Effective Teaching

Dalam implementasi kurikulum di sekolah/lembaga pendidikan haruslah memperhatikan beberapa hal/variabel agar kegiatan yang dilakukan berjalan dengan baik untuk mencapai keefektifan dalam pengajaran yang dilaksanakan. Guru seharusnya mengadakan persiapan-persiapan yang matang sebelum melaksanakan pengajaran dikelas.
Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara, dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran, dengan presentasi waktu belajar akademis, dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif, atau hukuman. Sehingga persyaratan utama bagi efektivitas pengajaran yang tampak di sekolah-sekolah adalah:
1. Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi yang dicurahkan terhadap kandungan akademis.
2. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa
3. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan
4. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan fositif
5. Mengembangkan struktur kelas yang mendukung poin 2, tanpa mengabaikan poin 4.

Pengajaran yang efektif tidak menuju pada suatu “metode” pengajaran tertentu. Pengajaran yang diatur secara informal yang menunjukan rata-rata keterlibatan waktu belajar akademis yang tinggi dapat dianggap sebagai pengajaran yang efektif. Efektivitas pengajaran, tidak hanya dilihat dari metode itu sendiri, tetapi derajat tinggi-rendahnya, dan proporsi waktu belajar akademis yang dihasilkan oleh metode tersebut, hal ini diberinama pengajaran langsung.

Pola pengajaran langsung ditemukan dari beberapa penelitian independen, bercirikan kelas yang siswanya yang lebih berhasil, dan mereka merasa senang terhadap sekolah, tapi perlu diingat bahwa bukan hanya satu pola pengajaran yang efektif, tapi mungkin masih banyak pola-pola lain yang efektif.


A. Strategi yang mendukung pengajaran yang efektif


Unsur utama dalam pengajaran yang efektif adalah, usaha guru untuk melibatkan siswa secara tepat terhadap suatu mata pelajaran, dengan presentasi keterlibatan siswa yang tinggi dari waktu yang tersedia, dengan mempertimbangkan strategi mengajar yang mendukung terciptanya suasana belajar yang akrab dan ramah.


Rosenshine dan Frust (1971) mengidentifikasikan pengajaran yang efektif kedalam lima variabel proses guru yang memperlihatkan keajegan hubungan dengan pencapaian, yakni:
1. kejelasan dalam penyajian
2. kegairahan mengajar
3. ragam kegiatan
4. perilaku siswa dalam melaksanakan tugas dan kecekatannya
5. kandungan bahan pelajaran yang dapat diliput siswa.


Jadi jelaslah bahwa pengajaran yang efektif sangat berkaitan dengan pengelolaan kelas yang efektif pula. Sehingga guru yang efektif adalah pengelolaan yang efektif terhadap perilaku siswa dalam artian yang baik.


Ada dua dasar pendekatan dalam pengajaran, yaitu (1) pendekatan teacher-centerd, dan (2) pendekatan student centered.

1. Pendekatan Teacher-Centered


Pendekatan teknik ini lebih banyak menekankan pada direct instruction, pengajaran dedukatif atau pengajaran expository. Metode pengajaran ini, guru mengontrol apa yang diajarkan dan bagaimana seharusnya siswa mempelajari pelajaran yang diberikan.
Pendekatan Teacher-Centered ini digunakan apabila kurangnya motivasi belajar siswa yang dimiliki, untuk itu guru harus berperan aktif untuk kelancaran KBM yang dilaksanakan, ini juga bertujuan untuk menumbuhkan/meningkatkan motivasi belajar siswa yang rendah menjadi lebih tinggi.


2. Pendekatan Student-Centered


Teknik ini juga sering disebut sebagai discovery learning, inductive learning atau inquiry learning. Peran dalam pembelajaran lebih banyak berfokus pada siswa. Dalam pengajaran teknik ini, kita tetap membuat rancangan pembelajaran tetapi mengurangi kontrol (kontrol tidak melebihi apa dan bagaimana siswa belajar) terhadap siswa.
Pendekatan Student-Centered ini digunakan apabila motivasi belajar siswa terlihat tinggi, guru berperan sebagai penyeimbang, pengamat, pengarah, serta sebagai pelurus apa saja yang sedang dibahas oleh kelas.
Tidak ada strategi pengajaran yang paling baik dari strategi pengajaran yang lainnya, jadi kita harus membuat (menggunakan) strategi pengajaran yang bervariasi dan membuat keputusan yang rasional dan tepat tentang kapan suatu strategi pengajaran lebik effektif untuk diterapkan.


Pendekatan apapun yang digunakan dalam pengajaran, yang paling penting adalah menyangkut beberapa hal dibawah ini:
1. Fokus harus pada pembelajaran daripada pengajaran
2. Memfasilitasi pembelajaran (mengajak/memancing agar siswa berfikir)
3. mencari cara /merancang agar siswa terbawa dalam pelajaran atau kegiatan
4. membuat situasi pembelajaran yang positif agar semua siswa berusaha menjawab pertanyaan (memecahkan permasalahan).
5. Membantu siswa belajar bagaimana belajar itu sesungguhnya


B. Strategi untuk effective teaching


Ada beberapa strategi yang dijalankan demi tercapainya pengajaran yang efektif, strategi itu adalah  sebagai berikut.


1. Menggunakan Direct Instruction


Direct instruction adalah satu istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan suatu variasi dari beberapa teknik pengajaran kelas expository. Strategi ini menggunakan teknik pendekatan teacher-centered dalam menyampaikan pesan pelajaran.


Meskipun pola umum pengajaran yang efektif memiliki derajat kesahihan dan penerapan secara umum, tetapi tidak berarti dapat diterapkan dengan cara yang sama bagi semua siswa dan semua lingkungan pendidikan.


Ada 4 bentuk ragam yang utama dari tema pokok pengajaran langsung, yang cukup dikenal dengan pertimbangan-pertimbangan yang menjamin. Pengajaran yang efektif ini semakin dipelajari, kita akan semakin melihat kedepan, dan semakin memahami adanya berbagai bentuk ragam, ke empat pertimbangan itu adalah:
1. status perkembangan anak
2. kecerdasan dan keterampilan siswa
3. status social ekonomi siswa
4. mata pelajaran yang dipelajari


Keempat bentuk ragam tersebut saling berinteraksi, sehingga menjadikan pengajaran semakin kompleks. Bentuk ragam tersebut biasanya tidak jelas, tetapi cenderung tampak diantara kelompok siswa. Untuk menangani kecenderungan tersebut, diperlukan strategi yang menunjang efektivitas pengajaran dengan memperhatikan kelompok siswa yang kecerdasan dan ketrampilannya lemah, yang secara pendidikan tidak menguntungkan siswa yang kurang dewasa, kesemuanya memerlukan penanganan dengan pola ketaatan disiplin yang keras dalam melaksanakan pengajaran langsung dengan lebih memperhatikan terciptanya suasana bimbingan yang lebih positif.


Kalau semua siswa dalam menuju ke kedewasaannya mengikuti saluran tersebut, dari status awal yang tidak menguntungkan, menuju ke tingkat ketrampilan yang lebih tinggi, maka bagaimanapun tingkat kecerdasan dan ketrampilan yang dapat mereka peroleh, mereka cenderung dapat memanfaatkan secara bertahap melalui pelajaran yang semula berpusat kepada guru dan terkendali. Manfaat yang mereka peroleh tersebut secara umum dikarenakan pengajaran yang menyeluruh. Pengajaran yang menyeluruh adalah pengajaran inkuiri dan pengajaran penemuan, dan pengajaran dengan strategi yang tidak terlalu formal.


2. Menggunakan teknik diskusi


Teknik ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi secara bersama-sama, dengan membangun diri individu siswa agar mau mendengarkan pendapat orang lain serta bersama sama memutuskan apa yang paling tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.


3. Menggunakan teknik group work


Suatu kelas dibagi berkelompok-kelompok agar siswa dapat membangun kebiasaan bekerjasama dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


4. Menggunakan teknik cooperative learning


Teknik ini sebenarnya hampir sama dengan diskusi dan group working, dimana dituntut kerjasama yang baik dari setiap individu siswa agar permasalah terpecahkan secara baik dan menumbuhkan sikap kebersamaan.
Terdapat beberapa alasan metode ini dijadikan sebagai bentuk praktek belajar yang utama, yakni dapat meningkatkan prestasi siswa seperti dalam perbaikan pemahaman antar anggota grup melalui interaksi yang terjadi.
Inti dari belajar kooperatif (Slavin:1983), yakni: group siswa yang terdiri dari empat orang siswa berusaha menguasai pelajaran dan mempresentasikannya kepada guru dan teman-temannya dari group lain, guru menjelaskan pelajaran kemudian memberi waktu kepada siswa untuk mengerjakan bersama groupnya, kemudian siswa diberi Quiz, setelah itu dinilai dan group yang memenuhi kriteria diberikan penghargaan.


Terdapat 5 metode belajar kooperatif:


1. Student Teams-Achievement Division (STAD)


Siswa dikumpulkan ke dalam kelompok yang hiterogen, setelah guru menyampaikan pelajaran, siswa bekerja dalam timnya untuk menguasai pelajaran kemudian setiap orang mengikuti quiz sendiri, nilai quiz siswa dibandingkan dengan rata-rata nilai yang lalu.


2. Team Geames-Tournamen (TGT)


Dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards.
Metodenya sama dengan STAD namun mengganti quiz dengan pertandingan mingguan dimana siswa memainkan permainan pelajaran dengan anggora tim lain untuk memberi nilai pada tim


3. Jigsaw


Setiap anggota tim diacak dan diberi tugas agar menjadi ahli pada beberapa bidang, kemudian mereka diberi quiz atau tugas lain untuk setiap topik.


4. Team Accelerated Instruction (TAI)


TAI didesain khusus untuk mengajar matematika pada tingkat 3 sampai dengan 6


5. Cooperatif Integrated Reading and Compotition (CIPC)


Metode ini merupakan program komprehensive untuk mengajar membaca dan menulis bagi siswa tingkat dasar, atas, dan menengah baik pembaca baru maupun dasar.


5. Menggunakan teknik problem solving


Guru memberikan suatu gambaran dan mengarahkan suatu permasalahan yang sedang terjadi kemudian siswa aktif dalam mencari solusi terbaik bagi masalah yang dihadapi.


Pemecahan masalah bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks dari pada yang diduga. Pemecahan masalah memerlukan keterampilan berfikir yang banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis, mengklarifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramal, menarik kesimpulan dan membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah.


Ada beberapa pendekatan-pendekatan dalam Problem Solving, yaitu:

1. Pendekatan reaktif Pendekatan ini terdapat dalam situasi dimana seseorang tiba-tiba dihadapkan dengan masalah yang harus segera diputuskan.
Pemecahan masalah yang reaktif tidak mempunyai banyak alternatif karena waktu sangat terbatas untuk mempertimbangkan konsekwensinya.

2. Pendekatan antisipatif
Berpartisipasi melihat masalah sewaktu mulai berkembang lalu ia secara sistematis memikirkan seperangkat alternatif lalu memilih salah satu diantaranya yang diduga serasi dengan permasalahan yang dihadapi.

3. Pendekatan reflektif
Mengambil waktu untuk memikirkan suatu masalah secara mendalam, menganalisis semua komponennya sambil menimbang dengan cermat tiap kemungkinan tindakan yang akan diambil.


4. Pendekatan implusif
Bertindak implusif dalam menghadapi masalah, dengan lebih banyak menggunakan instingnya.

Pendekatan dalam poin 1 dan 2 bertalian dengan waktu, sedangakan pendekatan dalam poin 3 dan 4 bertalian dengan kedalaman analisis.


Langkah-langkah dalam Problem Solving (Bruce Joyce), yakni:
1. Mengetahui situasi atau kejadian dalam suatu masalah
2. Menangani masalah dalam langkah-langkah yang tepat
3. Menentukan semua langkah-langkah
4. Menentukan batas permasalahan
5. Mengadakan analisis masalah
6. Mengumpulkan data berkaitan dengan tugas masing-masing
7. Mengevaluasi data
8. Mengumpulkan data dan menarik suatu korelasi
9. Membuat generalisasi
10. Mempublikasikan hasil dari penyelidikan


6. Menggunakan teknik student reseach

Siswa diajak untuk mencari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi secara sistematis dan terencana agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan oleh diri individu siswa.


7. Menggunakan teknik feformance activities


Siswa diajak dalam kegiatan real (nyata) agar siswa lebih dapat memahami tentang permasalahan yang sedang dihadapi, teknik ini biasa juga disebut dengan learning by doing.
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

Bahasa dan Membaca: Perkembangan dan kesulitannya

Solveig-Alma H. Lyster


Pendahuluan


Bab ini terutama akan membahas perkembangan membaca dan gangguan membaca. Namun, membaca adalah proses linguistik. Untuk dapat membaca dengan baik, pembaca harus memahami sintaks dan semantik bahasa dan harus memiliki pengetahuan tentang abjad dan memiliki kesadaran tentang aspek-aspek tertentu dari struktur linguistik bahasa. Oleh karena itu, hubungan antara perkembangan bahasa, pengetahuan linguistik dan membaca merupakan aspek sentral bab ini. Kesadaran linguistik, yaitu kemampuan untuk menelaah bahasa, akan menjadi fokus utama. Kesadaran linguistik sangat berkaitan dengan perkembangan membaca dalam bahasa yang alfabetik, dan karenanya merupakan hal yang sangat penting dalam pengajaran membaca. Perkembangan membaca juga sangat tinggi korelasinya dengan ejaan dan kemampuan untuk menyandikan kata-kata dalam bentuk ortografiknya yang benar. Oleh karena itu, meskipun membaca merupakan kajian utama bab ini, tetapi bahasan tentang ejaan dan tulisan tidak dapat diabaikan. Dengan cara yang berbeda, membaca mempengaruhi menulis dan menulis mempengaruhi membaca. Ini berarti bahwa latihan mengeja dan menulis bermanfaat untuk perkembangan membaca dan sebaliknya. Tidak ada satu pun program pelatihan membaca yang dapat memecahkan semua permasalahan yang dihadapi anak ketika belajar membaca dan menulis. Namun, program-program pelatihan membaca yang paling efektif mempunyai fitur-fitur tertentu yang sama. Pengajaran membaca yang formal perlu difokuskan pada perkembangan dua jenis penguasaan: pengenalan kata dan pemahaman. Kedua aspek ini karenanya akan difokuskan dalam bab ini.


Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menghadapi kesulitan terbesar dalam membaca di kelas-kelas dasar adalah mereka yang mulai bersekolah dengan keterampilan verbal yang kurang, pemahaman fonologi yang kurang, pengetahuan abjad yang kurang, dan kurang memahami tujuan dasar dan mekanisme membaca (Adams 1990; Kamhi 1989; Kamhi & Catts 1989; Snowling 1987, 2001). Oleh karena itu, untuk anak yang beresiko tertinggi mengalami kesulitan membaca, pengayaan lingkungan prasekolah dan pengajaran yang baik di kelas-kelas dasar dapat merupakan faktor penentu bagi keberhasilan dalam bidang membaca dan menulis. Tidak ada waktu sepenting tahun-tahun pertama masa kehidupan dan masa sekolah anak. Oleh karenanya, fokus bab ini lebih pada pencegahan kesulitan membaca daripada kesulitannya itu sendiri.


Di negara-negara, di mana banyak orang tua yang buta huruf dan mempunyai sedikit pengetahuan tentang cara terbaik mempersiapkan anaknya untuk pelajaran membaca di sekolah, sistem sekolah dan pemerintah menghadapi tantangan besar. Bagaimanakah caranya anak dari keluarga yang buta huruf dapat dipersiapkan untuk sekolah dan pengajaran membaca? Atau bagaimanakah sekolah dapat mengindividualisasikan pengajarannya untuk mengatasi kerugian yang datang dari keluarga buta huruf atau dari rumah dengan dukungan yang sedikit atau buruk terhadap membaca dan kegiatan linguistik?


Bahasa dan membaca


Bahasa adalah kode yang disepakati oleh masyarakat sosial yang mewakili ide-ide melalui penggunaan simbol-simbol arbitrer dan kaidah-kaidah yang mengatur kombinasi simbol-simbol tersebut (Bernstein dan Tigerman, 1993). Kode linguistik mencakup kaidah-kaidah kompleks yang mengatur bunyi, kata, kalimat, makna dan penggunaannya. Komunikasi adalah proses di mana individu-individu bertukar informasi dan saling menyampaikan buah pikirannya. Komunikasi merupakan proses aktif yang menuntut adanya pengirim yang menyandikan atau merumuskan pesan. Komunikasi juga menuntut adanya seorang penerima yang menafsirkan sandi atau memahami pesan tersebut. Banyak isyarat non-linguistik yang dapat membantu atau menghambat pengirim dan penerima dalam komunikasi lisannya. Tetapi komunikasi melalui bacaan dan tulisan sepenuhnya tergantung pada bahasa penulis dan pembacanya, pada pengetahuannya tentang kata-kata dan sintaks. Tetapi, pertama-tama, komunikasi melalui membaca dan menulis dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tulis yang alfabetik, tergantung pada pengetahuan dan kesadaran penulis dan pembacanya tentang prinsip-prinsip utama bahasa tulis itu, yaitu prinsip fonematik atau alfabetik dan prinsip morfematik. Pemahaman prinsip-prinsip ini tergantung pada pemahaman tentang struktur bunyi dan bagian-bagian bermakna dari kata-kata seperti unsur-unsur gramatik. Tetapi karena membaca juga berarti menyampaikan makna struktur ortografik tertulis yang mewakili kata-kata dan kalimat, maka kosa kata dan pemahaman tentang berbagai struktur kalimat juga merupakan hal yang sangat penting untuk perkembangan membaca.


Bahasa merupakan suatu sistem kombinasi sejumlah komponen kaidah yang kompleks. Bloom dan Lahey (1978) memandang bahasa sebagai suatu kombinasi antara tiga komponen utama: bentuk, isi dan penggunaan. Bentuk suatu ujaran dalam bahasa lisan dapat digambarkan berdasarkan bentuk fonetik dan akustiknya, tetapi bila kita hanya menggambarkan bentuknya saja, maka kita akan terbatas pada penggambaran bentuk atau kontur fitur permukaan ujaran saja. Ini biasanya dilakukan berdasarkan unit fonologi (bunyi atau struktur bunyi), morfologi (unit-unit makna berupa kata atau infleksi), dan sintaks (kombinasi antara berbagai unit makna).


Isi bahasa adalah maknanya atau semantik- yaitu representasi linguistik dari apa yang diketahui seseorang tentang dunia benda, peristiwa dan kaitannya. Representasi linguistik tentang isi bahasa tergantung pada kode - yaitu suatu sistem isyarat arbitrer yang konvensional - yang memberi bentuk kepada bahasa (Bloom dan Lahey, 1978).


Menurut Bloom dan Lahey (1978), penggunaan bahasa terdiri dari pilihan perilaku yang ditentukan secara sosial dan kognitif berdasarkan tujuan si penutur dan konteks situasinya (hal. 20). Kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa dalam konteks sosial juga disebut pragmatik (lihat misalnya Bernstein dan Tigerman 1993). Pragmatik mencakup kaidah yang mengatur bagaimana kita berbicara dalam bermacam-macam situasi. Pembicara harus mempertimbangkan informasi tentang pendengarnya dan harus memahami berbagai isyarat non-linguistik yang dapat menghambat atau mendukung penyampaian pesannya. Kesadaran akan penerima pesan dan kebutuhannya akan membantu pengirim menciptakan situasi komunikasi yang optimal.


Anak mungkin berkesulitan dalam mengembangkan pengetahuan yang sesuai usia dalam salah satu dari ketiga dimensi bahasa (isi, bentuk atau penggunaan), dan kesulitan dalam satu dimensi dapat mengakibatkan kesulitan dalam dimensi lainnya. Kesulitan dalam dimensi bentuk mungkin terbatas hanya pada fonologi, tetapi kesulitan dalam mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang fonologi bahasa dapat mempengaruhi perkembangan dalam bidang morfologi dan sintaks.


Masalah dalam kemampuan mengembangkan kemampuan bahasa yang sesuai usia di dalam berbagai dimensi bahasa biasanya akan menimbulkan masalah dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis yang sesuai usia. Masalah-masalah ini mungkin terkait dengan perkembangan membaca pada berbagai tingkatan. Kesulitan dalam dimensi bentuk dapat mengakibatkan masalah dalam “memecahkan” kode bacaan. Anak yang bermasalah dalam mengembangkan pengetahuan tentang bentuk bahasanya dapat bermasalah dalam memahami struktur bunyi dan dalam memahami hubungan huruf-bunyi yang diperlukan untuk “memecahkan kode” bahasa tulis. Di pihak lain, anak yang berkesulitan memahami isi bahasa mungkin akan dapat “memecahkan kode” dengan mudah, tetapi mereka mungkin berkesulitan dalam memahami apa yang dibacanya. Siswa juga mungkin berkesulitan dalam membaca karena mereka berkesulitan dalam menggunakan bahasa. Tujuan pengajaran membaca adalah membaca untuk belajar (atau membaca untuk kesenangan). Pembaca harus dapat masuk ke dalam semacam dialog dengan penulis. Untuk belajar dan mengerti suatu teks diperlukan pengembangan strategi untuk memahami maksud penulis. Teks yang berbeda memerlukan strategi yang berbeda untuk memahaminya.


Perkembangan membaca - usia prasekolah


Prestasi belajar yang memadai dan perilaku sosial dan penghargaan diri yang pantas adalah faktor-faktor penting untuk mengembangkan kehidupan yang pantas di dalam norma-norma masyarakat kita. Sejak tahun pertama kehidupannya di dunia ini, anak sudah mulai mengembangkan norma-norma yang mendasari kehidupan masyarakatnya. Ini dilakukannya melalui komunikasi dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari dengan lingkungan sekitarnya. Selama tahun pertama, mereka ambil bagian dalam percakapan dengan menggunakan bahasa tubuh dan isyarat non verbal. Kemudian sedikit demi sedikit mereka belajar kode linguistik bahasa, bagaimana kode merepresentasikan benda, kejadian dan bermacam-macam hubungan antara benda-benda dan kejadian-kejadian, dan mereka belajar cara mengirim dan menerima pesan dengan bahasa lisan.


Untuk mempersiapkan anak pada pengajaran membaca di kelas-kelas awal, sebaiknya mereka diekspos pada lingkungan bahasa yang berkualitas tinggi - terutama di rumahnya, tetapi juga di panti asuhan anak dan di taman prasekolah jika anak tersebut masuk ke lembaga-lembaga ini. Waktu terbaik untuk mulai berbagi buku dengan anak adalah pada masa balita. Banyaknya pengalaman dengan bahasa lisan dan bahasa tulis, dari masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, sangat mempengaruhi keberhasilan anak dalam membaca di masa-masa selanjutnya. Anak membutuhkan aktivitas yang dapat mereka nikmati dan pengalaman keberhasilan, tanpa dipaksakan di luar tahap perkembangannya. Bahkan ketika anak belum dapat mengeja, mereka belajar dari upayanya untuk menulis. Bahkan ketika anak belum dapat membaca, mereka belajar dari orang yang membaca untuknya. Anak yang terekspos pada kosa kata yang canggih dalam percakapan yang menarik atau dalam bacaan yang didengarnya akan belajar kata-kata yang kelak akan dibutuhkannya untuk mengenali dan memahaminya pada saat sudah mulai belajar membaca. Berbicara dengan orang dewasa merupakan sumber eksposur terbaik bagi anak ke kosa kata baru. Berbicara itu penting - semakin bermakna dan berisi, semakin baik. Bahkan di negara-negara di mana banyak orang tua yang buta huruf, mereka dapat melihat buku gambar dengan anaknya dan berbicara tentang apa yang mereka lihat dalam buku tersebut - jika bukunya memang ada.


Selama usia prasekolah, kebanyakan anak secara bertahap semakin sensitif terhadap bunyi, juga terhadap makna kata-kata yang didengarnya. Sensitivitas ini adalah apa yang kita sebut sebagai kesadaran fonologi. Mereka dapat mengenali sajak dan menikmati puisi atau lagu bersajak. Mereka menceraikan kata-kata yang panjang menjadi suku-suku kata atau bertepuk tangan sejumlah suku kata yang terdapat dalam sebuah frase. Mereka menyadari bahwa ucapan beberapa kata seperti “dog”, “dark” dan “dusty” semuanya dimulai dengan bunyi yang sama. Mereka dapat menemukan kata yang tidak cocok (tidak bersanjak) dalam kelompok kata “house”, “tiger” dan “mouse”, dan mereka mungkin dapat menggabungkan bunyi-bunyi seperti /m/-/a/-/t/ dan /l/-/i/-/p/ menjadi “mat dan “lip”.


Walaupun anak-anak prasekolah yang lebih muda jarang memperhatikan segmen terkecil yang bermakna (fonem) dari sebuah kata, memperoleh kesadaran tentang adanya fonem ini merupakan aspek kesadaran fonologi yang lebih maju, yang menjadi semakin penting semakin anak mendekati usia sekolah. Ini karena huruf biasanya mewakili fonem. Itu adalah prinsip alfabetik (lihat misalnya Adams 1990). Lagu, permainan sajak, permainan bahasa dan sajak kanak-kanak merupakan cara terbaik untuk memupuk kesadaran fonologi pada usia prasekolah. Kegiatan-kegiatan ini juga mungkin akan sangat penting pada awal usia sekolah ketika anak sedang belajar prinsip alfabetik.


Kegiatan orang tua membacakan kepada anaknya di rumah dilihat sebagai persiapan yang sangat penting bagi anak dalam menghadapi tantangan pengajaran membaca di sekolah. (Untuk contoh, lihat Burns, Friffin & Snow, 1999). Persiapan ini akan sangat efektif bila orang tua melakukan tiga hal:
• Mengembangkan teks
• Merujuk pada pengalaman anak itu sendiri
• Menyela kegiatan membaca dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.


Mengingat kamampuannya bercerita dengan baik, bagi sebagian orang, televisi dapat dipandang sebagai pengganti kegiatan membaca. Akan tetapi, kekurangan ketiga kualitas ini dapat mengakibatkan program televisi yang baik pun tidak begitu efektif untuk mempersiapkan dasar bagi perkembangan bahasa dan membaca.


Perkembangan membaca dan faktor-faktor lingkungan


Sejumlah faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan membaca. Beberapa di antaranya sudah dibahas di atas. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat melek huruf orang tua berperan penting dalam perkembangan membaca anak (Cox 1987), dan Chall, Jacobs dan Baldwin (1990) menemukan bahwa prediktor terkuat tentang kemampuan membaca dan pengetahuan kosa kata pada keluarga berpendapatan rendah adalah lingkungan melek huruf di rumah, pendidikan ibu dan tingkat ekspektasinya terhadap pendidikan anaknya, dan pendidikan ayah. Tetapi, secara umum, variabel maternal lebih berpengaruh terhadap perkembangan baca-tulis dan bahasa dibanding variabel ayah. Chall dan rekan-rekan kerjanya menjelaskan temuan ini timbul karena ibu menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anaknya daripada ayah, membantu pekerjaan rumah, menjawab pertanyaan, membacakan cerita dan lain-lain. Tingkat minat ibu terhadap baca-tulis juga signifikan korelasinya dengan perkembangan membaca anak. Menurut Chall dan rekan-rekan, ekspektasi orang tua dan minatnya terhadap pekerjaan sekolah anaknya merupakan faktor terpenting, tidak hanya untuk perkembangan membaca tetapi juga untuk perkembangan semua mata pelajaran sekolah. Ekspektasi dan keterlibatan orang tua dalam pekerjaan sekolah anaknya harus dimotivasi jika kurang. Kurangnya dukungan dan keterlibatan dalam masalah sekolah anak lebih umum terjadi di negara-negara berkembang (lihat Alenyo, 2001) dan karenanya harus menjadi perhatian besar di beberapa negara.


Namun, penelitian etnografik menunjukkan secara jelas bahwa kemiskinan bukan faktor penentu utama untuk persiapan baca-tulis yang diperoleh anak di rumah (Adams 1990). Yang paling menentukan adalah kualitas kegiatan baca-tulisnya. Oleh karena itu, lingkungan yang miskin pun dapat mempersiapkan anak untuk belajar membaca di sekolah dengan baik selama mereka mempunyai buku untuk dibaca dan selama orang tua bersedia membacakan kepada anaknya. Tentu saja ini merupakan tantangan besar di negara-negara di mana para orang tuanya buta huruf dan sedikit sekali buku yang tersedia (Lihat Aringo 2001). Perkembangan baca-tulis merupakan tugas nasional, yang akan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial negara. Tantangan terbesar dalam meningkatkan tingkat baca-tulis tampaknya terletak pada kurangnya bahan bacaan yang tepat – baik di sekolah maupun di rumah, dan kurangnya jumlah buku yang tersedia bagi anak di kelas.


Kalaupun kemiskinan bukan merupakan faktor penentu utama kesiapan baca-tulis, Lyster (1998, dalam pers) menemukan bahwa pendidikan ibu merupakan prediktor penting untuk perkembangan membaca, meskipun dengan memperhitungkan faktor IQ. Karena pengaruh Genetik sejauh tertentu menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian Lyster, hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan ibu mungkin dapat menjadi bagian dari alat ukur konteks linguistik yang diciptakannya bagi anaknya. Bagaimanakah ibu yang lebih berpendidikan berkomunikasi secara linguistik dengan anaknya dibanding ibu yang kurang berpendidikan? Apakah mereka membacakan buku untuk anaknya lebih sering atau dengan cara yang berbeda dari ibu yang kurang berpendidikan? Apakah pencegahan gangguan membaca sebaiknya dimulai secara tidak langsung dengan mendidik orang tua? Penelitian oleh Whitehurst, Epstein, Angell, Payne, Crone ddan Fischel (1994) menunjukkan bahwa mendidik orang tua dari masyarakat sosio-ekonomi rendah tentang cara berinteraksi dengan anaknya pada saat mereka membacakan untuk mereka, berdampak positif terhadap perkembangan baca-tulis anak.


Dalam penelitian ini orang tua diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya “apa”, “mengapa”, “di mana” dan “kapan” pada saat sedang membacakan, untuk membantu anak memahami isi teks. Bahkan jika perkembangan membaca sejauh tertentu tergantung pada faktor biologi dan genetik, membaca adalah kemampuan yang sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Salah satu faktor tersebut, yang belum dibahas, adalah bahasa sehari-hari anak di rumah. Jika bahasa rumah berbeda dari bahasa yang dipergunakan ketika anak belajar membaca dan menulis, anak kemungkinan akan menghadapi banyak masalah. Oleh karena itu, jika seorang anak tidak dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya atau jika bahasa ibunya tidak mempunyai bahasa tulis, bahasa pengantar harus diajarkan kepada anak secara intensif di samping mengajarinya membaca dan menulis – dan bahkan sebelumnya jika memungkinkan (Lyster 1999). Situasi ini tampaknya merupakan realitas yang ada di negara-negara berkembang tertentu meskipun anak diharapkan belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya.


Kesadaran Linguistik


Telah diterima secara luas bahwa terdapat hubungan yang kuat antara perkembangan membaca dengan kesadaran linguistik, yaitu kemampuan untuk merefleksikan bahasa lisan (Adams 1990; Goswani & Bryant 1990; Hagrvet 1989), dan bahwa upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran fonologi yang dilakukan sebelum pengajaran membaca Itu dapat memprediksi keterampilan membaca nantinya (Mann 1991; Wagner & Torgesen 1987). Istilah kesadaran linguistik digunakan secara luas, yang mencakup bermacam-macam tugas, seperti menilai ada atau tidaknya persanjakan, kemampuan untuk menguraikan kata menjadi segmen-segmen bunyi, menghitung jumlah kata dalam kalimat dan jumlah suku kata dalam satu kata, mendeteksi morfem dalam kata-kata, dan menilai kebenaran sintaktik dan gramatik. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kesadaran fonologi adalah kemampuan anak untuk menganalisis struktur bunyi kata, sedangkan kesadaran fonemik mengacu secara spesifik pada kesadaran tentang adanya fonem-fonem (bunyi) yang berbeda-beda. Penelitian yang dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan membaca dengan memberikan latihan fonologi dan fonem kepada anak sebelum atau selama pengajaran membaca telah berhasil dengan baik (Bradley 7 Bryant 1983; Cunningham 1990; Hatcher, Hulmer & Ellis 1994; Lundberg, Frost & Petersen 1988).


Dibandingkan dengan kesadaran fonologi, kesadaran morfologi belum begitu banyak diperhatikan dalam penelitian tentang pengajaran membaca dan gangguan membaca. Sebuah morfem adalah unsur makna yang paling mendasar. Kesadaran morfologi adalah kemampuan untuk menyadari dan memanipulasi morfem-morfem, pasangan unit-unit kata terkecil yang mengandung makna.


Terdapat bukti bahwa ada hubungan antara kesadaran morfologi dan perkembangan membaca (Fowler & Liberman 1995). Henry (1993) menunjukkan bahwa pengetahuan siswa kelas tiga dan kelas lima tentang pola-pola morfologi serta kinerjanya dalam membaca dan mengeja meningkat setelah menerima pengajaran tentang bahasa asalnya dan pola morfem bahasa Inggris. Demikian pula, studi di Denmark melaporkan hasil yang menggembirakan dari suatu studi pelatihan yang mengajarkan morfologi kepada siswa Denmark usia sepuluh hingga dua belas tahun yang mengalami kesulitan membaca (Elbro & Arnbak 1996).


Lyster (1997, dalam pers) melaporkan dampak pelatihan kesadaran fonologi dan morfologi di taman kanak-kanak terhadap perkembangan ejaan dan membaca di kelas satu. Dampak pelatihan morfologi itu sangat jelas pada kelompok anak yang ketika intervensi dimulai sudah memiliki kesadaran fonologi yang sudah relatif baik. Oleh karena itu, Pelatihan terhadap anak-anak prasekolah yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kesadaran morfologinya akan berdampak relatif kecil pada perkembangan membaca pada kelas satu sekolah dasar jika kemampuan fonologi anak itu rendah (lihat Fowler dan Liberman 1995 untuk pembahasan lebih lanjut). Di pihak lain, morfem mempunyai struktur fonologi. Oleh karena itu, pelatihan morfem akan juga berkontribusi pada perkembangan kesadaran fonologi. Jika anda membaca bahasa Inggris dan tahu tentang bentuk jamak yang berakhiran -s, struktur ortografik dengan akhiran -ing dalam kata-kata seperti singing dan dancing, dan berbagai awalan seperti un-dalam kata unhappy atau mis- dalam kata misbehave, maka akan mudah bagi anda memahami kata-kata itu. Memahami isi morfem-morfem ini juga akan membantu anak dalam mengembangkan kosa kata baru.


Mengetahui bahwa awalan un- di depan kata happy membuat kata tersebut mempunyai makna yang berlawanan, dapat membantu anak menciptakan kata-kata baru seperti unlikely, unsatisfied dll.


Perkembangan membaca dan gangguan membaca


Menurut model membaca dual-route (dua arah), ada dua strategi yang digunakan ketika membaca kata-kata (Coltheart 1978), yaitu strategi fonematik dan strategi ortografik. Model-model ini masih mendapatkan dukungan yang kuat. Strategi fonologi/fonematik melibatkan penggunaan kaidah konversi grafem-fonem untuk memperoleh akses leksikal ke stimulus tulisan, dan strategi ortografik melibatkan akses leksikal langsung yang memetakan konfigurasi ortografik dari sebuah kata secara langsung ke penyimpanan visual internal di dalam leksikon (Siegel 1993). Pengetahuan dan kesadaran morfologi merupakan satu elemen penting bila menggunakan strategi ortografik. Namun, sejauh tertentu, kemampuan awal anak untuk menggunakan kedua strategi tersebut tergantung pada keteraturan bahasa yang digunakan untuk membaca. Bahasa Inggris, misalnya, sangat tidak teratur dibanding bahasa Jerman dan bahasa Norwegia (lihat misalnya Hagtvet & Lyster, dalam pers). Satu fonem atau bunyi dalam bahasa Inggris sering kali digambarkan dengan banyak grafem, sedangkan sebagian besar bunyi dalam bahasa Norwegia selalu terkait dengan grafem yang sama. Dalam bahasa Inggris, bahasa tulis juga mempunyai lebih banyak grafem yang terdiri dari dua atau tiga huruf daripada bahasa Norwegia, misalnya, di mana sebagian besar bunyi hanya digambarkan dengan satu huruf atau satu grafem yang terdiri dari satu huruf.


Pelatihan keterampilan fonologi tampaknya mempunyai dampak yang sangat kuat terhadap membaca bila anak diajarkan tentang hubungan antara bunyi dan huruf dan bila pelatihan kesadaran fonemik dikaitkan secara eksplisit dengan tulisan (Ball & Blachman 1988; Bradley dan Bryant 1983; Hatcher, Hulme, & Ellis 1994). Pelatihan kesadaran morfologi juga akan lebih efektif jika aktivitas oral dikaitkan dengan tulisan. Sistem tulisan yang alfabetik biasanya digambarkan sebagai morfo-fonemik, karena representasi kata-kata sesuai dengan kombinasi antara prinsip morfemik dan prinsip fonemik.


Agar menjadi pembaca yang kompeten, anak harus menggunakan kedua prinsip tersebut (Adams 1990). Bila seorang anak belajar membaca atau mengeja, penting untuk pertama-tama mengases apakah anak tersebut tahu semua hubungan bunyi-grafem, dan apakah unit-unit yang lebih besar seperti morfem dapat langsung dikenalinya ketika dia membaca.


Wimmer dan Goswami (1994) menekankan bahwa untuk dapat membaca cepat dengan pemahaman, anak yang belajar membaca dalam ortografi yang alfabetik perlu mengembangkan strategi pengenalan kata secara langsung dan tidak belajar ucapan lewat penerjemahan grafem-fonem (hal. 102). Kesadaran akan prinsip ini mungkin penting untuk mengidentifikasi kata-kata secara cepat. Anak-anak yang belajar tentang prinsip morfologi bahasa tulis di samping prinsip alfabetik dapat memperoleh keuntungan tambahan bila mengidentifikasi kata-kata yang tertulis, setidaknya jika mereka sudah belajar hubungan antara huruf dan bunyi. Tampaknya mereka mampu mengidentifikasi struktur yang lebih besar, misalnya struktur yang mewakili unsur-unsur gramatik, secara lebih mudah dan lebih cepat dibanding anak-anak yang tidak memiliki pengetahuan tentang prinsip morfematik.


Pola-pola kesulitan membaca yang digambarkan dalam model-model seperti yang dikemukakan oleh Spear-Swerling dan Sternberg (1994) mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor biologis dan lingkungan. Anak mungkin keluar dari jalur pada titik-titik tertentu menuju kemampuan membaca yang baik, dan perbedaan individual dalam hal temperamen, motivasi dan inteligensi secara keseluruhan mungkin terkait dengan variabel-variabel lingkungan untuk menentukan jalur belajar membaca yang akan diambilnya. Sekali seorang anak atau remaja “terperosok” ke dalam rawa ekspektasi negatif, motivasi yang rendah dan tingkat praktek yang rendah, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan menuju kemampuan membaca yang baik (Spear-Swerling dan Sternberg 1994).


Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987). Akan tetapi, penting untuk dikemukakan kembali bahwa disposisi genetik ini kecil dampaknya terhadap perkembangan jika intervensi dini pada masa kanak-kanak dan masa sekolah difokuskan pada pemberian program linguistik yang memuaskan kepada semua anak untuk pengembangan kemampuan membaca dan mengejanya – dan penting untuk diingat bahwa keterampilan membaca berkembang melalui latihan praktis. Semakin banyak anak membaca, akan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi pembaca yang baik. Kenyataan ini juga berlaku bagi mereka yang mengalami kesulitan khusus mengembangkan keterampilan membaca yang sesuai usia yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, kognitif atau bahkan genetik seperti disleksia.


Daftar Pustaka


• Adams, M.J.1990. Beginning to read: Thanking and learning about print. Cambridge, MA, MIT press.
• Alenyo, D. 2001. The quality of teaching children with low vision in regular classrooms in Uganda. Master thesis, Department of Special Needs Education, University of Oslo.
• Aringo, H.L. 2001. Environmental factors that influence potentials in learning to read: A comparative study of children’s reading performances. Master thesis, Department of Special Needs Education, University of Oslo.
• Ball, E. W. &/ Blackman, B.A. 1988. Phoneme segmentation training: Effect on reading readiness. Annals of Dyslexia, 38:208-225.
• Bernstein, D.K. &/ Tiegerman, E. 1993. Language and communication disorders in children . New York, Maxwell Macmillian International.
• Bloom, L.& Lahey, M., 1978. Language development and language disorders. New York, John Wiley & Sons.
• Bradley, L. & Bryant, P. 1983. Categorizing sounds and learning to read – a causal connection, Nature, 301:419-421.
• Burns, M.S., Griffin, P. & Snow, C.E. 1999. Starting out Right. A Guide to Promoting Children’s Reading Success. Washington DC, National Research Council.
• Chall, J.S., Jacobs, V.A.,& Baldwin, L.E. 1990. The Reading Crisis. Why Poor Children Fall Behind in Reading. Cambridge, MA. Harvard University Press.
• Cotheart, M. 1978. Lexical access in simple reading tasks. In G. Underwood (ed.), Strategies of Information Processing. London , Academic Press:151-216.
• Cox, T. 1987. Slow starters versus long-term backward readers. British Journal of Educational Psychology, 57:72-86.
• Cunningham, A.E. 1990. Ex[licit versus implicit instruction in phonemic awareness. Journal of Experimental Child Psychology, 50:429-444.
• Elbro, C. & Arnbak, E. 1996. The role of morpheme recognition and morphologic awareness in dyslexia. Annals of Dyslexia, 44: 205-226.
• Fowler. A.E. & Liberman, I .Y. (1995). The role of phonology and orthography in morphological awareness. In L. B. Feldman (ed.). Morphological Aspect og Language Processing. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum Associates:157-188.
Goswami, U. & Bryant, P. 1990. Phonological Skills and Learning to Read. London Lawrence Erlbaum.
• Hagtvet, B.E. (1989). Emergent literacy in Norwegian 6-years olds. From pretend writing to phonemic awareness to invented writing. In F. Biglmaier (ed.). Reading at the Crossroads. Conference report, The 6th European Conference on reading. Berlin, July 31st – August 3rd.
• Hagtvet, B.E. & Lyster, S.A.H. In press. Spelling errors of poor and good beginning readers. In N. Goulandris (Ed.). Dyslexia: a Cross-Linguistic Comparison. London, Whurr Publishers.
• Hatcher, P., Hulme, C., & Ellis, A. 1994. Ameliorating early reading by integrating the teaching of reading and phonological skills: The Phonological linkage hypothesis, Child Development, 65:41-57.
• Henry, M.K. 1993 Morphological structure: Latin and Greek roots and affixes as upper grade code strategies. Reading and Writing : An Interdisciplinary Journal, 5:227-241.
• Kamhi, A.G. 1989 Causes and consequences of reading disabilities. In A.G. Kamhi and H.W. Catts Catts (eds.). Reading Disabilities A Developmental Language Perspective Boston MA, College-Hill Press:67-100.
• Kamhi, A.G. & Catts, H.W. 1989. Language and reading: Convergences, Divergences, and Development. In A.G Kamhi and H.W. Catts (eds.). Reading Disabilities A Developmental Language Perspective. Boston MA, College-Hill Press:1-34.
• Lundberg, I., Frost, J., & Petersen, O, 1988. Effects of an extensive program stimulating phonological awareness in pre-school children. Reading Research Quarterly, 23:263-284
• Lyster, S.A.H. 1997. Spelling development and metalinguistic training before school entrance; the effects of different metalinguistic training on spelling development in first grade. In C.K. Leong & M. Joshi (eds.). Cross-Language Studies of Learning to Read and Spell: Phonologic and Orthographic Processing. Dordrecht, Kluwer Academic Publishers: 302-329.
• Lyster, S.A.H. 1998. Preventing reading failure: A follow-up study. Dyslexia, 4: 132-144.
• Lyster, S.A.H. 1999. Learning to read and Write. The Individual Child and Contextual Interactions. Department of Special Needs Education, University of Oslo .
• Lyster, S.A.H. In press. The effects of morphological versus phonological awareness training in kindergarten on reading development. Reading and Writing: An Interdisciplinary Journal.
• Mann, V.A. 1991. Are we talking a too narrow a view of the conditions for development of phonological awareness? In S.A. Brady & D.P. Shankwiler (eds.). Phonological Process in Literacy. A Tribute to Isabelle Y. Liberman. Hillsdale, NJ. Lawrence Ealrbaum: 55-64
• Siegel, L.S. 1993. The cognitive basis of dyslexia. In R. Pasnak & M.L. Howe (Eds.). Emerging themes in cognitive development, Vol. 2. NY. Springer-Verlag.
• Snowling, M.J. 1987. Dyslexia. A Cognitive Development Perspective. Oxford, Basil Blackwell.
• Snowling, M.J. 2001. From language to reading and dyslexia. Dyslexia, 7:37-46.
• Spear-Swerling, L. & Sternberg, R.J. 1994. The road not taken: An integrative theoretical model of reading disability. Journal of Learning Disability, 27:91-103
• Wagner, R.K. & Torgesen, J.K. (1087). The nature of phonological processing and its Causal role in the acquisition of reading skills. Psychological Bulletin, 101:192-212.
• Whitehurst, G,J., Epstein, J.N., Angel, A.L., Payne,A.P. Crone,D.A. & Fischel, J.E. 1994. Outcomes of an emergent literacy intervention in Head Start. Journal of Educational Psychology, 30:79-89.
• Wimmer, H. & Goswami, U. (1994). The influence of orthographic consistency on reading development: word recognition in English and German children, Cognition, 51:91-103. ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...

AYAT-AYAT SEKOLAH UNGGUL

Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.

Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.
Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.

Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.

Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu– dan memang tidak diberdayakan untuk mampu–mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, “SMA berbasis komputer”, “SD berbasis kelas kecil”, “SMP berbasis IST (information system technology),” “SMK bersistem asrama,” “Aliyah dengan pengantar tiga bahasa,” dan sebagainya.

Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa yang kreatif dan disiplin,” dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.

Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan ( buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.

Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.

Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.

Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.

Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.

Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.

Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun “kepercayaan” dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.

Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.

Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.

Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.

Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.

Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.

Penulis, A. CHAEDAR ALWASILAH
guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...