegrasikan diri dengan pembinaan bahasa dan kesusastraan Indonesia dan daerah.
Ketiga, meningkatkan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah. Kerja sama ini perlu digalang lewat suatu program yang terencana dan terarah, dengan koordinasi Balai Bahasa Jawa Timur.
Keempat, mengembangkan usaha yang memotivasi masyarakat umumnya dan karyawan khususnya untuk mempelajari bahasa dan kesusastraan Indonesia. Usaha ini antara lain dapat diwujudkan dengan menetapkan pengetahuan dan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai persyaratan promosi atau persyaratan penerimaan sebagai karyawan. Usaha yang sama dapat pula dilakukan terhadap bahasa daerah dan bahasa asing tertentu dalam batas-batas kebutuhan khususnya.
Demikianlah empat perangkat usaha dan kegiatan yang patut diprogramkan sebagai macam-macam kebijakan pilihan untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan di daerah Jawa Timur dalam pembangunan mendatang. Keempat perangkat usaha dan kegiatan tersebut di atas, tidak terlepas hubungannya satu dengan yang lainnya. Kesemuanya saling bertautan dalam satu keutuhan yang harus diprogramkan serempak dalam satu tahapan pembangunan.
Akhirnya, selain dari perangkat permasalahan yang telah dipaparkan di muka, masih banyak lagi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah yang belum sempat disajikan dalam uraian ini, lebih-lebih lagi kalau yang diinginkan sebuah sistematika identifikasi permasalahan yang menyeluruh, lengkap, dan terinci. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh identifikasi permasalahan yang agak lengkap tentang pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim disarankan tiga tahapan kerja sebagai berikut.
1)Membentuk sebuah tim kecil (ad hoc) dengan tugas pokok melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim.
2)Mengevaluasi hasil survai tim kecil dalam suatu seminar khusus yang dihadiri oleh ahli-ahli bahasa, guru-guru bahasa, dan pejabat yang secara langsung terlibat dengan masalah kebahasaan dan kesusastraan di kawasan Jatim.
3)Menyusun sistematika identifikasi permasalahan pembinaan dan pengembangan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan daerah di Jatim dalam suatu lokakarya khusus terbatas dengan memanfaatkan hasil survai tim kecil dan hasil seminar evaluasi di atas.
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

LINGUISTIK DAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA


Oleh Masnur Muslich
(Diadaptasikan dari Tulisan I Gusti Ngurah Oka)

Kalau kita pandang pengajaran bahasa itu sebagai suatu proses, maka di dalamnya kita dapati dua jenis proses, yaitu (a) proses penyerahan bahasa yang diajarkan kepada orang yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan (b) proses penerimaan bahasa yang diajarkan oleh pelajar bahasa. Di dalam sejarah studi pengajaran bahasa, tiap jenis proses tersebut di atas ini merupakan bidang studi tersendiri yang makin mengkhusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini. Proses menyerahkan bahasa yang diajarkan kepada pelajar bahasa adalah pokok persoalan “Ilmu Pengetahuan Bahasa (Language Teaching)”.1) Titik pertemuan kedua jenis proses di atas terletak pada bahasa yang diajarkan atau dipelajari. Karena itu berhasil baiknya proses pengajaran bahasa akan sangat ditentukan bahasa yang diajarkannya dan juga pemahaman pelajar bahasa terhadap bahasa yang dipelajari itu. Pemahaman itu hanya mungkin bisa terjadi kalau bahasa tersebut telah digambarkan secara benar (ilmiah). Dan gambaran ilmiah terhadap bahasa adalah kompetensi linguistik untuk mengemukakannya.2) Dari segi ilmiah bisa kita lihat hubungan dalam proses pengajaran bahasa. Jadi kalau demikian di dalam proses pengajaran bahasa ada tiga persoalan yang harus kita pertimbangkan, yaitu:
a)gambaran bahasa (language description) yang akan diajarkan,
b)mengajarkan bahasa (language teching) tersebut pada pelajar bahasa,
c)belajar bahasa (language learning) tersebut kepada pelajar bahasa.3)
Jika titik pertemuan linguistik dengan pengajaran bahasa pada bahasa akan diajarkan atau yang akan dipelajari, maka persoalan yang kita angkat dalam hubungan ini adalah:
a)Sejauh manakah sumbangan linguistik kepada pengajaran bahasa?
b)Bagaimanakah kemungkinan penerapannya ke dalam pengajaran bahasa Indonesia?
Kedua pokok persoalan inilah yang selanjutnya akan merupakan isi dari uraian berikut ini:

Sejarah Penerapan Linguistik
Ditinjau dari segi sejarahnya, masuknya linguistik ke dalam persoalan Pengajaran bahasa boleh dikatakan belum begitu lama. Di Amerika misalnya pemasukan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dirintis oleh L. Bloomfield. Sehubungan dengan ini, Mary R. Haas dalam karangannya yang berjudul: “The Application of Language Teaching” (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807-817) mengatakan bahwa Bloomfield linguistik pertama yang bertindak sebagai guru bahasa.
Hasil-hasil yang baik dicapai Bloomfield dalam linguistik, yaitu mendeskripsikan bahasa yang diselidikinya sebagaimana adanya bahasa tersebut (sesuai dengan sistem dan struktur bahasa tersebut), kemudian diterapkannya ke dalam pengajaran bahasa. Penerapan ide-ide linguistisnya ini antara lain berupa saran-saran bagaimana sebaiknya cara-cara yang ditempuh untuk mengajarkan suatu bahasa dan mempelajari suatu bahasa. Beberapa dari saran tersebut misalnya seperti berikut.
a)Orang yang akan mengajarkan suatu bahasa (guru bahasa) hendaknya mengetahui dengan baik bahasa yang akan diajarkannya serta sanggup berbicara dalam bahasa tersebut.
b)Guru bahasa juga harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur bahasa yang mana yang harus diajarkan, yang mana di antara unsur-unsur tersebut yang lebih didahulukan dan bagaimana cara-cara yang dapat tepat mengajarkan tiap unsur bahasa tersebut.
c)Teknik-teknik yang sebaiknya ditempuh:
(1)Melatihkan secara intensif ucapan bunyi-bunyi bahasanya (drill fonetis). Dalam hubungan ini disarankan agar ucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut diusahakan setepat-tepatnya seperti pemakai aslinya (native speaker-nya) mengucapkan bunyi-bunyi tersebut.
(2)Menyediakan waktu yang cukup (8 jam seminggu) kepada “drill fonetis” (lebih-lebih lagi pada kelas-kelas permulaan).
(3)Mempertentangkan bahasa yang dipelajari dengan bahasa yang dimiliki oleh pelajar bahasa (“approach contrastive”).
Saran-saran tersebut di atas ini dikemukakan oleh Bloomfield didasarkan kepada tujuan pengajaran bahasa, yaitu membuat pelajar bahasa mampu berbahasa yang dipelajarinya, dalam waktu secepat-cepatnya dan tepat seperti pemakai aslinya mengucapkan bahasanya. Sedangkan teknik pengajaran tradisional yang terlalu mementingkan pengajaran gramar dan terjemahan namun mengabaikan kemampuan berbahasa. Hal ini terbukti dari kecamannya terhadap hasil-hasil pengajaran bahasa pada waktu itu sebagai berikut: “Of the students who take up the study of foreign languages in our schools and colleges, not one in a hundred attain even a fair reading knowledg, and not one foreign language”. Ide dan saran teknis dari Blooomfield ini termuat di dalam bukunya yang berjudul: “An Introduction to Study of Language” yang terbit tahun 1914.4)
Perkembangan study pengajaran bahasa di Amerika kemudian maju dengan pesatnya menjelang Perang Dunia II. Hal itu disebabkan karena kemungkinan-kemungkinan terlibatnya Amerika dalam perang tersebut. Adanya kemungkinan ini (dan memang akhirnya Amerika betul-betul terlibat atau melibatkan diri), dengan sendirinya diperlukan persiapan-persiapan atau perlengkapan-perlengkapan yang bukan saja bersifat kemiliteran namun juga yang bersifat sosial-budaya. Sampai pada saat itu pengetahuan Amerika tentang negara-negara yang bukan Eropa begitu banyak.
Demikian juga bahasa-bahasa yang dipelajarinya kebanyakan bahasa-bahasa klasik Eropa saja, seperti misalnya Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol dan lain sebagainya. Sedangkan bahasa-bahasa Asia dan Afrika sedikit sekali yang dipelajarinya.
Tuntutan taktis dan strategi militer (yang berupa informasi-informasi militer dan sosial-budaya) dari negara-negara Asia dan Afrika yang hanya mungkin dicapai dengan baik kalau menguasai bahasa-bahasa di negara-negara kedua benua tersebut, mendorong pemerintah Amerika untuk dengan segera dan cepat membentuk tenaga-tenaga yang mampu berbahasa bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Untuk maksud ini kemudian “American Council of Learned Society” membentuk suatu komite dengan nama “Committee on the National School of Modern Oriental Languages and Civilization” yang bertugas menemukan cara-cara yang cepat dan tepat untuk mempelajari bahasa-bahasa dan peradaban timur. Komite ini lalu mengkonsentrasi linguis-linguis Amerika terkemuka (terutama murid-murid L. Bloomfield dan E. Sapir atau linguis-linguis yang mengembangkan ide penegak linguistik modern Amerika ini) yang akhirnya menghasilkan: (1) Field Method in Linguistics (terutama dikembangkan oleh: “Linguistics Institute of the Linguistic Society of America” dan (2) Intensive Language Program yang dikembangkan oleh “The American Council of Learne Society”. Hasil-hasil ini kemudian dimanfaatkan oleh Angkatan Perang Amerika sehingga dalam waktu yang tidak lama hampir lebih dari 26 buah bahasa di Asia dan Afrika yang sudah dikuasainya. Termasuk ke dalamnya Bahasa Indonesia. Dan khusus untuk Pengajaran Bahasa Inggris, maka di Universitas Michigan dibentuk “English Language Institute” di bawah pimpinan Profesor Charles C. Fries.5) Demikianlah sejarah perkembangan Pengajaran Bahasa di Amerika yang dalam keseluruhannya merupakan usaha menerapkan linguistik ke dalam persoalan pengajaran bahasa. Detail dari perkembangan ini diuraikan dengan baik oleh William G. Moulton dalam karangannya yang berjudul: “Linguistic and Language Teaching in the United States, 1940-1960.”6)
Dengan tidak mengecilkan usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam penghayatan bahasa seperti yang dikerjakan oleh Amerika, sementara di sini perkembangan di negara itu sajalah yang dikemukakan.
Usaha-usaha menerapkan linguistik ke dalam pengajaran bahasa di Indonesia, yaitu ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia, tampaknya baru dimulai perintisnya oleh para linguis muda Indonesia. Karya-karya yang bercorak linguistik dari Soewojo Wojowasito, Samsuri, dan Umar Yunus (Malang), M. Ramlan (Jogya), Lutfi Abbas (Bandung), Anton Muljono, Harimurti Kridalaksana, M. Effendi, A. Latif, T.W. Kamil dan lain sebagainya (Jakarta), banyak atau sedikit dimaksudkan untuk memberi landasan-landasan permulaan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.

Sumbangan Linguistik dalam Pengajaran Bahasa
T. Hodge dalam karangannya yang berjudul: “The Influence of Linguistics to Language Teaching” (Anthropological Linguistics, 5, ., 1963, 50-56) antara lain mengatakan linguistik membantu pengajaran bahasa dalam:
1)menentukan corak bahasa yang diajarkan,
2)memberi pedoman tentang pemilihan materi bahasa yang sebaiknya diajarkan, dan
3)memberi pedoman tentang cara-cara penganalisaan materi bahasa yang diajarkan.
Tentang corak bahasa yang sebaiknya diajarkan, Charleton T. Hodge menyarankan agar pemilihannya didasarkan kepada kebutuhan mereka yang belajar bahasa (pelajar bahasa) dan kepada tujuan pengajaran bahasa. Sehubungan dengan ini hendaknya diperhatikan berbagai versi ujar yang ada dalam bahasa tersebut.
Mengenai materi atau bahan pelajaran yang sebaiknya diajarkan, disarankan agar dipersiapkan seri teks-book yang dikatakannya sebagai berikut: “Ideally, the language text is the last of a series of items to be written, following a complete study of the language, and analyzing and reanalyzing it from every aspects”.
Di dalam penganalisisan bahasa dan menjadikan pelajaran bahasa itu, Hodge menyarankan adanya kerja sama yang baik antara linguistik dengan paedagogi di satu pihak dan dengan metodologi di pihak lain. Dan teknik yang selalu ditekankannya adalah teknik drill yang intensif dan teknis pembinaan kemampuan berbahasa dalam bahasa yang dipelajari.7) Di samping itu linguistik juga mengembangkan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik. Untuk menyebut beberapa di antaranya, di sini perlu dikemukakan “Oral Approach” yang dirintis C.C. Fries yang dikatakannnya sebagai “A New Approach to Language Learning”8). “The Oral-Aural Method” oleh Robert L. Saitz9), Metode Pembatasan Materi Bahasa oleh W. Cowan, Smith dan S.W. Stevick, Metode Kontrastive Linguistik yang mempertentangkan bahasa yang diajarkan dengan bahasa yang telah dimiliki oleh pelajar bahasa dan malahan akhir-akhir ini sudah berkembang metode baru yang didasarkan kepada “Approach Bilingualism”.10)
Rupanya penerapan metode-metode pengajaran bahasa yang berlandaskan linguistik ini mendapatkan pembinaaan yang sangat baiknya dalam pengajaran bahasa Inggris. Dua jenis pengajaran bahasa Inggris yang sekarang terkenal di dunia adalah “Teaching English as a Foreign Language” dan “Teaching English as a Second Language”. Tentang hal ini diuraikan dengan baiknya oleh Charles C. Fries dalam bukunya “Teaching & Learning English as a Foreign Language” Publication of the Modern Language Association, 78: 2- 25-28 (1963),11) banyak berbicara tentang sejarah perkembangan kedua corak Pengajaran Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya dapatlah kita simpulkan bahwa bagaimanapun juga linguistik mempunyai andil yang sangat besar dalam perkembangan pengajaran bahasa dan malahan ada sementara sarjana yang berpendapat hanya pengajaran bahasa yang berdasarkan linguistiklah yang akan merupakan Pengajaran Bahasa yang valid di masa-masa yang akan datang.

Kemungkinan-kemungkinan Penerapan Linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Atas dasar teori penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa dan dengan perbandingan pengajaran bahasa Inggris yang telah demikian jauh menerapkan linguistik ke dalamnya, seperti yang diuraikan di atas ini, maka bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan untuk menerapkan apakah saran-saran untuk menerapkan itu sudah adakah di Indonesia dan pada bahasa Indonesia?
Seperti telah diuraikan di atas, persyaratan pertama yang harus ada ialah deskripsi linguistik Bahasa Indonesia. Pertanyaan dalam hubungan ini: “Sudahkah bahasa Indonesia dideskripsikan secara linguistik?” Rupanya deskripsi linguistik tentang bahasa Indonesia ini, belumlah begitu besar jumlahnya dan juga belum tinggi mutunya, lebih-lebih lagi kalau kita bandingkan dengan deskripsi linguistik-linguistik yang telah ada dalam bahasa Inggris misalnya. Yang banyak kita dapati tentang bahasa Indonesia adalah terbitan-terbitan yang bernama tatabahasa/kaidah bahasa Indonesia yang ada sekarang ini di Indonesia dan tentang bahasa Indonesia, kebanyakan mempunyai sifat-sifat normatif preskriptif yang kebanyakan pula tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia yang sudah maju pesat.12)
Namun walaupun demikian, usaha-usaha permulaan untuk mendeskripsikan bahasa Indonesia secara linguistik yang dikerjakan oleh sementara linguis muda Indonesia, patut kita hargai dalam hubungan ini. Misalnya buku “Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tujuan Bahasa Indonesia I dan II (Jakarta, 1967) karangan Drs. Lufti Abbas, M.A., “Struktur Bahasa Indonesia” (Malang, 1966) karya Drs. Umar Yumus dan karangan-karangan tersebar dari: Anton Muljono, Djojo Kenntjono, Samsuri dan Harimurti Kridalaksana, semuanya merupakan usaha-usaha untuk mengemukakan deskripsi linguistik terhadap Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudah validnya karya-karya di atas ini, maka untuk Pengajaran Bahasa Indonesia di masa sekarang ini ada baiknya untuk sementara dipedomani kepada buku-buku ini, sambil menunggu kehadiran buku-buku yang lebih baik.
Syarat kedua yang kita perlukan bagi penerapan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia adalah buku-buku pegangan sekolah yang berlandaskan linguistik. Rupanya buku-buku yang demikian inilah yang sedikit sekali adanya di Indonesia atau tidak ada sama sekali. Sehubungan dengan ini, adalah tantangan kepada linguis Indonesia dan terutama tantangan kepada sarjana-sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP untuk segera menghasilkan buku-buku pegangan yang demikian ini. Dikatakan demikian, karena sarjana-sarjana yang terakhir inilah yang di samping telah dibekali pengetahuan linguistik memiliki tentang Mengajarkan Bahasa (Language Teching) dan Belajar Bahasa (Language Learning).
Syarat ke tiga yang barangkali merupakan syarat terpenting dalam rangka penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia, adalah guru-guru Bahasa Indonesia yang mampu menerapkan atau mendasarkan pengajaran bahasa Indonesianya di sekolah-sekolah dengan linguistik. Tentunya guru-guru bahasa Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan tinggi di IKIP yang mempunyai kans yang lebih banyak dalam hubungan ini. Hanya saja tenaga-tenaga guru bahasa Indonesia yang sekarang sudah banyak disumbangkan oleh IKIP kebanyakan masih muda usia (kurang berpengalaman) dan juga kurang “keberanian” memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia. Dikatakan demikian karena sikap yang tidak simpatik dari guru-guru bahasa Indonesia angkatan tua dan sistem ujian lama yang masih berjalan rupanya tidak merupakan iklim yang baik untuk memulai penerapan linguistik ke dalam pengajaran bahasa Indonesia pada masa sekarang ini. Namun bisa kita pastikan dalam hubungan ini adalah pastinya linguistik akan diterapkan dalam Pengajaran Bahasa Indonesia dalam waktu 10 tahun mendatang, karena masa-masa itu dan masa-masa sesudahnya adalah Guru-guru Bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh IKIP.
Di samping persyaratan teknis ilmiah seperti yang diuraikan di atas ini sudah tentu sangat diperlukan aspirasi partisipasi yang positif dari pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen P. dan K. dengan memberikan fasilitas serta biaya untuk melaksanakan ide penerangan linguistik ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.
Tanpa kedua hal yang terakhir ini, sulitlah kita berbicara tentang kemajuan apalagi tentang peningkatan mutu Pengajaran Bahasa Indonesia yang sering disarankan oleh masyarakat, para ahli/pendidik dan oleh pemerintah. Demikianlah sebuah pandangan tentang hubungan linguistik dengan Pengajaran Bahasa Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan penerapannya ke dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dalam kesederhanaannya ini bisa dipahami oleh semua pihak dan lebih dari pada itu diharapkan uraian ini dapat merangsang pemikiran-pemikiran yang tentunya harus lebih serta mendetail. Jika hal itu bisa tercapai, tercapai pulalah maksud utama uraian ini.
Catatan:
1)Lihat: Mary R. Haas, The Application of Linguistics to Language Teaching, (termuat dalam: A.L. Kroeber, Anthropology Today, Chicago, 1958: 807).
2) Lihat: A.H. Gleason Jr. An Introduction to Descriptive Linguistics, 1961: 1-2.
3)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 807.
4)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 809.
5)op. cit. A.L. Kroeber, 1958: 813.
6)Lihat: Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 50.
7)Ibid hal. 52.
8)Lihat: Harold B. Allen, Teaching English as a Second Language, 1965: 84-87.
9)Ibid. hal. 322-325.
10)op. cit. Anthropological Linguistics, 1963: 1, 5, 52.
11)op. cit. A.L. Kroeber, 1985: 811-814.
12)Lihat: Anton Muljono; Suatu Reorientasi dalam Tatabahasa Indonesia (termuat dalam Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru, Jakarta, 1967: 45-69).
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...