PENGEMBANGAN KECERDASARAN LINGUISTIK-VERBAL DALAM PEMBELAJARAN SASTRA: LANGKAH PRAKTIS

Oleh Masnur Muslich

Kecerdasan lingusitik-verbal (sebagai bagian dari kecerdasan ganda yang bisa diterapkan pada pembelajaran sastra) mengacu pada kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakan kemampuan ini secara kompeten melalui kata-kata untuk mengemukakan pikiran-pikiran ini dalam berbicara, membaca, dan menulis (Lihat makalah Wahyudi Siswanto). Seseorang yang memiliki kecerdasan verbal yang tinggi tidak hanya akan memperlihatkan suatu penguasaan bahasa yang sesuai, tetapi juga dapat menceritakan kisah, berdebat, berdiskusi, menafsirkan, menyampaikan laporan, dan melaksanakan tugas lain yang berkaitan dengan berbicara dan menulis (Ibid). Sementara itu Gardner, dkk (Dryden & Vos, 2001:342) mendeskripsikan ciri orang yang memiliki kecerdasan linguistik sebagai berikut: sensitif terhadap pola, teratur, sistematis, mampu berargumentasi, suka mendengarkan, suka membaca, suka menulis, mengeja dengan mudah, suka bermain kata, memiliki ingatan yang tajam tentang hal-hal sepele, pembicara publik dan tukang debat yang andal.

Ada beberapa model pendidikan kecerdasan linguistik-verbal yang bisa dikembang-kan melalui pembelajaran sastra. Model yang dimaksud adalah (1) menceritakan kisah, (2) berdebat, (3) berdiskusi, (4) menafsirkan, (5) menyampaikan laporan, (6) berbicara dan menulis tentang karya sastra. Berikut ini diberikan sebagian contoh pembelajarannya.

1. Menceritakan Kisah

(a) Pengertian

Model Menceritakan Kisah adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara menceritakan kembali kisah yang terdapat dalam karya sastra yang telah dibaca atau didengar siswa. Karena menitikberatkan pada penceritaan kisah, maka karya sastra yang didengar atau dibaca siswa adalah karya satra yang berisi kisah, misalnya dongeng, sandiwara, novel, drama, atau puisi balada.

(b) Langkah

(1) Siswa diminta untuk mendengarkan atau membaca karya sastra yang telah disiapkan guru.
(2) Siswa mencatat pokok-pokok kisah yang didengar atau dibaca.
(3) Siswa menceritakan kembali kisah yang telah diengar atau dibacanya, baik secara lisan maupun tulis.

(c) Hal yang perlu diperhatikan

(1) Karya sastra yang didengar atau dibaca siswa hendaknya sesuai dengan perkembangan siswa, baik dari segi isi maupun bahasanya.
(2) Waktu yang disediakan hendaknya sesuai dengan jenis kaya sastra yang akan diceritakan kembali, khususnya ketebalan karya sastra yang dibaca dan/atau durasi karya sastra yang didengar.

(d) Contoh

(1) Bacalah cerpen ”Kisah Ronggo” karya Lidya Katika Dewi berikut ini!

KISAH RONGGO

Cerpen Lidya Kartika Dewi

Dengan laptop, aku biasa menulis di teras depan rumahku yang asri. Dalam suasana yang sejuk dan tenang aku dapat menuangkan ide-ide cerpen di kepalaku sejernih dan selancar air kali yang mengalir di pegunungan yang masih perawan.

Tapi, siang itu aku terkejut. Sangat terkejut. Tanpa permisi lebih dulu, seorang bocah dekil dengan menenteng gitar kecil tiba-tiba nyelonong masuk ke teras depan rumah, mengusik keasyikanku menulis. Kukira tadinya dia mau mengamen. Ternyata, tanpa berbasa-basi dia bertanya, "Oom penulis, ya?"

Belum sempat aku menjawab, dia menyambung, "Dengar kisah hidupku, Oom. Pasti akan sangat bagus kalau diuntai menjadi sebuah cerita."

Aku masih tergugu, bisu, ketika pengamen belia itu mulai bertutur: "Namaku Ronggo. Aku tinggal di pemukiman kumuh, dekat tumpukan sampah. Bapakku pemulung. Kini usiaku 14 tahun, tapi aku masih duduk di kelas 6 SD. Di sekolahku usia memang tak dipermasalahkan, karena sekolahku hanya di kolong jembatan layang, sekolah khusus anak-anak gelandangan.

Setiap hari, usai mengajar, Ibu Mira dan Ibu Ita memberi nasehat agar aku dan kawan-kawan rajin menabung, agar kelak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karena hanya dengan sekolah yang tinggi aku dan teman-teman akan menjadi orang pandai. Dan, orang pandai kerjanya pasti di kantor, bukan di jalanan sebagai pemulung.

Aku pun mulai rajin menabung. Bila dulu setiap kali diberi uang oleh Bapak selalu aku habiskan untuk jajan membeli kue apem pada Bi Ijah, sekarang sebagian uang jajan itu selalu aku sisihkan untuk ditabung, dengan cara menyimpannya di kaleng bekas susu formula yang aku pungut dari tumpukan sampah di dekat rumah. Tapi aneh, setelah tabunganku banyak, uang itu hilang. Aku penasaran dan bertanya pada bapak. (Aku hanya bisa bertanya pada bapak. Di rumah aku memang hanya tinggal berdua dengan bapak).

"Pak, siapa yang mengambil uang tabunganku?"

"Oh, kamu mulai rajin menabung? Siapa yang mengajari?" Bapak balik bertanya.

"Ibu Guru Mira dan Ibu Guru Ita."

"Lalu uang tabungan itu nanti untuk apa?"

"Untuk biaya, kalau aku mau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Aku ingin jadi orang pandai, Pak. Biar bisa kerja di kantoran, tidak jadi pemulung seperti Bapak."

Bapak tertawa sumbang. "Ah, kerja jadi pemulung tapi jujur, itu lebih terhormat daripada kerja di kantoran tapi jadi koruptor!"

"Koruptor itu apa sih, Pak?" tanyaku polos. Aku memang tidak tahu, apa itu koruptor.

"Orang-orang yang kerjanya di kantor, tapi hobinya nyolong uang kantor, ngemplang uang negara, ngembat uang rakyat. Itu namanya koruptor!"

"Kalau gitu orang yang kerja di kantor banyak yang jahat ya, Pak?"

"Iya. Makanya mereka hidupnya pada enak, pada kaya-kaya. Rumahnya pada megah, mobilnya bagus-bagus."

"Kalau gitu aku harus tetap rajin nabung, ah. Aku harus melanjutkan sekolah setinggi mungkin, biar bisa jadi orang pandai, biar bisa bekerja di kantoran, biar bisa jadi orang kaya, walau dari hasil korupsi."

Aku kembali menabung. Hasratku untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi begitu menggebu. Tapi ketika yang kutabung telah kembali terkumpul banyak, uang itu kembali raib. Aku kembali bertanya pada bapak, siapa gerangan yang mengambil uang tabunganku itu?

"Ah, mungkin uangmu itu dicolong tuyul," kata bapak.

"Memangnya tuyul mau datang ke rumah kita yang kumuh ini, Pak?"

"Iya. Tuyul besar, kepalanya hitam."

"Ah, tuyul kurangajar!" rutukku. "Kalau dapat kutangkap, kucincang kau!"

Kembali lagi aku menabung. Dan ketika uang tabunganku sudah banyak, aku mulai berjaga-jaga. Benar saja. Malam itu, saat aku baru merebahkan diri hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara berisik. Spontan aku bangkit dari tidur dan tampak bapak sedang mengambil uang di kaleng tabunganku. Aku terkejut, seakan tak percaya. Ah, apakah yang dimaksud Bapak dengan tuyul besar berkepala hitam itu adalah Bapak sendiri? Ya ya, pasti tuyul besar berkepala hitam itu Bapak sendiri!

"Bapaaakk...!!" teriakku.

Sesaat bapak kaget. Lalu dengan tersenyum bapak menoleh ke arahku. "Kenapa Bapak mencuri uang tabungan saya?" Aku memekik. Kalap. "Maaf, Ronggo. Bapak pingin kawin, tapi nggak punya uang. Terpaksa Bapak curi uang tabungan kamu."

"Lho, kalau kawin memang harus pakai uang, Pak?" tanyaku tak mengerti. "Iya. Kalau nggak ada uang, mana bisa Bapak kawin. Kamu mau tahu orang kawin? Ayo ikut Bapak, biar kamu tahu nikmatnya belaian seorang wanita, belaian seorang Ibu."

Malam itu juga aku ikut bapak. Aku tidak tahu apa nama tempat itu. Tapi di sana aku melihat banyak wanita berdagang kue apem, termasuk juga Bi Ijah. Lalu aku melihat bapak mencolek pantat Bi Ijah. Bi Ijah tertawa geli, kemudian menggelar tikar. Bapak tidur di hamparan tikar itu. Bi Ijah memijat bapak. Lalu, aku menyaksikan adegan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ah, apakah itu yang disebut kawin? Dalam hati aku bertanya-tanya. Kalau iya, ah, aku sangat ingin merasakannya, karena aku memang sangat merindukan belaian kasih seorang wanita, seorang ibu.

Esoknya aku tidak pergi ke sekolah. Tapi aku mengamen di bis kota. Aku ingin segera dapat uang yang banyak. Aku ingin tahu rasanya kawin Aku ingin merasakan nikmatnya bilaian kasih seorang ibu. Malam itu juga, dengan membawa uang hasil mengamen aku pergi ke tempat berkumpul wanita-wanita penjual kue apem. Aku mendatangi Bi Ijah.

"Mau apa kamu malam-malam ke sini sendiri?" tanya Bi Ijah.

"Aku pingin kawin," kataku jujur.

Bi Ijah tertawa panjang, "Ha ha ha... bocah ingusan seperti kamu mau mulai belajar kawin? Ha ha ha...."

Tawa Bi Ijah terhenti. Sesaat ia merenung. Kemudian, "Tapi bagus juga ya, aku bisa merenggut keperjakaanmu, biar aku awet muda." Tawa Bi Ijah kembali berderai. "Eh, tapi kamu punya uang nggak?"

"Punya." Aku menepuk-tepuk kantong baju yang menggembung berisi uang logam.

"Bagus, bagus." Bi Ijah manggut-manggut.

Bi Ijah menggelar tikar. Aku tidur di hamparan tikar itu. Bi Ijah memijatku. Lalu aku merasa seakan melayang jauh di awan. Semuanya terasa indah.

Sejak saat itu aku tak mau lagi pergi ke sekolah. Tapi kini setiap hari aku pergi mengamen. Bila uang hasil mengamen sudah banyak, aku selalu pergi mendatangi Bi Ijah. Apa yang diucapkan bapak memang benar, aku telah merasakan nikmatnya kawin, nikmatnya balaian kasih seorang ibu.

Suatu malam, saat aku hendak mulai dipijat oleh Bi Ijah, bapak datang menghampiri. Tanpa basa-basi bapak langsung marah, menghardik Bi Ijah. "Ijah, kamu sudah gila! Kamu tidak takut dosa! Kamu kawin dengan anakmu sendiri!"

Bi Ijah tersenyum sinis. "Kamu yang gila, Jo! Kamu ngomong dosa, tapi kamu tak pernah mau aku ajak keluar dari lembah dosa ini! Kamu tak pernah mau aku ajak nikah secara resmi, agar kita berdua dapat membesarkan Ronggo bersama-sama. Nyatanya? Kamu lebih seneng hubungan intim kita berjalan tanpa ikatan resmi. Kamu lebih seneng membesarkan Ronggo seorang diri. Aku pun jadi merasa tak punya ikatan batin dengan Ronggo. Memang dia lahir dari rahimku. Tapi dia anakmu, bukan anakku!"

Selama Bi Ijah dan bapak perang mulut, aku hanya melongo, bengong. Aku tidak mengerti makna pertengkaran itu. Yang aku tahu, kemudian bapak pergi, entah ke mana. Dan Bi Ijah -- seperti tak pernah terjadi apa pun -- mulai memijati aku. Lalu, aku pun merasa bagai melayang di awan. Semuanya terasa indah.

Hari-hari selanjutnya aku rasakan semakin indah, karena mulai malam itu Bi Ijah tinggal di rumahku. Bi Ijah yang selalu memijati aku dengan penuh mesra dan penuh birahi. Aku tidak mengerti dan juga tidak tahu, mengapa bapak meninggalkan rumah dan ke mana bapak pergi? Seperti juga aku tidak mengerti dan tidak tahu, siapa jatidiri Bi Ijah yang sesungguhnya.

Berbilang bulan, aku mulai merasa jemu hidup satu rumah dengan Bi Ijah. Aku mulai menggelandang tak tentu arah. Setiap hari aku mengamen. Aku ingin berjumpa dengan ibu kandungku, aku juga ingin kembali berjumpa dengan bapakku. Aku ingin mencari mereka sampai ketemu.


(2) Catatlah pokok-pokok cerita yang terdapat dalam cerpen yang baru saja kamu baca!
(3) Ceritakan kembali secara tertulis kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut sambil memperhatikan pokok-pokok cerita yang telah kamu catat!

(e) Variasi

(1) Guru juga bisa membacakan dongeng kepada siswa.
(2) Sambil mendengarkan dongeng yang dibacakan guru, siswa mencatat pokok-pokok ceritanya.
(3) Dongeng yang dibacakan guru tidak terlalu panjang, tetapi tetap mencerminkan keutuhan cerita.


2. Berdebat

(a) Pengertian

Model Berdebat adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara mempertahankan pendapat atas peristiwa, perilaku, atau fenomena lain yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengarnya. Demi kelancaran pelaksanaan model ini, karya sastra yang dipilih hendaknya karya sastra yang isinya bisa memicu perbedaan pendapat bagi sebagian besar siswa sehingga tujuan berdebat bisa tercapai.

(b) Langkah

(1) Kelas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Kelompok pro menyetujui sikap, perilaku, dan pendapat tokoh utama. Kelompok kontra menolak sikap, perilaku, dan pendapat tokoh utama.
(2) Siswa diminta untuk membaca karya sastra yang telah disiapkan.
(3) Setiap kelompok diminta untuk mempertahankan pendapatnya dengan cara menunjukkan berbagai alasan yang mendukung pendapatnya.

(c) Hal yang perlu diperhatikan

(1) Pendapat setiap kelompok (baik kelompok pro maupun kelompok kontra) hendaknya dirumuskan dengan jelas oleh guru sehingga memudahkan siswa (kelompok) dalam pencarian alasan yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengarnya.
(2) Waktu yang disediakan untuk berdebat hendaknya cukup sehingga masing-masing kelompok (baik yang pro maupun yang kontra) bisa memberikan argumentasinya secara tuntas.

(d) Contoh

(1) Bacalah cerpen “Eligi” karya Bengkel Imaji Malang di bawah ini.

Elegi

“JAWAB! Jangan diam!”

Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun, asalkan kau mengizinkanku menyisir helai rambut yang tergerai di pipimu, walau sekali saja.

“Jangan berpura-pura mampus!”

Bibir beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.

“Ayo mengaku!”

Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah kau izinkan diriku menyisir rambut di pipimu. Walau itu sekali. Hanya sekali.

Mulut beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku dengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.

***

“Zuliana Arlianadinata. Panggil saja Ana”

Beruntunglah dirimu. Perempuan itu menyambut tanganmu sambil menyebutkan namanya. Aku tak pernah menduga, bahwa perempuan yang tak satupun lelaki berhasil mendekatinya telah menyambut tanganmu dan memberikan senyum itu padamu. Dan jika kau tahu, setiap senti senyumnya berarti satu inchi lukaku.

Luka itu makin menganga ketika aku tahu dirimu berhasil mengajaknya pergi ke tempat kesukaannya: laut. Lagi-lagi kau membuat sayatan luka baru di jantungku dengan pisau karatmu. Dan kata-kata manis perempuan itu, tak lain adalah garam yang ditabur di atas luka sayatanmu. Kenapa perempuan itu tak mengenali wajah iblis di balik wajahmu!

“Tutup matamu”

Itulah perkataan srigalamu kepada perempuan yang kini menuruti setiap perkataanmu. Lantas, kau menutup sepasang mata perempuan itu dengan kain. Aku tahu kau akan memberinya suatu kejutan. Tapi seandainya aku membawa senapan, tentu aku akan membuatmu terkejut terlebih dulu dengan menembak isi di kepalamu agar otak kotormu itu diketahui oleh perempuan yang lebih pantas bersamaku dari pada bersamamu.

“Kau yakin sudah tidak dapat melihatnya?”

Perempuan itu menggeleng. Aku iri melihat sepasang tanganmu ketika menutup sepasang mata perempuan itu. Kau diizinkan membelai rambut panjangnya. Kau menatap perempuan itu, seolah kau adalah serigala yang telah memenangkan perburuan. Ah, dengan apa aku harus mengatakan kepadamu, Ana, bahwa lelaki yang bersamamu adalah lelaki serigala?

Angin yang kutitipi perasaan ini, hanya menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh deburan ombak yang menghantam karang. Lalu dijawab oleh kepakan burung yang mendaki senja di depannya. Haruskan aku muncul tiba-tiba menghunuskan belati ke lelaki berengsek itu?

“Sekarang buka matamu”

Seharusnya hatimu terbuka Ana. Seharusnya kau melihat sejati dari lelaki itu. Tetapi kenyataannya kau justru tersenyum simpul ketika lelaki itu berjongkok di depanmu sambil membawa sekuntum kembang. Ombak menari-nari sambil bertepuk tangan. Burung-burung yang pulang menyempatkan diri untuk menatap kalian. Sedang senja pura-pura menjadi lelaki tua bijak yang melihat percintaan kalian. Sebagai perempuan, hatimu telah tercuri.

“Menikahlah denganku. Kalungkan kain itu di kepalaku jika kau menerimaku, tetapi jika tidak buanglah kain itu ke laut”

Jantungku berdetak lebih keras. Belati yang kugenggam tidak lagi dapat berdiam diri. Ia menjadi teman setiaku. Dialah yang bersedia menusuk jantung yang berdetak menunggu jawaban perempuan itu lalu kulempar ke laut. Tapi, lagi-lagi aku tak mampu melakukannya. Aku memang ditakdirkan hanya bisa melihat dan diam.

Kau masih terdiam, Ana. Dan itulah yang menjadikan lelaki berfikir bahwa perempuan adalah lautan misteri. Tak habis dilayari dan diselami. Entah apa yang berada di dalam pikiranmu sekarang. Deburan ombak mempercepat gelap. Segenap hatiku mengelam ketika kau mengalungkan kain itu di leher lelaki biadab itu!

Dan pada suatu hari kulihat kau mengalungkan untaian melati lagi di leher lelaki bejat itu di atas pelamin. Suara gamelan bertalu-talu menjadi tombak yang menancap di dadaku. Belati yang kini di genggaman tanganku telah membisikkan kepadaku untuk segera menghunus lelakimu.

Dadaku menahan gemuruh, Ana. Kutancapkan saja pisauku di batang pohon, seolah aku telah menancapkannya tepat dijantung lelakimu. Aku memutuskan berlari pulang ketika kulihat cahaya lampu menggambar sepasang bayang yang saling memagut di balik jendela yang tertutup kelambu.

***

“Sudah lama menunggu ya, papa tidak bisa menjemput Nina hari ini”

Wajah gadis itu benar-benar mirip dengan wajahmu Ana. Sepasang mata itu benar-benar sepasang matamu yang telah kau wariskan, tetapi aku melihat ada darah lelaki bejat yang mengalir dalam detak jantung gadis itu.

“Kenapa papa selalu ingkar janji”

Kujelaskan kepada anakmu bahwa dirimu sedang ada pekerjaan penting mendadak. Tetapi, ketahuilah wahai lelaki bangsat, sesungguhnya diriku telah menanamkan bom waktu di otak anakmu. Suatu saat pasti akan meledak. Ha ha ha.

“Aku benci dengan papa!”

Ha ha ha. Ingin rasanya aku terus tertawa. Tetapi di wajahnya, aku menatap seberkas keteduhan yang pernah di wariskan oleh ibunya. Kenapa darah yang mengalir dalam tubuhnya bukan darahku dan darahmu, Ana. Kenapa jantung lelaki bejat itu yang mengalirkan darahmu, Ana.

Kecemburuanku ini seperti telah memaksaku untuk segera menyulut bom waktu di hati anakmu ini. Ingin kukatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah serigala bejat yang menjelama menjadi seorang lelaki yang kini berpura-pura berperan menjadi ayah.

Sebenarnya aku sering melihat pertengkaran orang tuamu, Nina. Kalaupun aku hanya seorang sopir pribadi ayahmu, justru itulah aku tahu banyak tentang kebejatan ayahmu. Kemana ia habiskan malamnya, aku tahu. Alasannya ke luar kota dengan mengajakku adalah hanya alasan untuk mengelabuhi ibumu.

Entah sudah berapa puluh keperawanan perempuan sudah ia beli dengan uangnya. Entah sudah berapa puluh kali kelaminnya singgah di gubug-gubug murah perempuan. Entahlah, Nina. Tetapi, ketika ingin kusulut bom yang telah kutanam dalam otakmu, aku tak sanggup melakukannya. Keteduhan wajah yang diwariskan ibumu telah meredam badai amarahku.

Sesaat ketika kita sampai di rumah, aku tak bermaksud untuk memperlihatkan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibumu. Tetapi takdir tak bisa menutupi apa yang sudah disembunyikan oleh waktu. Dan kau memilih tidur di kamarku dari pada melihat orang tuamu. Aku membelaimu seperti aku membelai anakku sendiri.

***

“Kau lelaki yang tak tahu malu!”

Akhirnya suatu hari ibumu telah mendengar bisik yang kutitipkan angin. Begitulah seharusnya ibumu, ia tidak diam ketika ia melihat adanya ketimpangan. Aku melihat sorot tajam ibumu. Aku melihat badai dalam bibir ibumu yang siap meluluhlantakkan setiap tipu daya ayahmu.

Nina, saat kau terlelap, ayahmu telah berubah menjadi serigala. Alasan-alasan ayahmu tak dapat menjawab semua logika ibumu. Ayahmu hanya bisa menjawab logika ibumu dengan sebuah tamparan. Tak puas dengan tamparannya, ia memukul ibumu. Lantas, membanting tubuh ibumu lalu pergi entah kemana.

Saat itulah, aku menyentuh kulit ibumu yang pertama kali ketika membaringkan tubuh yang makin kurus itu. Membenahi rambut panjangnya yang tergerai di pipinya. Ingin rasanya aku menggantikan ayahmu untuk menemani ibumu. Sejak malam itulah ibumu lebih suka mencurahkan isi hatinya kepadaku.

Sayang sekali, ayahmu telah mencium hubunganku dengan ibumu. Suatu kali aku tak dapat menghidari pertengkaranku dengan ayahmu. Tetapi ayahmu adalah iblis yang nafasnya adalah hembusan amarah. Hingga pada suatu perkelahian ayahmu mengayunkan sesuatu yang membuat sepasang mataku gelap dan aku tak berdaya.

“Kau yang selama ini meniduri istriku bukan?”

Saat kusadar, kudapati diriku terkapar dengan tangan terikat. Aku menatap wajah ayahmu dengan sisa tenagaku. Ayahmulah yang mengayunkan cemeti itu ke tubuhkku. Sepasang mataku hanya mencari kemana perginya dirimu dan ibumu, tapi tak pernah kutahu.

“Jawab! Jangan diam!”

Nafasku tertahan di tenggorokan. Tubuhku mati suri. Tak terasa lagi ketika garis-garis merah terlukis oleh ayunan cemeti. Sepasang tanganku yang terikat tak pernah kusesali. Atau bahkan terpotong sekalipun.

“Jangan berpura-pura mampus!”

Bibir ayahmu yang beraroma alkohol itu meledak di depan hidungku. Dengan sepasang mata samar, kulihat bibir itu menenggak lagi sebotol bir. Sejenak bibir itu tertawa-tawa. Tiba-tiba kurasakan sepatu menekan kepalaku.

“Ayo mengaku!”

Aku diam, bukan berarti aku tak berdaya. Aku tak menjawab bukan berarti aku takut. Aku hanya merasa seluruh organ tubuhku mati suri setelah ibumu mengizinkan diriku menyisir rambut di pipinya. Walau itu sekali. Hanya sekali.

Mulut ayahmu yang beraroma alkohol itu terus memuntahkan tawanya. Meledakkan makiannya. Kali ini aku mendengar suara botol di pukulkan ke sesuatu yang keras hingga pecahan kaca itu berdenting berserakan di atas lantai. Dengan sepasang mata samar, aku menatap sebuah tangan yang membawa sisa pecahan botol, lalu ditusukkan ke dalam perutku.

Entah ini halusinasi atau kenyataan, ibumu menangis di samping gerobak yang di dorong oleh perawat. Sebelum pintu kamar operasi ini di tutup aku melihat wajahmu duhai gadis manis. Memeluk ibumu. Setelah itu, yang tersisa hanya gelap.

Bengkel Imaji Malang, 2006


(2) Catatlah sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utamanya!
(3) Bagi kelompok pro, carilah alasan mengapa Anda setuju atau sependapat terhadap sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama! Sebaliknya, bagi kelompok kontra, carilah alasana mengapa Anda menolak atau tidak sependapat terhadap sikap, tindakan, dan pendapa tokolh utama!
(4) Setelah itu, mulailah berdebat tentang sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama pada cerpen “Eligi”, yang dipandu noleh guru.

(e) Variasi

(1) Guru juga bisa membacakan cerita kisah kepada siswa.
(2) Sambil mendengarkan kisah yang dibacakan guru, siswa mencatat pokok-pokok ceritanya, terutama sikap, tindakan, dan pendapat tokoh utama.
(3) Cerita kisah yang dibacakan guru tidak terlalu panjang, tetapi tetap mencerminkan keutuhan cerita.
(4) Guru menyuruh siswa (kelompok pro maupun kontra) untuk memberikan alasan masing-masing.
(5) Setelah itu, dilanjutkan dengan berdebat antara kelompok pro dan kontra yang dipandu gru.

3. Berdiskusi

(a) Pengertian

Model Berdiskusi adalah model pembelajaran kecerdasan linguistik-verbal melalui pembelajaran sastra dengan cara sharing pendapat berupa pemberian solusi, alternatif pemecahan, atau kemungkinan jalan keluar atas permasalahan atau problema yang terdapat dalam karya sastra yang dibaca atau didengar siswa. Agar kegiatan diskusi berjalan lancar, guru hendaknya memilih karya sastra yang tema ceritanya mengandung persoalan atau masalah yang bisa memicu sebagai bahan diskusi siswa, baik diskusi kelompok maupun diskusi kelas.

(b) Langkah

(1) Siswa diminta untuk mendengarkan atau membaca karya sastra yang telah disiapkan guru.
(2) Siswa mencatat berbagai persoalan atau masalah yang terdapat dalam karya sastra yang didengarkan atau dibacanya.
(3) Siswa mendiskusikan secara berkelompok atas persoalan atau masalah yang telah ditemukan untuk dicarikan pemecahan atau solisinya.
(4) Siswa melaporkan hasil diskusi kelompok ke dalam pleno kelas.

(c) Hal yang perlu diperhatikan

(1) Persoalan atau problema yang terdapat dalam karya sastra yang didengar atau dibaca siswa hendaknya sesuai dengan perkembangan dan konteks siswa.
(2) Persoalan atau problema yang didiskusikan bukan persoalan yang sangat rumit sehingga memicu kontroversi yang tidak berkesudahan.
(3) Waktu yang disediakan untuk berdiskusikan hendaknya cukup sehingga siswa bisa dengan leluasa menyampaikan pendapatnya.

(d) Contoh

(1) Bacalah drama monolog ”Episode Daun Kering” karya Zulfikri Sasma berikut ini!

EPISODE DAUN KERING

Sebuah drama monolog oleh Zulfikri Sasma

ADAPTASI DARI CERPEN KARYA LARSI DE ISRAL

Panggung adalah ruangan kosong yang hanya di isi oleh sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Lampu panggung tampak temaram. Sarjun, seorang lelaki muda (kira-kira berusia 24 tahun) dengan menyandang sebuah ransel di punggungnya, tampak melangkah lemas memasuki panggung. Ribuan rasa kecewa menghias di wajahnya. Lelaki itu kemudian duduk di atas bangku dan menaruh ransel di sampingnya. Ia tertunduk lesu dan kemudian mengangkat wajahnya.

SARJUN

Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai Tuhan dengan segala skenario-Nya. Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta. Di dalam semua itu kita melingkar, menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam kisah dilakoni dengan bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan kesabaran untuk mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis atau sama sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut?

Teramat berat bagi saya untuk berbagi kisah ini.

Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!

Sarjun tertunduk, kecewa berkecamuk di dadanya. Tak lama, ia kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan ucapannya.

SARJUN

Bukan! Bukan karena menyangkut sisi hidup saya yang gelap, bukan saudara-saudara! Akan tetapi, hal ini melibatkan keluarga saya yang tinggal dua orang: Papa dan Alpin, adik saya…

Sarjun merubah posisi duduknya, memandang langit, tatapannya kosong.

SARJUN

Sejak kematian ibu, saya melanjutkan kuliah di Padang sedang Alpin kuliah di Medan. Sejak itulah Papa tinggal sendiri di Payakumbuh. Saya mengerti benar makna kesepian bagi orang seusia Papa. Karena itu saya mengunjunginya tiap bulan. Alpin pun saya kira begitu. Namun karena Medan dan Payakumbuh terbentang jarak yang tidak dekat, maka ia hanya pulang tiap liburan semester.

Tetapi saudara-saudara, kepulangan saya kali ini, sungguh-sungguh membuat saya hampir putus asa! Betapa tidak? Baru saja saya sampai di teras depan rumah, tiba-tiba saya mendengar teriakan “tidak” yang sangat begitu keras. Saya yakin, itu adalah suara Papa. Saya jadi tertegun mendengarnya, lalu mengintipnya lewat lubang kunci.

Sarjun beranjak dari tempat duduknya, berdiri dan melangkah ke depan panggung sambil tersenyum mengejek

SARJUN

Saudara-saudara, saudara-saudara tahu apa yang saya lihat? Sungguh di luar dugaan, saya menyaksikan Papa berdiri disamping meja telepon dengan kepala tertunduk dan wajah kuyu! Sempoyongan ia menuju sofa. Kecewa, marah, sedih dan entah makna apa lagi yang dapat dibaca dari raut wajahnya.

Kesal, lelaki itu kembali duduk di bangku

SARJUN

Heran, tidak mungkin Papa begitu! Tidak mungkin! Papa saya bukan lelaki yang rapuh. Ia lelaki paling tegar yang pernah saya kenal. Ia cerdas meski terkadang sangat egois. Masih terlalu jelas dalam ingatan saya ketika ia memutuskan berburu babi sebagai olahraga pengisi kesendiriannya.

Sarjun kembali menatap langit. Kali ini tatapannya tajam.

SARJUN

Waktu itu papa duduk di sofa. Ia membaca Koran, kelihatan santai, saya datang dan mengambil tempat di sofa lain.

SARJUN

Oke! Silahkan Papa buru babi. Tapi, membeli anjing? Apalagi seharga dua juta lebih? Saya tidak setuju! Itu haram, Pa!

PAPA

Hehehehe… jika tidak dibeli Papa dapat anjing dari mana? Mana ada anjing kurap yang bisa buru babi? Atau anjing jadi yang dibagi-bagi secara gratis? Nak, membeli anjing itu tidak apa-apa asal tujuannya baik. Nah, menyelamatkan tanaman petani dari hama babi kan perbuatan mulia? Banyangkan babi-babi yang temok itu diburu dengan anjing kurap, heh, heh… ia akan tetap merdeka melahap tanaman petani. Dan, petani tidak akan makan, kamu rela petani mati kelaparan?

SARJUN

Tapi Tuhan tidak pernah menghalalkan sesuatu dari yang haram

PAPA

Bukan Tuhan namanya kalau sekaku itu. Bukankah kamu sering bilang: adh-dharuratu tunbihul mahzhurat?

SARJUN

Apakah kondisi seperti itu sudah darurat?

PAPA

Menurutmu, keselamatan manusia bukan ukuran darurat?

SARJUN

Anjing adalah anjing. Babi adalah babi. Najis tetap najis dan haram tetap haram!

PAPA

Tuhan itu cerdas, nak. Ia tidak akan ciptakan tanah kalau memang kita dilarang menyentuh benda bernajis. Hehehehe…

Kesal Sarjun seperti memuncak. Ia berdiri dan melangkah menuju belakang bangku

SARJUN

Bah! Banyak sekali alasan Papa untuk membenarkan keinginan dan perbuatannya.

Sarjun menggeleng-gelengkan kepalanya

SARJUN

Nah, saudara-saudara, bukankah apa yang saya saksikan di rumah tadi tidak masuk akal?

Seseorang yang selama ini tegar tertunduk lesu dan kuyu? Ini tidak masuk akal!

Apalagi setelah itu saya lihat Papa menangis! Menangis? Papa menangis? Heh? Tiba-tiba saya dorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Papa terkejut melihat kedatangan saya. Segera Papa memburu saya. Lalu saya dipeluknya erat-erat. Begitu erat saudara-saudara!

Sarjun berhenti sejenak. Ia kembali duduk dan kemudian menunduk dengan kedua tangan menutup wajah. Keadaan jadi hening. Lama ia baru bersuara, tapi kali ini suaranya serak. Matanya kelihatan basah.

SARJUN

Dalam pelukan saya, tangis papa tiba-tiba tumpah. Saya jadi kikuk. Setelah agak lama, Papa saya ajak duduk. Papa masih menangis terisak-isak. Saya tinggalkan Papa di sofa, dan mengambil segelas air putih ke belakang.

Papa menangis? Sungguh tak masuk akal.

Sarjun diam sebentar, menghapus air mata yang menetes di pipinya. Berdiri lalu bergerak ke depan panggung.

SARJUN

Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan ini.

Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!

Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya, saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.

Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau oleh benci.

Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.

PAPA

Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!

SARJUN

Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!

Sarjun kembali terdiam dan duduk di bangku kayu. Keadaan kembali hening.

SARJUN

Saudara-saudara, sekarang Papa menangis, terisak-isak. Betul-betul tidak masuk akal. Saya lalu menaruh segelas air putih di atas meja dan mempersilahkan Papa untuk meminumnya. Tetapi Papa tetap saja terisak-isak bersama tangisnya. Tiba-tiba, Papa menyebut-nyebut nama Alpin. Tentu saja saya terkesiap olehnya. Alpin? Ada apa dengan Alpin? Saya jadi bingung saudara-saudara! Heran!

Sarjun kembali menunduk, ia seperti menahan emosinya

SARJUN

Saudara-saudara, ternyata yang menyebabkan Papa saya menangis terisak-isak adalah karena Alpin. Alpin adik saya. Ia di tahan polisi. Alpin tertangkap basah menghisap daun jahanam itu. Daun yang ditanam orang lain yang tidak rela anaknya menghisap ganja!

Mendengar itu saya betul-betul kesal! Saat itu juga, saya ambil ransel dan segera melangkah menuju pintu. Waktu itu saya dengar suara papa memanggil nama saya, tapi tak lagi saya hiraukan. Saya muak! Sungguh-sungguh muak!

Sarjun makin menunduk, emosinya betul-betul memuncak, setelah merasa reda, barulah ia angkat kepalanya

SARJUN

Begitulah saudara-saudara, saya terpaksa kembali ke Padang malam itu juga. Saya tak sanggup menghadapi kenakalan orang tua seperti itu. Apalagi orang tua itu Papa saya sendiri. Telah saya putuskan untuk tidak menemui Papa lagi. Bahkan mungkin di hari pemakamannya kelak, saya takkan hadir. Saya tak bisa memberinya maaf. Saya tak bisa. Tetapi…hah…entahlah. Mungkin suatu ketika saya bisa. Mungkin… sebab, sampai saat ini saya masih mempercayai Tuhan dan segala skenariomya.

Sarjun berdiri, menyandang ranselnya kemudian berjalan keluar panggung. Bebannya berat

* * *

SELESAI


(2) Catatlah permasalahan atau persoalan yang belum terpecahkan dalam drama tersebut!
(3) Sampaikan permasalahan yang telah kamu catat tersebut ke dalam diskusi kelompok/kelas agar ditanggapi oleh teman lain!
(4) Laporkan hasil diskusi kelompok/kelas kepada guru untuk mendapakan balikan.

(e) Variasi

(1) Guru juga bisa menyediakan puisi kepada siswa sebagai bahan diskusi kelompok/kelas.
(2) Puisi sebagai bahan diskusi sebaiknya puisi yang aktual sehingga menarik anak untuk didiskusikan.
(3) Sebelum mendiskusikan isinya, masing-masing siswa membaca puisi dan mencatat hal-hal yang dianggap penting untuk didiskusikan.


Malang, 02 Mei 2010



ANDA INGIN BACA SELANJUTNYA?...